Tag: Kanaky

  • Ibrahim Peyon: Enam Hal Penyebab Kekalahan Kaum Pro Kemerdekaan Referendum Kanaky

    Post by: Ibrahim Peyon | 5/11/2018

    Referendum Kanaky dimenangkan oleh kelompok pro Prancis karena enam hal:

    1. Kriteria peserta Referendum dalam perjanjian tidak diatur secara tegas.

    2. Kriteria Migran Eropa dan Asia sebagai peserta referendum dengan alasan lama tinggal.

    3. Perjanjian referendum dibuat tahun 1988 dan Referendum dilaksanakan 2018 maka generasi yang menginginkan kemerdekaan sebagian telah meninggal dan telah banyak perubahan selama 30 tahun.

    4. Selama 30 tahun itu pemerintah Prancis telah mengubah banyak kebijakan lebih lunak dan manusiawi.

    5. Jumlah migran terus meningkat, asimilasi melalui perkawinan campuran dan penduduk asli menjadi minoritas.

    6. Pendata penduduk peserta Referendum tidak adil karena sekitar 30. ribu penduduk asli tidak terdaftar.

    Di mana enam hal ini telah membawa kehilangan kemerdekaan terhadap pendduduk asli Kanaky.

    Source: facebook.com

    #Referendum #FLNKS #Kanaky

  • Victor Yeimo: Referendum Kanaky, 4 November 2018. Opsi Merdeka: 43,60 % – Opsi tidak: 56,40 %

    Victor Yeimo: Referendum Kanaky, 4 November 2018. Opsi Merdeka: 43,60 % – Opsi tidak: 56,40 %

    Hasil Referendum Kanaky, 4 November 2018. Opsi Merdeka: 43,60 % – Opsi tidak: 56,40 %. Selisih 17.788 suara. 33.896 orang tidak memilih.

    Bagi FLNKS ini adalah kemajuan dari perjuangan. Mereka telah berjuang meyakinkan rakyat Kanaky yang telah lama terhegemoni dalam kekuasaan kolonial Perancis.

    Hampir semua orang asli Kanaky memilih merdeka di berbagai wilayah kota dan kampung. Mayoritas pendatang Perancis di beberapa pusat kota yang telah membuat suara untuk mempertahankan kekuasaan kolonial Perancis.

    Ini juga karena 29.000 pemilih basis pro kemerdekaan yang tidak didaftar sebagai pemilih dalam referendum. Lalu 33.896 absen dalam referendum kali ini karena tidak sepakat dengan referendum yang menurut mereka adalah rekayasa kolonial Perancis.

    Bagi FLNKS hasil ini adalah keberhasilan yang tertunda untuk kemerdekaan pada referendum yang selanjutnya akan kembali dilakukan pada tahun 2020 dan 2022.

    Rakyat West Papua telah berdiri mendukung kemerdekaan bangsa Kanaky. Doa dan aksi telah disampaikan agar rakyat Kanaky menyadari bahwa Merdeka lebih dari pada terjajah dan musnah di bawa Perancis.

    Kami mendukung proses membangun kesadaran kebangsaan yang dipimpin oleh FLNKS. Saya yakin FLNKS akan terus memainkan peran ini dengan terus meyakinkan Perancis dan dunia bahwa Kanaky telah siap bernegara sendiri.

    Pelajaran bagi bangsa Papua adalah: 1) membangun kebangsaan Papua adalah cara melawan hegemoni kolonial Indonesia, 2) Pada perundingan tentang kriteria referendum, rakyat West Papua adalah satu-satunya yang diberi kesempatan untuk memilih hak politiknya karena tidak pernah mereka memilih pada pepera 1969.

    3) West Papua dan Indonesia harus mendorong proses ini secara damai, jujur dan demokratis tanpa pertumpahan darah melalui intervensi PBB.

  • Kelompok ornop diimbau kawal referendum Kanaky dan Bougainville

     Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor. --pina.com.fj
    Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor. –pina.com.fj

    Suva, Jubi – Kelompok nonpemerintah di Pasifik diimbau untuk mengawal proses referendum yang akan berlangsung di Kaledonia Baru pada tahun 2018 dan di Bougainville pada tahun 2019. Pengawalan itu bertujuan untuk memastikan prinsip-prinsip hak mengusir penjajahan dan menentukan nasib sendiri terlaksana dengan baik.

    Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor mengatakan itu ketika merespon pertanyaan tentang peran PIF dalam menghadapi dua referendum yang akan berlangsung di Pasifik dalam dua tahun mendatang.

    Taylor mengatakan, ia sendiri akan mengunjungi Bougainville tahun depan sebagai bagian dari pengawalan jalannya persiapan referendum. Ia mengimbau kepada seluruh organisasi nonpemerintah dan masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran warga akan haknya menentukan nasib sendiri.

    “Saya hanya bisa menyarankan Anda untuk berbuat yang terbaik-mengadvokasi dan meningkatkan kesadaran warga di komunitas Anda. Peran Anda adalah memastikan bahwa hasil referendum nanti mengakhiri penderitaan warga akibat penjajahan kolonial,” katanya.

    Pernyataan Taylor ini muncul sehari setelah kelompok prokemerdekaan di Kaledonia Baru (FLNKS) mengumumkan hilangnya nama-nama pemilik hak suara dari kalangan suku asli negara itu dalam daftar referendum. FLNKS memperkirakan jumlahnya antara 20.000-25.000 hak suara yang tidak tercatat dalam daftar pemilih.

    Sementara itu, Theresa Jantong dari Bougainville menyatakan bahwa pemerintah otonom Bougainville dan pemerintah Papua Nugini telah berkonsultasi untuk memastikan jalannya referendum pada tahun 2019. Keduanya terlibat dalam perang sipil selama lebih dari satu dekade dan berakhir pada 1999.

    Di bawah Kesepakatan Damai Bougainville, daerah otonom itu seharusnya menggelar referendum pada tahun 2020. Namun, target itu dipercepat dan telah ditentukan bahwa referendum akan berlangsung pada 15 Juni 2019.

    Papua Barat

    Selain referendum di Kaledonia Baru dan Bougainville, kawasan lainnya di Pasifik yang sedang dipersiapkan untuk menggelar referendum yaitu di Papua Barat. Penasihat politik pemerintahan Kepulauan Solomon, Fei Tevi mengatakan bahwa Papua Barat adalah satu hotspot lainnya di Pasifik selain Kaledonia Baru dan Bougainville.

    “Isu penentuan nasib sendiri bukanlah isu baru. Ini merupakan agenda para pemimpin politik di Pasifik sejak tahun 1980-an. Kelompok masyarakat sipil seharusnya turun ke lapangan mendukung upaya ini agar masyarakat sadar tentang haknya menentukan nasib sendiri,” ujarnya. (*)

  • Pacific West Papua 14 Jul 2016 Decision looms on West Papua’s MSG bid

    Radio NZ – The leaders of the Melanesian Spearhead Group are expected to announce whether or not West Papua will gain full membership this afternoon.

    An organisation representing West Papua independence groups, the United Liberation Movement for West Papua, was last year granted observer status within the MSG.

    But Indonesia, which considers the movement a separatist group with no legitimacy, was also granted associate status.

    Jakarta has this year warned Melanesian leaders to “think carefully” about any decision about West Papuan membership, and has put great effort into lobbying ahead of today’s summit.

    Vanuatu, a key advocate for West Papua, is pushing for the movement to gain full membership, which is supported by Solomon Islands and New Caledonia’s FLNKS movement.

    But Papua New Guinea and Fiji have expressed their support for Indonesia’s sovereignty over West Papua, and are unlikely to support the country’s removal from the MSG, which Vanuatu is pushing for.

    The announcement has been brought forward to this afternoon as Fiji’s prime minister, Frank Bainimarama, has to leave Honiara later today.
    Church calls for consideration

    The Catholic Church in Papua New Guinea said MSG leaders should consider West Papua’s application.

    The Archbishop of Port Moresby, Sir John Ribat, says the movement should be allowed full membership because of its representation of the indigenous Papuans, who are Melanesian.

    He said human rights concerns in West Papua need to be discussed within the framework of the MSG, and Indonesia should be involved with them too, but as an observer.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?