Tag: hukum kolonial

  • Baas Suebu DIbui, Papua Keluar dari NKRI

    JUM’AT, 12 FEBRUARI 2016 , 09:14:00 WIB, OLEH: DEREK MANANGKA, BARNABAS SUEBU/NET

    KEDENGARANNYA, seperti sebuah ancaman atau gertakan. Namun apapun maknanya, dalam situasi seperti saat ini, persoalan yang menyangkut pemenjaraan seorang tokoh Papua di Jakarta, sangat sensitif.

    Mayoritas masyarakat Papua saat ini sedang menunggu dengan perasaan cemas bercampur marah. Sebab tokoh panutan mereka Barnabas “Bas” Suebu sedang menunggu putusan banding, apakah dia dibui 4,5 tahun atau bebas.

    “Begitu Pak Bas dinyatakan bersalah, deklarasi Papua keluar dari NKRI, langsung diproklamirkan di seluruh wilayah bumi Papua,” demikian Harry Noor, salah seorang sahabat terdekat bekas Gubernur Papua tersebut.

    Pernyataan Harry Noor muncul hanya sehari setelah berita rapat kerja antara Menteri Luar Negeri Retno Massupi dengan para anggota Komisi I DPR RI beredar.

    Dalam berita tersebut antara lain disebutkan dukungan internasional terhadap kemerdekaan Papua, terkesan makin menguat.

    Disebutkan, Desmond Tutu seorang pendeta asal Afrika Selatan yang juga pemenang Hadiah Perdamaian Nobel, termasuk yang gencar mempromosikan kampanye kemerdekaan Papua, eks Irian Jaya.

    Sementara Perdana Menteri dari kepulauan Solomon dari wilayah Pasifik, sudah menawarkan dialog bagi pemisahan Papua dari RI.

    Di kalangan kongres Amerika Serikat sendiri, sudah sejak tahun 2000 muncul desakan kepada Washington agar di PBB, Amerika Serikat memperjuangkan perjuangan kemerdekaan Papua.

    Di Australia dan Inggeris sendiri, perwakilan OPM (Organisasi Papua Merdeka) mendapatkan tempat yang layak dari dua negara itu. Di Inggeris, secara resmi Walikota Oxford memberikan dukungan atas pembukaan kantor OPM.

    Semua situasi di atas mengkristal setelah diketahui bahwa Barnabas “Bas” Suebu yang dikenal mereka sebagai tokoh pemersatu Papua, dizolimi oleh pemerintah Jakarta.

    “Saya sendiri sangat sedih dan tidak bisa memahami sikap para penegak hukum di negara kita. Mereka mengkriminalisasi Pak Barnabas,” kata Harry Noor.

    Berbicara di Jakarta, Kamis 11 Februari 2016, Harry Noor memastikan sejauh ini pledoi Bas Suebu, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Papua. Baik yang di dalam maupun di luar wilayah pulau terujung Timur, Indonesia itu.

    Pledoi itu difoto copy ratusan ribu bahkan mungkin jutaan kali.

    Dalam pledoi tertanggal 12 November 2015 yang berjudul “Saya Bukan Koruptor”, Bas Suebu yang juga seorang sarjana hukum, membeberkan segala bentuk pelanggaran hukum dan penzoliman terhadap dirinya.

    Dan penzoliman itu dinilai sebagai sikap resmi pemerintah RI melalui Pengadilan Tipikor, Jakarta.

    Sehingga bagi masyarakat Papua, tak ada rahasia sedikitpun yang tersembunyi dari semua perlakuan semena-mena oleh pemerintah Jakarta kepada seorang Bas Suebu.

    Bas Suebu yang membangun karirnya dari Jayapura, seperti Ketua KNPI, pernah menjadi Dubes RI untuk Meksiko. Selain itu dia dua kali menjadi Gubernur Papua (1988 – 1983 dan 2006 – 2011) oleh masyarakat Papua diposisikan sebagai tokoh formal sekaligus pemimpin informal.

    Mereka tersinggung dengan dia dipermalukan di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).

    “Untuk apa kami menjadi bagian dari RI? Kalau pemimpin kami yang bersih, bisa diperlakukan semena-mena dan tidak adil?” begitu kutipan pernyataan yang didengar Harry Noor.

    Noor seorang Insinyur asal Padang, Sumatera Barat, lulusan Belanda menjadi akrab dengan Papua dan Bas Suebu, karena pekerjaan.

    Bekas pemain band cilik “Noor Bersaudara” ini pernah bekerja sama dengan Barnabas Suebu, ketika yang terakhir ini menjadi Gubernur Papua pada era kedua (2006 – 2011).

    Di periode itu, Harry Noor sebagai seorang profesional, direkrut perusahaan daerah (BUMD) Papua. Selain mengerjakan proyek listrik, Noor termasuk pejabat daerah yang diikut sertakan Gubernur Suebu manakala melakukan perundingan dengan PT Freeport.

    Sehingga Harry Noor boleh jadi merupakan satu di antara sedikit putera non-Papua yang berada di lingkar satu Bas Suebu.

    Bas Suebu sendiri tak bisa dimintai komentar, sebab saat ini dia sedang ditahan di penjara Salemba, Jakarta.

    Tetapi seperti dituturkan Hary Noor, secara pribadi dia tahu dan banyak mendengar langsung dari Bas Suebu tentang berbagai upayanya mencegah Papua keluar dari NKRI.

    Tahun 2000, menurut kisah Bas Suebu, adalah Presiden Gus Dur yang meminta jasa baiknya untuk menjadi juru runding dengan tokoh OPM Theys Hilo Eluay. Padahal saat itu semangat ingin memisahkan diri Papua dari NKRI demikian tinggi.

    Kompromi yang tercapai, lahirnya Undang-Undang yang mengatur Papua dengan status Otonomi Khusus (Otsus).

    “Tapi kali ini dia justru disakiti dan dipermalukan. Dia tidak melakukan korupsi dan semua fakta menunjukan dia tidak bersalah, tetapi hakim seperti tidak peduli dengan kejujuran Bapak Bangsa Papua ini,” kata Harry Noor.

    “Yang lebih menyakitkan, setelah penegak hukum gagal menemukan bukti tindak korupsi yang dilakukan Pak Bas, kemudian diisukan bahwa Barnabas Suebu merupakan salah satu tokoh Papua yang ingin memerdekakan Papua dari NKRI. Ini isu yang paling kejam yang pernah saya dengar,” berkata Hary Noor. [***]

    Penulis adalah jurnalis senior

  • Bukan OPM, Marsel Diminta Dibebaskan

    JAYAPURA – Marsel Muyapa (25), warga Kalibobo, Jalan Jayanti RT 15/RW 04, Nabire sekaligus seorang sopir angkutan umum jurusan Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai yang saat ini ditahan di Polda, diminta dibebaskan.

    Pasalnya, Marsel adalah bukan bagian dari TPN/OPM tetapi hanya seorang sopir yang ikut ditembak dan ditangkap oleh Timsus dan Satgas Brimob Polda Papua, ketika mobil yang dikendarainya disewa Kelompok OPM di Wilayah Paniai Jhon Salmon Yogi dan Yulianus Nawipa pada tanggal 30 April 2015 Pukul 10.45 WIT di Kampung Sanoba Atas Distrik Nabire, Kabupaten Nabire.

    Permintaan ini disampaikan Keluarga korban Marsel Mayupa masing-masing Melianus Gobay dan Kornelia Muyapa didampingi Pembela HAM Matius Murib kepada wartawan di Jayapura, Rabu (20/5).

    Dikatakan, pihaknya mewakili keluarga, masyarakat, gereja, tokoh pemuda, tokoh masyarakat yang berdomisi di 4 Kabupaten masing-masing Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai.

    Menurut Melianus Gobay, pihak keluarga Marsel Muyapa menolak perlakuan dari Timsus dan Satgas Polda Papua yang melakukan penembakan dan menyatakan Marsel Muyapa tergolong dalam TPN/OPM.

    Karenanya, pihak keluarga memohon agar polisi membebaskan Marsel Muyapa dengan alasan sebagai berikut. Pertama, Marsel Muyapa bukan salah satu anggota TPN/OPM. Kedua, Marsel Muyapa adalah seorang sopir angkutan umum yang melayani masyarakat jurusan Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai.

    Ketiga, semua masyarakat yang ada di 4 Kabupaten mengetahui dia adalah seorang sopir yang setia melayani. Keempat, untuk itu jika terjadi apa-apa terhadap Marsel Muyapa maka pihak keluarga akan menuntut sesuai dengan aturan yang berlaku.

    Kelima, dengan demikian harapan keluarga, masyarakat, gereja, tokoh pemuda, tokoh masyarakat memohon agar pihak yang terkait untuk segera membebaskan Marsel Muyapa.

    Sementara itu, Matius Murib menegaskan, pihaknya merasa prihatin terkait tindakan Polisi setelah menangkap, menembak dan menjadikan korban Marsel Mayupa sebagai tersangka. Lebih ironis lagi, luka tembak di bagian paha kiri korban Marsel Muyapa masih meregang. Tapi dipaksakan diperiksa dan ditahan di Mapolda Papua.

    Menurut pengakuan korban, tambah Matius Murib, ketika ditangkap ia berusaha mengangkat kedua tangannya sembari menyampaikan kepada Timsus dan Satgas Brimob bahwa dirinya hanya seorang sopir yang melayani masyarakat dan tak punya kaitan dengan kegiatan lain. Tapi ternyata ia ditembak juga.

    Karenanya, cetus Matius Murib, pihaknya sangat meragukan profesionalisme Polisi, karena tindakan yang dilakukan di luar prosedur yang seharusnya digunakan. Pasalnya, jika menangkap seseorang seharusnya ada dugaan masalahnya atau seseorang yang dinyatakan DPO.

    “Kalau didalam sebuah mobil ada penumpang yang lain dipisahkan dong yang targetnya saja ditembak, Dalam situasi perang sekalipun jika orang sudah angkat tangan ndak boleh ditembak. Ini bukan situasi perang kenapa ditembak,”tegas Matius Murib.

    Karenanya, tutur Matius Murib, pihaknya menganjurkan koreksi internal Polri dalam melaksanakan operasi apapun harus prosedural sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SPO) yang ada di Polri.

    “Kalau bisa cukup diarahkan kepada target operasi bukan justru warga yang tak tahu-menahu dijadikan korban,”paparnya. (mdc/don/l03)

    Source: Kamis, 21 Mei 2015 03:58, Bukan OPM, Marsel Diminta Dibebaskan

  • Jokowi Beri Deadline 2 Hari Kasus Paniai

    JAYAPURA – Ada perkembangan terbaru soal penanganan kasus kekerasan yang menewaskan empat orang pelajar di Paniai akibat rekena peluru pada 8 Desember 2014 lalu.

    do memberikan deadline waktu selama dua hari ke kapolda Papua untuk mendapatkan jawaban dari Polda Papua tentang perkembangan kasus kekerasan tersebut. “Saya barusan di telepon Kapolda kalau beliau mendapat perintah langsung dari Presiden Joko Widodo agar kasus di Paniai dibuka kembali dan menuntas kasus tersebut. Perintah itu Presiden akan mendapat jawaban dalam waktu dua hari,” kata Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Yotje Mende pada saat memberikan paparan dalam acara Hut Yayasan Kemala Bhayangkari di Mapolda Papua, pada Selasa (12/5) kemarin.

    Berdasarkan instruksi itu, kata Kapolda Yotje, pihaknya turun langsung ke Paniai, pada Rabu (13/5) hari ini bersama Kasat Brimob, Dir Krimum, Dir Intel, Dir Intel, Irwasda. “Kasus Paniai ini sudah masuk ke ranah dalam dunia Internasional, sehingga saya minta kepada Kapolres Paniai AKBP Leonardus Nabu agar ikut di lokasi di daerah Paniai tersebut,” katanya.

    Pada kesempatan itupula, Kapolda Yotje berharap agar seluruh staf di Polda Papua mendukung dalam penuntasan kasus kekerasan di Paniai tersebut. “Ini jadi beban kita semua, sehingga dalam waktu dua hari ini bisa segera membuat laporan perkembangan kepada Presiden dalam penuntasan kasus tersebut,” ujarnya.

    Selain itu, Kapolda Yotje meminta kepada semua jajaran agar penanganan kasus di Papua tidak lagi diberlakukan secara represif melainkan dilakukan secara persuasif. “Ini perintah dari pak Presiden sehingga sekarang lebih memberlakukan pendekatan, pencegahan dan pembinaan,” katanya.

    Tak hanya itu, pihaknya meminta agar membatasi operasi penegakkan hukum dakan tetapi lebih mengutamakan operasi intelejen. “Aman matoa yang akan dilaksanakan nanti harus lebih mengutamakan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan seperti yang disampaikan bapak Presiden,” harapnya.

    Sementara itu kepada wartawan, Kapolda Yotje mentatakan, bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan berangkat ke Paniai bersama Direktur Reskrim Umum Polda Papua, guna membuka kembali kasus penembakan yang terjadi kepada masyarakat di daerah tersebut. “Masalah kasus Paniai akan kembali dibuka penyidikannya dengan mengecek senjata-senjata Polisi dan anggota yang bertugas disana,” katanya.
    Namun Kapolda berharap masyarakat juga mau menjadi saksi untuk memberikan keterangan-keterangan terkait dengan kejadian itu. “Masyarakat tidak perlu takut untuk memberikan keterangan terkait dengan kejadian itu, jadi kita harap masyarakat mau menjadi saksi,” ujarnya.

    Selain itu, pihaknya juga akan mendorong anggotanya bertugas dengan baik dan profesional dalam menyidiki kasus penembakan itu. “Saya minta anggota bertugas dengan profesional, tidak perlu takut dengan situasi, mereka harus bekerja dengan profesional dan tidak terprovokasi dan takut dengan situasi yang ada di daerah itu,” katanya.

    Kapolda Yotje berharap kepada masyarakat untuk mau memberikan keterangan dan bisa menunjukkan barang bukti yang dibutuhkan. “Saya akan minta berbagai pihak untuk dapat memberikan keterangan dan bukti yang lain agar kasus itu bisa terungkap,” tambahnya.
    Pihak Polda juga akan berupaya kepada pihak korban agar mau membongkar jenazah agar diotopsi, karena masih ada dua jenazah yang proyektil masih tertinggal. “Ketika proyektil itu didapatkan dan dapat diperiksa, jadi dari situ kita tahu jenis proyektil itu siapa punya dari senjata jenis apa dan siapa yang punya senjata seperti itu,” tandasnya.

    Pengungkapan kasus ini selama ini sulit dilakukan karena masyarakat tidak mau dilakukan otopsi terhadap jenazah korban. Selama ini kita masih berandai-andai karena di wilayah ini banyak yang punya senjata ada polisi, ada sipil bersenjata ada TNI. “Jadi selama ini kita belum punya fakta yang nyata, jadi kita tidak bisa menentukan siapa pelakunya, karena kasus ini tidak bisa berandai-andai,” tegas Kapolda.

    Kapolda berharap dalam lawatannya ke Paniai dalam waktu dekat ini, akan dapat menemukan jalan keluar dalam pengungkapan kasus yang menewaskan 4 orang itu. “Mudah-mudahan kita kesana semua bisa kita lihat dan diteliti senjata yang dipakai anggota, ada yang jenis revolver ada juga SS1 dan jenis lainnya,” tambahnya. (Loy/don/l03)

    Source: Jokowi Beri Deadline 2 Hari Kasus Paniai, Rabu, 13 Mei 2015 11:07,

  • Apotnalogilik Lakobal : Yang Kami Tahu, Kami akan Diberikan Amnesti

    Jayapura, Jubi – Usai menerima grasi dari Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), Apotnalogilik Lakobal, mengakui dirinya menyesal karena mengetahui menerima grasi setelah tiba di Jayapura.

    “Saya menyesal. Yang kami tahu, kami akan diberikan amnesti. Sampai di Abepura ini baru kami tahu kalau kami dapat grasi. Tidak ada yang kasih tahu kami,” kata Apotnalogilik Lakobal, salah satu dari lima tahanan politik yang diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo, usai upacara pemberian grasi di LP Abepura, Sabtu (9/5/2015).

    Presiden Indonesia, Jokowi dalam wawancara dengan Jubi usai upacara pemberian grasi, mengakui bahwa pemberian grasi adalah inisiatifnya.

    “Pemberian grasi adalah inisiatif saya. Kalau mereka (tahanan politik Papua-red) ingin grasi, dalam waktu dua minggu akan kami berikan. Tapi kalau amnesti, itu perlu persetujuan DPR. Saya tidak tahu, mereka (DPR RI) setuju atau tidak,” kata Presiden Jokowi.
    Apa yang disampaikan oleh Presiden Indonesia ini dibenarkan oleh Linus Hiel Hiluka, tapol lainnya yang mendapat grasi dari Presiden Jokowi. Linus mengatakan dirinya bersama empat tapol lainnya tidak pernah minta maupun memohon grasi kepada pemerintah.

    “Kami kami tidak pernah minta. Grasi itu murni kehendak dan inisiatif presiden Jokowi. Presiden bilang pemberian grasi ini adalah inisiatif dari saya (presiden), bukan permohonan kami. Presiden juga minta maaf atas apa yang dilakukan aparat terhadap kami selama 12 tahun terakhir,” kata Hiluka saat jumpa pers dengan wartawan di kantor ALDP, Padang Bulan, Abepura, Minggu (10/5/2015).

    Grasi merupakan hak konstitusional yang diberikan kepada presiden untuk memberikan pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Pemberian grasi adalah hak prerogatif presiden untuk memberikan ampunan.

    Pemberian grasi ini diatur dalam UU No. 22 Tentang Grasi. Pemberian grasi harus diajukan secara tertulis seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 UU tentang Grasi ini yang menyebutkan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Selanjutnya, ayat 4 menyatakan dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya. (Victor Mambor)

    Source: TabloidJubi.com Diposkan oleh : Victor Mambor on May 11, 2015 at 02:46:44 WP [Editor : -]

  • 30 Tapol Papua Akan Dapat Amnesty

    JAYAPURA — Sedikitnya, 30 Tahanan Politik (Tapol) Papua akan mendapat amnesty (pengampunan) dari Presiden RI H. Ir. Joko Widodo (Jokowi) secara bertahap.

    Hal itu diawali dengan pemberian amnesty yang dilakukan dalam rangkaian kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Papua, yang mengagendakan bertemu sekaligus memberikan Amnesty atau pengampunan bagi 8 Tahanan Politik (Tapol) Papua yang selama ini menghuni Lapas Abepura, Sabtu (9/5) sekitar pukul 15.00 WIT.

    Pembela HAM Papua, Matius Murib kepada wartawan di Abepura, Jumat (8/5) mengatakan, 8 Tapol Papua tersebut, masing-masing Jafrain Murib, Numbungga Telenggen, Apotnagolik Lokobal, Jefri Wanimbo, Jogor Telengen, Kimanius Wenda dan Linus Hiluka.

    Menurut Matius Murib, Tapol Papua hingga bulan Februari 2015 berjumlah 38 Tapol. Presiden Jokowi pada tahap awal ini memberikan pengampunan kepada 8 Tapol, sedangkan sisa 30 Tapol secara bertahap bakal dibebaskan puncaknya pada saat HUT Proklamasi RI tahun 2015 mendatang.

    Ia menjelaskan, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua, Lenis Kogoya mewakili Presiden Jokowi pada Jumat (8/5) telah menemui sekaligus menyampaikan tawaran pengampunan kepada ke-8 Tapol tersebut.

    Hanya saja, ke-8 Tapol mengakui masalah politik Papua masa lalu telah melibatkan pihak internasional, seperti PBB, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia.

    Makanya sangat fair bila persoalan politik diharapkan melibatkan pihak internasional. Ke-8 Tapol ini juga menginginkan setelah mereka dibebaskan Papua langsung merdeka. “Tapi setelah bebas masih dijajah oleh Indonesia dan masih tak aman, bahkan ditangkap lagi mereka justru menolak Amnesty Presiden,” tandas Matius Murib.

    Dikatakan Matius Murib, Amnesty adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesty diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif dan legislatif atau yudikatif.

    Di Indonesia Amnesty merupakan salah-satu hak Presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembangunan kekuasaan. (Mdc/aj/l03

    Source: Minggu, 10 Mei 2015 02:30, BinPa

  • Dua Hari, 264 Orang Ditangkap Karena Kebebasan Berekspresi

    Jakarta, Jubi – “Dalam dua hari, 30 April – 1 Mei 2015, 264 orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana, Papua. Mayoritas mereka adalah anak muda dan mahasiswa anggota dan simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan satu orang wartawan yang sedang melakukan peliputan. Penangkapan dilakukan oleh Brimob dan Tim Khusus Polda Papua dan Papua Barat ketika massa sedang mempersiapkan dan melakukan aksi damai serta menyebarkan selebaran sosialisasi rencana aksi.” kata Zelly Ariane, Kordinator #papuaitukita, kelompok advokasi HAM untuk Papua yang berbasis di Jakarta.

    1 Mei, ujar Zelly, adalah momentum bersejarah bagi masyarakat Papua yang diperingati setiap tahun.

    “Bagi orang Papua 1 Mei 1963 adalah penanda Aneksasi Papua Barat, ketika administrasi Papua (waktu itu masih bernama West New Guinea) diserahkan oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) PBB ke Indonesia. Peringatan 1 Mei secara damai telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Papua, dan respon pemerintah serta aparat keamanan selalu sama: paranoid dan represif,” kata Zelly kepada Jubi, Senin (4/5/2015).

    Penangkapan yang terbesar sejak beberapa tahun terakhir ini dipandang oleh #papuaitukita sebagai pelanggaran serius terhadap hak berkumpul dan menyatakan ekspresi di Papua. Inilah wujud pembungkaman hak menyatakan pendapat dan ketiadaan ruang demokrasi di Papua, apalagi peristiwa semacam ini sudah terjadi terus menerus selama 10 tahun terakhir pasca reformasi.

    Lanjut Zelly, penangkapan dan penyiksaan kali ini terjadi secara sistematik dan meluas. Hal ini ditunjukkan dengan [1] pengerahan sumberdaya kepolisian yang besar, [2] terjadi di lima kota di Papua di dua wilayah Polda yang berbeda, dan [3] dilakukan secara serentak. Karenanya sulit dihindari kesimpulan bahwa tindakan ini melibatkan unsur pengambil kebijakan keamanan tertinggi di tingkat nasional.

    Aktivis HAM asal Aceh ini menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun untuk menangkap dan menahan masyarakat yang bermaksud melakukan aksi damai memperingati Hari Penolakan Aneksasi Papua Barat, 1 Mei 2015. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Tuduhan makar yang ditujukan pada para aktivis, yang sedang berjuang mendorong pemenuhan HAM, dan masyarakat biasa, di Papua telah dijadikan pola oleh aparat untuk membungkam kritisisme.

    Zelly yang baru-baru ini dinobatkan oleh situs petisi online, change.org sebagai Kartini Modern bersama enam perempuan pembawa perubahan lainnya, menambahkan Presiden RI Joko Widodo harus memberikan perhatian terhadap hal ini. Pemerintah dan aparat penegak hukum, lanjut Zelly, harus menghentikan semua tindakan kriminalisasi kepada para aktivis mahasiswa yang kritis di Papua.

    “Pemerintah juga harus membuka ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat secara damai tanpa ancaman di Papua. Perlu diingatkan pula bahwa pemerintah Indonesia masih berjanji untuk Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Beropini dalam Peninjauan Berkala Universal di Jenewa tahun 2012. Publik berhak mendapatkan informasi bebas dan kebenaran atas situasi yang terjadi di Papua,”

    tegas Zelly.

    Berdasarkan informasi yang dikumpulkan #papuaitukita, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang kepada ratusan aktivis mahasiswa, khususnya kepada anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan simpatisannya di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana terjadi pada tanggal 30 April-1 Mei 2015. Tercatat 264 orang mahasiswa ditangkap secara sewenang-wenang. Secara bertahap mereka telah dibebaskan setelah melalui proses interogasi. Beberapa dari mereka mengalami penganiayaan dalam proses interogasi tersebut. Pada tanggal 2 Mei, 3 orang yang ditangkap bersama 30 orang lainnya di Jayapura, akhirnya dibebaskan.

    “Berdasarkan informasi yang kami terima, pada 27 April 2015 Kapolres Merauke, AKBP Sri Satyatama teah menyatakan bahwa Polri tidak akan memberikan ruang kepada KNPB untuk melakukan berbagai kegiatan termasuk doa bersama pada 1 Mei 2015 mendatang. Ia akan membubarkan kegiatan yang akan dilakukan oleh KNPB.”

    terang Zelly.

    Aktivis Hak Asasi Manusia lainnya, Indria Fernida menambahkan aparat kepolisian juga melakukan tindakan intimidatif kepada para aktivis KNPB. Sebab pada 17 April 2015, aparat kepolisian mendatangi sekretariat KNPB Wilayah Sentani dan mengancam para aktivisnya.

    “Sepanjang April 2015, aparat Polres Merauke telah dua kali menggerebek sekretariat KNPB Wilayah Merauke dan menyita dokumen-dokumen milik KNPB. Selain itu, beredar selebaran gelap di kalangan masyarakat Merauke yang menyatakan bahwa KNPB adalah organisasi terlarang dan ancaman melakukan makar jika masyarakat bergabung di dalamnya,”

    kata Indri, aktivis yang aktif di KontraS Jakarta.

    Pada 30 Mei, lanjut Indria, 12 orang anggota KNPB ditangkap oleh anggota Polres Manokwari saat membagikan selebaran untuk ajakan aksi damai. Pada 1 Mei, sebanyak 30 orang anggota KNPB dan simpatisannya ditangkap dan diamankan oleh aparat kepolisian dari Polres Jayapura tepat di depan gapura Universitas Cendrawasih, Jayapura. Di Manokwari total penangkapan 203 orang, dari dini hari hingga siang hari ketika aksi dilakukan. Di Kaimana, aparat kepolisian membubarkan aksi dan menangkap 2 orang aktivis KNPB. Aparat kepolisian juga melakukan pengrusakan sekretariat KNPB dan PRD Maimana. Di Merauke, penangkapan tersebut terus berlanjut, dimana 15 orang anggota KNPB dan 1 Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Papua Barat wilayah Merauke. Siang harinya aparat membangun pos aparat di sekitar sekretariat KNPB wilayah Merauke dan menempatkan ratusan anggota polisi dalam pos tersebut. Aparat juga menggeledah sekretariat dan membawa spanduk, poster, dan dokumen milik KNPB.

    Selain penangkapan aktivis dan simpatisan KNPB, ditambahkan oleh Budi Hernawan, mantan Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura, di Nabire seorang wartawan Majalah Selangkah online, Yohanes Kuayo, ditangkap dan diborgol oleh Satgas Polda Papua dan Tim Khusus Polda Nabire, ketika melakukan peliputan di RSUD Nabire.

    Ia ditangkap hanya karena dicurigai karena mengenakan kaos Free West Papua ketika melakukan peliputan terhadap korban kontak senjata di rumah sakit tersebut,” kata Hernawan yang saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Paramadina.

    Yohanes, lanjut Hernawan, dibebaskan setelah Pemimpin Redaksi Majalah tersebut datang dan protes atas perlakuan aparat kepolisian.

    “Per-3 Mei 2015, aparat kepolisian telah membebaskan hampir semua tahanan, kecuali satu orang di Manokwari. Di sisi lain, peristiwa ini luput dari pemberitaan sehingga hak atas informasi bagi publik juga terabaikan,”

    ujar Hernawan. (Benny Mawel)

    Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Benny Mawel on May 5, 2015 at 09:18:56 WP [Editor : Victor Mambor]

  • Idiologi Beda, KNPB Tak Terdaftar di Kesbang

    JAYAPURA — Kepala Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) Provinsi Papua Musa Isir, S.Sos, MPA., melalui Kepala Sub Bidang Ketahanan Kemasyarakatan dan Ekonomi Kesbang Provinsi Papua, Palgunadi, SE., mengatakan pihaknya tidak bisa membubarkan KNPB.

    Pasalnya, Organisasi Masyarakat (Ormas) tersebut sama sekali belum mendaftarkan diri ke Badan Kesbang Provinsi Papua.

    “KNPB tak terdaftar di Kesbang, karena termasuk Ormas tak resmi, karena ideologinya   bertentangan dengan Pancasila  dan UUD 1945,” tegas Musa Isir ketika dikonfirmasi terkait status hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Di ruang kerjanya, Jumat (27/3).

    Musa Isir menjelaskan di Papua terdapat 320-an Ormas yang terdaftar di Badan Kesbang Papua, di dalamnya tak termasuk  KNPB, bahkan pihaknya juga tak  mengetahui  keberdaaan  Ormas tersebut.

    “Mungkin karena tujuan KNPB memang bertentangan dengan negara, sehingga  dia tak mendaftar di Kesbang. Kalau dia mendaftar jelas kita tolak, sebab salah-satu persyaratan sebagaimana UU No. 17 /2013 tentang Ormas, setiap Ormas harus memiliki AD/ART dan  berdasarkan Pancasila  dan UUD 1945,”

    kata  Palgunadi.

    Untuk membubarkan Ormas  yang  bertentangan dengan UU, Menurut Palgunadi, mesti ada  prosedur  dan tahapan-tahapannya, seperti peringatan tertulis. Apabila peringatan tertulis  ternyata tak digubris, maka Ormas  tersebut  dapat  dituntut  di  Pengadilan. Jika terbukti melanggar hukum,  maka  Pengadilan berhak  untuk  membubarkan  Ormas tersebut.

    Palgunadi menandaskan, walaupun ada UU No. 17 /2013 tentang Ormas,  tapi  peraturan ini belum ada Peraturan Pemerintah (PP). Ini  yang menyebabkan pihaknya  sulit membubarkan Ormas  yang  bertentangan, termasuk KNPB.

    Palgunadi mengatakan, sebetulnya yang salah bukan Prmas, tapi oknum-oknumnya ternyata bertentangan  dengan ideologi negara dan mengganggu ketertiban umum.

    Karenanya, terangnya, aparat seharusnya mengamankan oknum-oknum Ormas yang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan UU.

    Dikatakan Palgunadi, hingga tahun 2015 terdapat  320-an  Ormas di Papua  yang terdaftar di Kesbang Provinsi Papua. Tapi hanya sebagian kecil melaporkan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.

    “Sebetulnya yang perlu dilakukan tindakan hukum sesuai  KUHP adalah oknum-oknum yang melakukan tindakan anarkis  dan mengganggu  ketertiban masyarakat,” katanya.

    Sebelumnya, Kapolda Papua Irjen (Pol) Yotje Mende mengusulkan agar KNPB dibubarkan, karena sudah sering melakukan tindakan anarkis  dan mengganggu ketertiban masyarakat. (Mdc/don/l03)

    Source: Sabtu, 28 Maret 2015 14:13, BinPa

  • Jual Amunisi ke KKB, 5 Anggota TNI Dipecat

    Mayjen TNI Fransen G SiahaanMERAUKE – Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen G Siahaan tidak kenal kompromi terhadap adanya oknum anggota TNI yang diduga menjual amunisi kepada kelompok kriminal bersenaja (KKB). Terbukti, lima anggota TNI AD di Kodam XVIII/Cenderawasih, yang diduga menjual amunisi kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) telah ditindak dengan tegas melalui pemecatan secara adminstrasif sebelum diputuskan di pengadilan militer.

    Demikian disampaikan Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen G Siahaan kepada wartawan di Merauke, Jumat (30/1/15). Dikatakan, lima anggota TNI itu sudah dipecat secara administratif. “Ada 2 tindakan, administrasi dan hukum. Hukum melalui jalur pengadilan. Tapi sebelum pengadilan, kita sudah melakukan tindakan administrasi, yakni pengakhiran tugas dengan tidak hormat. Sebelum pengadilan memecat dia, kita sudah memecat terlebih dahulu,” tegas Pangdam.

    5 terduga oknum TNI itu, yakni Sertu NHS, Pratu S, Pratu RA, Serma S dan Sertu MM. Mereka ditangkap tim gabungan TNI-Polri setelah tertangkapnya 3 warga sipil yang terkait KKB di Entrop Jayapura pada 28/1/15.

    “Prajurit ini pengkhianat bangsa, adalah pembunuh-pembunuh kita. Kemarin saya memerintahkan kepada Asisten I, ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Ini masih dalam penyidikan,” ujarnya.

    Dugaan keterlibatan ada anggota TNI AD yang melakukan transaksi amunisi diketahui setelah penangkapan 3 warga sipil di Entrop Jayapura pada 28 Januari 2015, 2 diantaranya merupakan KKB pimpinan Puron Wenda.

    “Kita menangkap sinyal atau tanda-tanda bahwa ada penjualan amunisi. Kita bekerja sama dengan Polda melakukan penyergapan itu, lalu dari pengembangan itu, terindikasi ada anggota kita,” bebernya.

    Tambah Pangdam, dia sudah memberikan laporan ke pimpinan atas, yakni Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) bahwa ada anggota TNI yang diduga menjual amunisi ke KKB.

    “Kasad memerintahkan tidak ada toleransi dan pecat. Sehingga berdasarkan aturan TNI AD khususnya, kita pecat secara administrasi sebelum disidang. Jadi kalau pun pengadilan tidak memecat, kita sudah memecatnya,” tandas Pangdam. (moe/don/l03)

    Source: Sabtu, 31 Januari 2015 05:50, BinPa

  • Dua Anggota Kelompok Ayub Waker Jadi Tersangka

    JAYAPURA – Kepolisian Daerah Papua menetapkan dua anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Ayub Waker wilayah Timika sebagai tersangka dalam kasus penembakan terhadap dua anggota Brimob BKO Sulawesi Selatan, pada 1 Januari 2015 lalu.

    Kedua tersangka tersebut kini sudah menjadi tahanan polisi guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keduanya masing-masing, Nelson dan Giliman Waker.
    Kapolda Papua Inspektur Jenderal Polisi Drs. Yotje Mende mengungkapkan, kedua tersangka tersebut mengaku bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok organisasi terlarang dan anggota kelompok pimpinan Ayub Waker.

    “Mereka ini ditangkap saat setelah penembakan terhadap dua anggota Brimob dan satu security yakni, Nelson. Sedangkan tersangka Giliman Waker ditangkap saat terjadi kontak senjata di daerah kali Kabur. Ia ditemukan dalam kondisi luka tembak,” katanya.

    Sementara menurutnya, penangkapan terhadap 64 orang lainnya yang diduga merupakan kelompok organisasi terlarang dan anggota kelompok bersenjata Ayub Waker telah dibebaskan lantaran tidak cukup bukti dari hasil pemeriksaan.

    Dikatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap kelompok masyarakat yang sempat diamankan diduga hanya ikut-ikutan. Sementara beberapa masyarakat lainnya hanya mendapat telephone untuk bergabung, namun secara kepribadian mereka tidak ikut terhadap kelompok tersebut.

    Meski sudah dibebaskan, pihaknya akan terus memantau pergerakan mereka serta mengejar para pelaku penembakan terhadap kelompok Kriminal Bersenjata tersebut. “Kami menduka menduga mereka masih berada di gunung sekitar Kali Kabur, Distrik Tembagapura,” katanya.

    Soal jumlah mereka, Kapolda Yotje ada sekitar 50 orang namun mereka menyebar kemana-mana. “Kelompok mereka banyak juga. Namun penembakan terhadap dua anggota Brimob dilakukan oleh Ayub Waker bersama anaknya dan adeknya,” ujarnya. (Loy/don/l03)

    Sumber: Kamis, 15 Januari 2015 01:04, BinPa

  • Berkas 2 Oknum TNI Penjual Senjata ke OPM Diserahkan ke Otmil

    JAYAPURA – Berkas perkara dua anggota TNI dari satuan Kodim 1702/Wamena yang diduga kuat terlibat menjual amunisi kepada kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah Lanny Jaya, Papua kini telah diserahkan ke Auditer Militer (Otmil) Jayapura, untuk menjalani persidangan.

    “Penyelesaian pemeriksaan dan penyidikan terhadap kedua oknum anggota TNI oleh penyidik POMDAM dan kini sudah diserahkan ke Otmil untuk melihat berkas perkara bersama barang bukti dan saksi-saksi,” kata Kasdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI, Tatang Sulaiman kepada wartawan di Makodam XVII/Cenderawasih, Selasa (13/1) pagi.

    Tatang menandaskan, pembuktian terhadap kedua oknum TNI akan terungkap setelah menjalani persidangan. “Mereka (Dua Oknum) menjual amunisi dan harus di pidana berat karena sudah melanggar aturan hukum,” tegasnya.

    Kedua oknum TNI tersebut masing-masing bernama, Sersan Dua Martinus Jikwa

    (Orang Lanny Jaya) masa pensiunan dan Sersan Dua Arsyad Wagap masih aktif anggota TNI Kodim 1702/ Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

    Kedua oknum tersebut ditangkap setelah mendapat laporan, bahwa kedua menjual amunisi kepada kelompok OPM bersama, salah satu oknum pensiunan TNI bernama, Peltu Urbanus Wenda.

    Mereka ditangkap setelah sebelumnya menangkap pimpinan kelompok OPM, Rambo Wonda dan Rambo Tolikara bersama beberapa rekannya dan salah satu oknum polisi, bernama Briptu Tanggam Jikwa, pada 26 Oktober di Hotel Boulevard, Wamena, Kabupaten Lanny Jaya.

    Sejak penangkapan itu, akhirnya berkembang hingga mengarah kepada kedua oknum anggota TNI dari Kodim 1702/Wamena dan oknum pensiunan TNI, yang kemudian langsung dilakukan pemeriksaan di Pom Kodam XVII/Cenderawasih. (loy/don/l03)

    Rabu, 14 Januari 2015 01:41, BinPa

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?