Tag: hukum kolonial

  • Ribuan Warga Hadiri Syukuran Presiden NRFPB

     Forkorus Yoboisombut Cs.
    Tampak Ribuan Warga Papua yang menghadir acara syukuran pembebasan Forkorus Yoboisombut Cs. (Foto: Richard/SP)

    Jayapura (SP) – Ribuan warga Papua menghadiri acara syukuran terkait dibebaskannya Forkorus Yoboisombut (Presiden NRFPB), Edison Waromi (Perdana Menteri NRFPB) bersama Selpius Bobi, Dominikus Sorabut dan Agus Kraar di kediamannya di Kampung Sabron Yaru, Sentani Barat Kabupaten Jayapura, Selasa (22/7).

    Ribuan warga yang menghadiri syukuran tidak saja warga Papua yang ada di kota Jayapura, namun juga perwakilan masyarakat papua dari Papua Barat, yakni, Manokwari dan Sorong.

    Acara syukuran ini berlansung sekitar Pukul 10.30 siang yang diawali dengan Ibadah syukur dipimpin Oleh Pdt. Dimara, S.Th.

    Usai ibadah syukur, dilanjutkan dengan acara kenegaraan yang dikemas dalam pembacaan naskah pidato saat pembebasan Fokorus Cs, dibaca oleh sekum dewan adat Papua (DAP), Willem Rumaseb.

    Edison Waromi (Perdana Menteri NRFPB), yang berkempatan untuk menyampaikan sambutan pertamanya, menuturkan, Kongres Papua III terjadi karena peyertaan dan maksud “Tuhan” sehingga itu dapat terjadi.

    “Masih teringat dibenak kita saat Tomas Wanggai memproklamasikan kemerdakaan Papua yan dipenjara 20 Tahun. Namun, mengapa saya bersama Forkorus Yoboisombut Selpius Bobi, Dominikus Sorabut dan Agus Kraar yang mendeklarasikan NRFPB, hanya dipenjara 3 Tahun. Itu karena Tuhan itu baik dan luar biasa dalam menyertai umatnya yang memperjuangkan akan kebenaran,”

    ujarnya.

    Sementara Forkorus dalam pidatonya, mengatakan dirinya bersama empat rekannya, saat di dalam tahanan “Tidak tinggal diam atau konyol”, namun menjalin kerja melalui komunikasi dengan tahanan lainya, yakni, Filep Karma dan Viktor Yeimo yang semuanya memiliki talenta yang diberikan Tuhan, sehingga dapat berbagi satu dengan lainnya.

    Lanjutnya, dari hasil menjalin komunikasi diantara mereka, menghasilkan satu naskah pidato yang dibacakan saat pembebasan di Lapas Abepura.

    Diakuinya, pengalaman selama di penjara yang paling mengesankan dirinya, yakni ketika dirinya bersama empat rekannya, mendapat potongan 3 Tahun dari ancaman yang dalam benak mereka itu, mereka diancam 36 Tahun penjara. Namun, kekwatiran itu hilang dengan mendapat 3 Tahun penjara.

    Ditambahkan, dirinya masih teringat ketika waktu ada kunjungan ibadah dedominasi Gereja yang melakukan kunjungan ibadah di Gereja Emaus Lapas Abepura dimana pelayan mengambil suatu pembacaan dari Kitab Lukas Pasal 10 ayat 17 hingga 20 yang menceritakan tentang “Pemberian kuasa kepada setiap orang yang mau bekerja untuk kebenaran bagi orang banyak”.

    Dia menghimbau, jika ada pihak yang tidak mengaku pendeklarasian dirinya sebagai
    Presiden NRFPB yang terpilih pada KRP III, dirinya memperbolehkan siapa-siapa yang mau menggantikan dirinya bersama Edison Waromi.

    “Namun, melalui sebuah kongres yang dihadiri oleh seluruh rakyat Papua dengan nama Negara yang lain, serta dikemas dalam Kongres Rakyat Papua IV (empat) yang dilakukan ditempat umum di Tanah Papua Barat,”

    pungkasnya. (A/RIC/R4/LO3)

     

    Wednesday, 23-07-2014, SP

  • Usut Penembakan, Polisi dan TNI Bentuk Tim Gabungan

    Kapolda Papua dan rombongannya
    Kapolda Papua dan rombongannya

    Tampak Kapolda Papua baru, Brigjend (Pol) Drs. Yotje Mende, M.H., M.Hum., didamping Wakapolda Papua saat disambut sejumlah Pamen Polda Papua ketika memasuki Markas Polda Papua sebagai hari pertema kerjanya pada, Juamt (18/7) kemarin. (Loy/Binpa)JAYAPURA – Kepolisian Daerah Papua menyatakan telah membentuk tim gabungan bersama TNI dalam rangka penyelidikan dan pengungkapan kasus penembakan di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Lanny Jaya, baru-baru ini.

    Seperti apa yang dipaparkan Kapolda yang lama, masalah tersebut masih ditangani dan masih dalam penyelidikan intensif oleh anggota–anggota di lapangan.

    Polda Papua bersama TNI telah menurunkan Tim gabungan dalam rangka penyelidikan dan pengungkapan masalah tersebut,” kata Kapolda Papua, Brigadir Jenderal Polisi Yojte Mende usai pemaparan bersama ASRENA Kapolri, Irjen (Pol) Tito Karnavian, Jum’at (18/7).

    Tim ini, kata Kapolda, dipimpin oleh Direktur Reskrim Umum, Komisaris Besar Polisi Dwi Rianto. Selain menyelidiki kasus penembakan di Puncak Jaya, sambung dia, tim ini juga akan menyelidiki kasus penembakan di Lanny Jaya.

    “Saya belum bisa menyampaikan siapa dan bagaimana, karena masih menunggu hasil dilapangan. Saya berharap doa dari temen-temen wartawan. Untuk Ketua Timnya Direskrim Umum, termasuk penyelidikan Lanny Jaya,”

    jelas Yotje Mende.

    Disinggung komitmen untuk Papua, Kapolda Yotje berprinsip akan selalu berpegang teguh pada NKRI yang berdaulat dan akan menindak tegas siapa saja yang mengganggu keamanan. Dalam artian, lanjut dia, akan ditindak sesuai dengan hukum dengan mengajak semua pihak, baik aparat TNI maupun aparat Daerah bersatu padu.

    Menurut Kapolda, tindakan oknum-oknum separatis merusak tatanan bangsa, makanya perlu dilakukan pencegahan. “Saya sendiri belum tahu modus-modusnya. Kita belum pelajari secara mendalam, nanti kita lihat,” kata dia.

    Soal adanya tudingan Komnas HAM bahwasanya terjadi pembiaran oleh aparat, Kapolda menyatakan belum bisa menanggapi pernyataan tersebut. “Saya belum tahu itu, jadi saya belum bisa menanggapinya,”tutur Yotje.

    Sebelum menutup wawancara, Kapolda menyampaikan sangat senang bisa bertugas di Papua. “Saya senang bertugas di sini, karena bapak saya juga dulu berdinas di Sorong, walaupun tidak pernah ke Jayapura, tapi saya pernah menginjak Papua,” ucap dia. (Loy/don/l03)

    Sabtu, 19 Juli 2014 11:23, BintangPapua.com

  • Ribuan Pendukung Siap Jemput Forkorus Cs

    Elias Ayakeding di dampingi anggotanya saat memberikan keterangan persnyaJAYAPURA – Pembebasan ‘Presiden’ NFRPB, Forkorus Yoboisembut, dan ‘Perdana Menteri’ NFRPB, Edison Waromi dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura, Senin, (21/7), bakal disambut dengan kemenangan oleh ribuan massa pendukungnya.

    Elias Ayakeding, yang disebut-sebut sebagai ‘Kepala Kepolisian’ Negara Federal Republik Papua Barat, (NFRPB), mengklaim ada sekitar 10 ribu massa Papua Barat akan menjemput pembebasan Forkorus Cs. “Ya kami pastikan sekitar 10 ribu rakyat Papua Barat akan memadati areal Lapas Abepura hingga kediaman Presiden di Sabron Yaru,” ungkapnya kepada wartawan dalam keterangan persnya di Prima Garden Abepura, Jumat, (18/7).

    Dalam penyambutan itu tentunya diwarnai dengan sejumlah acara, seperti nyanyian suling tambur dengan berpakain adat sesuai dengan negara bagian masing-masing, dan baik Presiden Forkorus dan ‘Perdana Menteri’ Waromi akan diarak dari Lapas Abepura hingga Sabron Yaru. Setiba di Sabron Yaru dilanjutkan dengan berbagai agenda lainnya.

    Terkait dengan itu, sebagaimana dengan statemennya yang sebelumnya bahwa, menghimbau kepada seluruh rakyat yang dihidup di Tanah Papua, supaya pada Senin (21/7) menghormati/menghargai pemimpin besar NFRPB, dengan cara tetap menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban. Disamping itu pula hendaknya berhenti sejenak melakukan aktivitasnya untuk turut mendukung kelancaran hari pembebasan Presiden dan Perdana Menteri NFRPB. Termasuk kepada pemilik toko-toko di pinggir jalan dari Abepura sampai kediaman Presiden Forkorus harus menghentikan (tutup) aktivitas usahanya. Ini agar adanya kebersamaan.
    Ditegaskannya, bagi masyarakat yang hendak turut berpartisipasi dalam melakukan penjemputan sebaiknya diminta jangan membawa alat tajam, alat tumpul dengan tujuan anarkis (mengganggu ketertiban keamanan) dan tidak boleh membawa Bendera Bintang Kejora (BK).

    Namun sangat disarankan untuk membawa busana-busana adat dan menampilkan tari-tarian dan suling tambur untuk memeriahkan hari pembebasan Presiden Forkorus Cs.

      “Itu perintah tegas dari Presiden Forkorus Yoboisembut. Dalam penjemputan itu nantinya pihaknya menurunkan sekitar 1000 personil Polisi NFRPB untuk melakukan pengamanan,”

    tegasnya.

    Dirinya juga meminta kepada TNI/Polri RI diharapkan dapat membantu Polisi NFRPB untuk menjaga keamanan dan ketertiban agar kehidupan masyarakat tetap aman. Disamping itu pula diharapkan pula TNI/Polri jangan mengintervensi jalannya penjemputan itu, demi menghindari terjadi gesekan-gesekan yang pada akhirnya memunculkan terjadinya konflik.

     “Saya minta Kapolda dan Pangdam agar sama-sama bersama kami menjaga keamanan di Tanah Papua, karena keamanan itu kebutuhan semua pihak. Kami minta masyarakat jangan membawa hal-hal yang memancing aparat keamanan bertindak ,”

    pungkasnya.

    Forkorus Minta Tidak Dirayakan Besar-besaran

    Sementara itu, Forkorus Yaboisembut, S.Pd, August M. Sananay Kraar, S.IP, Dominikus Serabut, Edison Gladius Waromi dan Selpius Bobii minta seluruh pendukungnya tak perlu  merayakan besar-besarannya pembebasannya pada Senin (21/7) sekitar pukul 09.00 WIT.  Tapi tetap berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Yesus yang masih mempertemukan masing-masing umatnya.

    Permintaan Forkorus Cs ini disampaikan Kepala Lapas Klas I A Abepura Endang Lintang Hardiman, SH., MH., ketika dikonfirmasi Bintang Papua di ruang kerjanya, Jumat (18/7).

    Dikatakan Endang Lintang Hardiman, Forkorus Cs  juga mengharapkan masa pembebasan Forkorus Cs sudah selesai dari masa tuntutan pidana sesuai prosedur, sehingga pihaknya mengharapkan masyarakat ikut menjaga kamtibmas tetap tenang, aman dan kondusif. Tak ada hal-hal yang membuat situasi di Papua tak aman.
    Kami juga sudah koordinasi dengan instansi-instansi agar ikut menjaga kamtibmas saat Forkorus Cs bebas,” tukas Endang Lintang Hardiman.

    Dikatakan, Forkorus Cs ditahan pada  20 Oktober 2011 karena secara sah dan resmi terbukti melanggar Pasal 106 Jo Pasal 55 Ayat (i) ke-1 KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara, pasca peringatan Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Distrti Heram, Kota Jayapura. Forkorus Cs akhirnya dibebaskan pada 21 Juli 2014. (nls/Mdc/don/l03)

    Sabtu, 19 Juli 2014 11:17, BintangPapua.com

  • Polda Siap Amankan Pembebasan Forkorus

    Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono, S.Ik.JAYAPURA – Aparat Kepolisian Daerah Papua siap melakukan pengamanan atas dibebaskannya Forkorus Yaboisembut yang diklaim sebagai Presiden Negara Federasi Papua Barat pada tanggal, 21 Juli nanti di Lembaga Permasyarakat Kelas 2A Jayapura.

    Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono, S.Ik., saat ditemui wartawan di ruang kerjanya mengatakan, masa penahanan Forkorus Yaboisembut telah selesai dan akan dibebaskan tanggal 21 Juli 2014 nanti.

    “Yang bersangkutan telah menjalani hukuman sesuai keputusan dari Pengadilan Negeri Jayapura dalam kasus KRP bulan Oktober tahun 2011 silam. Dia (Forkorus) dibebaskan secara hukum baik hukuman pidana maupun lain-lainnya,”

    kata Pudjo, Kamis (17/7).

    Dengan dibebeaskannya Forkorus Yaboisembut tersebut, Pudjo menuturkan bakal banyak keluarga yang menjemputnya di Lapas Abepura menuju ke rumah di Sentani-Kabupaten Jayapura. Oleh karena itu, diharapkan kepada keluarga untuk tidak melakukan arak-arakan yang berlebihan atas dibebaskan Forkorus tersebut.

    “Memang dengan dibebaskanya Forkorus ini, keluarga akan menyambut bahagia dan Rumah tangganya, namun diharapkan penjemputan oleh keluarga menjaga keamanan baik pada saat penjemputan di jalan maupun sampai di rumah keluarga,”

    harap dia.

    Tak hanya itu, Pudjo mengimbau kepada seluruh pendukung agar tidak menggerakkan massa yang berlebihan, walaupun pembebasan yang bersangkutan disambut gembira. “Sekali lagi kami minta kepada pendukung untuk tidak mengganggu kamtibmas apalagi mengganggu arus jalur lalu lintas pada saat penjemputan nanti,” sambungnya.

    Namun yang jelas, penjemputan Forkorus di Lapas Abepura, polisi siap melakukan pengamanan baik Dari Polres Jayapura Kota, Polres Jayapura dan diback-Up Polda Papua. “Jumlah pengamanan kita tidak terlalu banyak menurunkan anggota, tapi kita hanya mengamankan agar tidak ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan,” kata dia. (Loy/don/l03)

    Jum’at, 18 Juli 2014 01:58, BinPa

  • Seruan Nasional Penyambutan Forkorus Yaboisembut Cs

    Forkorus Yaboisembut
    Forkorus Yaboisembut dikawal polisi NKRI dan petugas LAPAS

    PAPUAN, Jayapura — Kepala panitia keamanan penjemputan Forkorus Yaboisembut Cs, Elias Ayakiding, menyerukan kepada seluruh rakyat Papua Barat, untuk merayakan hari pembebasan Forkorus Cs, yang akan berlangsung pada 21 Juli 2014 mendatang.

    “Perlu adanya perayaan penjemputan pak Forkorus, dkk, untuk itu kami minta rakyat di seluruh tanah Papua menggelar acara syukuran,” kata Elias, saat memberkan keterangan kepada wartawan, siang tadi.

    Dikatakan, banyak perubahan yang telah terjadi dalam perjuangan rakyat Papua, hal ini terbukti dengan respon negara-negara Melanesia terkait persoalan Papua Barat.

    “Perlu adanya perayaan penyambutan pembebasan dua tokoh Papua ini guna menunjukan pada dunia internasional bahwa kami Bangsa Papua telah memiliki pemimpin,”

    kata Elias.

    Dalam perayaan penyambutan pembebasan dua tokoh Papua, Forkorus Yaboisembut yang diklaim sebagai Presiden NRFPB, dan Edison Waromi yang diklaim sebagai Perdana Menteri, rencananya akan dirayakan di seluruh Papua.

    Tempat penyambutan mulai dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Abepura, hingga Kantor Dewan Adat Mamta, Kampong Sabron, Yaru,” katanya.

    Adapun yang menjadi tuntutan panitia keamanan;

    Pertama, keamanan adalah tanggung jawab bersama semua pihak, karena itu diharapkan kerja samanya.

    Kedua, pihak TNI/Polri agar menghormati dan menghargai keamanan yang dilaksanakan oleh polisi Negara Federal Republik Papua Barat.

    Ketiga, masyarakat dan pengusaha yang berada di sepanjang jalan Abepura – Sentani – Sabron Yaru, agar menghentikan sejenak aktifitasnya selama satu hari demi kebersamaan dan kelancaran keamanan.

    Keempat, masyarakat adat Papua dan simpatisan yang akan jemput agar tertip sesuai intruksi keamanan, yaitu tidak membawa atau mengibarkan BK “ Bintang Kejora ” saat penjemputan berlangsung, ataupun membawa alat tajam.

    Kami berharap himbauan ini bisa didengar dan ditaati oleh seluruh masyarakat Papua,” tutup Elias.

    AGUS PABIKA, Sumber SUARAPAPUA.com

  • Makar di Serui, Sidangnya Kok di Sorong?

    KELUARGA tujuh tersangka kasus makar yang di tangkap oleh polisi saat melakukan penyergapan di Kampung Sasawa Distrik Kosiwo Kabupaten Kepulauan Yapen 1 Februari 2014 lalu mempertanyakan pemindahan lokasi sidang dari PN Serui ke PN Sorong, padahal menurut mereka selama ini tidak ada gejolak ataupun ancaman ataupun intervensi dari pihak manapun terhadap proses hukum yang di jalani oleh ketujuh tersangka di maksud.

    “hukum tidak adil kepada kita orang lemah, kenapa rantingnya yang di tangkap, sedangkan pohonnya di biarkan oleh aparat, terus alasan apa kok sidangnya di pindahkan ke Sorong, sehingga keluarga tidak bisa memantau dan mengikuti proses sidangnya, ada apa ini, semuanya patut dipertanyakan”,

    kata Yakob Wanggori kerabat dari dua orang tersangka.

    Ia juga mempertanyakan surat komitmen Kapolda yang memberikan keringanan kepada para tersangka dengan menjamin akan menjerat para tersangka dengan tindak pidana ringan saja dan tidak dengan pasal makar.

    “dulu sesuai petunjuk Kapolres kami dari keluarga sudah buat surat permohonan maaf atas nama Kepala Suku Arui kepada Kapolda yang di tembuskan ke Pangdam, DPRP, MRP Dewan Adat Papua, dan ada surat disposisi dari Kapolda kepada Kapolres untuk ada keringanan hukuman karena pertimbangan kemanusiaan dan pembinaan, tapi kok mereka tetap di jerat pasal makar, bahkan sekarang di sidang di luar Serui lagi, ke Sorong, Papua Barat, tandanya aparat tidak mampu amankan kah ? atau Pengadilan dan Jaksa di Serui sini tidak mampu kah ?”,

    katanya lagi.

    Menurutnya, surat tersebut di antar ke kapolda, Kapolda menyampaikan keluarga menunggu selama 1 minggu, setelah itu ia di panggil dari Reskrim, dan diminta buat surat lagi dari keluarga untuk buat permohonan maaf dan penangguhan penahanan karena ada disposisi dari Kapolda ke Polres untuk diberikan pidana ringan kepada 6 tersangka makar Sasawa, karena kondisi mereka yang semakin memburuk dan istri anak yang menjadi korban, makanya dirinya merasa terkejut mendengar para tersangka di sidang di Sorong dan sudah di berangkatkan dengan kapal laut tanpa pemberitahuan ke keluarga.

    Merlyn Helan istri tersangka JYK Minggu (8/6) petang mengaku kecewa atas pemindahan suaminya ke Sorong Papua Barat, karena keluarga tidak bisa mengetahui dan mengikuti proses sidang, selain itu secara psikologis membuat kedua anaknya sakit – sakitan, karena selama di tahan di Lapas Serui, ia masih bisa membawa kedua anaknya menjenguk sang suami.

    “Sebelum Bapa dorang dikirim ke Sorong, saya dengan anak saya yang umur 3 tahun jengukBapa di Polres hari senin, tapi polisi tidak sampaikan kalau mau kirim Bapa dorang ke Sorong, nanti setelah Bapa tiba di Sorong, baru keluarga dorang dari kota kasih kasih kabar bahwa Bapa sudah dipindahkan ke Kejaksaan Negri Sorong”,

    katanya kepada SULUH PAPUA sambil bercucuran air mata.

    Ia mengakui saat ini kerepotan karena kedua anaknya selalu menangis menanyakan Ayahnya, dan saat ini kedua anaknya sedang sakit demam, gara – gara berapa hari minta mau ketemu Ayahnya.

    “sebagai istri saya kecewa sekali, kenapa polisi dan Jaksa tidak kasih tau kalau hari Kamis mereka mau di bawa ke Sorong ikut kapal. supaya kita keluarga ini ada uang ka tidak ka, saya dengan anak-anak bisa ikut ke Sorong. Sekarang ini anak 2 ini butuh Bapanya, setiap hari menangis tanya Bapanya dimana”,

    katanya sambil berurai air mata.

    Dorce Mora ibu kandung tersangka lainnya kepada SULUH PAPUA saat ditemui di ruamhnya mengaku pasrah saja dan berdoa kepada Tuhan, karena dia meyakini anaknya hanya ikut – ikutan saja berkumpul di Kampung Sasawa dan tidak memahami apa yang dia ikuti.

    “mereka takut apakah, sampai sidang di pindahkan ke Sorong, tidak mungkin ada yang ganggu proses sidang, kita keluarga senang kalau sidang di Serui saja, karena kita masih bisa jenguk dan bisa denagr langsung apakah tuduhan benar ka tidak”,

    kata Dorce Mora

    Bernadus Kakori anak mantu tersangka lainnya menilai proses pemindahan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Negeri Serui tidak mampu, dan Polres Yapen juga tidak mampu, buktinya mengamankan jalannya sidang saja tidak sanggup.

    “kami keluarga tidak setuju, dan ini menandakan PN Serui tidak mampu menyelesaikan kasus makar, sehingga di pindahkan, atau ini ada kepentingan lain, pantas keluarga pertanyakan, karena kasus ini ada janggalnya, atau di paksakan, makanya takut ketahun mungkin, kita mau setelah proses sidang, mereka harus dikembalikan ke Serui, kalau tidak kami minta ada tanggungjawab dari Kapolda atas kasus ini”,

    katanya dengan nada geram.

    Keluarga para tersangka makar Kampung Sasawa meminta kepada seluruh petinggi dan pejabat di Papua mestinya melihat kasus ini dan tidak tinggal diam.

    “Bapak Kapolda, Gubernur Papua, MRP, DPRP, bisa lihat kami keluarga punya susah kah, sidang jauh, kita mau pergi makan biaya karena tra ada keluarga disana, ada ekanehan dalam kasus ini”, kata Bernadus.

    Kapolres Kepulauan Yapen AKBP.Gatot Suprasetya,SIK didampingi Kasat Reskrim AKP.Dody Tri Hendro,SH ketika di konfirmasi SULUH PAPUA belum lama menjelaskan bahwa kepolisian sudah menuntaskan berkas para tersangka dan semuanya baik berkas, bukti, dan tersangka telah di limpahkan ke Kejaksaan, sehingga tahapan persidangan menjadi kewenangan Kejaksaan.

    berkas perkara yang terjadi di Sasawa sudah lengkap (P-21), tersangka dan BB sudah kita serahkan ke Jaksa. demi alasan keamanan, kita sengaja tidak ekspos mengingat situasi dan kondisi daerah”, kata Kasatreskrim tanpa merinci bentuk ancaman keamanan seperti apa yang mereka hadapi.

    Kepala Kejaksaan Negri Serui yang coba di konfirmasi SULUH PAPUA beberapa kali tidak menjawab SMS atau mengangkat telepon untuk memberikan keterangan alasan pemindahan lokasi sidang.

    Kepala Pengadilan Negri Serui Esau Yerisetouw saat di konfirmasi via telepon selulernya mengaku tidak mengetahui alasan pemindahan dan mengatakan bahwasanya PN Serui siap menggelar proses sidang makar di maksud.

    “saya terima surat dari Kejaksaan Serui yang ditujukan kepada MA, karena faktor keamanan, sehingga diminta untuk disidangkan di luar Serui. Tetapi kalau pun di sidang di Pengadilan Negri Serui, kita siap laksanakan, tetapi saya tidak paham alasan keamanan seperti apa yang dimaksud pihak Kejaksaan, jadi wartawan konfirmasi ke pak Kajari ya,’’

    katanya melalui telepon dan mengaku sedang berada di Jakarta.

    Ketujuh tersangka yang saat ini siap menjalani proses persidangan di PN Sorong adalah Salmon Windesi, Peneas Reri, Jimmi Yermias Kapanai, Cornelius Woniana, Obeth Kayoi dan Rudy Ottis Barangkea, Septinus Warowai.

    Mereka diancam dengan pasal 106 KUHP JO Pasal 53 KUHP dan atau pasal 108 KUHP dan UU Darurat No 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam.

    Dalam penggerebekan di Kampung Sasawa Distrik Kosiwo Kabupaten Kepulauan Yapen 1 Februari 2014 lalu, polisi berhasil mengamankan sebanyak 10 orang anak buah Fernando Worabaya di lokasi kejadian yang katanya dijadikan markas dan tempat pelatihan TPN/OPM, dimana ketika itu sempat terjadi baku tembak senjata, namun dari hasil penyidikan polisi sebanyak 7 orang ditetapkan sebagai tersangka makar. (B/WIL/R1/LO1)

    Sumber: SULUHPAPUA.com

  • Dua Mahasiswa Terkait Aksi “Bebaskan Tapol” Mengaku Disetrum Polisi

    Bekas Setrum Pada Leher Alvares (Jubi/Aprila)

    Jayapura, 4/4 (Jubi) – Alvares Kapissa dan Yali Wenda, dua mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen) yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua, mengaku luka berat karena disiksa polisi. Bukan hanya itu, keduanya mengaku juga disetrum.

    “Kita di atas truk, ditendang, dipukul dengan rotan, senjata, tameng dipakai untuk tindis-tindis (menindih-red) kita,”

    ungkap Yali Wenda kepada tabloidjubi.com di Waena, Jayapura, Jumat (4/4) petang.

    Masih di atas truk itu juga, ungkapnya lagi, dia bersama Alvares disetrum bergantian sampai tiba di Polresta.

    “Sampai di sana sekitar setengah jam, kami berdua duduk saja dalam keadaan kesakitan,”

    kata mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FISIP) Uncen itu.

    Selanjutnya, kata dia, polisi meminta melepas jas almamater yang mereka pakai dan sudah penuh noda darah, lantas menggantinya dengan baju baru yang sudah disediakan.

    Polisi mencuci jas almamater kuning itu dan mengembalikannya pada saat keduanya akan keluar.

    Dia melanjutkan, dia dan rekannya itu berbaring sekitar  satu jam di sel. Tak lama dari situ ada dokter perempuan yang datang membersihkan luka-luka keduanya, termasuk menjahit telinga Yali yang sobek tanpa bius.

    Keesokannya, sekitar pukul 08.00 – 11.00 WIT, keduanya kembali dimintai keterangan. Dan baru pada pukul 12.00 dibebaskan.

    Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

    Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

    Alvares Kapissa, menambahkan, dia diciduk oleh Kabagops Polresta sebelum sempat mengatakan apapun, sebelum akhirnya diangkut ke truk. Dia juga mengaku dipukuli di bagian wajah oleh satu orang anggota polisi berpakaian preman.

    “Waktu akan dipaksa naik dengan didorong, seorang polisi memegang kemaluan saya sambil ditendang. Jari-jari kaki diinjak dengan sepatu. Luka kecil di kaki Yali yang kelihatan, polisi bilang ini luka ka? Langsung mereka tusuk dengan bambu dan putar-putar luka itu. Saya juga disetrum bergantian dengan Yali,”

    ungkap Alvares yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas kedokteran Uncen itu.

    Alvares membantah pernyataan polisi yang mengatakan keduanya ditahan setelah terjadi pelemparan kepada polisi. Menurutnya, dia bermaksud kordinasi dengan polisi karena truk yang disediakan pihak universitas untuk mengangkut mahasiswa yang hendak berdemo ada di sekretariat BEM Uncen. Namun belum sempat dia berbicara, polisi langsung membekapnya dan menaikkan mereka di atas truk polisi. Di atas truk itu, kata Alvares, ada sekitar 10 orang polisi yang memukul keduanya.

    ” Setelah saya di atas truk baru ada yang lempar. Kita juga tidak tau siapa yang lempar-lempar itu. Jadi mereka tahan kami dulu baru ada yang lempar. Bukan karena ada yang lempar, akhirnya mereka tangkap kami.”

    kata Alvares.

    Kedua mahasiswa ini dilepaskan dari tahanan polisi karena tidak terbukti melakukan pelemparan kepada polisi. (Jubi/Aprila)

    on April 4, 2014 at 23:49:47 WP,TJ

  • 1 x 24 Jam Ditahan, Aktivis Mahasiswa Disiksa Polisi

    Alfares Kapisa saat memeriksakan lukanya di RS Dian Harapan (Jubi/Aprila)

    Jayapura, 3/4 (Jubi) – Dua mahasiswa yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua luka berat karena disiksa polisi.

    “Kami dipukul tidak seperti manusia. Tubuh kami penuh dengan darah. Tengah malam baru dokter dari kepolisian masuk kasih mandi, membersihkan darah dan luka.”

    kata Alfares Kapisa, salah satu dari dua mahasiswa yang ditangkap polisi kemarin, kepada Jubi, Kamis (3/4) malam saat memeriksakan lukanya di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena.

    Alfares bersama Yali Wenda dilepaskan oleh polisi di Polresta Jayapura sekitar pukul 14.00 WP. Keduanya ditahan polisi karena dianggap melanggar kesepakatan dengan polisi dalam melakukan aksi demonstrasi kemarin.

    “Kami tidak keluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) karena saat ini sedang masa kampanye, Kami izinkan mereka lakukan aksi karena sebelumnya minta izin lakukan mimbar damai saja bukan longmarch,”

    kata Kapolres Jayapura Kota, Ajun Komisaris Besar (Pol) Alfred Papare, Rabu (2/4) petang.

    Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

    Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

    Menurut dia, kedua korlap itu ditahan untuk diperiksa karena massa aksi hendak melakukan aksi long march di depan auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen), Abepura. Polisi punya waktu memeriksa keduanya selama 1 x 24 jam sejak ditangkap.

    Namun bukannya diperiksa, kedua aktivis mahasiswa ini malah disiksa oleh polisi selama masa penahanan mereka yang cuma 1 x 24 jam itu. Keduanya dipukul dengan popor senjata, rotan dan ditendang menggunakan sepatu.

    Seorang warga yang secara kebetulan berada di Polresta Jayapura, kemarin, mengaku melihat kedua mahasiswa itu diturunkan dari truck polisi yang membawa keduanya sudah dalam keadaan tubuh penuh bekas pukulan.

    “Kasihan, muka mereka sudah hancur, berdarah, waktu diturunkan dari truck polisi. Saya juga sempat lihat seorang polisi di ruang tahanan bertanya kepada rekannya sambil menunjukkan popor senjata yang dipegangnya. Mungkin itu kode mereka untuk bertanya, dipukul pakai senjata atau tidak.”

    kata warga Distrik Jayapura Selatan ini.

    Wajah Alfares, saat dijumpai di RS Dian Harapan terlihat lebam karena bekas pukulan. Bagian bawah matanya bengkak. Di pelipis matanya tampak bekas darah yang sudah mengering.

    “Dokter paksa kami ganti baju untuk hilangkan barang bukti. Kami dipukul dari kaki sampai kepala. Semua badan kami dipukuli. Kepala saya bocor. Saya rasa tulang rusuk saya patah.”

    kata Alfares sambil menunjukkan luka dan bekas darah di kepalanya.

    Markus Haluk, aktivis HAM Papua yang menjenguk Alfares menambahkan telinga Yali Wenda yang ditangkap bersama Alfares harus dijahit sebanyak tiga jahitan.

    “Sekarang mereka setengah mati untuk duduk. Makan juga masih sulit. Tubuh mereka masih gemetaran.”

    tambah Haluk.

    Terkait aksi dan penangkapan Alfares dan Yali ini, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uncen, Yoan Wanbipman mengatakan BEM Uncen telah menyurati Kapolda Papua untuk melakukan pertemuan. Pertemuan antara mahasiswa, dosen, dan aparat kepolisian ini rencananya akan dilakukan Jumat (4/4) besok. (Jubi/Victor Mambor)

    on April 3, 2014 at 21:53:27 WP,TJ

  • Marinus: DPRP dan MRP Lembaga Paling Memalukan

    Marinus YaungJAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik Univeritas Cenderawasih, Marinus Yaung, mengatakan, pernyataan Yan Mandenas bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua hanya numpang lewat di DPPRP, Itu benar-benar merupakan bukti bahwa di lembaga DPRP dan MRP tidak ubahnya sebuah lembaga yang sangat memalukan. Karena telah ditipu dan dikerjain habis-habisan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi Papua.

    Sangat disayangkan karena katanya anggota DPRP dan MRP adalah orang-orang Papua yang cerdas dan pintar, tetapi mudahnya meloloskan suatu RUU tersebut yang notabenenya RUU dimaksud tidak sesuai proses legislasi dalam sistem hukum tata negara Indonesia.

    Mana mungkin suatu RUU yang tidak memiliki draft akademik, tidak memiliki landasan filosofis, landasan historis dan landasan yuridis yang menjadi fondasi dasar suatu RUU yang seharusnya dijelaskan awalnya dalam draft akademik.

    “Ini bisa dengan mudahnya dimasukkan dalam sidang Paripurna dewan,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampung FISIP Uncen Waena, Kamis, (23/1).
    Menurutnya, seharusnya RUU Pemerintahan Papua yang tidak memiliki draft akademik, harusnya pula dilengkapi dengan Daftar Inventaris Masalah (DIM) tapi ini tidak dilakukan, dan harusnya terlebih dahulu dibahas dalam rapat-rapat komisi, rapat-rapat fraksi atau harusnya DPRP membentuk Panja khusus yang menangani RUU Pemerintahan Papua tersebut.

    Tapi sayangnya langsung dibawa kedalam sidang Paripurna dewan tanpa draft akademik dan DIM. Ini benar-benar bukan pembelajaran hukum dan sistem pemerintahan yang baik. Tetapi catatan penting disini buat DPRP bahwa lembaga DPRP dan semua rakyat Papua, bahwa telah ditipu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua.

    Mengapa demikian? RUU Pemerintahan Papua karena sudah DPRP maka akan sampai ke Jakarta di meja Presiden SBY sudah dalam bentuk RUU Pemerintahan Papua atas inisiatif rakyat Papua. Karena salah satu poin penting dan mendasar dalam proses legislasi adalah suatu RUU ini berasal dari mana atau atas inisiatif siapa? Sehingga benar-benar kita orang Papua dibohongi, karena ketika RUU Pemerintahan Papua sampai di tangan Presiden SBY dan Presiden SBY akan tahu bahwa RUU atau PP adalah merupakan inisiatif atau kemauan rakyat Papua.

    “Saya akhirnya jadi teringat kembali kisah perjanjian New York Tahun 1962, suatu perjanjian yang tidak melibatkan orang Papua didalamnya, tapi dianggap telah melibatkan orang asli Papua,” tandasnya.

    Suatu perjanjian New York yang sampai dengan hari ini menimbulkan masalah kemanusiaan di Papua yang tak kunjung selesai. Dengan demikian apakah RUU Pemerintahan Papua yang tidak melibatkan masyarakat Papua dalam proses pembahasannya, tetapi dianggap sudah melibatkan masyarakat Papua, dan pastinya akan bernasib sama dengan New York Agreement, sama dalam pengertian akan semakin sama dalam pengertian akan semakin menambah kompleksitas masalah Papua dan menimbulkan konflik kemanusiaan yang lebih besar lagi di Papua tanpa akhir penyelesaiannya?.

    “Seharusnya DPRP tidak terburu-buru ikut dalam permainan politik Pemda Provinsi Papua yang mengejar tayang RUU Pemerintahan Pemerintahan Papua ini. Sangat memalukan melihat DPRP dan MRP begitu tidak berdaya menghadapi manuver politik Pemerintah Pusat melalui staf khusus Presiden SBY. Sungguh tragis betul nasib rakyat Papua saat ini,”

    pungkasnya.(Nls/don/l03)

    Jum’at, 24 Januari 2014 11:00, BinPa

    Enhanced by Zemanta
  • Draft UU Pemerintahan Papua Final

    Jakarta – Setelah mengalami alur yang cukup panjang dan alot yakni memakan waktu selama 6 bulan, akhirnya Draft UU Pemerintahan Papua dinyatakan rampung atau final dan kini siap diserahkan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyno.

    Anggota DPRP, Alberth Bolang dalam jumpa persnya di hotel Sultan, Rabu (22/1) malam, mengatakan, draft UU ini merupakan draft ke-13 yang telah mengalami pemadatan dan pembobotan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Sehingga diharapkan draft ini dapat diterima pemerintah Republik Indonesia.

    Alberth Bolang yang didampingi Ketua MRP, Timotius Murib serta sejumlah anggota DPR Papua Barat lebih lanjut mengatakan, undang-undang pemerintahan ini mutlak merupakan jawaban dari seluruh akumulasi aspirasi masyarakat asli Papua.

    “DPRP menampung banyak aspirasi kemudian dibuat dalam suatu draft otsus plus. Dimana sumber daya alam dinikmati sepenuhnya rakyat Papua dengan tidak mengabaikan rakyat Indonesia,” ujar Alberth.

    Dijelaskan pula bahwa pada draft ke-13 ini ada perubahan-perubahan pasal. Pasal yang kruisial dihilangkan namun ada juga yang hanya bentuknya dikelompokkan.

    Sementara itu Ketua MRP, Timotius Murib menambahkan, pertemuan final dihadiri oleh anggota MRP, MRPB, DPRP, DPRPB, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, dan para Bupati setanah Papua.

    “Kesepakatan malam ini, ada hal-hal yang diperbaiki terutama pasal-pasal krusial yang dinilai mengganggu keutuhan NKRI. Namun pembobotan yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai dengan aspirasi masyarakat,” ungkap Timotius.

    Lebih jelas Timotius menegaskan bahwa pihak MRP mengharapkan UU Pemerintahan Papua ini akan lebih baik dan lebih bermartabat dari UU No 21.

    Optimis Hanya 25% Isi Otsus Plus Diterima

    Sementara itu Pengamat Sosial Politik di Papua, Budi Setyanto, S.H., mengatakan, ia sangat yakin bahwa isi dari UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua hanya diterima 25 persen saja oleh Pemerintah Pusat.

    “Ya, saya pastikan isi dari UU Pemerintahan Papua itu hanya diterima 25 persen saja, sisanya 75 persen ditolak Pemerintah Pusat,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (23/1).

    Alasannya adalah kemungkinan besarnya Pemerintah Pusat tidak akan menyetujui hal-hal yang menyangkut kepentingan negara yang lebih besar. Contoh kecil saja, permintaan Kantor PT Freeport beserta segala produksinya di Papua, itu jelas hal yang sangat mustahil, karena jelas mengurangi pendapatan negara, jika Kantor PT Freeport di Papua.

    Kemudian, persoalan produksi hasil tambang PT Freeport di Papua, jelas bahwa negara-negara pemegang Saham, seperti Amerika Serikat tidak akan menyetujui hal itu, karena jelas mengenai keuntungan dan kerugiannya.

    Berikutnya mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/bupati/walikota) yang juga diusulkan dalam draft undang-undang plus dimaksud, dipastikan juga akan ditolak oleh Pemerintah Pusat. Karena persoalannya adalah Pemilu langsung yang sudah terlaksana selama ini merupakan proses pendidikan politik yang mendewasakan masyarakat.

    Dimana, masyarakat kini semakin paham mengenai politik itu sendiri, karena terlibat langsung di dalamnya untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpinnya yang menurut anggapan masyarakat adalah sosok pemimpin yang baik dan merakyat serta pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi peningkatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di segala aspek kehidupan.

    Ditegaskannya, memang diakuinya pemilihan langsung mengeluarkan cost (biaya) yang besar dan korban jiwa, namun kenyataannya ketika semua sengketa berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada lagi konflik. Dan tentunya adanya konflik tersebut, menandaskan bahwa masyarakat begitu peduli dalam kegiatan demokrasi yang menginginkan demokrasi yang baik untuk mensejahterakan masyarakat.

    “Jadi bagi kandidat yang mau bertarung dalam Pemilukada, ya diharapkan harus siap dulu lah, baik finansial, mental dan lainnya,” tegasnya.(Lea/nls/don/l03)

    Jum’at, 24 Januari 2014 11:06, BinPa

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?