Tag: hukum kolonial

  • Agus : DPRP Dukung Penyelesaian Hukum

    JAYAPURA (PAPOS) – Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Drs, Agus Rianto mengatakan, hasil sharing dengan DPRP dengan Polda Papua, Kamis (4/12) kemarin, mendukung penyelesaian segala permasalahan menyangkut hukum yang dilakukan Polda Papua. “Mereka sangat mendukung penanganan hukum yang dilakukan oleh Polda Papua, sebab secara sadar masalah politik tidak bisa disatukan dengan permasalahan hukum,” jelasnya kepada Papua Pos, Kamis (4/12) kemarin, melalui ponselnya.

    Lanjutnya, salah satu topic yang dibicarakan yakni permasalah Buctar Tabuni yang sedang ditanggani Polda Papua khususnya Dit Reskrim. Dengan mengetahui adanya penangganan kasus ini, beberapa massa simpatisan mendatangi Polda Papua dengan cara-cara yang kurang sopan dan baik. “Kami senang diawasi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus, tapi kalau didatangi dengan cara ‘menyerang’ Polda Papua secara beramai-ramai, sepertinya kurang baik dan tampaknya telah mengintervensi Polda Papua,” jelasnya.

    Kalau memang, mau mengawasi jalanannya penangganan kasus, Polisi jelas membuka diri, akan tetapi tidak serta merta melakukan tindakan yang dianggap mengintervensi. Akan lebih baik, kalau masyarakat itu mempercayakan penanganan kasus kepada Polisi dan melakukan pengawasan jalannya penyelidikan dan penyidikan kasus terhadap Buctar Tabuni dan penggangan kasus lainnya.

    Sebab, Polisi dalam menangani kasus diikat oleh peraturan yang sudah ada sehingga mekanismenya sudah baku. Dan tindakan Polisi bila salah langkah maka masyarakat bisa melakukan sanggahan atas penanggan kasus tersebut.(feri)

    Ditulis Oleh: Feri/Papos
    Jumat, 05 Desember 2008

  • Massa Tuntut Buchtar Dilepas Tanpa Syarat

    Sementara itu, penangkapan Buchtar Tabuni langsung memantik reaksi dari para pendukungnya, termasuk aktivis dari teman-teman Buchtar Tabuni dengan menggelar unjuk rasa di depan Pintu Gerbang Masuk Polda Papua, sekitar pukul 15.00 wit.

    Puluhan massa ini datang menggunakan dua buah truck yang berhenti tidak jauh dari Mapolda Papua, lalu berjalan kaki dan melakukan orasi di depan Mapolda Papua yang menuntut agar Buchtar Tabuni dibebaskan Polda Papua.

    Sebelumnya, Markus Haluk bersama Mama Yosepha Alomang dan 3 rekannya datang naik taksi masuk ke Mapolda Papua, namun dihentikan di pos penjagaan sehingga mereka memilih duduk – duduk di depan pos tersebut dan bersikeras untuk bertemu langsung Direskrim Polda Papua, Kompol Drs Paulus Waterpauw. Hanya saja, petugas polisi yang memberikan penjelasan agar mereka lapor terlebih dahulu untuk diketahui maksud dan tujuannya, namun ditolaknya.

    Dalam aksi unjuk rasa itu, Viktor Yeimo dalam orasinya mendesak agar Polda Papua membebaskan tanpa syarat Buchtar Tabuni. “Buchtar Tabuni harus dibebaskan tanpa syarat,” tegasnya. Massa juga mempertanyakan penangkapan terhadap Buchtar Tabuni yang disebut-sebut aktivis pembela HAM oleh pendukung dan temannya ini. Bahkan, dalam orasinya, Viktor menilai bahwa penangkapan itu diduga menyalahi prosedur.

    Tidak hanya itu, penangkapan itu dinilai sebagai aksi premanisme. “Penangkapan Buchtar Tabuni tanpa surat pemberitahuan. Ini cara premanisme,” tudingnya.

    Sebelumnya, Direskrim Polda Papua, Kombes Pol Paulus Waterpauw menyatakan penangkapan terhadap Buchtar Tabuni ini, setelah sebelumnya dari saksi menjadi tersangka dalam kasus dugaan makar dan penghasutan yang dilakukannya dalam aksi demo di depan Expo Waena dan Uncen, Oktober lalu.
    Menurutnya, aksi yang dilakukan oleh Buchtar bukan tanggungjawabnya saja, tetapi tanggungjawab semua karena yang melakukan aksi tersebut bukan Buchtar sendirian. Untuk itu, pihaknya juga meminta polisi untuk menangkap semua yang ikut demo tersebut. “Kami semua siap masuk penjara,” ujarnya.
    Mereka juga berdalih bahwa unjuk rasa yang dilakukan Buchtar Tabuni tersebut telah dijamin oleh Undang-Undang tentang penyampaian pendapat di depan umum.

    Demo ini sempat mengundang perhatian warga yang lewat dan sempat membuat jalan tersendat, sehingga polisi lalu lintas mengamankan jalannya aksi ini dan petugas lainnya menjaga di depan gerbang. Tidak lama, datang mobil watercanon.

    Kompol Wempi sempat bernegosiasi dengan koordinator demo, namun mereka tetap ngotot ketemu Direskrim. Begitu juga, saat AKBP Petrus Waine, mewakili Direskrim Polda Papua juga ditolaknya. Kapolresta Jayapura, AKBP Roberth Djoenso SH juga sempat memantau langsung unjuk rasa di depan pintu gerbang Mapolda Papua tersebut.

    Akhirnya sekitar pukul 17.30 wit, 10 orang perwakilan massa diijinkan bertemu Direskrim. Hanya saja pertemuan tersebut tertutup.

    Saat berjalan ke gedung Ditreskrim Polda Papua, pengacara Buchtar Tabuni, Latifah Anum Siregar SH, Rizal SH dan Iwan Niode SH sempat menjelaskan kepada 10 perwakilan pendemo ini hingga sampai menemui Direskrim Paulus Waterpauw.

    Sekitar pukul 19.15 wit, 10 orang perwakilan dan pengacara Buchtar Tabuni keluar dari ruangan. Vicktor Yeimo kepada wartawan mengaku pihaknya hanya minta penjelasan Direskrim terkait penangkapan Buchtar Tabuni. “Kami tanya itu, namun penjelasannya belum jelas. Teman kami belum bisa pulang karena dimintai keterangan dan besok baru bisa memberikan keterangan,,” katanya.

    Selain itu, Vicktor menilai dalam penangkapan Buchtar Tabuni ini ada dugaan intimidasi oleh petugas saat melakukan penangkapan, bahkan Vicktor menilai ada upaya pengancaman terhadap rekannya tersebut.

    “Ini mestinya masalah politik, harus diselesaikan dengan masalah politik, bukan dengan hukum,” ujarnya seraya menambahkan bahwa pihaknya akan kembali bersama massa untuk demo ke Polda Papua.
    Sementara itu, Pengacara Buchtar Tabuni, Iwan Niode SH kepada wartawan mengatakan bahwa kliennya, Buchtar Tabuni belum bisa dimintai keterangan karena masih shock dan Tim PH akan berkoordinasi untuk langkah hukum selanjutnya.

    Ditanya penangkapan tersebut apakah sudah sesuai prosedur? Iwan hanya mengatakan proses penangkapan paling tidak menghargai hak orang. “Memang dalam penangkapan Buchtar tidak dipukul, tapi mestinya menghargai hak-haknya secara utuh. Buchtar mengaku dimaki,” imbuhnya.

    Direskrim Polda Papua, Kombes Pol Drs Paulus Waterpauw membantah adanya intimidasi terhadap Buchtar Tabuni dalam penangkapannya dan penangkapannya sudah sesuai prosedur. “Tidak ada intimidasi, dia sehat-sehat saja. Jika ada dia berhak menuntutnya,” ujarnya.

    Waterpauw menilai kemungkinan Buchtar Tabuni ingin menghindar dari upaya paksa tersebut, sehingga saat ditangkap di rumah kosnya dan diketahui polisi, sehingga yang bersangkutan menjadi shock. Padahal, disatu sisi ia tidak kooperatif.

    Dalam penanganan kasus terhadap Buchtar Tabuni ini, Waterpauw mengakui pihaknya sangat transparan, bahkan pengacara hukumnya bisa langung melihat beberapa saat setelah ditangkap dan tidak ada komplain dari PH-nya.

    “Kami akan jerat Buchtar dengan pasal 106 dan 110 serta 160 KUHP dan kami akan buktikan itu. Soal keterlibatan orang lain dibelakangnya, kami wajib membuktikan itu,” tandasnya.

    Penangkapan Bucktar Disayangkan

    Penangkapan Bucktar Tabuni oleh Polda Papua karena terindikasi melakukan tindakan makar, rupanya dipandang Ir Weynand Watori Ketua Komisi F DPR Papua yang membidangi Hukum dan HAM terlalu berlebihan. “Itu berlebihan, karena tidak seharusnya dia ditangkap hanya karena membicarakan sesuatu yang tidak adil,” tukasnya kepada Cenderawsih Pos kemarin.

    Ia menilai, dengan kasus ini orang menafikkan proses dengan menggunakan kekuasaan dan arogansi, sementara proses lain yang juga melanggar Undang Undang (UU) tidak disinggung. Ia lalu menyinggung tentang Peraturan Pemerintah Nomor 77 tentang lambang daerah yang dinilai melanggar UU 21/2001 tentang Otsus bagi Papua. “Jadi saya melihat mereka menafikkan proses lain, tetapi hanya menggunakan kekuasaan dan arogansi untuk mendorong itu, sementara proses lain yang juga melanggar aturan dan undang – undang tidak disinggung, ada apa ini,” katanya serius.

    Padahal kata dia, pemerintah tahu bahwa di dalam Bab 2 UU Otsus/2001 diakomodir tentang lambang daerah, namun sampai saat ini materi itu tidak pernah dibicarakan. “Lantas kalau sekarang mereka (Bucktar red) dikatakan melawan negara, dalam konteks apa, apakah pemerintah yang juga melanggar undang – undang Otsus tidak melawan negara,” katanya sinis.

    Menurutnya, Bucktar bicara kritis karena ada proses yang salah, Otsus yang masuk belum memberikan kesejahteraan pada orang Papua. Hal ini bisa dilihat dari berbagai evaluasi yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga semuanya menilai ada kemacetan dalam implementasi Otsus di Papua. “Itulah yang dikritisi Bucktar bahwa ada proses yang tidak adil di Papua, sayangnya itu dianggap makar,” katanya miris.
    Lalu ia balik bertanya apakah kebijakan yang melanggar UU Otsus itu juga disebut makar. “Jangan bilang orang melawan negara adalah orang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tetapi perbuatan yang melanggar mandat UU itu juga melawan negara,” katanya serius.

    Kata Weynand dirinya ingin meletakan aturan sesuai posisi yang sebenarnya, sehingga cara – cara yang demikian itu (penangkapan) tidak harus dilakukan. Ia menyarankan agar sebaiknya dilaksanakan dialog yang adil dan tidak menghakimi rakyat dengan tuduhan – tuduhan hanya karena bicara tentang 1 Desember atau Papua Merdeka. “Itu tidak memberikan pendidikan politik yang benar, sebaiknya mari dudukan persoalan secara benar dan pandang secara komprehensip,” urainya.

    Sebab kata dia, inti dari suatu demokrasi adalah perbedaan pendapat. Sehingga jika tidak ada perbedaan pendapat maka itu bukan demokrasi lagi. Bahkan dalam UU Nomor 5 tahun 1985 tentang reverendum jelas-jelas mengatakan bahwa yang dimaksud reverendum itu mengandung prinsip – prinsip langsung umum bebas dan rahasia (LUBER). “Jadi kalau sekarang ada aspirasi atau gagasan seperti yang dilontarkan Bucktar itu bukannya dilawan tetapi harusnya ditelusuri kenapa ada aspirasi yang demikian itu,” tandasnya.(bat/ta)

  • Penangkapan Bucktar Disayangkan

    Penangkapan Bucktar Tabuni oleh Polda Papua karena terindikasi melakukan tindakan makar, rupanya dipandang Ir Weynand Watori Ketua Komisi F DPR Papua yang membidangi Hukum dan HAM terlalu berlebihan. “Itu berlebihan, karena tidak seharusnya dia ditangkap hanya karena membicarakan sesuatu yang tidak adil,” tukasnya kepada Cenderawsih Pos kemarin. Ia menilai, dengan kasus ini orang menafikkan proses dengan menggunakan kekuasaan dan arogansi, sementara proses lain yang juga melanggar Undang Undang (UU) tidak disinggung. Ia lalu menyinggung tentang Peraturan Pemerintah Nomor 77 tentang lambang daerah yang dinilai melanggar UU 21/2001 tentang Otsus bagi Papua. “Jadi saya melihat mereka menafikkan proses lain, tetapi hanya menggunakan kekuasaan dan arogansi untuk mendorong itu, sementara proses lain yang juga melanggar aturan dan undang – undang tidak disinggung, ada apa ini,” katanya serius. Padahal kata dia, pemerintah tahu bahwa di dalam Bab 2 UU Otsus/2001 diakomodir tentang lambang daerah, namun sampai saat ini materi itu tidak pernah dibicarakan. “Lantas kalau sekarang mereka (Bucktar red) dikatakan melawan negara, dalam konteks apa, apakah pemerintah yang juga melanggar undang – undang Otsus tidak melawan negara,” katanya sinis. Menurutnya, Bucktar bicara kritis karena ada proses yang salah, Otsus yang masuk belum memberikan kesejahteraan pada orang Papua. Hal ini bisa dilihat dari berbagai evaluasi yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga semuanya menilai ada kemacetan dalam implementasi Otsus di Papua. “Itulah yang dikritisi Bucktar bahwa ada proses yang tidak adil di Papua, sayangnya itu dianggap makar,” katanya miris. Lalu ia balik bertanya apakah kebijakan yang melanggar UU Otsus itu juga disebut makar. “Jangan bilang orang melawan negara adalah orang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tetapi perbuatan yang melanggar mandat UU itu juga melawan negara,” katanya serius. Kata Weynand dirinya ingin meletakan aturan sesuai posisi yang sebenarnya, sehingga cara – cara yang demikian itu (penangkapan) tidak harus dilakukan. Ia menyarankan agar sebaiknya dilaksanakan dialog yang adil dan tidak menghakimi rakyat dengan tuduhan – tuduhan hanya karena bicara tentang 1 Desember atau Papua Merdeka. “Itu tidak memberikan pendidikan politik yang benar, sebaiknya mari dudukan persoalan secara benar dan pandang secara komprehensip,” urainya. Sebab kata dia, inti dari suatu demokrasi adalah perbedaan pendapat. Sehingga jika tidak ada perbedaan pendapat maka itu bukan demokrasi lagi. Bahkan dalam UU Nomor 5 tahun 1985 tentang reverendum jelas-jelas mengatakan bahwa yang dimaksud reverendum itu mengandung prinsip – prinsip langsung umum bebas dan rahasia (LUBER). “Jadi kalau sekarang ada aspirasi atau gagasan seperti yang dilontarkan Bucktar itu bukannya dilawan tetapi harusnya ditelusuri kenapa ada aspirasi yang demikian itu,” tandasnya.(bat/ta)

  • Buchtar Tabuni Ditangkap

    sp/robert isidorus

    Sejumlah pendukung Ketua International Parliament for West Papua (IPWP) Dalam Negeri Buchtar Tabuni, Rabu (3/12), duduk menghalangi jalan tepat di depan pos penjaga di kantor Kepolisian Daerah Papua, Jayapura.

    [JAYAPURA] Ketua International Parliament for West Papua (IPWP) Dalam Negeri Buchtar Tabuni, Rabu (3/12), ditangkap petugas Kepolisian Daerah (Polda) Papua di rumah kotrakannya di BTN Purwodadi Sentani Yahim, Jayapura. Bucthar ditangkap terkait kasus demo 16 Oktober lalu yang berlangsung di Expo Waena. Bersamaan itu, puluhan massa pendukung Buchtar mendatangi kantor Polda Papua.

    Kehadiran massa sekitar pukul 14.25 WIT, di depan Polda Papua mengakibatkan arus lalu lintas macet. Sebelumnya, massa yang dipimpin Victor Imo ini sempat adu mulut dengan petugas piket, karena dengan tujuh orang di antaranya Markus Haluk memaksakan diri bertemu Ditreskrim Polda Papua Kombes Pol Paulus Waterpauw.

    Petugas piket bersikeras agar ketujuh orang tersebut sebelumnya harus melaporkan diri di piket sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, ketujuh orang tersebut tetap memaksakan diri masuk ke lingkungan Polda. Mereka mengancam akan duduk di sekitar wilayah tersebut sampai Ditreskrim datang menemui mereka.

    Akhirnya, ketujuh orang ini duduk menghalangi jalan tepat di depan pos penjagaan Polda. Sedangkan, sekitar 60 orang pendukung melakukan orasi di depan Polda Papua.

    Tidak ingin para pendukung lainnya ikut masuk seperti tujuh orang sebelumnya, petugas langsung menutup pintu pagar Polda dengan menggunakan rantai besi. Massa pendukung Buchtar pun tidak dapat menerobos masuk ke dalam lingkungan Polda.

    Sewaktu memimpin berjalannya aksi menduduki Kantor Polda, Victor Imo selaku juru bicara mengungkapkan, pendukung Buchtar ingin Polda dalam waktu satu kali 24 jam harus membebaskan Buchtar. Kalau permintaan tersebut tidak dipenuhi, massa akan terus menduduki Polda hingga Buchtar dibebaskan.

    Setelah melakukan aksi selama kurang lebih satu jam, petugas kepolisian Polda melalui Kabid PJR Polda Papua Kompol Wempi B mencoba negosiasi dengan massa agar ada perwakilan dari massa untuk ketemu dengan Ditreskrim.

    Namun, massa tetap bersikeras tidak mau memberikan perwakilan. “Kita semua pendukung Buchtar, jadi kalau mau ketemu jangan perwakilan, tapi harus kita semua,” ungkap Victor.

    Upaya negosiasi terus dilakukan, sebaliknya massa tetap bersikeras, hingga akhirnya Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua AKBP Petrus Waine mencoba bernegosiasi dengan massa. Setelah berulang-ulang bernegosiasi, diputuskan sepuluh orang sebagai perwakilan massa ketemu dengan Ditreskrim. [154]

  • Ketua DAP Diperiksa Lima Jam

    JAYAPURA (PAPOS) –Ketua DAP Forkorus Yoboisembut, Rabu (29/10) kemarin, menjalani pemeriksaan lanjutan selama lima jam untuk melanjutkan sisa pertanyaan, yang belum sempat dijawab pada pemeriksaan sebelumnya.

    “Untuk itulah Ketua DAP dipanggil kembali,” terang Pelaksana Harian (Plh) Dir Reskrim Polda Papua AKBP Bonar Sitinjak SH mengatakan kepada wartawan di ruang kerjanya, kemarin.

    Ketua DAP dalam pemeriksaan kemarin masih berstatus saksi dalam kasus dugaan kasus makar di dua tempat yang berbeda, pengibaran Bintang Kejora di Wamena 9 Agustus 2008 lalu, dan rencana aksi demo massa mendukung peluncuran untuk IPWP di Waena pada 16 Oktober 2008 lalu.

    Kendati Forkorus masih bertantus sebagai saksi, namun Polisi sudah menyiapkan pasal-pasal, seperti pasal 106 KUHP dan atau pasal 160 KUHP, yang berkaitan dengan tindakan Makar.

    Dalam pasal 106 itu disebutkan, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

    Sementara pasal 160 KUHP yang isinya, barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, diancam dengan penjara paling lama enam tahun.

    “Karena Ketua DAP mengetahui di dua tempat kejadian tentang pengumpulan massa dan melakukan orasi di depan umum. Maka ke dua pasal ini yang tepat pada tindakan yang dilakukan saksi,” kata Bonar Sitinjak.

    Iwan Niode SH pengacara dari ALDP yang mendampingi pemeriksaan mengatakan, pertanyaan penyidik kepada kliennya mengarah pada pembuktian tindakan Makar.”Penyidik coba membuktikan pasal makar,” terangnya.

    Selain mengarah pada pertanyaan Makar, menurut dia penyidik juga mempertanyakan beberapa surat terkait dengan aksi massa 16 Oktober di Expo Waena yang ditanda tangani oleh Ketua DAP.

    Di lain pihak, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Drs Agus Rianto kepada wartawan di ruang kerjanya mempertegas bahwa pemeriksaan ini untuk meneruskan pertanyaan yang belum dijawab saksi pada pemeriksaan sebelumnya.

    “Pemeriksaan yang dilakukan kali ini, untuk mengambil keterangan dari yang bersangkutan, ini dilakukan karena untuk melengkapi keterangan yang dirasa masih kurang,” ujarnya.

    Agus Rianto sangat menghargai dan menyampaikan terima kasih kepada saksi yang telah memenuhi panggilan Polisi, dengan demikian desakkan masyarakat kepada Polisi untuk menggungkap kasus dugaan Makar dapat segera terjawab.(feri)

    Ditulis Oleh: Feri/Papos
    Kamis, 30 Oktober 2008

  • Bucthar Tabuni Penuhi Panggilan Polisi

    JAYAPURA (PAPOS) –Bersamaan dengan kedatangan dua pentolan DAP (Dewan Adat Papua), Bucthar Tabuni, aktor intelektual penggerak rencana aksi Demo massa untuk mendukung peluncuran IPWP di Inggris, juga dipanggil Polda Papua, Senin (27/10) kemarin. Menurut Iwan Niode SH pengacara ALDP yang mendampingi kliennya Bucthar Tabuni, Polisi dalam kaitan aksi demo masa untuk IPWP terkesan berlebihan (paranoid, red), sehingga menurunkan personil secara berlebihan yang diback-up TNI.

    “Nampak kalau nilai-nilai demokrasi ditubuh aparat keamanan tidak tumbuh baik,”kata kepada wartawan di Mapolda.

    Kesan itu kata Iwan, masih terlihat kental ketika Polisi melakukan pemangilan terhadap Bucthar Tabuni.

    Panggilan terhadap Bucthar Tabuni sebagai Ketua panitia IPWP sewaktu demonstrasi yang dilakukan di Expo Waena sangat tidak wajar. Bucthar yang berstatus sebagai saksi dalam pemanggilan kedua ini, masih diikat dengan pasal 106, 107, 110 dan pasal 212.

    Isi dari pasal-pasaltersebut saksi diduga terlibat perbuatan makar dan melakukan perlawanan terhadap Polisi sebagai aparat yang sah. Kata Iwan, saat itu kliennya  sama sekali tidak berbuat apa-apa.

    Sangat aneh lanjut Iwan, kalau saksi berbuat makar, karena saat itu tidak ada  pembentangan ataupun pengibaran bendera yang bertentangan dengan Negara, apalagi kliennya dikatakan melakukan perlawanan kepada aparat.

    ” Bagaimana melakukan perlawanan kepada aparat, saat itu saja demo dibatalkan dan dilakukan pemblokiran jalan. Bentrokan fisik sama sekali tidak terjadi,” ujarnya.

    Padahal UU No 9 Tahun 1998 menjamin warga Negara menyampaikan pendapat di depan umum, bahkan untuk pemberitahuan demo juga telah dilakukan 3 hari sebelum pelaksanaan demo.

    Disinggung Polda belum menerbitkan penolakan atas demo itu, dirinya menyampaikan kalau dalam UU No.9 Tahun 1998 tidak menyebutkan adanya penerbitan jawaban dari pengajuan pemberitahuan tentang demo.

    Dirinya meminta, agar dalam penangganan kasus ini Polisi menggedapankan profesionalisme dan kejujuran, sehingga penempatan pasal-pasal sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

    Ditanya tentang pemeriksaan yang sedang berlangsung dan berapa pertanyaan yang dilontarkan kepada saksi, Pengacara ALDP ini belum mengetahui secara pasti.

    ” Yang penting, kami bersama klien hanya mengikuti sesuai prosedur yang berlaku, ” terangnya.(feri).

    Ditulis Oleh: Feri/Papos
    Selasa, 28 Oktober 2008

  • Sepuluh Aktivis Papua Ditangkap

    TEMPO Interaktif, Jayapura: Sebanyak sepuluh aktivis Papua, Senin (20/10), ditangkap polisi karena menggelar aksi di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Jayapura.
    Sekitar pukul 11.25 waktu setempat, puluhan warga menggelar aksi di Taman Imbi Jayapura.

    Mereka mendukung pembahasan persoalan Papua di Parlemen Inggris. Usai membacakan pernyataan sikap, seorang berpakaian adat menerobos masuk halaman DPRP. Pasukan gabungan TNI/Polri yang berjaga-jaga sejak pagi menangkap warga yang menerobos masuk DPRP.

    Polisi juga menangkap koordinator demo, Buchtar Tabuni. Selain, Victor F. Yemo, Nake Logo, Lisa Sani, Sonny Suhu, Makeminik, Haliek Hano, Noni Ena, Namene Elopere, Edison Payage, dan Marthen Windey. Mereka dibawa ke Markas Polres Jayapura.

    Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota
    Jayapura yang dihubungi Senin (20/10) siang mengaku belum tahu perkembangan pemeriksaan yang ditangkap. “Saya belum tahu soal itu,” kata Takamuly.

    Dihubungi terpisah, Kepala Polsek Abepura Ajun Komisaris Polisi Dominggus Rumaropen, Senin siang mengatakan situasi Abepura masih aman tidak terpengaruh aksi demo dan penangkapan sejumlah warga pendemo di Taman Imbi.

    “Sejak pagi kami sudah mengantisipasi beberapa titik,” kata Rumaropen, yang sebelumnya dibuat repot oleh ribuan pendemo di Taman Expo Waena, Jayapura.

    Tjahjono Ep.

  • Pemimpin Unjuk Rasa Makar Ditangkap Polisi

    Liputan6.com, Jayapura: Buchtar Tabuni bersama 19 rekannya ditangkap polisi saat menuju Gedung DPRD Papua, Senin (20/10) siang. Mereka ditangkap karena tak melapor ke polisi akan berunjuk rasa ke Gedung Dewan. Tabuni dan rekan-rekannya lalu dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Papua.

    Kamis silam, Tabuni juga menggelar unjuk rasa serupa. Lantaran dianggap mendukung upaya makar terhadap pemerintah Indonesia, Tabuni dipanggil polisi. Tapi, dia menolak. Kini, tampaknya polisi tak perlu lagi memanggil pemimpin unjuk rasa yang mendukung pembentukan Kaukus Papua itu [baca: Massa Pendukung Kaukus Papua Makin Aktif].

    Guna mengantisipai aksi unjuk rasa, tim gabungan polisi dan TNI mengadakan sweeping di Taman Imbi Jayapura. Hasilnya, polisi dua buah dokumen Papua Merdeka yang dibawa salah seorang warga yang sedianya hendak berunjuk rasa.(BOG/Rubai Kadir)

  • Sepuluh Napi DPO Ditempatkan di Ruang Khusus

    Cepos, 18 Oktober 2008 08:22:21

    JAYAPURA-Dari 147 narapidana (Napi) Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), 10 diantaranya telah ditangkap. Ke-10 Napi tersebut kini ditempatkan ruang isolasi sebagai sanksi dan bentuk penanganan agar tidak keluar lagi dari LP.

    “Kami konsisten dengan aturan yang ada, memang ada ruang khusus untuk mereka yang menjadi DPO dan akhirnya tertangkap,”kata Kepala LP Abepura, AM Ayorbaba SH,M.Si saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (17/10).

    Ruang khusus tersebut kata dia tidak terlalu kecil, ke-10 Napi tersebut ditempatkan menjadi satu, jika ruang tahanan umum mulai pagi sudah dibuka maka ruang khusus ini hanya dibuka jika ada ibadah mingguan.”Namun pemenuhan hak tahanan seperti makan 3 kali tetap diberikan,”katanya.

    Lanjutnya, jika dari hasil penilaian petugas para DPO ini tidak menunjukkan perubahan maka tidak menutup kemungkinan mereka dapat direkomendasikan untuk dimasukkan dalam register F atau buku yang mencatat pelanggaran Napi. Beratnya, jika terdaftar adalah tidak mendapatkan hak-haknya seperti remisi, kebebasan bersyarat, izin keluar bertemu keluarga maupun izin untuk kepentingan darurat.

    “Kami juga akan memeriksa satu persatu Napi DPO ini untuk diketahui proses keluarnya. Berapa ia membayar, siapa oknum yang mengeluarkannya dan apa saja yang sudah dilakukan di luar LP, dengan demikian dari pemeriksaan ini akan terungkap oknum petugas yang mengeluarkannya,”paparnya.

    Dejak kepemimpinannya 2 bulan ini sudah 6 petugas LP yang dimutasikan sebagai bentuk sanksi mengeluarkan tahanan tanpa prosedur yang benar.”Kami juga sampaikan bahwa tindakan tegas tetap diberlakukan agar masyarakata paham bahwa kami tidak pilih-pilih dalam penerapan sanksi,”tegasnya.(ade)

  • Diburu Aktor Intelektual Pengibaran Bintang Kejora

    TIMIKA (PAPOS) –Meski MM dan PK telah resmi ditetapkan sebagai pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora di Kwamki Baru Timika, namun Polisi masih terus memburu otak dibalik layar pengibaran bendera sparatis tersebut pada Selasa (23/9) lalu. Sementara 16 warga lainnya yang ditangkap bersamaan, statusnya hanya sebagai saksi dan mereka telah diijinkan pulang ke rumahnya masing-masing. MM dan PK oleh Polis dijerat pasal 106 dan 107 KUH Pidana tentang Makar, dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Larangan Membawa Senjata Tajam.

    Menurut Kapolres Mimika AKBP Godhelp C Mansnembra, pihaknya masih mengembangkan kasus untuk mengungkap aktor intelektual dibalik aksi pengibaran bendera berlambang sparatis tersebut.

    Dari tangan MM dan PK polisi berhasil menyita barang bukti berupa Handphone (Hp), puluhan busur dan panah, dua buah senapan angin jenis CIS, serta beberapa buah parang dan benda tajam lainnya termasuk satu Bendera Bintang Kejora berukuran 130 x 50 cm.

    Ditulis Oleh: Husyen/Papos, Senin, 06 Oktober 2008

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?