Tag: kolonialisme

  • Indonesian Police Arrest Again 33 People of West Papua Solidarity Fundraising for the Vanuatu Natural Disaster

    Indonesian Police Arrest Again 33 People of West Papua Solidarity Fundraising for the Vanuatu Natural Disaster

    This afternoon, at 12.34 West Papua time, Indonesian police arrested a West Papua Solidarity fundraiser for Victims of the Vanuatu Natural Disaster which has been temporarily taking place in Jayapura since this morning, Friday (31/03/2023).

    Sector Police Chief (Kapolsek) Heram who led this arrest said: “West Papuans don’t need to do humanitarian assistance for natural disasters in Vanuatu, because Indonesia has no relationship with Melanesian countries, especially Vanuatu we have nothing to do. So there should be no fundraising for Vanuatu in Indonesia and all those who carry out humanitarian aid fundraising actions will still be arrested,” said the Kapolsek while leading the arrests.

    Kaitanus Ikinia (a staff member from the Ministry of Political Affairs of the ULMWP Provisional Government) and Ones Kobak, the coordinator of the Solidarity Action, along with 31 people, were arrested and transported in two transport trucks from the Indonesian police. They have been taken to the Police station in Jayapura city for questioning.

    The following is a list of names that have been arrested by the Police:
    1. Elinatan Basini
    2. Kaitanus Ikinia
    3. Ones Kobak
    4. Rizcky Nipsan
    5. Tason Wenda
    6. Thio Sobolim
    7. Afriel Wenda
    8. Ledy Kean
    9. Epan Pabu
    10. Eko Wenda
    11. Kitas Lebitale
    12. Abel Pabu
    13. Jenos Dipur
    14. Anius Balyo
    15. Koti Uropmabin
    16. Sem Kulka
    17. Esten Bamu
    18. Ibrahim Mok Kean
    19. Gusten Meku
    20. Eki Balingga
    21. Noseler Logo
    22. Viki Wenda
    23. Oni Towolom
    24. Weki Wenda
    25. Beto Wandom
    26. Helminus Mul
    27. Melki Siep
    28. Terendi Yoman
    29. Saundi Wenda
    30. Buyung Yigibalom
    31. Predi Toto
    32. Marki Kiman
    33. Eis Wenda

    This is the second arrest in a West Papua solidarity fundraising action for Vanuatu after previously 20 people were arrested on Wednesday (29/03), and a number of actions at several other points in Jayapura were forcibly disbanded by the Indonesian Police.

    Please advocacy and media monitoring!
    #Vanuatu 🇻🇺 #SaveVanuatu #WeStandWithVanuatu #VanuatuIsWestPapua #SolidarityForVanuatu #Melanesia #WeAreMelanesia #ClimateChange #ClimateJustice #Pacific

  • Melawan Hegemoni Kolonialis

    bung-hatta2

    Apa sebab Indonesia bisa dijajah cukup lama oleh kolonialisme Belanda? Banyak orang yang bilang, Indonesia kala itu kalah unggul di bidang teknologi, khususnya teknologi kemiliteran. Juga karena kolonalisme menguasai pengetahuan modern kala itu.

    Penjelasan itu ada benarnya, tetapi belum memadai. Belanda hanyalah negeri kecil di Eropa sana; luasnya hanya seperempat pulau Jawa. Sedangkan luas Indonesia hampir sebanding dengan tujuh Negara Eropa sekaligus bila disatukan: Britania Raya, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia.

    Tentang hal itu, Bung Hatta berusaha memberi penjelasan. Menurut salah satu Bapak Bangsa kita ini, kekuasaan kolonial bisa bertahan di Indonesia karena ditopang oleh faktor-faktor pengusaaan psikologis. Saya kira, penguasaan psikologis yang dimaksud Hatta ini mirip dengan konsep marxis Italia Antonio Gramsci tentang “hegemoni”.

    Ada empat jalan penguasaan psikologis itu dijalankan: satu, politik memecah-belah dan menguasai (devide et impera); dua, membiarkan massa menjadi dungu alias terbelenggu dalam ketidaktahuan; ketiga, injeksi psikologis berupa gagasan keunggulan bangsa kulit putih dan kedudukannya yang tak tergoyahkan (mental inferior); dan empat, politik asosiasi alias kolaborasi.

    Untuk meruntuhkan hegemoni itu, Bung Hatta menawarkan empat skema kontra-hegemoni. Pertama, kita harus melawan politik pecah-belah kolonial atau politik devide et impera. Senjata untuk melawannya adalah persatuan dan solidaritas. Kaum pergerakan anti-kolonial tidak boleh lelah mempromosikan dan menjahit persatuan.

    Perhimpunan Indonesia (PI), organisasinya Bung Hatta semasa masih mahasiswa di negeri Belanda, sangat getol mempropagandakan arti perting persatuan dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

    Banyak aktivis PI, ketika mereka sudah kembali ke tanah air, menjadi tenaga-tenaga penting dalam menjahit persatuan di kalangan tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan. Di Bandung, pada tahun 1926, berkat sokongan aktivis PI, berdiri front persatuan bernama “Komite Persatuan”. Front ini menghimpun 14 partai politik besar dan kecil.

    Di Indonesia berdiri pula organisasi yang disebut Indonesia Muda (IM). Organisasi ini sangat getol mempropagandakan persatuan, khususnya di kalangan pemuda. Bung Hatta banyak mengapresiasi organisasi ini.

    Lantas, bagaimana kita bisa bersatu sebagai sebuah nation, sementara realitasnya kita berasal dari beragam suku bangsa, bahasa, adat-istiadat dan aliran politik. Bung Hatta memberi jawab singkat: “sejarah telah memberikan banyak contoh bahwa ketunggalan bangsa tidak ditentukan oleh apakah ia seketurunan, seagama, satu kepercayaan, atau satu bahasa, melainkan karena ia percaya bahwa ia bisa bersatu atau punya kehendak bersatu.”

    Kedua, kaum pergerakan harus membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu ketidaktahuan dan kesadaran palsu. Untuk ini, senjatanya adalah pendidikan dan penyadaran.

    Ketidaktahuan adalah pintu masuk bagi kolonialis untuk memanipulasi kesadaran rakyat. Tidak jarang juga, ketidaktahuan itu menyebabkan seseorang tidak mengerti dirinya ditindas. Inilah yang melanggengkan kolonialisme hinga beratus-ratus tahun.

    Untuk itu, sekolah-sekolah rakyat harus didirikan. Selain untuk mendidik rakyat dengan ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah ini juga harus menyadarkan rakyat Indonesia akan realitas sosialnya dan perjuangan kemerdekaan. Harapannya, sekolah-sekolah itu akan melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan.

    Namun, kunci pengetahuan itu beraksara. Kalau rakyat masih buta aksara, mereka tentu sulit merebut ilmu pengetahuan. Karena itu, Bung Hatta menganjurkan gerakan pemberantasan buta-huruf, seperti yang diselenggarakan oleh pergerakan nasional Philipina. Ia mengusulkan pendirian “Sekolah-Sekolah Tinggi Rakyat”, yang akan menyelenggarakan pendidikan massa luas, dengan mengajarkan sejarah, politik, ekonomi dan lain-lain. Tentu saja, teori-teorinya harus membebaskan dan mencerdaskan.

    Bung Hatta juga menganjurkan perlunya pendidikan politik bagi rakyat. Dengan begitu, kata dia, rakyat akan memahami hak-hak politiknya. Pendidikan politik ini akan menjadi medium pembelajaran rakyat untuk memahami relasi kebijakan politik dan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

    Ketiga, kaum pergerakan harus memerangi penyakit rendah diri di hadapan bangsa lain atau inferiority complex. Senjatanya: kita harus membangun semangat “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari).

    Seringkali kolonialis kala itu menunjukkan bahwa pribumi tidak punya kemampuan memimpin, tidak cakap mengurus rumah tangga bangsanya sendiri. Ironisnya, tidak sedikit kaum pribumi yang termakan oleh propaganda menyesatkan itu.

    Di Hindia-Belanda zaman itu ada orang semacam Notosoeroto, orang pribumi yang menjadi antek kolonial, yang aktif berpropaganda mengenai superioritas ras kulit putih ini melalui ceramah dan majalah.

    Menurut Bung Hatta, perasaan psikologis superioritas eropa ini makin dipupuk dengan penciptaan sistem pemerintahan yang menempatkan orang eropa di atas orang pribumi. Atau sering disebut sistem “Europees bestuur” (eropa) dan pangreh praja (pribumi). Dalam aturan kolonial, yang kedua (pangreh praja) harus tunduk pada yang pertama.

    Untuk itu, Bung Hatta menganjurkan, pergerakan nasional Indonesia harus memompakan kepada massa-rakyat semangat self-reliance dan self-help. Dalam politik ada gerakan non-kooperasi (tidak bekerjasama dengan kolonial), sementara di lapangan ekonomi ada gerakan koperasi (ekonomi rakyat).

    Bung Hatta mencontohkan gerakan self help ala Mahatma Gandhi di India. Di sana, Gandhi mengajak rakyat India memboikot semua produk Inggris. Sebaliknya, Gandhi mengajak rakyat India menggunakan hasil produksi bangsanya sendiri.

    Gerakan self-help ini, kalau ditarik ke lapangan ekonomi, bisa berbentuk gerakan koperasi-koperasi. Koperasi ini, kata Bung Hatta, cocok dengan karakter asli bangsa Indonesia: tolong-menolong dan gotong-royong.

    Yang keempat, kaum pergerakan harus menentang politik asosiasi. Politik asosiasi ini tercermin pada proposal persekutuan kenegaraan antara Indonesia dan Nederland, yang didasarkan pada “kesamaan hak dan kewajiban”.

    Tetapi, bagi Bung Hatta, politik asosiasi ini hanyalah “rayuan gombal” kolonialis meredam apinya pergerakan rakyat Indonesia. Terutama untuk mencegah roda perjuangan rakyat sampai pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan.

    Bagi politik asosiasi, Indonesia yang Negara jajahan dan belanda yang penjajah itu tak ada pertentangan kepentingan. Sebaliknya, kedua bangsa ini punya kepentingan bersama. Entah apa yang dimaksud kepentingan bersama itu?

    Karena itu, tugas utama kaum pergerakan nasional adalah mengungkapkan seterang-benderang mungkin adanya pertentangan tak terdamaikan antara kaum penjajah dan rakyat yang terjajah. Bung Karno merumuskannya sebagai pertentangan antara “kaum sana” dan “kaum sini”. Bahwa kaum menjajah ingin terus menghisap dan mengeksploitasi rakyat Indonesia, sedangkan rakyat Indonesia merindukan kemerdekaan dan keadilan sosial.

    Itulah empat strategi untuk melawan hegemoni kolonialisme ala Bung Hatta. Sebagian kita mungkin bilang, “Ah, itu strategi yang hanya cocok di zaman lampau.” Benarkah?

    Tidak juga. Dunia kita hari ini, 88 tahun setelah Bung Hatta menulis itu di pidato pembelaannya itu, Indonesia Vrij/Indonesia Merdeka, dunia kita tidak banyak berganti rupa. Kolonialisme dalam bentuknya yang baru masih mencengkeram tanah air kita. Kolonialisme baru ini sangat kasatmata: penguasaan ekonomi, pendiktean kebijakan politik hingga hegemoni budaya asing.

    Yang lebih kasatmata lagi, modus yang mereka pakai belum beringsut jauh dari modus kolonialisme lama: politik pecah belah, pembodohan dan menanamkan inferiority complex.

    Jadi, gagasan Bung Hatta masih relevan. Hanya saja, memang, perlu dipertajam dan dipercanggih.

    Rudi Hartono

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?