JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mencermati dengan kepedihan mendalam tentang bencana kemanusiaan yang sedang terjadi di Israel dan Palestina, di mana ribuan orang termasuk anak-anak terluka, meninggal dunia, serta harus mengungsi meninggalkan pemukiman dan rumah mereka akibat konflik antara Hamas dan Israel.
Sejak 7 Oktober 2023 sampai hari ini, tercatat lebih dari 10 ribu orang dari pihak Israel dan Palestina telah meninggal dunia akibat konflik ini. Ratusan ribu orang harus mengungsi di tengah peperangan yang berkecamuk dan dalam situasi yang sangat memprihatinkan. Penduduk wilayah Gaza dan warga Israel di kota-kota perbatasan dengan teritori Palestina telah menjadi korban dan dicekam oleh trauma dan ketakutan siang dan malam.
Dalam situasi kekerasan yang berkembang, PGI mengecam keras tindakan apapun yang menargetkan warga sipil, penggunaan warga sipil sebagai ‘perisai manusia’, terlepas dari perbedaan kebangsaan, etnis, atau keyakinan mereka. Terhadap konflik di wilayah ini, PGI mendukung tuntutan yang dikeluarkan oleh para Kepala Gereja di Yerusalem agar terciptanya kejelasan masa depan bagi warga Palestina dan Israel, yang dibangun berdasarkan keadilan, bukan kekuatan militer, di mana Hukum Internasional diterapkan secara konsisten dengan tanpa memihak.
Perdamaian yang tidak diiringi dengan upaya membangun kesetaraan dan keadilan tidak akan bertahan dalam ujian waktu. Dalam pengertian ini, PGI sejak awal berada bersama Dewan Gereja- Gereja Sedunia (WCC) guna mendukung sepenuhnya Resolusi-resolusi PBB bagi penyelesaian konflik Israel – Palestina, yaitu dengan mengusung ‘Solusi Dua Negara’.
PGI menyerukan kepada para pemimpin politik untuk terus mendorong terciptanya dialog yang tulus dalam upaya mencari solusi jangka panjang demi memajukan keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang bertikai di wilayah yang bagi jutaan orang dianggap sebagai ‘Tanah Suci’.
Di dalam kesadaran bahwa konflik yang terjadi ini bukanlah konflik keagamaan, dan dengan memperhatikan situasi kemanusiaan yang sungguh memprihatinkan di Gaza, PGI mendesak komunitas internasional untuk memperkuat seruan penghentian kekerasan oleh semua faksi yang bertikai. Sejalan dengan itu, PGI juga mendorong masyarakat internasional, PBB, dan badan-badan kemanusiaan dunia untuk mengupayakan dibukanya koridor kemanusiaan yang memungkinkan penyaluran bantuan memasuki Gaza, sehingga jutaan warga sipil yang tak bersalah, termasuk anak- anak dan warga lanjut usia, dapat menerima perawatan medis dan kebutuhan dasar mereka.
Kepada gereja-gereja di Indonesia, PGI meminta supaya semua pihak bergabung dalam doa bagi penghentian kekerasan serta terciptanya perdamaian yang adil di tanah tempat lahirnya tiga agama Abrahamik. Gereja-Gereja harus terus berdoa dan mendukung semua upaya kemanusiaan bagi ribuan pengungsi serta korban warga sipil yang terpapar konflik dan terancam oleh kekerasan di wilayah ini, apapun latar belakang suku, etnis, kebangsaan, maupun agama dan kepercayaan.
Dalam keprihatinan yang sama, PGI mengingatkan gereja-gereja di Indonesia, pemerintah, dan semua elemen bangsa, untuk juga menaruh perhatian bagi ketidak-adilan dan kekerasan yang merusak martabat kemanusiaan dalam peristiwa-peristiwa kekerasan di Pulau Rempang, Tanah Papua, dan wilayah lainnya di negeri tercinta Indonesia.
Benny Wenda, SekJend DeMMAK, Jubir ULMWP, Pendiri IPWP dan ILWP
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM – Pemberitaan yang cukup masif tentang adanya petisi referendum Papua telah menarik perhatian media di dalam dan luar negeri. Kendati klaim penyerahan petisi tersebut sudah dibantah dan klaim itu dianggap hoax, isu Papua kini semakin menarik perhatian dunia.
Penyerahan petisi kepada Komite Dekolonisasi PBB atau lazim disebut C24, pertama kali diberitakan oleh koran Inggris, The Guardian pada 28 September lalu. Berita tersebut kemudian menjadi meluas setelah berbagai media lain juga mengangkatnya. Salah satu media yang memberi perhatian terhadap isu ini adalah Arutz Sheva, sebuah media Israel yang dikenal menyuarakan kalangan religius Yahudi.
Arutz Sheva menurunkan tulisan berdasarkan laporan The Guardian, yang mengetengahkan bantahan dan penolakan PBB terhadap petisi referendum Papua yang digagas oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Namun, pada saat yang sama, media ini juga memberi ruang bagi Benny Wenda, jurubicara ULMWP, untuk mengemukakan gagasannya tentang latar belakang petisi tersebut.
Tidak sampai di situ. Media ini juga mencoba mencari tahu bagaimana posisi Israel terhadap isu referendum Papua yang digagas oleh ULMWP. Relevansi menanyakannya tidak disebutkan. Tetapi patut dicatat, Israel — yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia — adalah negara pertama yang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan wilayah otonomi Kurdi di Irak, yang pekan lalu melaksanakan referendum yang ditentang oleh banyak negara.
Arutz Sheva menghubungi Jurubicara Kementerian Luar Negeri negara itu, Emmanuel Nachshon, untuk menanyakan bagaimana posisi Israel terkait isu kemerdekaan Papua. Sayangnya, jurubicara tersebut menolak untuk memberikan komentar.
Didengar dan Dibicarakan di Dunia
Dijawab atau tidaknya pertanyaan tersebut, bagi kalangan pro referendum Papua hal itu tak terlalu penting. Yang lebih penting, gagasan penentuan nasib sendiri Papua telah didengar dan dibicarakan di banyak negara.
“Bagi rakyat dan bangsa Papua, petisi tidak sah atau ditolak, itu bukan masalah utama. Pesan kunci bagi bangsa Papua adalah persoalan Papua menjadi perbincangan di tingkat internasional,” kata Socratez Sofyan Yoman, salah seorang tokoh gereja di Papua yang mendukung perjuangan ULMWP dalam salah satu komentarnya yang disebarkan melalui WA.
Bahkan diangkatnya isu ini oleh media dan pejabat Indonesia, menurut dia, menjadi promosi gratis. “Media dan pejabat Indonesia turun berperan aktif mempromosikan dengan gratis petisi dan perjuangan bangsa Papua. Dalam posisi Indonesia seperti ini lebih banyak memberi keuntungan bagi bangsa Papua,” kata dia.
Rumit dan Sulit Pakar Ilmu Politik dari Deakin University, Australia, Damien Kingsbury, mengakui simpati dunia terhadap isu Papua makin meluas. Namun pada saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa diplomasi Indonesia masih sangat kuat dan sebaliknya, dukungan formal dari negara-negara di dunia sangat minim terhadap kelompok separatis yang pro referendum Papua.
Damien Kingsbury adalah salah seorang pakar yang menaruh perhatian terhadap isu-isu referendum. Ia terlibat dari dekat dalam monitoring penentuan nasib sendiri Timor Leste. Kingsbury juga pernah dilarang ke Indonesia karena keterlibatannya dalam memberi nasihat kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun dalam soal isu Papua, ia selama ini berpandangan bahwa Papua tidak bisa disamakan dengan Timor Leste, karena PBB telah mengakui Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, berbeda dengan status Timor Leste.
Menurut dia, walaupun integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui Pepera tahun 1969 dilaksanakan ‘dibawah todongan senjata’ dan hanya melibatkan 1.025 orang Papua dari populasi 800.000 orang, “Papua adalah bagian dari Indonesia – diakui ‘sah’ oleh PBB,” kata dia dalam sebuah artikel yang dimut di Crikey, akhir pekan lalu.
“Tidak seperti kasus Timor Timur, yang tidak pernah diakui secara hukum sebagai bagian dari Indonesia, PBB harus membubarkan atau mengabaikan pengakuannya atas Papua sebagai bagian dari Indonesia untuk bisa mendukung pemungutan suara mengenai kemerdekaan (Papua),” lanjut dia.
Di sisi lain, Kingsbury mengatakan bahwa kedudukan Indonesia di dunia internasional sangat kuat dibanding dengan pihak- pihak yang menyuarakan kemerdekaan Papua. “Tidak seperti Papua, Indonesia memiliki teman-teman yang kuat di PBB, yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ekonomi dan diplomatik yang kuat,” tutur dia. Sementara, lanjut dia lagi, pergerakan yang menginginkan kemerdekaan Papua, “Hanya memiliki sedikit pendukung internasional.”
Belanda, negara yang dahulu dianggap berada di belakang pendukung kemerdekaan Papua, menurut dia, sudah menjauh dan dalam istilahnya sendiri, ‘cuci tangan’ dari isu ini.
Senada dengan itu, Australia juga telah menjamin bahwa negara itu menghormati kedaulatan teritorial Indonesia dengan pertimbangan untuk memelihara hubungan bilateral dengan Indonesia.
Ada pun Amerika Serikat, kata Kingsbury, memiliki investasi besar di Papua dan juga ingin mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia yang penting secara strategis.
Oleh karena itu, Kingsbury belum dapat memberikan kesimpulan terhadap prospek penanganan masalah ini. Di satu sisi ia mengatakan isu Papua sangat sulit; bahwa mencapai cita-cita penentuan nasib sendiri untuk Papua yang merdeka akan menghadapi berbagai rintangan yang terlalu sulit untuk dapat diatasi. Di sisi lain, ia juga tidak bisa menutup mata terhadap keadaan yang mendesak untuk dilakukannya penentuan nasib sendiri, bahkan lebih kuat dari pada sebelumnya.
“Di tengah keadaan ini, Presiden Joko Widodo, seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya tidak berdaya untuk secara mendasar memperbaiki keadaan penduduk asli Papua, apalagi membebaskan rakyat Papua dari cengkeraman polisi dan militer,” demikian Kingsbury.
Pada akhirnya, Kingsbury hanya dapat mengatakan bahwa hadirnya petisi yang dideklarasikan oleh Benny Wenda dan kawan-kawan menunjukkan bahwa rakyat Papua masih tetap menolak untuk menjadi bagian dari Indonesia setelah hampir lima dekade mengalami penggabungan paksa; walaupun untuk itu mereka harus bergerak secara ‘bawah tanah’ dan sembunyi-sembunyi.
The Blue Water Rule
Ketua the Center for World Indigenous Studies, Rudolph C. Ryser, juga mengakui kerumitan masalah penentuan nasib sendiri untuk dijadikan agenda PBB. Salah satu penyebabnya, menurut dia, dalam sebuah tulisan yang dimuat di intercontinentalcry.com, adalah apa yang dikenal sebagai The Blue Water Rule, yang termaktub dalam Resolusi PBB No 637 VII. Dalam resolusi tersebut, negara-negara anggota PBB sepakat bahwa bangsa-bangsa yang berada di dalam wilayah negara-negara anggota PBB tidak boleh mendapatkan kemerdekaan melalui proses penentuan nasib sendiri.
Sampai sejauh ini, Papua tidak termasuk dalam kategori wilayah yang tanpa pemerintahan (Non-Self-Governing Territories) pada Komite Dekolonisasi PBB. Hanya ada 17 teritori yang sudah terdaftar, yaitu Western Sahara, Anguilla, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Falkland Islands, Montserrat, Saint Helena, Turks and Calcos Islands, United States Virgin Islands, Gibraltar, American Samoa, French Polynesia, Guam, New Caledonia, Pitcairn dan Tokelau.
Sementara itu, menurut Ryser, ada sejumlah teritori lainnya yang diketahui menuntut referendum dari negaranya. Di antaranya Catalonia (Spanyol), Kurdistan (Irak), Palestina (Israel), Biafra (Nigeria), Papua (Indonesia), Baluchistan (Pakistan), Uyghuristan (Tiongkok), Pasthunistan (Afghanistan), Crimean Tartars (Rusia), Qom (Argentina).
“Ada banyak bangsa yang tidak setuju untuk diperintah oleh negara yang menguasainya namun PBB dengan dipelopori oleh AS pada tahun 1952 mendorong untuk secara permanen mencegah bangsa-bangsa tersebut memisahkan diri dari ‘hubungan yang tidak menyenangkan dengan negara yang sekarang melingkupinya,” kata Ryser.
Menurut Ryser, Blue Water Rules seharusnya dihapuskan di PBB.
Di tengah rumitnya mekanisme di PBB tersebut, ULMWP dalam siaran persnya mengatakan akan tetap menempuh mekanisme PBB dalam memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri Papua. Editor : Eben E. Siadari
EMTV – According to a press statement by the Papua New Guinea Israel Jewish Council, ‘Israeli Nationals will not require visas to enter PNG ports for 60 days and PNG Nationals will not require visas to enter Israeli ports up to 90 days.’
The Visa Exemption for Holders of Diplomatic, Service/Official and National/Ordinary Passports, is an agreement that was signed between Foreign Affairs Minister Rimbink Pato and his Israeli counterpart.
Prime Minister Peter O’Neill stated that “…there will be no more visas required for Papua New Guineans and no visa required for Israelis coming to PNG, so you can arrive here without a visa and you can automatically come and visit the holy sites — so that’s very good news for Papua New Guineans.”
The agreement between the State of Israel and the Independent State of Papua New Guinea is seen as a boost to bilateral relations.
“It is important that our diplomatic relationship to be lifted to the next level — we want to open up a new embassy here. We are hoping that Israel will also open up a small embassy in Port Moresby for the Pacific region.” He added.
Israeli President, Benjamin Netanyahu, reaffirmed PNG that Israel was willing to give it a prime spot at Jerusalem, and not Tel Aviv where all other diplomatic missions are located.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. –rt.com
Jerusalem, Jubi – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu akan mengunjungi Fiji dalam rangkaian lawatannya ke Singapura dan Australia Februari mendatang. Israel mulai memprioritaskan kerjasama dengan negara-negara kepulauan kecil seperti Fiji dalam rangka mengumpulkan dukungan di forum Perserikatan Bangsa-bangsa.
Netanyahu memaparkan rencana kebijakannya itu di sela diskusi dengan komunitas Yahudi-Amerika melalui sambungan langsung video dari Jerusalem. “Mengapa saya mengunjungi Fiji? Karena 15 negara, 15 kepulauan ini mempunyai satu hak suara di PBB juga akan datang ke Fiji,” ujar Netanyahu.
Perjalanan ke negara-negara kecil ini dinilai penting. Menurut dia, negara-negara kepulauan kecil ini dihuni oleh 910.000 penduduk yang tentu lebih besar dari Jerusalem. Jika kunjungan ini jadi dilaksanakan nanti, maka ini akan menjadi kunjungan perdana menteri Israel pertama kali ke negara-negara kepulauan kecil seperti Fiji.
“Saya sampaikan kepada Anda bahwa kita tidak akan menunggu sampai satu dekade lagi, Israel akan meraih suara mayoritas di PBB karena bantuan dan dukungan negara-negara kecil ini. Memang ini tidak akan terjadi esok hari, tapi ini akan terjadi, cepat atau lambat,” ujar Netanyahu.
Dalam pergaulan internasional, Fiji telah mengirimkan pasukannya untuk bergabung bersama pasukan penjaga perdamaian PBB yang bertugas di perbatasan Israel-Suriah di Libanon dan di dataran tinggi Golan, Mesir dan Irak sejak tahun 1978.
Awal bulan lalu, perdana menteri Fiji, Frank Bainimarama mengunjungi Israel. Pada kesempatan itu, Netanyahu berterima kasih kepada Bainimarama atas dukungan yang diberikan Fiji terhadap Israel dalam ajang pertemuan multilateral.
“Ada keterikatan antara rakyat Israel dengan Fiji. Kita sama-sama bukan negara besar tapi kita sama-sama memiliki kesempatan untuk bekerjasama dalam berbagai hal,” katanya.
Pada kesempatan itu, Bainimarama juga menyambut baik. “Sebaga orang Fiji, kami selalu menghormati orang Israel sebagai kawan baik dan menghormati seperti kami menghormati kawan-kawan dekat kami di kawasan Pasifik,” ujar Bainimarama. (*)