Tag: HAM

  • Kanwil Depkumham Siap Terima Laporan Kasus HAM

    JAYAPURA-Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua, Nazarudin Bunas SH, MH mengungkapkan bagi para korban pelanggaran HAM namun merasa tidak mendapat keadilan dalam proses hukumnya, bisa melaporkan ke Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) melalui Kanwil Depkumham Papua.

    Laporan tersebut kata Bunas, dapat disampaikan melalui pos pengaduan yang mulai dioperasikan awal tahun ini.”Pembicaraan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak Oktober 2008, namun baru aktif beroperasi Januari lalu dan hingga kini baru dua orang yang melapor namun terkait permasalahan tenaga kerja,” ungkap Nazarudin Bunas pada wartawan diruang kerjanya, Rabu (11/2).

    Keseriusan ini dilakukan dengan membentuk panitia tetap yang terdiri dari instansi pemerintah daerah, Kodam XVII/Cenderawasih, polisi, kejaksaan, TNI Angkatan Laut dan Depkum dan HAM sendiri. “Jadi, jika ada korban pelanggaran HAM yang merasa proses hukumnya tidak jelas atau bahkan terkesan dipersulit bisa mendatangi sekertariat sambil membawa bukti kasusnya,”tandasnya.
    Namun lanjut Nazarudin jika perkara tersebut telah mendapat penanganan baik dari aparat kepolisian hingga ke kejaksaan, maka tidak perlu lagi membuat laporan tambahan. “Yang menjadi problem adalah saat korban memiliki bukti pelanggaran HAM, namun kasusnya tidak selesai dan seakan mentah kembali maka silahkan melapor untuk kam tindaklanjuti sejauh mana perkara tersebut,” papar Kakanwil didampingi Kadiv pemasyarakatan, Demianus Rumbiak, SH .

    “Namun sejauh itu bisa ditampung di KUHP yah berarti proses hukumnya bisa dibilang berjalan. Cuma terdapat perbedaan yang cukup mencolok menurut Nazarudin untuk pelaporan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan kota-kota lainnya,”lanjutnya.
    Ia menjabarkan persoalan didaerah lain seperti Jakarta, banyak ditemukan aparat keamanan melakukan penganiayaan terhadap masyarakat maupun pelaku pidana namun kasus sebagai kasus pidana biasa. Namun yang terjadi di Papua jika dilakukan oleh aparat maka langsung diangkat sebagai isu pelanggaran HAM.

    “Jika di Papua, orang asli Papua dianiaya oleh polisi maka kasus tersebut naik sampai ke PBB padahal sebenarnya siapa saja yang melakukan penganiayaan terhadap orang lain masuk dalam kategori pelanggaran HAM tanpa melihat siapa pelakunya,” ujar Nazarudin memberikan gambaran konkritnya. Hingga menurutnya ada kasus yang bisa diselesaikan secara hukum positif tanpa harus dibawa ke dunia Internasional atau dilaporkan ke PBB. (ade)

  • Siap Bongkar Jika Dewan Adat dan PDP Hadir – Sekjend KNPB Soal Rencana Pembongkaran Tenda-Tenda di Lokasi Makam Theys

    SENTANI-Perintah Bupati Jayapura agar tenda-tenda yang dibangun oleh sejumlah masyarakat di lokasi Makam Theys, di Sentani agar segera dibongkar ditanggapi serius oleh Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ely Sirwa dan Juru Bicara Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (Demmak), Apison Karoba.

    Menurut keduanya Bupati Habel seharusnya melihat status lokasi makam dengan tetap menghargai adat di Papua. “Kami menganggap penilaian bupati itu keliru, pasalnya tenda-tenda itu jauh dari lokasi jalan. Sedangkan soal mengganggu keindahan tidak betul karena selama ini kami bersihkan makam hingga terlihat terawat,” ujar Ely yang dihubungi semalam.

    Dikatakan, tanah yang kini dijadikan lokasi makam bukanlah milik pemerintah melainkan telah diserahkan sepenuhnya kepada otorita adat maupun Presidium Dewan Papua (PDP).

    Selanjutnya tentang adanya informasi kalau mereka melakukan sweeping dimalam hari kembali dibantah. Menurut Ely pernyataan tersebut berlebihan.Yang dilakukan kelompok pemuda ini hanyalah melakukan pengamanan dimalam hari disekitar lokasi.”Jika pemerintah tetap bersikeras mengosongkan lokasi ini sebaiknya menanyakan ke pemimpin suku ondoafi maupun ondofolo yang ada di Papua karena ini apresiasi kami terhadap seorang pejuang,” sambung Ely yang juga membenarkan telah menerima surat pemberitahuan dari bupati.

    Hal senada juga diungkapkan Apison Karoba. Dia mengatakan, mereka baru akan hengkang jika bupati atau petugas datang bersama dewan adat atau PDP.Jika ini tidak dilakukan maka mereka berniat bertahan selama 1 tahun kedepan. Menurutnya, yang membuat merusak pemandangan atau yang menimbulkan ketidaknyamanan adalah pemasangan baliho atau spanduk caleg yang tidak beraturan dan jangan mempermasalahkan lokasi di makam.

    Dikatakan, tujuan didirikannya tenda selama ini karena ada ketidakadilan yang telah terjadi disamping bentuk penghargaan kepada almarhum Theys.Ia juga meminta masyarakat memaklumi jika ada pos penjagaan masuk ke makam dan harus melapor jika hendak masuk mengingat makam alm Theys adalah milik masyarakat adat dan diputuskan agar jalan lintas ditutup sebagai bentuk penghormatan kepada seorang pejuang yang sedan tertidur.

    “Jika ada yang memiliki kediaman dibelakang makam memang harus memutar lewat samping SPBU ini juga agar jalan tersebut bisa dimanfaatkan lagi,” tandas Apison yang sudah menyiapkan surat balasan ke bupati.(ade)

  • Amnesty International Bantah Pernyataan Gubernur Suebu

    Jayapura, Pernyataan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang mengatakan bahwa data-data Amnesty International tidak akurat dibantah lembaga tersebut. Bahkan melalui email yang dikirimkan kepada Kompas.com. Amnesty International merasa tak pernah memberikan data apapun kepada Gubernur Suebu.

    Amnesty International menyoroti komnetar Suebu mengenai data-data kasus pelanggaran HAM. Gubernur Papua itu sebelumnya mengatakan bahwa data yang ditunjukkan kepadanya oleh Amnesty International mengenai dokumentasi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak akurat. Ia juga menyatakan bahwa ia telah diperlihatkan sebuah daftar yang berisi nama-nama korban pelanggaran hak asasi manusia, namun tidak satupun dari nama-nama tersebut ia kenali. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa ia telah berkunjung ke Sekretariat Amnesty International di London.

    “Amnesty International ingin mengklarifikasi bahwa kami tidak pernah mengetahui adanya pertemuan antara Amnesty International dan Gubernur Suebu, baik di UK maupun di Indonesia,” tulis Donna Jean Guest, Deputy Director Asia Pacific Program Amnesty International yang berpusat di London.

    Amnesty International menyatakan tidak pernah menerima komunikasi apapun dari Gubernur Suebu yang berkenaan dengan ketidakakuratan data kami tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan kami tidak pernah memberikan kepadanya sebuah daftar yang berisi nama-nama korban
    sebagaimana dinyatakan di atas.

    “Kami tentu saja menyambut baik kesempatan untuk membuka komunikasi dengan Gubernur Suebu untuk membahas mengenai situasi hak asasi manusia di Papua, demikian pula mengenai informasi publik yang terdapat di dalam setiap laporan atau pernyataan kami,” lanjut pernyataan itu.

    (sumber: kompas)

  • Siaga Satu Masih Diberlakukan di Papua

    JAKARTA – Kepolisian Daerah Papua hingga kini masih memberlakukan siaga satu untuk status keamanan di Papua setelah aksi unjuk rasa ribuan warga Papua di Papua, Kamis 16 Oktober kemarin.

    “Siaga dilakukan bersama instansi terkait,” kata Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Sulistyo Ishaq kepada wartawan, di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2008).

    Selain siaga satu, kata Sulistyo, polisi juga melakukan sweeping senjata tajam.

    Sulistyo menambahkan, terkait pengibaran bendera binjang kejora, Polda Papua juga akan menindaklanjutinya.

    Seperti diketahui, Kamis kemarin, ribuan Papua di Papua dan Yogyakarta melakukan penggalangan dukungan terhadap sidang parlemen Internasional yang mendorong kemerdekaan Papua, di London, Inggris.

    Di Papua, aksi dilakukan di pelataran Taman Expo Wamena, Jayapura, Papua, sementara di Yogyarkata, bendera bintang kejora berkibar selama tiga jam di Asrama papua, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.
    (enp)

  • Vanuatu tidak Menegaskan Gagasan Penempatan Pengungsi Papua Barat dari PNG

    Pemerintah Vanuatu katakan negara itu tidak memberikan tawaran untuk menempatkan kembali sekelompok pengungsi Papua Barat yang sekarang ada di Papua New Guinea.

    Tanggapan ini disampaikan menyusul laporan bahwa sekitar 100 orang dari Papua Barat telah diberikan tawaran untuk memasuki vanuatu oleh Dewan Adat Nasional setempat.

    Para pengungsi, yang hidup dalam tenda-tenda di Port MOresby, katakan bahwa mereka mengajukan mengungsi ke negara ketiga.

    Akan tetapi, Komisioner Badan PBB Urusan Pengungsi mengatakan kelompok ini tidak memenuhi kriteria untuk penempatan kembali.

    Jubir PM Vanuatu dan penasehat pertama Nikenike Vurobaravu katakan dukungan penuh untuk kesejahteraan orang Papua dari para Kepala Suku tidak sama dengan tawaran untuk penempatan mereka oleh negara.

    “Kebijakan pemerintah manapun menyangkut pengungsi harus dipertimbangkan matang – kami harus memikirkan tentang aturan main internasional dan persyaratan dalam negeri kami sendiri, jadi kalau ada isu-isu seperti itu perlu, maka pemerintah akan mempertimbangkannya seturut syarat=syarat ini.”

    Nikenike Vurobaravu
    RNZI Posted at 01:47 on 10 October, 2008 UTC

  • Munir Sadar dalam Ancaman – Munir Sadar dalam Ancaman

    JAKARTA- Aktivis HAM Munir ternyata sudah menyadari posisinya dalam ancaman pembunuhan. Aksi pengungkapan kasus penculikan aktivis dan advokasi menjadi alasannya. Terlebih setelah Mayjen (pur) Muchdi Purwopranjono dibebastugaskan dari Danjen Kopassus.

    Pengakuan itu diungkapkan Suciwati, istri mendiang Munir, saat menjadi saksi dalam lanjutan sidang pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa Muchdi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (16/9).

    ”Iki sing paling loro weteng pasti Muchdi. Soale de’e dadi Danjen Kopassus sek diluk. Awake dhewe kudu siap-siap, pasti kate entuk ancaman (Ini yang paling sakit perut adalah Muchdi. Soalnya, dia baru menjabat sebentar sebagai Danjen Kopassus. Kita harus siap-siap, pasti akan dapat ancaman, Red),” kata Suci menirukan perkataan suaminya dalam logat Jawa Timur yang kental.

    Suci menjelaskan, istilah loro weteng yang dipakai suaminya bukan bermakna sebenarnya. “Loro weteng yang dimaksud artinya sakit hati,” jelas mantan aktivis buruh itu. Tidak hanya itu, ancaman juga dialami Suci setelah suaminya meninggal dalam perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004. Dia mengungkapkan, pernah menerima paket berisi kepala dan kaki ayam plus surat ancaman.

    “Isinya, awas jangan libatkan TNI dalam kasus Munir atau Anda akan bernasib sama,” kata ibu dua anak itu. Beberapa ancaman lain juga pernah diterima seperti kiriman bom ke rumah mertua di Bekasi dan perusakan kantor Kontras.

    Kesaksian Suci tersebut memperkuat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) tentang motif Muchdi membunuh Munir. Dalam surat dakwaannya, JPU menyebut motif mantan Deputi V/Penggalangan BIN itu menghabisi Munir terkait kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997 dan 1998 yang dilakukan Tim Mawar.
    Kasus itu kemudian dibongkar oleh Munir. Faktor itulah yang membuat Muchdi sakit hati dan dendam terhadap Munir. Muchdi diberhentikan dari jabatan Danjen Kopassus yang baru diembannya 52 hari.
    Dalam kesaksiannya, Suci juga menjelaskan kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengklarifikasi surat BIN yang diberikan ke Kongres AS. “Mereka mendukung saya untuk mendapat keadilan,” katanya. Hal yang sama didapatkan saat memenuhi undangan di Eropa. Namun, dia menolak jika hal itu disebut sebagai bentuk intervensi asing

    Namun, kesaksian Suci dibantah Muchdi dan kuasa hukumnya. “Saya keberatan dengan pemberhentian saya dengan kesaksian yang menyebut loro weteng,” kata Muchdi yang selama sidang seksama mengikuti keterangan Suci. Selain Suci, saksi yang dihadirkan kemarin adalah Indra Setiawan, mantan Dirut Garuda

    Sebenarnya ada dua saksi lain yang juga dijadwalkan, namun tidak hadir. Yakni agen BIN Budi Santoso dan Wakabin M. Asad. Menurut JPU, berdasarkan surat dari BIN, kedua saksi tersebut tengah menjalani tugas negara. Budi Santoso yang disebut-sebut saksi kunci saat ini berada di Pakistan

    Dalam keterangannya, Indra mengakui, surat yang dikeluarkan untuk menempatkan Pollycarpus Budihari Priyanto -terpidana 20 tahun kasus Munir-, sebagai staf perbantuan dalam corporate security adalah untuk merespons surat permintaan BIN yang ditandatangani Wakabin M. Asad.

    Indra yang juga sudah divonis satu tahun penjara dalam kasus Munir, mengatakan langsung merespons permintaan tersebut karena dua hal.

    “Pertama, saya kenal Polly sebagai pilot senior dan telah bekerja 17 tahun. Kedua, surat resmi dari BIN,” ungkapnya.

    Dia mengaku tidak mengetahui posisi Polly sebagai anggota jejaring nonorganik BIN yang direkrut Muchdi. Namun, ketika ditanya M. Luthfie Hakim, kuasa hukum Muchdi, tentang keterlibatan kliennya dalam surat tersebut, Indra menjawab diplomatis.

    “Yang saya tahu, hanya ada dua nama (di dalam surat), yakni Polly (yang ditugaskan, Red) dan Asad (pembuat surat, Red,” kata Indra. Meski demikian, Indra mengaku pernah dua kali bertemu Muchdi, yakni di Kantor BIN dan di Hotel Mulia.

    Setelah sidang, Luthfie mengatakan, keterangan Suci dan Indra tersebut menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan fatal dalam penyusunan surat dakwaan oleh JPU. Dia juga meminta saksi Budi Santoso tetap dihadirkan. “Kalau hanya dibacakan BAP-nya, saya kira sidang akan menghukum secara tidak profesional,” tegasnya.

    Majelis hakim yang diketuai Suharto kembali meminta JPU menghadirkan Budi dan Asad dalam sidang lanjutan Selasa, pekan depan. Seperti diketahui, Muchdi dijerat pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 340 KUHP atau pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 340 KUHP dengan hukuman pidana maksimal, yakni hukuman mati. Dia dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan, memberi kesempatan atau sarana, atau sengaja menganjurkan orang lain yakni Polly melakukan pembunuhan terhadap Munir. (fal/iro)

  • Isu Perempuan Papua di Tingkat Nasional Sepi

    Sumber Online
    Sumber Online

    JAYAPURA-Mungkin selama ini, orang mengenal isu Papua lebih dominan ke masalah politik ketimbang masalah perempuan. Buktinya, sampai saat ini, isu perempuan Papua di tingkat nasional masih sepi padahal kondisi ini menjadi perhatian semua pihak.

    Seperti yang diungkapkan Ketua Komnas HAM Perempuan Silvana ketika bertemu DPRP yang dipimpin Wakil Ketua I Komaruddin Watubun, SH dan Wakil Ketua II Paskalis Kossy, S.Pd, Senin (8/9). “Selama ini, tidak pernah ada yang bicara tentang isu perempuan Papua di tingkat nasional,” katanya. Tak heran jika akhirnya ada kondisi kekosongan tentang isu perempuan Papua di tingkat nasional. Padahal selama ini sudah bukan rahasia lagi perempuan Papua sebagian besar masih jauh tertinggal dibandingkan dengan perempuan – perempuan di daerah lain di tanah air.

    Bahkan di sejumlah daerah di Papua menurut Ketua Komisi F yang juga membidangi perempuan Ir Weynand Watory bahwa perempuan Papua umumnya masih hidup dalam kemiskinan, ketertinggalan di berbagai aspek kehidupan hingga ketertindasan. “Mereka sering mengalami korban tindakan kekerasan, karena itu perempuan Papua memang harus ditolong,” katanya. Hanya saja umumnya pengambil kebijakan di Papua banyak yang belum mengerti gender.

    Karena kondisi itu pula yang mendorong Komnas Perempuan datang ke Papua dan bertemu dengan sejumlah pengambil keputusan di Papua. “Kami ingin membangun visi bersama untuk membangun perempuan Papua dengan harapan isu perempuan Papua bisa menjadi salah satu katalis untuk elit politik serta hal – hal lainnya” kata Silvana lagi.

    Silvana yang didampingi beberapa stafnya ini juga mengungkapkan keheranannya karena meski tiga lembaga utama di Papua yakni eksekutif, MRP dan DPRP sudah memiliki posisi yang fokus terhadap perempuan, namun masalah yang dihadapi perempuan Papua belum juga terselesaikan. “Dengan tiga elemen ini, harusnya momennya sudah cukup bagi Papua, bahkan bisa bisa diteladani oleh daerah lain,,” ujarnya.(ta) [Source: CEPOS]

  • Kasus Munir: Eksepsi Ditolak, Sidang Muchdi Lanjut

    JAKARTA – Babak baru pengungkapan kasuspembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa Mayjen (pur) Muchdi Purwopranjono dipastikan berlanjut. Majelis hakim PN Jakarta Selatan menolak eksepsi (nota keberatan) terdakwa dalam putusan sela yang dibacakan dalam sidang, kemarin (9/9).
    Majelis yang diketuai Suharto dengan anggota Aswandi dan Ahmad Yusak beranggapan, surat dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum (JPU) memenuhi syarat formal dan sah menurut hukum. ”Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat 2 KUHAP, pemeriksaan perkara atas nama terdakwa H Muchdi Pr. harus dilanjutkan,” kata Suharto dalam sidang di ruang Garuda.

    Dalam pemaparan putusan sela, hakim menanggapi beberapa keberatan terdakwa. Tentang adanya penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang berlangsung di bawah tekanan internasional, serta berita acara saksi Budi Santoso dan keberadaannya yang misterius, majelis berpendapat bahwa itu bukan materi keberatan sebagaimana yang dikehendaki dari pasal 156 ayat 1 KUHAP.

    Majelis hakim juga sependapat dengan JPU bahwa PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara Muchdi. Hal itu berdasarkan locus delicti yang bertempat di Kantor Badan Intelijen Negara (BIN), Kalibata, Jakarta Selatan.

    Selain itu, hal tersebut masih didukung dengan pertimbangan tempat tinggal terdakwa dan 12 dari 19 saksi yang bertempat tinggal di Jakarta Selatan maupun yang lebih dekat dengan pengadilan.
    Tentang keberatan terdakwa bahwa saat terjadi penculikan 13 aktivis pada 1997-1998 Muchdi belum menjabat Danjen Kopassus, majelis hakim mengatakan keberatan itu telah masuk ke pokok perkara. Demikian juga, lamanya terdakwa menjabat Danjen Kopassus apakah 52 hari atau 59 hari.
    ”Majelis akan mempertimbangkan keberatan-keberatan itu bersama-sama pokok perkara dan akan memutus bersama-sama dalam putusan akhir,” kata Suharto.

    Atas putusan untuk tetap melanjutkan pemeriksaan perkara Muchdi, majelis menyatakan sidang akan digelar lagi Selasa (16/9) dengan agenda pemeriksaan saksi. Majelis membatasi, saksi yang diperiksa dua hingga tiga orang.

    JPU merespons cepat atas putusan majelis hakim tersebut. Ketua JPU Cirus Sinaga menegaskan, pihaknya segera melayangkan surat panggilan terhadap saksi, terutama Budi Santoso, yang disebut-sebut sebagai saksi kunci. ”Hari ini (kemarin, Red) juga kami layangkan surat panggilan. Buat apa menunggu lama,” tegas Cirus.

    Jaksa pada JAM Pidum Kejagung itu menjelaskan, surat panggilan terhadap Budi disampaikan melalui BIN dan Departemen Luar Negeri. Saat ini Budi yang merupakan agen madya dan pernah berdinas di Deputi V.I BIN saat ini berdinas di Pakistan. Selain Budi, saksi yang direncanakan hadir pada sidang (16/9) adalah Suciwati, istri Munir, dan Usman Hamid, koordinator Kontras.

    Sementara itu, ekspresi kecewa ditunjukkan kuasa hukum Muchdi, M. Luthfie Hakim. Dia bertahan bahwa dakwaan jaksa tidak cermat. Alasannya, ketika peristiwa penculikan aktivis terjadi pada 1997-1998, Muchdi belum menjabat Danjen Kopassus.

    ”Tentu saja kami kecewa. Tapi, kami masih menunggu apakah nanti saat pemeriksaan perkara terbukti atau tidak. Jika tidak, apakah majelis hakim berani memutuskan terdakwa bebas dari segala hukuman,” tegasnya. (fal/agm)

  • Siapa peduli masalah HAM di Papua?

    Foto: Hina Jilani (kiri) di Jayapura, oleh L. Anum Siregar/ALDP 2007
    Foto: Hina Jilani (kiri) di Jayapura, oleh L. Anum Siregar/ALDP 2007

    Kalau anda tanya pada tokoh-tokoh terdidik Papua yang sadar politik tentang isu politik paling penting di Papua, maka jawabannya akan bervariasi. Tapi yang pasti masalah pelanggaran HAM menjadi salah satunya. Demikian pula dengan demo politik di Papua, salah satu isu yang diangkat pasti pelanggaran HAM. Bahkan di dalam Konggres Rakyat Papua II pada 2000, para pemimpin Papua memasukkan masalah pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu agenda terpenting yang harus diselesaikan oleh Presidium Dewan Papua (PDP).

    Kalau anda perhatikan kampanye para aktivis Papua Merdeka di forum internasional, isu yang diangkat pasti terkait dengan pelanggaran HAM. Bahkan ada wacana genocide dari Yale University dan Sidney University. Belum lagi perhatian Amnesty Internasional dan Human Rights Watch Group yang selalu membuat laporan khusus tentang masalah HAM di Papua. Dari Amerika sendiri, akhir-akhir ini, 40 anggota Konggres AS menandatangani petisi yang intinya juga mempersoalkan komitmen Presiden RI dalam penegakan HAM sipil dan politik di Papua.

    Pada saat Perwakilan Komnas HAM Papua terbentuk pertama kali beberapa tahun yang lalu dan kinerjanya tidak seperti yang diharapkan, banyak orang mengeritiknya dengan keras. Ketika kantor pusat Komnas HAM di Jakarta hendak mengadakan pemilihan anggota baru perwakilan Papua, banyak orang datang ke Komisi F untuk memberikan masukan dan bahkan menuntut dibentuknya Komda HAM Papua dengan harapan bisa lebih berarti untuk penegakan HAM di Papua. Sejumlah pejuang HAM Papua sendiri bahkan memprotes Komnas HAM agar proses seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM lebih transparan.

    Jadi, luar biasa! Dari segi wacana, ini menunjukkan bahwa masalah HAM dianggap sangat penting di Papua. Tapi, bagaimana kenyataannya?

    Pada saat Komnas HAM membuka kesempatan untuk seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM Papua, orang-orang yang saya anggap mampu ternyata tidak tertarik mendaftarkan diri. Jumlah pendaftarnya juga sangat sedikit. Bahkan batas pendaftarannya juga kemudian diundur beberapa kali. Belakangan saya memperoleh informasi bahwa beberapa LSM di Papua juga tidak mengijinkan aktivisnya yang potensial untuk mendaftar dengan berbagai alasan, termasuk keterbatasan personel. Calon yang potensial pun mengundurkan diri karena ada posisi yang lebih baik di luar seperti menjadi anggota KPUD, calon bupati, atau posisi di lembaga negara lainnya.

    Salah satu soal terbesar Perwakilan Komnas HAM Papua adalah sumber dana. Meskipun sudah menyampaikan komitmennya kepada Komnas HAM, Gubernur Bas Suebu secara konkrit tidak menunjukkan dukungan sedikit pun pada proses seleksi sehingga Komnas HAM sendiri kekurangan dana untuk seleksi. Di DPRP hanya Ketua Komisi F Weynand Watori yang aktif memfasilitasi proses seleksi tersebut.

    Pada jaman reformasi ini, kesempatan bagi orang Papua untuk masuk dalam lembaga negara, seperti pemkab, pemkot atau pemprov sangat besar. Selain itu ada lembaga semacam KPUD, Bawaslu, dan lain-lain yang lebih menarik. Dari segi dana dan honorarium, Perwakilan Komnas HAM termasuk yang ‘kering’. Sudah menjadi rahasia umum, Komnas HAM tidak memiliki dana yang besar. Oleh karenanya tidak menjanjikan honor yang layak.

    Di sektor advokasi dan penegakan HAM di kalangan LSM masalahnya juga hampir sama. Jika ada kasus politik dan HAM di Papua sekarang ini, siapa yang mau menjadi penasehat hukum? Banyak pengacara mampu yang dulu berperan penting tidak lagi menangani perkara politik dan HAM. Beberapa dari mereka mengatakan sudah jenuh, beberapa lainnya merasa lelah dengan konflik-konflik sesama aktivis HAM. Beberapa lainnya harus menghidupi keluarganya. Regenerasi pun tidak berjalan baik.

    Menjadi penasehat hukum untuk kasus politik dan HAM di Papua sangat melelahkan baik dari segi pikiran, dana, maupun perasaan. Selain ‘memiskinkan’, begitu banyak gerakan tambahan baik dari yang didampingi maupun dari pihak-pihak lainnya. Perlu militansi luar biasa dan daya tahan yang kuat untuk bisa bertahan dalam arena ini. Daya tahan lainnya adalah kemampuan untuk menahan ‘kantong’ dalam keadaan ‘kering’, bahkan sangat mungkin nombok uang sendiri.

    Kasus penancapan Bintang Kejora di Wamena pada 9 Agustus 2008 yang lalu menjadi contoh yang aktual. Pengacara yang sudi mendamping tinggal Iwan dan Anum (ALDP), LBH Jayapura, dan Hari (KontraS). Untungnya masih ada support dari Poengky Indarti (Imparsial). Selain tidak ada dana, jumlah PH pun terbatas, sehingga tidak bisa berbagi beban. Nafas dan daya tahan orang-orang ini tidak akan panjang jika tidak didukung oleh banyak pihak. Pihak negara seharusnya menyediakan dana untuk memperluas akses terhadap keadilan bagi warga yang miskin…

    Siapa lagi yang akan menjadi pekerja HAM terutama PH pada kasus-kasus yang akan datang? Di masa depan, pasti masih banyak lagi kasus-kasus semacam Wamena…

    Siapa peduli HAM di Papua? Maksudku, peduli dalam arti konkrit mau terlibat dan bekerja…

  • Jhon Ibo: Para Pelintas Batas Tetap Miliki Hal Pilih

    KETUA DPRP, Drs John Ibo,MM mengatakan para pelintas batas di PNG yang saat ini masih dalam proses pengembalian ke tanah kelahirannya masing-masing baik di Kabupaten Jayapura, Sorong dan beberapa daerah lainnya, tetap memiliki hak pilih dalam pemilu Legislatif 2009 mendatang.

    Meski dalam aturan domisili, seseorang diperbolehkan untuk ikut memilih jika telah mendiami sebuah daerah selama 6 bulan secara berturut-turu, John Ibo tetap meyakinkan bahwa ke 708 warga yang akan kembali tersebut boleh ikut memilih.

    Dikatakan, tak ada alasan apapun untuk menolak sekelompok orang ini mengikuti Pemilu karena bagaimanapun juga para Repatriasi ini masih warga negara Republik Indonesia yang telah diterima secara resmi oleh negara yang diwakili oleh daerah.Pernyataan ini disampaikan John Ibo menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos usai peresmian Huluva Kombo, baru-baru ini.

    “Mereka tetap memiliki hak pilih meski nama mereka sempat cacat karena memilih keluar dan berdiam ke negara lain,” tutur John Ibo.Menyangkut kesadaran untuk kembali ini, John Ibo menyampaikan bahwa pemerintah akan memberikan peluang penuh kepada mereka dan sewajarnya memberikan hak-hak dalam berkewarganegaraan karena telah diterima meski memiliki noda politik.

    Keputusan untuk meninggalkan Indonesia saat itu juga bukan tanpa alasan dimana aspirasi yang disampaikan ke DPRP saat itu menurut John Ibo situasi keamanan sangat tidak kondusif dan tidak menjamin keselamatan hidup dan diputuskan berlindung ke negara tetangga yang lebih aman.(ade)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?