Tag: Joko Widodo

  • Bukti Joko Widodo adalah Soeharto untuk OAP Hari ini

    Setelah Joko Widodo dengan senyum dan bermuka pura-pura orang baik dan polos bergerilya selama hampir lima tahun, dalam waktu singkat itu pula telah dirasakan pertama-berapa tama eksistensi dan hak asasi Orang Asli Papua (OAP) menjadi teracam dan ancaman ini sengaja ditabur dengan kujungan ratusan kali ke Tanah Papua, padahal di belakang layar dia memerintahkan pembasmian OAP.

    Kekejaman Jokowi persis sama dengan Soeharto, dia senyum, dia sederhana, bermuka anak desa, tetapi semua OAP lupa bahwa dia Wong Jowo tulen, yaitu “tulen” artinya, muka Jawa, roh Jawa, politik Jawa, luar-dalam Jawa, kiri-kanan Jawa. Ke-Jawa-an yang pertama sama dengan Soeharto, yaitu tampil santai. Kedua tampil sambil senyum-senym. Tetapi pembunuhan tokoh dan kaum tertindas tetap jalan terus atas nama pembangunan, pembrendelan media yang kritis dan tidak sejalan dengan negara dan penguasa juga terus berjalan tanpa batas.

    Dua ciri utama ini mewarnai kepemimpinan Soeharto yang dikenal kejam oleh OAP, orang Jawa, orang Indonesia lain maupun masyarakat dunia. Ia tampil sebagai anak desa Kemusuk, Bantul Yogyakarta yang senyum-senyum, ramah dan cinta desa dan rakyat, tetapi di sisi lain sangat mematikan.

    Siapapun yang melawan menjadi sasaran pembasian, entah orang kampung, orang kota, masyarakat sipil atau aparat, pejabat atau pegawai biasa, semua dibasmikan. Dan semua ini terjadi tanpa proses hukum. Semua tidak pernah diselidiki.

    Sekarang kita lihat Jokowi tersenyum ke sana-kemari. Jokowi sudah ke Tanah Papua banyak kali, umbar senyum dan menunjukkan berani jalan-jalan sampai ke mana-mana. Tidak sampai di situ saja, Jokowi juga sama dengan Soeharto, membiarkan pembunuhan OAP terjadi rutin. Setiap tahun atau bahkan bulan, atau minggu ada saja OAP dibunuh. Dan pembunuhan itu tidak pernah diselesaikan secara jelas.

    Tokoh pembela HAM OAP, tokoh pembela perempuan dan hak-hak dalam berbagai aspek kehidupan OAP menjadi sasaran serangan mereka.

    Di era Soeharto, semua media yang bersuara tidak sama dengan kehendaknya dibrendel, pemilik dan wartawannya dipenjarakan. Kebanyakan wartawan senior hari ini adalah mantan tahanan Soeharto. Hari ini Jokowi membentuk Cyber Army, lalu menghibur dan menyibukkan rakyat di dalam wilayah NKRI dengan berita-berita domestik yang tidak ada manfaat bagi kehdupan manusia, sementara memblokir banyak berita yang tidak dikehendaki oleh regime dan negara.

    Rakyat di Indonesia juga diblokir mengakses situs-situs yang mereka anggap berseberangan dengan pemerintah dan NKRI. Situs ini, www.papuapost.com dan situs kembaran www.papuapost.wordpress.com adalah situs pertama dan utama yang telah dibrendel sejak lama. Sampai kepada akun Facebook.com/papuapost juga dibrendel dengan cara melaporkan “Spam” kepada admin pusat facebook.com

    Cyber Army NKRI memang bernar-benar sukses. Dan kesuksesan ini benar-benar menunjukkan kelakuan ala Soeharto. Pembunuhan OAP dibiarkan juga adalah kelakukan Soeharto. Datang ke desa-desa dengan mengumbar senyum dan mengecap diri anak desa juga adalah model kepemimpinan Soeharto.

    Kalau seandainya saja Jokowi berpeluang memerintah 20 tahun sampai kiamat, pasti Jokowi akan berbuat apa saja, lebih kejam lagi daripada Soeharto, akan membasmikan OAP sampai kosong di tanah leluhurnya, dalam waktu dua dekade saja. Dalam setengah dekade ini, sudah ratusan bahkan ribuan OAP dibunuh, TANPA diselidiki, TANPA dihukum.

    Lukas Enembe dan semua OAP kelihatannya mendukung Joko Widodo. Pantas OAP tidak pernah lihat Presiden yang menjajah mereka datang dan berjabatan tangan dengan mereka. Kali ini penjajah mereka baik, karena dia datang berjabatan tangan, walaupun dia bunuh OAP secara rutun dan tidak pernah diseliki, dia datang menutup kekejamannya dengan berjabatan tangan. Dan itu dianggap sudah bagus oleh Gubernur dan masyarakat di Tanah Papua.

    Sungguh ironis! Demikianlah nasib kaum terjajah di seluruh dunia. Mereka harus cari tempat aman, walaupn mereka tahu ada resiko nyawa mereka sendiri.

    Terimakasih kepada UUD NKRI yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Kalau tidak, di bawah kepemimpinan Jokowi 20 tahun saja OAP sudah pasti terancam punah, tanah mereka sudah terancam dikuasai dan didukui penuh oleh kaum Amberi Melayo-Indos.

    Tahun 2019, OAP seabagai bangsa dalam jajahan NKRI diwajibkan untuk memilih di antara dua orang yang sama-sama jahat: Jokowi yang senyum-senyum tetapi membunuh secara tenang, atau Prabowo yang menggebu-gebu dengan militerismenya dan yang berpengalaman dalam membunuh OAP selama Bapa mantunya berkuasa dan berpotensi melakukan hal yang sama selama paling tidak 5 tahun ke depan.

    Memilih antara buaya atau serigala benar-benar pilihan sulit. Akan tetapi di antara itu, lebih baik OAP memilih orang yang jelas-jelas diketahui sebagai pembunuh daripada pemimpin yang mengumbar senyum ke sana-kemari tetapi pada saat yang sama pembunuhan OAP terjadi secara masal dan meluas.

     

  • West Papuan Liberation Movement dismisses Jakarta dialogue

    West Papuan Liberation Movement dismisses Jakarta dialogue

     Indonesia's president Joko Widodo Photo: AFP
    Indonesia’s president Joko Widodo Photo: AFP

    The United Liberation Movement for West Papua says it’s not interested in one-on-one dialogue with Indonesia’s government.

    Various Papuan civil society, church and customary leaders met with Indonesia’s president Joko Widodo last month about establishing dialogue over problems in Papua.

    The Jakarta meeting agreed on the Catholic priest, Neles Tebay taking on a mediator role.

    However so far the Liberation Movement has not been included in the dialogue process.

    Its secretary-general Octo Mote said Jakarta’s offer of dialogue appeared to be timed for good publicity ahead of meetings of the Pacific Islands Forum leaders and the UN General Assembly.

    “It’s too late. The world knows that we tried for the negotiations with Indonesia for years. We are only interested when internationally-mediated negotiation (happens), not dialogue. Internationally-mediated negotiation.”

    Terms of reference for the dialogue have not been confirmed yet, but those at last month’s meeting indicated President Widodo wanted to advance talks about economic and social development in Papua.

    Jakarta overture to Papua questioned

    Although the Papuans at the Jakarta meeting had been pressing for dialogue on issues of human rights abuses in Papua among other problems, the term “sectoral” has been used to describe the matters up for discussion.

    According to Mr Mote, it is unclear what the Indonesian goal of dialogue about “sectoral” matters refers to.

    He said the Liberation Movement’s mandate as a representative body for West Papuans was to campaign for independence, and that this would not change.

    “We don’t pay attention to any dialogue (between Jakarta and Papuans). Our focus is getting the members of the countries at the UN to put West Papua back on the UN agenda,” Mr Mote explained.

    “So if Indonesian government wants to do dialogue about development issues, just go ahead. They can do it.”

    Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN.
    Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN. Photo: Supplied

    The Liberation Movement is recognised by the Melanesian Spearhead Group which is an international collective whose full members are Papua New Guinea, Solomon Islands, Fiji and Vanuatu and New Caledonia’s FLNKS Kanaks movement.

    Mr Mote said that in accepting the Liberation Movement and granting it observer status, the MSG had taken up a role as a vehicle for the West Papua self-determination and human rights issues to be addressed at the international level.

    “So they created a forum where this kind of communication can be taking place,” he said.

    However, according to Mr Mote, Indonesia has rebuffed efforts by the MSG chairman Manasseh Sogavare of Solomon Islands to confront the Papuans’ core grievances.

    “That means Indonesia closed this kind of communication,” said the Liberation Movement secretary-general who is currently in Samoa to attend the Pacific Islands Forum annual summit.

    The government of Indonesia, which has associate member status in the MSG, said it was working hard to improve living conditions in Papua region through economic development.

    Indonesia said the incorporation of Papua into the republic was final, and its security forces take a firm line in disallowing expressions of Papuan independence aspirations.

  • Amunggut Tabi: Kunjungan Jokowi Sekedar Menutup Malu, Tetapi Terimakasih Bisa Sadar Juga Walaupn Sudah Terlambat

    Ada pepatah mengatakan “It is better late than never”, atau lebih baik lambat daripada tidak. Demikian dikatakan Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menanggapi sekian kali sudah Presiden kolonial NKRI, Joko Widodo datang ke Tanah Papua, katanya, sebagai bukti keseriusannya membangun Tanah Papua.

    Menanggapi itu, Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (MPP TRWP) menyampaikan beberapa catatan. Pertama, “terimakasih karena bisa sadar juga saat ini, walaupun itu sudah terlambat”. Menurut Tabi, persoalan hubungan West Papua dengan NKRI sudah lama mengalami kehancuran, dan hubungan itu secara psikologis-nurani, orang Papua sudah tidak menerima NKRI dan orang Indonesia ada di tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanesia.

    Sudah berulang-ulang orang Papua, mulai dari orang-orang seperti Freddy Number, yang beberapa kali menjadi menteri dalam negara kolonial NKRI, Lukas Enembe, yang menjadi Gubernur Provinsi Papua saat ini, Abraham Atururi yang menjadi Gubernur NKRI Papua Barat hari ini, dan banyak pejabat kolonial asal Papua lain. Mereka dengan jelas dan degas mengatakan bahwa NKRI gagal meng-Indonesia-kan Papua.

    Artinya orang Papua sampai hari ini, biar diberi jabatan menteri sampai tiga, seratus kali-pun, orang Papua akan tetap merasa non-Indonesia, dan tanah Papua masih akan dianggap sebagai tanah jajahan NKRI.

    Hal kedua, menurut Tabi, apa yang dilakukan Joko Widodo bagus juga, karena NKRI memang harus membayar hutang nyawa orang Papua yang dia bunuh, hutang harga kekayaan yang dia sudah bawa keluar. Memang sangat sedikit yang dia bayar, tetapi paling tidak ada rasa bersalah di pihak Presiden NKRI sehingga berulang-ulang datang ke Tanah Papua untuk menutup rasa malu. Ini tanda-tanda manusia punya hatinurani. Tabi berharap Jokowi tidak kemudian menaruh harapan apa-apa kepada hati orang Papua supaya berbalik mendukung NKRI. Kata Tabi:

    Saya harap Jokowi tetap sadar, jauh di lubuk hati terdalamnya, bahwa bangsa Papua, diberi apapun, diberi berapapun, dikunjungi tiap hari-pun, dibangun istana Presiden-pun, sampai kiamat, tetap akan minta merdeka. Akan hidup bertetangga dengan baik, sama dengan Timor Leste, kalau West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI. Jokowi tahu, bahwa apa yang telah dilakukan NKRI selama ini salah besar. Oleh karena itu apa yang dia lakukan hanya untuk menutup malu, bukan untuk membuat orang Papua berubah pikiran untuk mendukung NKRI atau membatalkan perjuangan Papua Merdeka.

    Ditanyakan tentang sisi lain dari pandangannya, bahwa justru semakin banyak jalan dibangun, maka semakin banyak proses militerisasi, dan semakin lama kekuatan perjuangan Papua Merdeka akan pudar, Tabi kembali menyatakan:

    Itu cerita dari mana sebuah perjuangan untuk menentukan nasib sendiri pernah dihentikan karena kunjungan presiden kolonial, sejarah dari mana pembangunan dilakukan oleh sang penjajah akhirnya elit dan rakyat yang terjajah pernah membatalkan perjuangan kemerdekaan mereka? Jangan tularkan mimpi lewat mulut orang Papua.

     

  • What they don’t talk about when they talk about Papua

    ‘Being a young, female Indonesian myself, I expected myself to celebrate Nara Masista Rakhmatia’s UN General Assembly speech. Instead, I was gravely disappointed.’

    Several weeks ago, a young, female diplomat named Nara Masista Rakhmatia made a speech that dazzled the Indonesian public. In a video that went viral, she denied accusations from 7 Pacific country leaders about human rights abuse in Indonesia’s Papua province at the 71st Session of United Nations General Assembly in New York last September.

    She further shamed their attempt to interfere with Indonesia’s sovereignty. The video gathered over 188 thousand views on Facebook, along with hundreds of comments from Indonesian citizens expressing how proud they are of Nara’s intelligence and bravery to ‘teach those foreign country leaders about how to respect Indonesia’—especially given her young age.

    In their remarks, delegations from Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, the Marshall Islands, Tuvalu, and Tonga criticized Indonesia’s human rights records in Papua. Nara in particular argued that these sentiments were largely misplaced, given that the main agenda of the Assembly was Sustainable Development Goals and a global response to climate change.

    Furthermore, she claimed, these countries needed to self-reflect upon their own domestic issues before pointing their fingers to how Indonesia handles the province’s push for self-determination.

    Being a young, female Indonesian myself, I expected myself to celebrate her speech. I should have been inspired and impressed by how sharp she was. Instead, as someone who studied International Relations and currently a Public Policy student, I was gravely disappointed.

    Disappointed

    First of all, Nara based her entire rebuttal on the obsolete definition of the sovereignty principle. While sovereignty is a crucial foundation to the United Nations, since 2005, the international community has extended its definition under the ‘Responsibility to Protect’ commitment, which stipulates that absolute sovereignty does not hold when a government fails to protect its people.

    PROTEST. An arrested Papuan pro-independence demonstrator gestures from a police truck in Jakarta on December 1, 2015, after police fired tear gas at a hundreds-strong crowd hurling rocks during a protest against Indonesian rule over the eastern region of Papua. File photo by AFP
    PROTEST. An arrested Papuan pro-independence demonstrator gestures from a police truck in Jakarta on December 1, 2015, after police fired tear gas at a hundreds-strong crowd hurling rocks during a protest against Indonesian rule over the eastern region of Papua. File photo by AFP

    Although the concept was developed specifically as a framework for humanitarian interventions to prevent atrocity crimes and this situation has arguably not brought us that far, this core principle stands.

    In other words, should these allegations stand, it is justifiable for the international community to express their concerns about the possibility of ongoing crimes against humanity.

    Therefore, it is more urgent to argue about whether Indonesia has indeed violated human rights in Papua.

    The speech failed to address, for example, the progress of President Joko Widodo’s promise to investigate the killing of 4 Papuan high-school students in 2014. No reports have been made available to the public around this and other pressing matters such as killings in Wasior in 2001 and Wamena in 2003. A recent op-ed contended that these were not ordinary crimes but crimes against humanity.

    Nara also did not talk about the 4,587 individuals who were arrested by the police for expressing their political views in regards with the Papua issue in 13 cities, as documented by the Jakarta Legal Aid Institute.

    On top of that, she spent a lot of air time explaining how Indonesia has been a member of the United Nations Human Rights Council for significantly longer periods compared to these 6 countries. She leveraged that membership status as a validation to the country’s ‘human rights commitment’.

    This is a logical fallacy. In reality, Jakarta continues to maintain restrictions for human rights organizations such as Amnesty International and International Committee of the Red Cross from entering Papua. Becoming a member of a certain council hardly proved these allegations wrong. If anything, it should become an additional reason as to why the country needs to feel embarrassed about the hypocrisy at home.

    Wrong focus

    Some of my friends asked me to give Nara a break. After all, she was only representing her country. If anything, such response is far from surprising and rather predictable. Throwing in phrases like ‘territorial integrity’ and ‘sovereignty’ sounds like something that any other country would do in responding to such accusations at an international stage.

    PROTEST HALTED. Papuan pro-independence activists, some in traditional tribal garb, march during a rally in Jayapura. AFP PHOTO
    PROTEST HALTED. Papuan pro-independence activists, some in traditional tribal garb, march during a rally in Jayapura. AFP PHOTO

    However, the issue goes beyond this. Even if we look past the messenger, the problem in Papua still exists, and the fact that the government of Indonesian preferred not to deal with it should alert us.

    Thus what added to my disappointment was how mainstream media in Indonesia covered the issue. Instead of playing its role as the ‘fourth pillar’ that criticizes the government, many news outlets practically made her a heroine by echoing the flattering Facebook comments and further highlightsing how she looks.

    It seems like nationalist sentiments—fueled by an ‘external threat’ from these Pacific countries’—distracted them from addressing the elephant in the room. Except for The Jakarta Post, most news seemed to avoid highlighting these allegations and instead talked about how beautiful and brave Nara was. In effect, social media discussions regarding this event rotated primarily around unproductive debates about her physical qualities.

    Although concerns regarding Papua were expressed by only 7 small Pacific countries now, how will Indonesia—represented by Nara or anyone else—respond in the future, should they come from other geopolitically more powerful countries?

    President Joko Widodo’s administration must know by now that something has to be done in Papua, and it should be done immediately.

    Surely, we could not just continue deflecting every question with a ‘sovereignty’ card. – Rappler.com

     Andhyta Firselly Utami graduated from International Relations program at Universitas Indonesia, and is currently a Master of Public Policy candidate at Harvard Kennedy School.

  • Berdoa Jutaan Kali, NKRI Tidak Akan Pernah Menebus Dosa-Dosanya atas Bangsa Papua

    Menanggapi berbagai pemberitaan di media-media kolonial Indonesia dan berbagai jaringan aktifis Papua Merdeka, yang menuntut Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM Papua dan membandingkan peliputan media Indonesia terhadap pembunuhan terhada Wayang Mirna Solihin yang dilakukan oleh Jessica Kulama Wongso, jugra kritikan dan harapan-harapan dari organisasi LSM Indonesia Indonesia seperti Setara, Kontras, LBH dan lembaga milik kolonial Inodnesia seperti Komnas HAM, maka dari Kantor Sekretariat-Jenderal Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. Amunggut Tabi mengatakan,

    Orang Papua harus belajar kembali, doa orang Papua tidak dijawab Tuhan karena dua alasan: pertama karena salah berdoa, dan kedua karena jawaban ditunda, belum waktunya. Dan dalam hubungan NKRI – West Papua, jawaban salah berdoa lebih tepat. Biar berdoa jutaan kali, NKRI tidak akan pernah menebus dosa-dosanya atas bangsa Papua.

    Mendengar pernyataan itu, PMNews kembali menggali lagi, supaya bila mungkin disebutkan sumber-sumber berita atau para pribadi yang mengharapkan kebaikan atau perbaikan datang dari NKRI, tetapi Gen. Tabi menolak, dan mengatakan, “Kalian semua kan bisa memonitor sendiri media semua terbuka sekarang, tidak sama seperti era orde baru kolonial Indonesia.”

    Kemudian PMNews menyebutkan beberapa ungkapan atau ucapan oleh para tokoh Papua, dan lalu Gen. Tabi menggapinya sebagai berikut.

    Ada orang Papua katakan bahwa biar pun 1000 kali presiden kolonial NKRI Joko Widodo mengunjuni Papua, tidak akan merubah nasib orang Papua? Apa tanggapannya?

    Sangat benar! Itu pasti Orang Asli Papua yang bicara.

    Ada orang Papua juga yang bilang, tidak ada orang Papua yang minta Papua Merdeka?

    Oh, itu maksudnya yang dibilang oleh Lukas Enembe, gubernur kolonial NKRI, bukan? Ya, dia juga takut dong. Semua orang Papua, biar anggota TNI/ Polri, biar anggota BIN, biar menteri atau gubernur, siapapun, di dalam MKRI, pasti, ya, pasti di dalam nurani terdalam punya pertanyaan ini, “Kapan saya dibunuh NKRI?” itu ada, jadi semua yang dikatakan pejabat kolonial NKRI, oleh orang Papua, itu semua dalam rangka jaga-jaga diri dan nyawa.

    Itu bukan karena disogok atau dibayar Indonesia. Itu karena rasa takut. Ya, masuk akal. Siapa orang Papua yang rela dibunuh karena alasan kita dilahirkan sebagai orang Papua, karena kita yang dilahirkan sebagia orang Papua menjabat sebagai pejabat kolonial sudah lama dijadikan dasar untuk berbagai macam hal-hal mematikan di tanah ini. Kita sudah belajar banyak, tidak perlu diragukan dan dipertanyakan.

    Ada lagi orang Papua yang bilang, kok berita tentang peracunan dan pembunuhan yang dilakukan Jessica Kulama Wongso terhadap Wayang Myrna Solihin kok disiarkan siang-malam, sebanyak lebih dari 20 kali diliput, tetapi kok media kolonial Indonesia tidak sekalipun meliput berbagai pelanggaran HAM oleh NKRI di Tanah Papua?

    Oh, itu yang dibilang Phillip Karma. Kami mengundang Phillip Karma untuk berdoa seribu kali, satu juta kali, supaya NKRi bertobat. Pasti tidak dijawab. Karena apa? Karena itu salah berdoa. Kenapa salah berdoa? Masa mengharapkan media kolonial menyiarkan korban dari bangsa jajahan di wilayah jajahan. Salah besar kalau Pak Karma msih punya harapan KRI akhirnya akan selesaikan masalah Papua. Itu kesalahan fatal. Seharusnya semua pejuang Papua Merdeka menaruh harapan kepada saudara-saudara sebangsa di Papua New Guinea, satu ras di Melanesia, daripada mengharapkan matahari terbit dari barat dan terbenam di timur.

    Ada juga orang Papua yang menuntut Joko Widodo, presiden kolonial NKRI untuk tidak melulu kunjungi Papua tetapi selesaikan kasus-kasus HAM di Tanah Papua.

    Itu harapan dari ELSAM, Lembaga HAM di Manokwari, Ketua-Ketua Sinode Kingmi, GIDI dan Baptis, GKI, dan lembaga-lembaga HAM di Tanah Papua. Harapan kosong! Salah berharap! Sama dengan salah berdoa tadi. Pertama orang Papua harus jawab dulu alasan NKRI menginvasi secara militer per 19 Desember 1961 dan menduduki tanah Papua sejak 1963 lewat UNTEA dan disahkan 1969 oleh PBB.

    Alasannya bukan karena mereka mau bangun Papua. Mereka tergiur oleh kekayaan alam, Tanah Papua, bukan bangsa Papua.

    Jokowi sebagai presiden Kolonial NKRi datang ke Papua tidak ada hubungan dengan orang Papua, apalagi HAM Papua. Hubungannya adalah kekayaan alam Papua. Dia sedang pulang-pergi memberikan arahan langsung dari muka ke muka kepada agen-agen ring satu di Tanah Papua membicarakan bagaimana mempercepat proses pengerukan hasil Bumi Tanah Papua, sehingga beberapa tahun ke depan saat mereka keluar dari Tanah Papua maka kekayaan yang tertinggal sudah ampas-ampas saja, semua yang mereka mau ambil sebagian besar sudah terjarah.

    Sekarang kami mau tanya hal yang penting, terkait perjuangan Papua Merdeka. Kebanyakan lembaga Orang Asli Papua menuntut referendum, atau dialgoue kepada Jakarta, bagaimana ini?

    Prinsipnya masih sama. Sama saja. Seharusnya tidak usah tanya, karena sudah jelas tadi.

    Tujuan NKRI menginvasi secara militer, dan menduduki secara militer, ialah menguras dan menjarah kekayaan alam Papua. Titik di situ. Jadi tidak ada tujuan lain. Apa hubungan tujuan mereka ada di Tanah Papua dengan tuntutan orang Papua? Tidak ada, malahan merugikan kolonial, bukan?

    Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Dr. Neles Tebay yang minta dialogue dan tuntutan Pak Karma, tokoh Papua yang mina referendum, kedua-duanya tidak akan dipenuhi NKRI, karena bertabrakan langsung dengan tujuan kehadiran dan keberadaan NKRI sebagai penguasa kolonial di atas Tanah Papua.

    Sekali lagi, harapan itu yang salah. Kita harapkan, kita berdoa agar NKRI berdialog, supaya NKRI memberikan kesempatan referendum kepada bangsa Papua itu yang salah.

    Sekarang pemikiran kami semakin tersudut: tuntut penuntasan kasus-kasus HAM sulit; tuntut referendum susah, tuntut dialogue juga salah. Semua pemikiran-pemikiran cemerlang dari tokoh Papua sudah tersudut. Apa kira-kira arahan dari MPP TRWP?

    Paradigma kita harus kita rombak. Cara kita berpikir dalam hungungan West Papua – NKRI harus kita rombak habis. Pertama, kita harus yakin dan petakan bahwa West Papua ialah wilayah jajahan NKRI, dan Indonesia ialah penjajah, bukan pemerintah, tetapi penguasa.

    Siapa saja menyebut NKRI dengan istilah pemerintah Indonesia, berarti dari awal paradigma berpikir dalam hubungan NKRI – West Papua sudah salah.

    Kalau sudah salah, pasti tuntutan juga salah.

    Yang kedua, berdasarkan terms of reference atas dasar paradigma berpikir kita tadi, maka kita harus menuntut hal-hal apa saja yang bisa dikerjaka oleh NKRI. Sekali lagi, kita minta apa yang bisa dilakukan NKRI. Kalau meminta hal-hal yang di luar kemampuan NKRI, maka pasti mereka tidak akan menanggapinya.

    Yang ketiga, kalau kita menuntut, kita juga dari hatinurani yang terdalam, harus punya jawaban bahwa tuntutan kita akan diberikan. Kalau masih ada ‘keraguan’ dalam hatinurani, maka kita harus sesuaikan diri dan tuntutan kita dengan kata-kata hatinurani.Kalau kita dari awal salah menuntut, jangan kecewa kalau tidak dijawab atau tidak terpenuhi.

    Dari tiga saran ini semakin membuat kita menjadi sulit melihat jalan keluar?

    Tidak usah terlalu rumit. Kita orang Melanesia, kita bukan hadir ke Bumi sebagai orang Melanesia tunggal. Kita harus percaya diri, bangga kepada diri sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan sandarkan kepada kemampuan sendiri. Itu modal pemberian Tuhan, sejak penciptaan, bukan buatan NKRI, bukan frame Amerika Serikat bukan atas persetujuan Australia. Realitas kodrat kita orang Melanesia.

    Nah, dunia kita di situ. Identitas kita di situ. Realitas kodrat kita itu. Jadi, kita bangun segala-sesuatu dari situ. Untuk mengkleim sebuah identitas, kita harus punya dasar pemikiran, paradigma yang benar, lalu dari situ kita mengejar apa yang kita anggap salah. Dasar pemikiran harus benar dan tepat. Kita harus punya pemikiran yang murni didaasrkan atas jatidiri kita sebagai orang Melanesia. Jangan membangun sebuah perjuangan, jangan merancang hal-hal berdasarkan kebencian kepada Indonesia, kedongkolan kepada NKRI, tetapi atas dasar realitas mutlak, ciptaan Tuhan semesta alam.

    Apa masih bingung?

    Mulai ada titik terang. Jadi, titik awalnya ialah “berdiri sebagia orang Melansia”, dan kemduian “bekerja dengan orang-orang Melanesia”. Tetapi kita bicara soal hubungan Melanesia dengan Indonesia?

    Itu yang kami maksudkan.

    Kapan? Berapa kali? Siapa pejuang Papua Merdeka atau tokoh Papua yang meminta dan menuntut Perdana Menteri PNG, Perdana Menteri Vanuatu, Perdana Menteri Solomon Islands, untuk datang membantu West Papua?

    Kalau sudah pernah ada, siapa dan kapan itu pernah ada?

    Kalau sudah salah alamat, jangan berharap surat Permohonn Anda akan dibalas, ya, namanya salah alamaat kok.

     

  • Indonesia Inomane Mbanogop: Kinendop Yarogo, Yabume Unggwino

    Dalam pesan singkat yang baru saja PMNews terima disambung dengan komunikasi per telepon, Gen. TRWP Mathias Wenda kembali mengulangi anjurannya mengulangi apa yang telah disampaikannya, “Indonesia Inomane Mbanogop: Kinendop Yarogo, Yabume Unggwino”, yang artinya “Jangan balas pantun Indonesia, kerjakan apa yang mau Anda kerjakan”.

    Artinya, dalam budaya Jawa-Melayu dikenal pepatah “Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”, yaitu kerjakanlah terus apa yang mau dikerjalan, jalani terus apa yang mau dijalani, laksanakan apa yang mau dilaksanakan, fokus kepada target, tujuan dan program kegiatan sendiri, jangan terganggu oleh hasutan, pernyataan, perbuatan lawan, perbuatan penjajah jangan ditanggapi, jangan dipikirkan, jangan diseriusi.

    Sisah pekerjaan yang harus diselesaikan bangsa Papua hadi ini ialah

    1. ULMWP menindak-lanjuti amanat UURWP, yang sudah disahkan oleh PNWP
    2. PNWP menyusun berbagai peraturan pemerintah dau Undang-Undang sesuai dengan amanat UURWP yang sudah disahkannya
    3. ULMWP untuk segera membuat Program Kerja, lengkap dengan Anggaran Belanja sehingga orang Papua tahu framework kerja ULMWP untuk mencapai Papua Merdeka.
    4. Rakyat Papua untuk berdoa, berpuasa dan mengumpulkan dana-dana revolusi untuk mendukung rencana-rencana yang akan dikeluar

    Selain itu juga disarankan oleh Gen. Wenda bahwa kendali bola perjuangan Papua Merdeka harus kita ambil, jangan sampai jatuh ke tangan orang lain, apalagi ke tangan penjajah. Saat ini NKRI sudah mulai mencap semua organ perjuangan di dalam negeri sebagai teroris, dan yang jelas ULMWP bukan teroris, oleh karena itu, mari kita pakai hatinurani, pakai pikrian rasional, demi kepentingan bangsa dan tanah air.

    Terakhir dari pernyataanya yang panjang-lebar, Gen. Wenda mengamanatkan, “Kinendop yarino”, berlututlah, tanam kaki dan melangkah, bekerja-lah untuk mencapai cita-cita.

    Ditanyakan apa tanggapannya atas langkah-langkah Jokowi hari ini dan kemarin, Wenda mengatakan,

    “Coba datang seribu kali juga bisa, setiap hari Jokowi tinggal di Papua juga bisa, apakah itu akan menggantikan naywa orang Papua yang sudah mati? Apa arti kunjungan itu? Hanya tutup malu, karena sudah terlanjur malu! Mau salahkan orde baru, mau salahkan orde lama, mau salahkan orde reformasi? Itu langkah tutup malu, jangan lihat dari sisi yang salah.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?