Tag: laporan pelanggaran HAM

  • Indonesia: Pakar PBB membunyikan alarm tentang pelanggaran serius di Papua, menyerukan bantuan mendesak

    #UNnews#NewsPBB Edisi, 1 Maret 2

    JENEWA (1 Maret 2022) – Pakar hak asasi manusia PBB* hari ini menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.

    Para ahli menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.

    “Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan [Indonesia],” kata para ahli.

    Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang.

    “Mayoritas pengungsi di West Papua belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan [Indonesia] yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik,” kata para ahli. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa mendapatkan akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.”

    Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi, kata mereka. “Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” tambah para ahli.

    “Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.

    “Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi yang [bisa dapat] bertahan lama harus dicari.”

    Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia pada selusin kesempatan** tentang berbagai dugaan insiden. “Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata mereka.

    Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli menunjuk penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.

    “Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata para ahli, menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.

    “Langkah-langkahnya harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan. Pelajaran penting harus dipelajari untuk mencegah pelanggaran di masa depan.”

    Para ahli kembali menyampaikan keprihatinan mereka kepada Pemerintah dan mereka mengakui Pemerintah telah mengirimkan balasan atas surat tudingan AL IDN 11/2021 tersebut.

    SELESAI

    ___________

    Sumber: (https://www.ohchr.org/…/NewsE…/Pages/DisplayNews.aspx…)

    #WelcomeUNHC🇺🇳#WestPapua#HumanitarianCrisis#HumanRightsAbuses#PIF#ACP#UnitedNation#OHRCHR#UNHRC#FreeWestPapua

  • Cerita Indonesia tentang Papua di PBB

    Kredit foto: Cypri Dale
    Kredit foto: Cypri Dale

    TINJAUAN Periodik Universal (UPR) atas Indonesia di Dewan HAM PBB baru saja selesai (03/05/17). Pemerintah Indonesia yang diwakili delegasi besar yang dipimpin Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM menampilkan pertanggungjawaban HAM Indonesia selama 5 tahun terakhir (sejak UPR 2012) dengan penuh kepercayaan diri diplomatik. Penegakan HAM di Papua menjadi isu sentral, demi menanggapi semakin intensifnya perhatian dan keprihatinan komunitas internasional atas situasi di kawasan itu. Sejumlah negara besar sekutu dekat Indonesia mengajukan pertanyaan dan pernyataan krusial. Sementara tujuh Negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia dalam persoalan Papua justru memilih tidak hadir. Bagaimana perkembangan persoalan Papua di kancah internasional?

    Litani Kesuksesan

    UPR sejatinya merupakan mekanisme standar di PBB dengan tujuan untuk memperbaiki situasi HAM secara nyata di setiap negara anggota. Dalam UPR negara yang sedang direview memberikan laporan mengenai situasi HAM di dalam negeri serta pelaksanaan rekomendasi dari UPR sebelumnya. Negara-negara lain, berdasarkan observasi diplomatik serta informasi dari lembaga-lembaga HAM non-pemerintah, mengajukan pertanyaan dan rekomendasi yang harus dijalankan sebelum UPR berikutnya lima tahun mendatang.

    Khusus tentang Papua, setidaknya ada empat hal yang disampaikan dalam pertanggungjawaban Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM di Dewan HAM PBB dalam UPR kali ini.

    Pertama, bahwa pemerintah sedang melakukan percepatan pembangunan yang dianggap sebagai solusi atas berbagai persoalan di Papua. Dilaporkan bahwa “presiden secara teratur mengunjungi kedua provinsi ini untuk mengecek kemajuan pembangunan infrastruktur dan yang paling penting untuk secara langsung berdialog dengan orang Papua.” Terkait dengan pendidikan dan kesehatan, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indoensia Sehat, dilaporkan sebagai solusi untuk masalah di Papua. Disebutkan “ lebih dari 2,8 juta orang Papua telah menerima kartu sehat sementara 360 ribu siswa telah mendapatkan manfaat dari kartu Indonesia pintar.” Selain itu, pembangunan infrastruktur yang sedang sedang digencarkan pemerintah Indonesia dilaporkan sebagai kemajuan. Dikatakan “Pemerintah berencana membangun jalan Trans-Papua dari Merauke ke Sorong, yang terdiri dari 4325 km jalan di mana 3625 km telah selesai.” Tidak dijelaskan kaitan infrastruktur dengan penegakan HAM.

    Kedua, Pemerintah Indonesia “memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan, termasuk dugaan pelanggaran HAM di Papua.” Sebagai buktinya disebutkan bahwa “Sebuah tim integratif di bawah Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan termasuk Komnas HAM dibentuk pada tahun 2016 untuk bekerja secara independen untuk menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM.” Apa hasil kerjanya? Dilaporkan “Tim ini menyimpulkan bahwa dari 12 laporan dugaan pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1996-2004, tiga di antaranya adalah dugaan pelanggaran HAM berat, sementara sisanya adalah kasus kriminal biasa.” Disebutkan juga bahwa “Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM tetap di Makasar. Untuk kasus Paniai, Komnas HAM telah melakukan investigasi resmi untuk kemudian diproses di Kejaksaan Agung.”

    Ketiga, bahwa “Pemerintah juga telah mencabut pembatasan bagi wartawan asing untuk mengunjungi Papua.” Sebagai buktinya ditunjukkan bahwa “39 wartawan asing datang ke Papua pada tahun 2015, sebuah peningkatan sebanyak 41% dari tahun sebelumnya.” Disebutkan juga bahwa pada tahun 2017 ini sudah ada 9 wartawan asing yang mengajukan izin mengunjungi Papua dan semuanya dikabulkan pemerintah.

    Keempat, bahwa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan untuk meningkatkan tata pemerintahan lokal yang efektif dan pembangunan. Disebutkan juga bahwa “dalam kerangka Otonomi Khusus, provinsi Papua dan Papua Barat juga terus menerima jumlah anggaran paling besar, dibanding provinsi-provinsi lain yaitu 69,71 triliun rupiah atau setara dengan 2.5 milyar dollar Amerika”.

     

    Tanggapan Diplomatik

    Menariknya sebagai tanggapan atas laporan Indonesia, sejumlah negara justru menyampaikan berbagai pertanyaan dan pernyataan sederhana; yaitu kenyataan pelaksanaannya secara konkret dan bagaimana langkah-langkah pemerintah itu berkontribusi pada penyelesaian masalah HAM yang masih terus terjadi di Papua.

    Pemerintahan Swiss misalnya mempertanyakan “Kemajuan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam implementasi rencana yang sudah diumumkan oleh Menkopolhukam pada bulan Mei dan Oktober 2016 untuk menginvestigasi dan menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua seperti kasus Paniai, Wasior, dan Wamena?”

    Sambil mempertanyakan hal tentang penyelesaian kasus-kasus HAM, Pemerintah Jerman menyoroti pembatasan jurnalis di Papua. Ditanyakan “langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk memperbaiki situasi kerja bagi para jurnalis yang bekerja pada persoalan-persoalan terkait HAM dan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk menghapus larangan untuk memberitakan persoalan-persoalan West Papua, termasuk pernyataan untuk membuka akses bagi jurnalis asing ke West Papua?”

    Hal senada ditanyakan pemerintah Mexico menyoroti masalah pembela HAM dan Jurnalis, dan mempertanyakan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk “untuk menghentikan intimidasi dan represi terhadap para pembela HAM, jurnalis, dan LSM di Papua Barat?”

    Sementara itu, Pemerintah Belanda yang menyambut baik perhatian dan seringnya kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua, mempertanyakan “apa saja yang sudah menjadi hasil dari dari hal-hal itu di bidang hak asasi manusia?”

    Selain pertanyaan-pertanyaan tentang konkret pelaksanaan, sejumlah Negara juga menyampaikan rekomendasi krusial yang mengimplikasikan bahwa sebenarnya mereka tidak percaya pada litani kesuksesan yang disampaikan Pemerintah Indoensia.

    Pemerintah Amerika Serikat, Australia, Austria, dan New Zeland secara khusus menyoroti kasus-kasus penangkapan aktivis dalam aksi damai serta pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delegasi Amerika Serikat menyebutkan, “Kami juga sangat prihatin dengan pembatasan kebebasan untuk berbicara dan berkumpul secara damai termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat di mana telah terjadi penangkapan besar-besaran terhadap demonstrasi/aksi-aksi yang dilakukan secara damai, juga pembatasan terhadap simbol-simbol lokal.” Sementara delegasi Australia, “merekomendasikan agar Indonesia mengintensifkan seluruh usaha untuk menghormati dan menegakkan kebebasan berekspresi dan beragama serta berkepercayaan dan mencegah diskriminasi berdasarkan apa pun termasuk orientasi seksual dan identitas gender.

    Bahkan sejumlah Negara menghendaki investigasi lebih lanjut tentang kondisi konkrit situasi HAM di Papua, dengan merekomendasikan dikirimnya Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) ke Papua. Pemerintah Jerman dan Belgia meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berkespresi dan Berkumpul. Sementara Mexico meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus bidang Hak Masyarakat Asli ke Papua.

    Menariknya, negara-negara itu sebenarnya merupakan sekutu dekat Indonesia yang selain memiliki hubungan ekonomi yang kuat, juga biasanya bersikap lunak. Kenyataan bahwa mereka secara eksplisit menyebut persoalan Papua dalam UPR menunjukkan meningkatnya keprihatinan pada tidak kunjung membaiknya situasi di Papua. Selain itu, melalui pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan mereka, serta melalui jawaban-jawaban Indonesia yang cenderung menyembunyikan realitas, persoalan-persoalan di Papua semakin diketahui negara-negara anggota PBB di Dewan HAM. Semakin sulit bagi Indonesia untuk menganggap masalah di Papua hanya sebagai masalah dalam negeri saja.

     

    Tujuh Negara Pasifik Absen

    Sementara itu Negara-negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia tentang Papua, justru memilih untuk tidak hadir saat UPR Indonesia di Dewan HAM. Dalam dunia diplomatik, tidak hadir, apalagi tidak hadir secara kolektif, adalah sebuah statement diplomatik yang keras dan penuh makna. Tujuh negara ini dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Papua; dan menghendaki dikirimnya tim pencari fakta (fact-finding-mission) internasional ke Papua. Selain itu, mereka menegaskan perlunya mengangkat hak atas penentuan nasib sendiri (the right for self-determination) sebagai solusi jangka panjang bagi Papua.

    Dalam konteks itu, ketidakhadiran mereka dalam forum UPR setidaknya memiliki dua makna. Pertama, bahwa mereka tidak percaya kepada laporan Indonesia yang cenderung menyampaikan laporan lip-service demi menutup kenyataan. Kedua, mereka hendak mendorong solusi Self-determinasi seperti yang dikehendaki oleh rakyat Papua sendiri.

    Menariknya, sembari absen dalam forum UPR di Komisi Tinggi HAM PBB di Geneva, negara-negara Pasifik ini melakukan langkah diplomatik khusus tentang Papua dalam pertemuan Dewan Menteri Perhimpunan Negara-negara Afrika, Caribean, dan Pacific (ACP) di Brussels pada hari yang sama (3 Mei 2017). Tujuh negara Pasifik ini menyampaikan peryataan yang keras mengutuk berbagai pelanggaran HAM oleh Indonesia di Papua. Mereka menyoroti berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami orang asli Melanesia/Papua: penangkapan peserta aksi damai, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan tanpa proses hukum, dll. Disebutkan bahwa melalui program pemindahan penduduk, “lebih dari dua juta orang Indonesia telah menduduki Papua”, dengan “jumlah yang sudah melampaui orang asli”. Mereka juga menyoroti ketimpangan ekonomi, di mana penduduk Indonesia “menguasai ekonomi di kota besar dan kecil, dan di pesisir, serta di area tambang dan perkebunan”. Mereka juga mengungkap penguasaan dan pendudukan yang didukung oleh Negara dalam apa yang disebut ‘penguasaan kolonial yang serupa aparteid’ yang akan lambat laun ‘menghilangkan orang Papua sebagai bangsa’, sambil ‘bangsa-bangsa lain berdiri menyaksikan begitu saja”.

    Selain menyoroti persoalan pendudukan Indonesia di Papua, yang secara tegas disebut sebagai kelanjutan kolonialisme, negara-negara Pasifik itu juga menyoroti perjuangan orang Papua dalam melanjutkan perjuangan dekolonisasi yang belum tuntas. Untuk itu mereka mengajak Negara-negara anggota ACP untuk mendorong resolusi jangka panjang dengan mendukung hak self-determinasi politik bagi West Papua.

    Disampaikan dalam forum bangsa-bangsa ACP, pernyataan seperti itu memiliki resonansi yang kuat. ACP adalah persatuan bangsa-bangsa yang seluruh anggotanya adalah bekas negeri-negeri jajahan, yang mencapai kemerdekaan mereka pada waktu atau bahkan setelah proses dekolonisasi Papua gagal pada era 1960an. Dengan demikian Negara-negara Pasifik ini mengkonsolidasi politik dekolonisasi, sebuah jalan yang membawa mereka menuju bangsa merdeka, dalam diplomasi internasional terkait Papua.

    Tampaknya, dinamika yang didorong oleh Negara Pasifik ini, yang sekarang sudah sedang meluas ke Asia, Carriben dan Pasifik (ACP), dapat membawa dinamika baru pada persoalan Papua di kancah internasional pada waktu mendatang. Selain jalur penegakan HAM yang seperti berlangsung selama ini, agenda self-determinasi dan dekolonisasi dapat menjadi dinamika baru di forum-forum antar-bangsa.

     

    Jokowi meninjau pembangunan infrastruktur jalan Trans Papua

     

    Pembangunan Gaya Kolonial

    Sambil berjanji (lagi) untuk mengusut secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan menyangkal bahwa sekarang masih ada pelanggaran HAM yang baru (termasuk pelarangan kebebasan berekspresi, diskriminasi rasial, kekerasan terhadap pembela HAM, praktik penyiksaan), percepatan Pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, menjadi semacam pembelaan utama Indonesia di Papua di forum UPR.

    Cerita pembangunan ini diulang-ulang dalam forum-forum PBB setiap kali persoalan Papua dibicarakan. Ini menjadi semacam inti kebijakan nasional Indonesia atas masalah Papua.

    Presiden Jokowi sendiri di Jayapura pada Mei 2015 menegaskan bahwa “politik kita di Papua adalah politik pembangunan, politik kesejahteraan”. Ketika ditanya tentang persoalan di masa lalu, termasuk persoalan pelanggaran HAM, pencaplokan sumber daya, dan konflik sejarah, Presiden menegaskan “Tutup! Tutup! Kita mesti melihat ke depan”.

    Sebagai bagian dari politik pembangunan itu, Presiden melancarkan pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan raya trans-Papua, pelabuhan laut, sungai, dan udara, dan bahkan jalur kereta api. Pada saat yang sama membentuk kawasan-kawasan industri baru berbasis pertambangan, perkebunan, dan logging. Saat ini setidaknya ada 240 ijin tambang, 79 ijin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit di Tanah Papua. Selain korporasi swasta, Pemerintahan Joko Widodo juga mendorong BUMN untuk berinvestasi. Hasilnya adalah kombinasi antara kapitalisme korporasi dan kapitalisme negara untuk eksplorasi dan eksploitasi industrial skala besar di seluruh Papua, mulai dari pesisir sampai ke belantara dan pegunungan. Untuk mendukung semua itu, pemerintah juga menguatkan infrastruktur keamanan, seperti pangkalan militer di Biak, Markas Brimob di Wamena, serta pos-pos militer dan polisi baru di sepanjang jalan trans-Papua yang sedang dibangun.

    Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ‘politik pembangunan’ dengan berfokus pada infrastruktur, industrialisasi, dan keamanan seperti ini merupakan solusi atau justru akan memperparah persoalan hak asasi manusia dan keadilan sosial di Papua? Bukankah pembangunan semacam itu yang menghancurkan Papua selama Orde Baru, yang membuat orang Papua justru merasa dijajah? Dan apakah pembangunan seperti itu yang dikehendaki oleh rakyat Papua?

    Oleh karena fokus pada proyek infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam seperti itu, di Papua Jokowi diberi gelar “Joko Daendels”. Pemimpin gereja-gereja yang sebagian besar anggotanya masyarakat asli (Kingmi, Gidi, Baptis) pada April tahun lalu mengungkap kesamaan agenda Jokowi dengan Gubernur Jenderal Kolonial Belanda Herman Willem Daendels yang membangun jalan trans-Jawa Anyer Panurukan untuk kepentingan kolonial Belanda di awal abad ke-19. Secara terus-terang mereka mengkritik bahwa Presiden Jokowi –yang enggan berdialog dengan para pemimpin politik dan rakyat Papua terkait seluruh kompleksitas masalah di Papua— sudah sedang memaksakan pembangunan infrastruktur demi eksploitasi sumber daya alam dan penaklukan masyarakat Papua.

    Di Geneva, sesaat setelah UPR Indonesia tentang Papua, koalisi NGO yang peduli Papua mengeluarkan pernyataan yang mengkritik keras pendekatan ekonomi Indonesia di Papua. Koalisi itu menulis, “Dari jawaban Pemerintah, terlihat bahwa West Papua dilihat dalam konteks pembangunan ekonomi, tapi tidak secara substansial menyelesaikan masalah Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.” Mereka juga menambahkan bahwa

    “Pemerintah juga tidak trasparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden menyatakan bahwa West Papua terbuka untuk wartawan asing, dan Pemerintah tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai atau argumentasi dari Pemerintah untuk kasus Wasior, Wamena dan Paniai hanya merupakan pencitraan saja di forum UPR sesi ini, serta Pemerintah tidak menjelaskan tentang masih ada orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.”

    Filep Karma, tokoh gerakan damai yang hadir memantau UPR di Geneva meyebut laporan Indonesia penuh kebohongan. Terkait pembangunan versi Jakarta, Filep menyampaikan metafor menarik. Rakyat Papua sebenarnya ingin meminum kopi. Tetapi Indonesia memaksakan orang Papua untuk minum coca-cola, dengan alasan bahwa dalam coca-cola sudah terkandung kopi. Analogi ini kiranya tepat mengungkapkan perbedaan pandangan antara Indonesia dan Papua, baik terkait dengan masalah politik penentuan nasib sendiri maupun terkait dengan masalah pembangunan.

    Barangkali masalah kopi dan coca-cola inilah yang hendak disembunyikan Indonesia ketika membatasi akses jurnalis asing ke Papua, menangkap para aktivis, dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan media lokal di Papua. Namun, kendati dibungkam dengan berbagai cara, suara orang Papua sudah mulai didengar di Indonesia, Pasifik, dan di seluruh dunia.

    Di forum-forum internasional seperti di PBB, sekarang dan di waktu mendatang, cerita Pemerintah Indonesia bukan lagi kebenaran tunggal.***

     

    Penulis peneliti pada Insitut Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss

  • Suara HAM Papua di Jenewa, Haluk: Delegasi Indonesia Berbohong!

    Markus Haluk, Tim Kerja ULMWP dalam negeri. (Tabloidjubi.com)
    Markus Haluk, Tim Kerja ULMWP dalam negeri. (Tabloidjubi.com)

    JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Dalam sesi ke-27 Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review/UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 3 Mei 2017, delegasi Indonesia menyampaikan laporan perkembangan situasi HAM Papua dan tanah air umumnya.

    Markus Haluk, salah satu tokoh Papua menilai laporan review HAM Indonesia sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, dan delegasi RI dalam sidang UPR di Jenewa, hal biasa yang tidak cukup berpengaruh dalam tataran diplomasi luar negeri.

    “Bagi bangsa Papua sudah biasa dengan penyangkalan seperti itu. Sebab dimana-mana pelaku kejahatan pada suatu bangsa tertentu tidak pernah akan mengakui perbuatannya,” ujar Haluk.

    Pemajuan di bidang HAM dan demokrasi yang dimaksudkan delegasi Indonesia, menurut dia, tidak sesuai fakta.

    “Demokrasi dan HAM hanya berlaku dari Sabang sampai Amboina dan tidak untuk bangsa Papua. Sebab fakta bahwa hingga saat ini khusus di rezim Jokowi-JK di West Papua masih terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Juga pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan media asing, diplomat, akademisi internasional mengunjungi Papua,” tuturnya.

    Selain itu, sebut Haluk, dalam kepemimpinan Jokowi-JK, lebih dari 6.000 orang Papua ditangkap dan ditahan dan ada diproses hukum. Ratusan warga sipil ditembak dan banyak yang meninggal dunia. Sedangkan, pembangunan yang dijalankan tidak pro-rakyat Papua karena justru terjadi proses marginalisasi.

    “Jadi, apa yang disampaikan oleh delegasi RI dalam UPR di Jenewa merupakan pembohongan publik,” tegasnya.

    Delegasi RI dipimpin Retno L.P. Marsudi, bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, dan beberapa anggota lainnya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara Indonesia hadir di Jenewa. Hal menarik kali ini karena kemungkinan setelah belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika diplomat muda Nara Masista Rakhmatia tampil di Sidang Umum PBB pada September 2016 di New York, seperti mempermalukan Indonesia di hadapan para diplomat selevel pimpinan negara maupun menteri dari negara-negara Pasifik.

    Sesi laporan review HAM Indonesia cukup panjang, delegasi Indonesia memaparkan kondisi riil, juga menjawab sejumlah respon dari negara-negara lain.

    Bagi Papua, kata Haluk, laporan UPR Indonesia berbeda dari fakta. Ini dianggapnya sebagai bagian dari diplomasi yang kurang elegan. “Rakyat bangsa Papua menolak dan mengutuk segala kejahatan dan pembohongan pemerintah RI dalam UPR dan menuntut pemerintah segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi kedaulatan politik bangsa dan negara Papua,” tegas Haluk.

    Dari Jenewa, Wensislaus Fatubun, Human Right Defender, mengabarkan bahwa telah mengamati langsung bahkan mendengar presentasi dan jawaban Pemerintah Indonesia terhadap persoalan HAM di West Papua (Nederland Nieuw Guinea) pada sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB, Rabu (3/5/2017).

    “Kami mendengar langsung sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB bahwa Pemerintah menyampaikan soal Otonomi Khusus dan pendekatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan infrastruktur sebagai upaya yang selama ini dilakukan, adanya akses jurnalis di West Papua serta upaya penyelesaian kasus Wamena, Wasior dan Paniai,” kata Wensi.

    Dari jawaban tersebut, menurutnya, Pemerintah tampaknya masih melihat West Papua dalam pendekatan pembangunan ekonomi saja dan tidak secara substansial menyelesaikan masalah West Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.

    Lanjut Wensi, Pemerintah Indonesia juga tidak transparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Papua terbuka untuk wartawan asing.

    Selain itu, dari pemaparan delegasi Indonesia tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. “Argumentasinya terhadap tiga kasus tersebut hanyalah pencitraan atau diplomatic image saja di forum Internasional UPR sesi ini,” lanjutnya.

    Bahkan tidak menjelaskan tentang masih ada enam orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.

    “Kami berpendapat bahwa penjelasan Pemerintah Indonesia tentang West Papua dalam sesi UPR ini terlihat masih sama dengan argumentasi Pemerintah Indonesia UPR yang lalu. Argumentasi Indonesia terhadap persoalan West Papua masih diskriminatif dan rasis terhadap orang asli Papua, dan sangat tidak menjelaskan tentang bagaimana keterlibatan orang asli Papua dalam upaya-upaya perlindungan dan penegakkan HAM di West Papua,” ungkapnya.

    “Kami menilai bahwa terhadap West Papua, Pemerintah Indonesia masih menerapkan pendekatan sebagai negara kolonial. Sehingga, kami tidak memiliki harapan pada komitment Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua,” bebernya dalam press statement menanggapi Sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB.

    Sembari menyambut baik 105 negara anggota PBB, khususnya 9 negara anggota PBB, yang memberikan pertanyaan, rekomendasi dan catatan terhadap persoalan HAM di West Papua, di bagian akhir, Wensi dan Filep Karma menulis, berdasarkan pada prinsip HAM sebagai tanggungjawab bersama, maka kami menyampaikan kepada komunitas internasional untuk terlibat aktif bersama-sama dengan orang asli Papua dan mendesak Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua.

     

    REDAKSI

  • PIANGO: “Indonesia tak bisa lagi pura-pura polos di Panggung PBB”

    Nabire, Jubi – Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik menuding respon Indonesia terhadap pidato Vanuatu di Sidang Dewan HAM PBB (UNHRC) ke-34 sebagai upaya pengalihan perhatian komunitas internasional terhadap pelanggaran HAM yang terus terjadi di West Papua.

    Emele Duituturaga, direktur eksekutif PIANGO sampai pada kesimpulan itu  setelah Indonesia menuding Vanuatu “memolitisasi isu West Papua untuk tujuan politik domestiknya” dalam respon hak jawabnya di UNHRC di Jenewa (1/3).

    “Reaksi Indonesia ini sangat kekanak-kanakan, dan sebetulnya hanya menelanjangi ketiadaan kemanuannya untuk menghormati dan menegakkan nilai-nilai yang menjadi milik komunitas internasional bangsa-bangsa , yaitu PBB,” ujar Duituturaga seperti dikutip Pacific Islands News Association, Minggu (5/3/2017).

    Respon Indonesia, menurut dia adalah ciri khas politik ‘pecah belah dan menangkan’ dengan menjatuhkan Vanuatu namun kemudian menawarkan bantuan untuk isu-isu dugaan pelanggaran HAM-nya, “Itu sebetulnya (kepanikan) untuk merespon permintaan Koalisi Pasifik memperlakukan anggota keluarga Pasifik, yakni West Papua, dengan hormat dan bermartabat,” kata dia.

    Menurut Duituturaga, Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PICWP) tidak akan meminta PBB mengirimkan Pelapor Khususnya ke West Papua jika mereka tidak memegang banyak bukti atas apa yang dialami rakyat West Papua.

    Berdasarkan laporan HAM terkait West Papua, jumlah korban dan kasus-kasus pembunuhan diluar peradilan dan penyiksaan tidak berkurang signifikan dari 2012 sampai 2016.

     “Penahanan politis meningkat tiga tahun terakhir, dan semua korban penyiksaan dan pembunuhan dari data mitra kami adalah orang asli Papua. Sementara orang asli Papua hanya sekitar 40% dari penduduk Papua namun mereka lah 100% dari korban. Ini jelas wujud elemen kekerasan rasial oleh praktik aparat keamanan.”

    Sejak tahun 2007 Indonesia juga tidak mengijinkan prosedur khusus apapun mengunjungi West Papua, dan wilayah itu, lajut Duitutraga sebagian besar tetap tertutup bagi para pengamat HAM internasional. “Jurnalis asing pun tidak bisa dengan bebas melakukan liputan karena ditemani intel, sehingga sulit membuat laporan independen,” tudingnya.

    “Ketika bukti-bukti sudah sangat banyak tunjukkan ribuan orang West Papua yang merupakan penduduk Kepulauan Pasifik kehilangan nyawanya, dan mereka berjuang memberikan pandangan alternatif untuk mengelola sumber daya mereka sendiri hingga memotivasi negeri Pasifik membangun koalisi, maka sekarang Indonesia harus menyadari tak bisa lagi pura-pura polos di panggung PBB,”

    ungkap Duituturaga.

    Sementara itu, terpisah pada Jum’at lalu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir, seperti dilansir CNN Indonesia mengklaim bahwa PBB tidak akan menyelidiki isu pelanggaran HAM tersebut, karena menurut dia pernyataan Vanuatu hanya sebatas kekhawatiran politis dan bukan berdasarkan penyelidikan.

    “Kalau [pelanggaran HAM] itu ada, pasti akan menjadi sorotan dari publik dan mekanisme yang berlaku di Indonesia,” kata Arrmanatha di Gedung Kemlu RI.

    Menurut Nasir, pernyataan Vanuatu itu bukan pernyataan berdasar investigasi, melainkan hanya bersifat politis sehingga tidak bisa langsung ditindaklanjuti.(*)

    Reporter :Zely Ariane
    zely.ariane@tabloidjubi.com
  • Wakil Dubes AS Terima Laporan Pelanggaran HAM di Papua

    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (ketiga dari kanan) bertemu dengan tim Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari di bawah pimpinan Direktur Eksekutif, Yan Christian Warinussy (kedua dari kanan) di Hotel Aston-Niu-Sowi Gunung-Manokwari, Kamis (17/11). Pada kesempatan itu, Wakil Dubes AS menerima laporan pelanggaran HAM di Papua dari tim LP3BH. (Foto: dok satuharapan/Yan Christian Warinussy)
    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (ketiga dari kanan) bertemu dengan tim Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari di bawah pimpinan Direktur Eksekutif, Yan Christian Warinussy (kedua dari kanan) di Hotel Aston-Niu-Sowi Gunung-Manokwari, Kamis (17/11). Pada kesempatan itu, Wakil Dubes AS menerima laporan pelanggaran HAM di Papua dari tim LP3BH. (Foto: dok satuharapan/Yan Christian Warinussy)

    MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM – Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters, dan tim menerima laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, dalam sebuah pertemuan di Hotel Aston-Niu-Sowi Gunung-Manokwari, Kamis (17/11).

    Wakil Dubes menerima laporan pelanggaran HAM secara lisan dalam pertemuan itu dari  tim Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari di bawah pimpinan Direktur Eksekutif, Yan Christian Warinussy.

    Dalam Pertemuan tersebut, Yan Christian  didampingi Kepala Divisi Pelayanan Hukum LP3BH, Simon Banundi dan Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH, Theresje Julianty Gasperz.

    Turut hadir Ketua Badan Pengurus LP3BH, Dr.Ir.Agus Sumule yang juga sebagai akademisi di Universitas Papua serta Sekretaris Badan Pengurus LP3BH, Ir.Thera Sawor.

    Menurut Yan Christian kepada satuharapan.com, dalam pertemuan selama lebih kurang dua jam, Tim LP3BH menjelaskan kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa Sanggeng, Manokwari, tanggal 26 dan 27 Oktober 2016 lalu.

    “Kami menjelaskan bahwa atas kasus tersebut sudah dilakukan investigasi awal oleh TIM LP3BH,” kata Yan.

    Menurut dia, semua data beserta sejumlah barang bukti dan keterangan saksi-saksi sudah diserahkan kepada Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Provinsi Papua. Juga sudah diserahkan kepada Tim dari Komnas HAM di bawah pimpinan komisioner Natalius Pigay seminggu lalu di Manokwari..

    Dalam pertemuan itu, lanjut Yan Christian, MacFeeters menanyakan  perkembangan penghormatan kepada HAM di Papua dan Papua Barat.

    MacFeeters ingin mengetahui apakah sudah semakin baik, karena Presiden Joko Widodo sudah memberi perhatian besar ke Tanah Papua sejak dia dilantik sebagai Kepala Negara.

    “Kami menjelaskan bahwa situasi HAM di Tanah Papua senantiasa buruk, dan indikatornya adalah bahwa berbagai kasus pelanggaran HAM dan kekerasan negara melalui tindakan aparat keamanan dari POLRI maupun TNI senantiasa meningkat,” kata Yan Christian.

    Lebih jauh, Yan Christian mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi rakyat Papua masih terus dibungkam dengan mengedepankan kekerasan, menghambat rencana aksi damai masyarakat asli Papua dengan prosedur aturan perundangan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Juga ada penempatan label makar dan separatis untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebut di Tanah Papua, menurut Yan Christian.

    Tim LP3BH juga menjelaskan bahwa berbagai kasus pelanggaran HAM masih berlanjut dan jarang ada penyelesaian secara hukum.

    “Padahal Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi dasar hukumnya,” kata Yan Christian.

    Pada kesempatan yang sama, Advokat Simon Banundi yang hadir pada pertemuan, menjelaskan bahwa pemerintah Presiden Joko Widodo menyatakan membuka akses bagi jurnalis asing untuk masuk ke Tanah Papua. Tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi.

    Presiden juga berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Dalam kenyataannya, kata dia, belum ada bukti bahwa pemerintah serius dan mau melakukan hal tersebut.

    Sementara itu Advokat Theresje Julianty Gasperz lebih menyoroti tingginya angka pelanggaran hak asasi perempuan dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance) serta kekerasan terhadap anak  dalam 10 tahun terakhir.

    Hal ini menjadi keprihatinan masyarakat Papua dan LP3BH mendorong perlunya dilakukan pendidikan dan penyadaran hukum bagi semua pihak di Provinsi Papua dan Papua Barat mengenai perlindungan hak-hak perempuan dan anak sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan yang berlaku.

    Kepada Wakil Dubes, Yan Christian mengatakan  belum melihat adanya keseriusan pemerintah di bawah kepempimpinan Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua.

    Oleh sebab itu, LP3BH mendorong Presiden Jokowi untuk memberikan dukungan penuh bagi upaya investigasi/penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM Berat dalam Kasus Paniai 8 Desember 2014 yang tengah dilakukan oleh Komnas HAM saat ini.

    Di sisi lain, Yan Christian memberikan apresiasi kepada rakyat dan bangsa Amerika Serikat yang telah berhasil menjalankan pesta demokrasinya dengan baik dan dapat memilih Donald Trump sebagai Presiden Baru Amerika Serikat.

    “LP3BH menyampaikan pesan agar pemerintahan Presiden Trump kelak dapat tetap menjalankan komitmen politiknya dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya dal;am konteks Tanah Papua,” kata dia.

    Dalam pertemuan tersebut Wakil Dubes AS didampingi Siriana Nair (Wakil Kepala Bidang Politik Domestik Kedubes AS) dan Wakil Direktur Kantor Hak Demokrasi dan Ketatapemerintahan yang baik USAID, Kevin P.McGrath dan staf.

  • ULMWP : Jawaban defensif Indonesia itu sudah biasa

    Benny Wenda saat memberikan noken Bintang Kejora kepada perwakilan pemerintah Marshall Islands saat pembentukan Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Honiara, Juli 2016 - Jubi/Victor Mambor
    Benny Wenda saat memberikan noken Bintang Kejora kepada perwakilan pemerintah Marshall Islands saat pembentukan Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Honiara, Juli 2016 – Jubi/Victor Mambor

    Jayapura, Jubi – Juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda mengatakan jawaban Indonesia atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua, yang disampaikan oleh beberapa negara Pasifik dalam sidang majelis umum PBB sebagai jawaban khas Indonesia.

    “Jawaban defensif Indonesia itu sudah biasa. Itu khas Jakarta, setiap dukungan internasional pada hak-hak orang Papua dimunculkan di forum internasional,” kata Wenda kepada Jubi, Sabtu (1/10/2016).

    Lanjutnya, di London pun, kalau ada pertemuan tentang Papua yang diselenggarakan di parlemen atau di bagian lain dunia ini, Jakarta selalu memberikan respon yang khas defensif itu.

    “Tapi bagi kami sekarang, waktunya telah datang bagi pemerintah Indonesia untuk membuka akses ke Papua Barat,” katanya.

    Indonesia dalam sidang majelis umum PBB beberapa hari lalu merespon tudingan negara-negara Pasifik dengan mengatakan tudingan tersebut bermotif politik, tidak mengerti persoalan Papua dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Kepulauan Solomon, Nauru, Vanuatu, Tuvalu, Tonga dan Kepulauan Marshall menggunakan Sidang Majelis Umum PBB untuk mengalihkan perhatian dunia terhadap masalah sosial dan politik di dalam negerinya.

    Indonesia mengatakan pernyataan enam kepala negara itu didesain untuk mendukung kelompok separatis yang selalu berusaha menciptakan rasa tidak aman dan menyebarkan terror di Papua. Pernyataan ini sangat disesalkan dan berbahaya serta dilakukan oleh negara-negara yang menyalahgunakan posisi PBB, termasuk Sidang Umum Tahunan.

    Namun Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Natalius Pigai, terkait persoalan dugaan pelanggaran HAM di Papua mengatakan Presiden Indonesia, Jokowi hanya memberi janji untuk menyelesaikan kasus HAM di Papua tanpa ada kelanjutannya.

    ”Presiden tidak punya grand design dan time frame penyelesaian kasus HAM di Papua, sehingga tidak ada proses yang berjalan,” kata dia.

    Ia pun mengingatkan Indonesia agar tidak meremehkan negara-negara Pasifik yang mengangkat isu HAM Papua di tingkat internasional. (*)

  • Franz Magnis: Peristiwa Pelanggaran HAM 1965-1966 Genosida

    Penulis: Dewasasri M Wardani 09:56 WIB | Sabtu, 23 Juli 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965—1966, dapat digolongkan sebagai genosida.

    Sebab, kata dia, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisasi.

    “Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir,” kata pria yang akrab disapa Romo Magnis itu di Jakarta, Jumat (22/7).

    Menurut pria yang lahir di Polandia itu, kejadian pada tahun 1965–1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa, merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.

    Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali, dan wilayah lain di Indonesia.

    “Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu,” kata Romo Magnis.

    Tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya, selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

    Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT), untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

    Genosida, disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966, terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI), beserta keluarga mereka.

    Sidang IPT 1965, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang, melanggar UU KUHP Pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

    Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

    Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi. (Ant)

    Editor : Sotyati

  • PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

    Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Selandia Baru, Jhon Key di Istana Negara, Senin 18 Juli (Foto: setkab.go.id)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

    Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

    Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

    Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

    Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

    Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

    “Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

    “Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

    Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

    “Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

    Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

    Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

    Hukuman Mati

    Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

    Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

    Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

    Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

    “Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

    Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

    “Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

    Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Untuk Masuk Menjadi Anggota Penuh di MSG

    JAYAPURA –Jubi –  Dosen Hubungan Internasional FISIP Uncen Jayapura Marinus Yaung menyatakan, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) mempunyai peluang besar, untuk diterima menjadi anggota tetap (full member) Melanesian Spreadhead Group (MSG).

    Demikian ditegaskan Marinus kepada Bintang Papua di Jayapura, Kamis (14/7).

    Hal itu, kata Marinus, karena MSG mengundang secara resmi ULMWP untuk hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MSG pada tanggal 14-16 Juli 2016 di Honiara, ibukota Kepulauan Salomon.

    “Itu kan sebuah bentuk pengakuan resmi kepada ULMWP, untuk didengar proposal ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG,” katanya.

    Selain itu, juga terkait adanya sejumlah kasus yang terjadi di Papua, antara lain kasus pelanggaran HAM yang luar biasa dan ruang demokrasi masih ditutup rapat oleh militer Indonesia.

    Berikutnya yang menjadi peluang tersebut, Tim Pencari Fakta dari Pasific Independen Forum (PIF) masuk ke Papua untuk mencari data-data pelanggaran HAM. Tapi hingga kini pemerintah Indonesia belum mengizinkan.

    Juga adanya kesadaran spirit Melanesian Brotherhood atau semangat Persaudaraan Melanesia.

    Ini merupakan cikal-bakal berdirinya MSG pada tahun 1929 di Honiara, Salomon Island. Melanesian Brotherhood didirikan tiga negara, yakni Vanuatu, Papua New Guinea (PNG).

    MSG Perdana Menteri Salomon Island Manaseh Sogavaereh sempat mengundang Presiden RI Joko Widodo, untuk membahas masalah Papua, juga menjadi satu dasar pertimbangannya, karena pemerintah Indonesia mengabaikan undangan tersebut.

    Dikatakan, MSG didukung negara-negara kuat seperti USA, Inggeris, Australia. Kini China mulai masuk dengan menawarkan investasi di bidang ekonomi dan perdagangan yang cukup besar, terutama di PNG, Fiji, Salomon Island dan Vanuatu. Negara-negara ini sebenarnya paling menentukan keanggotaan MSG.

    Menurutnya, USA dan Inggris merasa penting mendukung ULMWP ke MSG, supaya kedua negara ini bisa menjaga kepentingan Freeport di Mimika dan Inggeris di British Petroleum di Teluk Bintuni.

    Dia menjelaskan, ULMWP bisa menjadi observer dan kini diberi ruang yang besar di MSG untuk mengajukan proposal ulang sekaligus meningkatkan status ULMWP, karena ada dukungan Inggeris dibelakang, karena penasehat utama MSG adalah Inggeris. Bahkan negara-negara MSG adalah bagian dari negara-negara persemakmuran dibawah pemerintahan Ratu Inggeris.

    “Jadi saya punya keyakinan penuh USA dan Inggeris berada dibalik pengajuan ULMWP sebagai anggota penuh MSG,” katanya.

    Dikatakan, hal ini bukan berarti pemerintah Indonesia kalah diplomasi. Walaupun pemerintah Indonesia sudah kalah diplomasi di Pasific.

    “Kita sudah kalah jauh isu -isu Papua di MSG semakin kuat dan semakin mendapat dukungan dari rakyat Melanesia di negara-negara Pasific Selatan, agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG,” lanjutnya.

    Namun demikian, kata dia, Indonesia bisa melakukan untuk menghentikan ULMWP menjadi anggota MSG adalah mengirim delegasi yang betul-betul bisa melakukan lobby dan diplomasi dalam KTT MSG.

    “Pilihlah delegasi yang berakar dan punya massa kuat di Papua itu baru bisa mempengaruhi keputusan negara-negara MSG,” tukasnya.

    Disamping diplomasi di luar negeri, tambahnya, pemerintah Indonesia perlu serius menutaskan dan menyelesaikan seluruh kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM.

    Dia menuturkan, jika pemerintah tak serius menangani dan menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua, maka peluang ULMWP menjadi anggota tetap MSG makin kuat dan bola liar akan menuju kepada keputusan-keputusan politik yang jauh lebih besar dan bisa jadi menuju ke referendum, jika isu pelanggaran HAM Papua terus-menerus dibiarkan dan tak diselesaikan dengan tuntas.

    Dijelaskan, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut B. Pandjaitan telah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran di Papua dan Papua Barat mari seriusi itu kerja dengan serius minimal tiga kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat dibawa ke Pengadilan HAM tak boleh diluar Pengadilan HAM jangan sampai kasus Wasior, Wamena dan Paniai diselesaikan diluar Pengadilan itu justru akan membuat Papua terus membara.

    “Dan isu Papua merdeka akan semakin menyala dan berkobar-kobar,” terangnya. (mdc/aj)

  • Petugas Advokasi FI, ke-19 Sidang Dewan HAM PBB, Tentang Pelangaran HAM di West Papua

    Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 Juni 2016 | Selasa, Juni 28, 2016

    Fransiskan International, Jaringan Berbasis Kepercayaan pada Papua Barat dan TAPOL ingin menarik perhatian pada penyiksaan dan eksekusi di luar hukum masih berlangsung di Papua.

    Organisasi kami sangat prihatin bahwa, meskipun fakta bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan pada tahun 1998 dan karena itu secara hukum terikat untuk melarang penyiksaan dan semua bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan terus berlanjut.

    Ketentuan belum dibuat dalam hukum pidana militer dan sipil untuk mengkriminalisasi penyiksaan sehingga pasukan keamanan Indonesia masih melakukan praktek ini dengan impunitas. Militer secara teratur melakukan operasi sweeping anti-separatis untuk flush Gerakan Papua (OPM) pendukung dugaan. Ini sering melibatkan pembakaran desa-desa, membunuh ternak, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan. Orang-orang yang paling menderita dari aksi militer ini adalah warga sipil yang tidak bersalah.

    Kami ingin menarik perhatian Anda untuk operasi militer yang berlangsung pada awal Desember 2011 di wilayah Paniai Papua Barat. Sebuah operasi sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh unit militer, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang didanai Densus 88, dan Polisi Brigade Mobil (Brimob), melaju ratusan (mungkin ribuan) penduduk desa dari rumah mereka karena mereka melarikan diri dari gelombang brutal udara dan serangan darat. Setidaknya 15 ditembak mati dan sekitar lima ratus penduduk desa Dagouto di Kabupaten Paniai meninggalkan rumah dalam ketakutan untuk mencari perlindungan di Enarotali berikut penyebaran seratus lima puluh petugas Brimob ke daerah mereka.

    Mengingat bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan empat belas tahun yang lalu, Pasal 4 yang mensyaratkan bahwa “setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut hukum pidananya,”

    Fransiskan International, mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

    • Perilaku yang cepat dan efektif penyelidikan ke dalam semua kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua, di tuduhan khususnya penyiksaan dan eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh anggota militer; mengidentifikasi dan mengadili para pelakunya; dan memberikan solusi yang memadai untuk para korban.
    • Menjinakkan Konvensi Menentang Penyiksaan ke dalam hukum nasional segera sehingga untuk mengkriminalisasi penyiksaan sesuai dengan standar internasional dan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi.
    • Mengubah Hukum Militer No.31, 1997, untuk memastikan bahwa personil militer yang melakukan kejahatan, termasuk penyiksaan, terhadap warga sipil yang diadili di pengadilan sipil.
    • Melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2014 secara penuh, dengan prioritas khusus ditempatkan pada meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membangun infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan komprehensif khususnya berkaitan dengan penunjukan setidaknya satu mekanisme pencegahan nasional.

    Coba klik, nonton video disini, https://www.youtube.com/watch?v=Fzeh5eTqFhQ

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?