Tag: HAM

  • 18 Orang Napi Lapas Abe Melarikan Diri

    Jayapura [PAPOS] – Sebanyak 18 orang penghuni Lembaga Permasyarakatan (Lapas) kelas II Abepura terdiri dari 15 Napi dan 3 Tahanan melarikan diri, Senin (3/5) sekitar pukul 17.30 WIT.

    Kapolresta Jayapura, AKBP H.Imam Setiawan, SIK didampingi Kasat Rekrim Polresta Jayapura, AKP IGG Era Adhinata,SIK kepada Papua Pos mengatakan, Para penghuni Lapas itu melarikan diri diduga terkait dengan adanya pergantian Kepala Lapas Kelas II A Abepura, Antonius Ayorbaba,SH yang digantikan Liberti Sitinjak,SH, M.Si.

    Ke-18 orang tersebut masing-masing bernama Roy Kabarek, Yonas C. Aruway, Albert Tortolius Konyep, Petrus Menti, Theopilus Bano, Ferdinan Yoku, Teni Tabuni, Yunus Sembra, Asin Alias Dani, John Nelson Hanwebi, Yoseph Karafir, Ronald Ohee, Samuel Nanulaita, Yulius Nemnay, Asbudi alias Aco, Iwan Wenda, Inas Kogoya, Bomay Walela.

    “ Kita baru mendapat laporan tentang larinya para penghuni tahanan Abepura itu dan segera diturunkan anak buah untuk melakukan pengejaran hingga semua tertangkap,” katanya.

    Masih menurut Kapolresta, mereka yang melarikan diri terdiri dari 15 Napi dan 3 Tahan. Mereka melarikan diri sekitar pukul 17.30 WIT ketika petugas Lapas sedang melakukan penguncian gembok di blok tahanan, kemudian para tahanan melakukan pengrusakan gembok lalu melarikan diri.

    Akibat kejadian itu, Kapolresta Jayapura telah menggerahkan anggota Polresta dan jajarannya untuk melakukan pengejaran terhadap para pelarian. “ Kami terus melakukan pengejaran terhadap pelarian dari Lapas itu sampai tertangkap,” tegas Kpolresta. [loy]

    Ditulis oleh Loy/Papos
    Selasa, 04 Mei 2010 00:00

  • Pelaku Penghinaan RAS di Facebook Harus Dihukum

    JAYAPURA [PAPOS] – Pelaku penghinaan terhadap Ras Etnis Papua melalui Facebook yang dilakukan seorang Pegawai Negeri Sipil berininsial TU Sabtu (27/2) lalu diminta segera di proses hukum oleh Polda Papua dan dipecat dari PNS. “ Kami dari Forum Pemuda Peduli Penegakan Demokrasi Papua (FPPPDP) meminta Kapolda Papua untuk memproses hukum pelaku penginaan melalui Facebook, karena perbuatannya sudah membusukkan nama naik masyarakat Papua,” tegas Ketua FPPPDP, Isack.J.Maniagasi SE, ketika bertandang di Redaksi Papua Pos Minggu (28/2) kemarin.

    Isack mengatakan pelaku telah melakukan pencemaran nama baik orang Papua dan melecehkan nama baik orang Papua, serta membuat perkataan sara terhadap ras etnis Papua, untuk itu pelaku harus diproses harus sampai ke pengadilan.

    Selain kepada Kapolda Papua, Isack juga minta kepada Gubenur Provinsi Papua untuk segera memberhentikan pelaku dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta meminta kepada Wali Kota, Ketua DPRP, Ketua MRP, bahkan seluruh Bupati di tanah Papua untuk memperhatikan pelaku dan diproses secara hukum sesuai undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia.

    “ Jika hal itu tidak ditanggapi baik dari Polda Papua maupun kepada Gubenur Provinsi Papua, maka Forum Pemuda Peduli Penegakkan Demokrasi Papua akan membuat permasalahan ini akan terus berlanjut,” tukas Isack

    Isack leih jauh mengatakan, Masyarakat Papua bukan orang yang mau dihina, kalau memang ada masalah sama orang tertentu, harus bertemu dengan orang tersebut bukan membuat perkataan lewat Facebook.

    Sebagai seorang yang intelek dan professional tidak seharusnya melakukan perkataan itu lewat Facebook, karena Facebook bukan untuk tempat melecehkan nama baik Ras Papua.

    “ Yang jelas pelaku harus diproses secara hukum sampai kepengadilan dan di putuskan sebagai PNS selanjutnya keluar dari bumi Papua ini,” tegas Isack

    Isack juga menyampaikan bahwa hal itu akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya sehingga tidak menimbulkan perbuatan yang melanggar Hak Azasi Manusia kedepan.

    “ Pelaku TU tidak bisa dibebaskan begitu saja, harus diproses secara hukum jika penyidik Reskrim Polda Papua memperlambat proses penyidikan atau membuat kesengajaan maka akan menimbulkan konflik bagi ras Papua,” tambahnya.[loy]

    Ditulis oleh Loy/Papos
    Senin, 01 Maret 2010 03:17

  • Situasi HAM di Papua Menurun Drastis

    TEMPO Interaktif, Jakarta -Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Papua menilai telah terjadi penurunan drastis terhadap situasi HAM di Papua pada 2009. Negara masih mengabaikan perlindungan kesetaraan warga, penghormatan martabat manusia, serta supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan dan keadilan makin jauh dirasakan orang Papua.

    Sepanjang 2009, kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mendiskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis. “Kriminalisasi atas warga yang mengibarkan bendera, pembubaran demonstrasi damai hingga penembakan terhadap Kelly Kwalik adalah cermin absennya kemauan untuk dialog di masyarakat,” kata Matius Murib dari Komnas Daerah Papua didampingi Haris Azhar dan Syamsul Alam dari Kontras dalam refleksi 2009 dan proyeksi HAM Papua 2010 hari ini.

    Para aktivis juga masih diawasi dan terkadang diintimidasi saat menginvestigasi kasus-kasus pelanggaran HAM, mengadakan pertemuan dengan diplomat, dan perwakilan organisasi internasional atau sekadar mengadakan pertemuan. Dalam kasus penembakan tokoh pembebasan Papua, Kelly Kwalik terlihat negara gagal menyelesaikan konflik di Papua dalam tatanan demokrasi. Hal ini mengulangi penembakan Abdullah Syafei di Aceh.

    Di sisi lain negara juga tidak merespon seruan gerakan properdamaian yang skalanya jauh lebih besar. Pendekatan keamanan selalu dan terus dikedepankan di tanah Papua. Akibatnya hak-hak sipil masyarakat Papua terus dilanggar.

    Identitas Papua tidak lagi mendapat penghormatan penuh karena ekspresi damai bendera kian dilihat sebagai tindakan melawan hukum. Padahal itu bagian dari penghormatan kebudayaan serta manifestasi hak sipil politik setiap orang. Sebaimana yang dijamin dalam Kovenan hak sipil dan Politik serta Kovenan hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 2006.

    Data yang dihimpun oleh Fransiskan International menunjukkan, pada tahun 2004 sebanyak 80 persen penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Selain itu, sebanyak 36,1 persen warga di daerah tersebut tidak memiliki akses fasilitas kesehatan. Kondisi ini kian diperparah dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam di sana yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.

    Menyoroti kehidupan kultural Papua, papar Matius, masyarakat adat di sana masih belum bisa merasakan praktik penghormatan terhadap ekspresi budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Jamaknya setiap perbedaan tentu bisa dirayakan dalam semangat kebersamaan, namun di sana ekspresi dari perbedaan itu dijawab dengan penolakan dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang harus dijawab dengan kekuatan eksesif. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah praktik penegakan hak asasi manusia.

    Masyarakat Papua juga belum bisa merasakan secara langsung eksistensi negara dalam wujud pelayanan publik yang optimal. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menata kebijakan yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat Papua secara luas.

    Inkonsistensi sikap dan tindakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dalam menerapkan Undang-undang Otonomi Khusus telah berakibat pada ketidakpercayaan rakyat Papua. Secara ekonomi-sosial, target pembangunan dalam Otonomi Khusus juga tak dirasakan oleh orang Papua. Kebijakan tersebut justru melahirkan kesenjangan sosial kian tinggi dan menyuburkan korupsi tanpa koreksi yang signifikan.

    Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga asli Papua sebagai akibat dari politik pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal yang dipraktikkan sejak tahun 1970 masih menjadi corak khas yang memenuhi daftar persoalan Papua hingga kini. Oleh karenanya Pemerintah perlu memperhatikan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Papua Road Map (2009), yang menyimpulkan bahwa kegagalan pembangunan tidak saja bertumpu pada satu dimensi permasalahan semata, melainkan menjalar pada sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan perekenomian masyarakat.

    Sudah sepatutnya pemerintah pusat konsisten dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi tanpa diskriminasi. Upaya mengedepankan dialog adalah komitmen yang harus diwujudkan bersama. Mewujudkan perdamaian di tanah Papua bukan tidak bisa diraih. Jika Presiden Susilo teguh pada retorika demokrasinya, maka orang Papua tidak menjadi sasaran operasi keamanan bertubi-tubi.

    Tidak ada prioritas yang jelas terhadap pelaksanaan pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM di Papua. Hingga kini, belum ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua sebagai kerangka hukum implementasi dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

    “Kami meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan prioritas perhatian untuk rakyat Papua,” ujar Matius Murib. Janji kesejahteraan, demokrasi dan keadilan yang menjadi tiga pilar program pemerintahan Susilo-Boediono harus bisa dirasakan langsung oleh rakyat Papua.

    MARIA HASUGIAN

  • Panitia Dialog Pemuda Papua Kurang Sosialisasi

    Yulianus Dwaa
    Yulianus Dwaa
    Yulianus Dwaa-JAYAPURA—Ketua umum Koordinator Daerah Provinsi Papua Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia, Yuliaunus Dwaa Amd.Kes meminta panitia pelaksana Dialong Nasional Pemuda Papua yang digagas KNPI Papua melakukan evaluasi kinerja apa yang sudah dibuat mereka selama ini.
    Pasalnya, panitia pelaksana kegiatan dan DPD I KNPI Provinsi kurang melakukan sosialisasi dengan baik kepada semua DPD – DPD KNPI tingkat II serta organisasi – organisasi kemasyarakatan pemuda ( OKP ) yang tergabung di dalam di wadah KNPI itu sendri.

    Ia meminta paniti kegiatan tak usah emosional menyalahkan pemerintah SBY serta Gubernur Provinsi Papua yang tidak hadir dalam acara dialong tersebut. Bahkan ia meminta KNPI Provinsi Papua meminta maaf kepada seluruh Pemuda Papua dan masyarakat adat Papua maupun pemerintah.

    Ia berharap agar supaya paniti dan KNPI Provinsi Papua sementara itu, Ketua umum persatuan mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Simon Petrus Baru mengatakan panitia harus melakukan evaluasi total termasuk KNPI Provinsi Papua sehingga lebih trasparan lagi dalam mensosialisasikan kegiatan yang berskala nasional ini.

    “Setahu saya ide ini adalah sesaat saja setelah itu di kembangkan secara cepat. Bahkan lebih banyak kepentingan politiknya,” tandasnya.(cr-1)
    bintangpapua.com
    Ditulis oleh (cr-1)

  • Dewan Adat Biak Gelar Temu Raya

    BIAK-Dewan Adat Biak menggelar acara temu raya selama tiga hari berturut-turut sejak Jumat (23/10) kemarin. Acara yang dihadiri 300 orang masyarakat adat Biak termasuk mereka yang dari luar Kabupaten Biak Numfor ini, pada dasarnya membahas dan mengevaluasi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan masalah sosial kemasyarakat dan adat.

    Ketua Dewan Adat Biak Mananwir Beba Yan Piet Yarangga mengatakan, temu raya ini akan menghasilkan sejumlah kesepakatan dan rekomendasi program yang dapat bermanfaat bagi masyarakat adat Biak khususnya, serta semua masyarakat yang ada di Papua umumnya.

  • Suku Felle Ancam Palang Bandara

    AKBP Mathius D Fakhiri, Kapolres
    AKBP Mathius D Fakhiri, Kapolres

    SENTANI-Ini suatu kabar tidak mengenakkan bagi warga yang akan bepergian hari ini dengan menggunakan pesawat udara. Soalnya, Bandar Udara (Bandara) Sentani, diancam bakal diduduki (dipalang) pagi ini pukul 07.00 WIT. Ancaman pemalangan ini datang dari masyarakat suku Felle yang mengaku sebagai salah satu pemilik hak ulayat di sebagian areal bandara. Suku Felle merasa ada hak-hak mereka yang terabaikan.

    Ancaman palang ini disampaikan melalui sebuah surat pemberitahuan yang diberikan ke Kapolres Jayapura.

    Mereka mengatakan, tidak akan membuka palang tersebut sebelum ada kejelasan terhadap hak-hak mereka yang terabaikan, sebagaimana tertuang dalam surat yang turut disetejui salah satu wanita bernama Yakomina Felle, yang mengaku sebagai Ondofolo.

    Kapolres Jayapura AKBP Mathius Fakhiri SIK

    saat dikonfirmasi di ruang kerjanya Rabu (21/10) menegaskan, sesuai janjinya yang pernah disampaikan bahwa dirinya tidak ada kompromi dengan siapapun yang mencoba-coba mengganggu aktivitas umum, apalagi di bandara yang merupakan wajah dari Papua, terlebih khusus Kabupaten dan Kota Jayapura.

  • Kilas Balik HAM Perempuan Papua

    Mellvin

    Perempuan Papua (Foto, Musa, JUBI)
    Perempuan Papua (Foto, Musa, JUBI)

    Pemenuhan HAM bagi Perempuan Papua ternyata belum sepenuhnya dilakukan. Sejumlah tokoh perempuanpun harus menggerutu takkala membaca koran pagi yang masih saja berisikan kekerasan terhadap kaum hawa.

    Masalah pemenuhan HAM bagi perempuan Papua, memang terkesan lambat. Sejumlah pihak yang berkecimpung dalam bidang ini, kerap pula tak serius menanganinya. Kekerasan demi kekerasan yang menimpa kaum hawa berjalan lurus dengan grafik penganiyaan yang menimpanya. Dalam tahun 2007, kekerasan yang terjadi pada perempuan di Papua masuk dalam peringkat ketiga terbesar diseluruh Indonesia. Disusul Maluku dan Yogyakarta. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan, kekerasan di Papua mencapai 13,62 %, Maluku 10,39 %, dan Yogyakarta 9,14 %. Survei mengambil sampel 68.800 rumah tangga yang tersebar di seluruh provinsi dengan blok sensus perkotaan dan pedesaan. Secara keseluruhan, Wien Kusdiatmono selaku penanggung jawab operasionalisasi tersebut memaparkan, kekerasan terhadap perempuan mencapai 3,07 %, 3,06 % terjadi di perkotaan dan 3,08 % di pedesaan. Sehingga diperkirakan di antara 100 orang, terjadi tiga kekerasan yang dialami perempuan. Jumlah kejadiannya mencapai 3 juta dengan 2,27 juta korban.

    Kekerasan terhadap perempuan paling banyak dalam bentuk penghinaan sebesar 65,3 %, penganiayaan (25,3 %), pelecehan (11,3 %), penelantaran (17,9 %), dan dalam bentuk lainnya yang tidak didefinisikan (16,2 %). Menurut Wien, penganiayaan paling banyak terjadi di Papua dengan persentase 70,3 %. Adapun di Yogyakarta kekerasan dalam bentuk penghinaan paling tinggi terjadi dengan persentase 83,43, sedangkan Maluku dan Papua masing-masing 63,70 dan 53,42 %. Berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan tercatat 12.209 pada 2004, meningkat dari 2003 sebanyak 7.787 kasus, 2002 sebanyak 5.163, dan 2001 sebesar 3.169 kasus.
    Dominggas Nari dalam

  • Kelestarian Budaya Baliem Terancam Punah

    WAMENA-Pimpinan Sanggar Seni Dani Baliem Wamena, Yoko Huby mengatakan, sejak berdiri pada 2002 lalu, hingga saat ini pihaknya belum mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya baik dalam bentuk bantuan maupun pembinaan.

    “Kami sudah beberapa kali ajukan permohonan bantuan guna memajukan sanggar seni ini demi kelestarian budaya Baliem, tapi belum ada direspon dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya,”ungkapnya kepada wartawan saat ditemui di kediamannya, Rabu (3/6), kemarin.

    Menurutnya, budaya asli Baliem sudah mulai punah karena terpengaruh dengan masuknya budaya dari daerah lain. Terkait dengan itu, pihaknya bersama anggota sanggar terus berupaya melestarikan budaya Baliem yang cukup diminati oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Salah satu hal yang dilakukannya, lanjut Yoko, yaitu melakukan pembinaan kepada grup-grup tari yang ada di kampung-kampung sehingga potensi yang ada di kampung tersebut dapat diangkat guna menambah kekayaan budaya Baliem.

    “Salah satu yang kami lakukan untuk mengembalikan semangat budaya Baliem yaitu beberapa waktu lalu bermitra dengan LSM Peace Brigade Indonesia (PBI) menggelar kegiatan tarian perdamaian sehingga diharapkan melalui kegiatan itu dapat membantu melestarikan budaya Baliem agar semakin dikenal oleh masyarakat,”ujarnya.

    Lebih lanjut diungkapkannya, karena banyaknya budaya Baliem yang belum tersentuh maka diharapkan semua pihak yang peduli termasuk pemerintah daerah dapat membantu untuk mengembangkan budaya Baliem tersebut sehingga upaya menjadikan Jayawijaya sebagai Kota DANI (damai, aman, nyaman dan indah) dapat terwujud.(nal)

  • DAP Minta Aparat Transparan

    JAYAPURA (PAPOS) -Aparat keamanan diharapkan dapat mengungkap secara transparan segala peristiwa yang meresahkan masyarakat di Papua, terutama yang terjadi menjelang, saat dan beberapa hari pasca Pemilu 2009.

    Hal tersebut disampaikan Sekretaris Umum Dewan Adat Papua (DAP) Leonard Imbiri.”Kami berharap, aparat tidak saja mengungkap dan menangkap pelaku tindakan-tindakan anarkis yang terjadi di Jayapura dan daerah lainnya, tapi juga motif dan aktor utama di balik semua peristiwa itu,” tandasnya di Jayapura, Rabu (22/4) kemarin.

    Peristiwa yang meresahkan masyarakat di antaranya penyerangan Kantor Polsekta Abepura, Jayapura yang disusul pembakaran gedung rektorat Universitas Cenderawasih (Uncen) oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab, menjelang hari pencentangan, Kamis (9/4).

    Sebelumnya, masyarakat juga dikejutkan dengan penemuan bom yang terpasang di jembatan Muara Tami, Distrik Muara Tami. Bahkan ada pula pembunuhan yang menimbulkan jatuhnya beberapa korban jiwa di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Selain itu, di kabupaten ini juga SMP Asologoima ikut dirusak.

    Rangkaian kejadian itu masih disusul dengan penyebaran isu akan adanya penyerangan dari sekelompok orang terhadap komunitas masyarakat tertentu dan teror bom yang semakin mengganggu kondisi kemanan dan ketertiban masyarakat di Jayapura, terutama pada hari-hari penghitungan suara.

    Penemuan bom di tempat-tempat keramaian di Abepura, Jayapura beberapa waktu lalu turut menambah ketegangan masyarakat yang akan beraktivitas.

    “Keadaan ini menimbulkan situasi yang tidak menentu dan membingungkan masyarakat,” kata Leonard.

    Di lain pihak, dampak dari hal tersebut adalah terusiknya hubungan sosial kemasyarakatan yang rawan konflik horizontal.

    Lebih lanjut dia mengatakan, di masyarakat kini timbul rasa saling curiga dan menjaga diri karena telah ada pengkotak-kotakan kelompok masyarakat satu dengan lainnya.

    Oleh karena itu, agar situasi ini tidak menyebabkan masalah yang lebih besar lagi, dia berharap pihak keamanan dapat menuntaskan kasus-kasus kekerasan tersebut secara gamblang dan terbuka.(ant)

    Ditulis oleh Ant/Papos
    Kamis, 23 April 2009 00:00

  • Pernyataan Bersama Menyambut Hari Perempuan Internasional – PELIBATAN TENTARA DALAM PROGRAM KB ADALAH PENGULANGAN KESALAHAN DI MASA LALU

    06 Maret 2009

    Tentara Nasional Indonesia (dulu disebut ABRI) kembali akan membantu (mengawal) pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kembalinya TNI dalam program Keluarga Berencana (KB) tersebut didasarkan pada nota kesepakatan (MoU) yang ditandatangani Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Kepala BKKBN, Dr. Sugiri Syarief, MPA, disaksikan oleh Menko Kesra, Aburizal Bakrie, di Auditorium BKKBN Jakarta pada 12 Februari 2009.

    Menurut keterangan Panglima TNI, wujud kerjasama di lapangan antara lain dengan meningkatkan kemampuan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); Pergerakan dan kemitraan bagi petugas KB; Pengelolaan pelaksanaan organisasi keagamaan, organisasi profesi dan institusi masyarakat pedesaan perkotaan Program KB Nasional; Pelayanan KB, pelayanan kesehatan reproduksi kesehatan, kesehatan reproduksi remaja, kelangsungan hidup bayi dan anak serta peningkatan partisipasi pria di lingkungan TNI dan Masyarakat; Peningkatan dan pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan ketahanan keluarga dan peningkatan kualitas lingkungan keluarga di lingkungan TNI dan Masyarakat; dan Pendidikan/pelatihan bagi pengelola dan pelaksana program KB Nasional di lingkungan TNI.

    Salah satu target kerja sama tersebut adalah pemenuhan target akseptor baru sejumlah 6,6 juta, di tahun 2009. Berdasarkan pengalaman sejarah masa lalu, keterlibatan aparat militer dalam pelaksanaan program KB sangat rentan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Kerjasama antara BKKBN dengan TNI yang diarahkan pada pemenuhan target pencapaian akseptor baru, akan menjadi pengulangan kesalahan yang dilakukan oleh ABRI dalam mensukseskan program KB di era rezim Soeharto.

    Target mensukseskan program KB dengan tolok ukur utama penambahan jumlah akseptor, yang dilakukan oleh ABRI dimasa lalu, melanggar hak-hak perempuan termasuk Hak atas otonomi tubuh, privasi, kerahasiaan, persetujuan berdasarkan pengetahuan (informed consent) dan pilihan. Bahkan pada prakteknya, peran tentara dalam KB merupakan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender.

    Saat itu, INFID (masih bernama INGI) telah melakukan kampanye di tingkat Internasional agar program KB yang didanai dari utang World Bank dihentikan. Karena Riset INFID pada tahun 1991 [1] menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi dipaksakan terhadap perempuan dan melanggar prinsip persetujuan berdasarkan pengetahuan (informed consent)

    Kembalinya TNI dalam program KB sangat memungkinkan terjadinya kekerasan berbasis gender, dan merusak kerja-kerja promosi hak Asasi perempuan dan keadilan gender yang telah 10 tahun dikerjakan. Karena tentara merupakan salah satu institusi negara yang tidak ramah terhadap konsep, nilai, prinsip dan perangkat kebijakan berbasis Hak Asasi Perempuan dan keadilan gender

    Keluarga Berencana (KB) merupakan isu kependudukan yang memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral. Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Ada 8 komponen yang termasuk dalam kesehatan reproduksi, yaitu: konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; pendidikan seksualitas dan gender; pencegahan, skrining dan pengobatan saluran reproduksi, PMS (Penyakit Menular Seksual), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya; pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada; pencegahan dan pengobatan infertilitas; pelayanan aborsi aman; pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan

    Dengan melihat luas dan dalamnya cakupan komponen kesehatan reproduksi dapat dipastikan bahwa tentara tidak memiliki kecukupan pengetahuan dan sensitifitas untuk bekerja di ranah kesehatan reproduksi tersebut.

    Lebih dari itu, Kesehatan Reproduksi bukanlah merupakan Tugas Pokok dan fungsi (Tupoksi) dari tentara dalam operasi militer untuk perang (OMP) dan juga tidak termasuk tupoksi dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan tubuh perempuan bukanlah Daerah Operasi Militer (DOM).

    Peran Fungsi dan tugas Pokok TNI

    Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI menentukan bahwa: 1) TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, 2) TNI berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa serta melakukan pemulihan akibat kekacauan keamanan, 3) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah, 4) Melaksanakan tugas pokok dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, 5) Postur TNI dibangun sebagai postur pertahanan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata, 6) Pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI harus mempertimbangkan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan daerah terpencil sesuai kondisi geografis dan strategi pertahanan, 7) Dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis, 8) Penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah

    Dalam operasi selain perang, terdapat 14 operasi selain perang yaitu: mengatasi gerakan separatisme, pemberontakan bersenjata, dan aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, pengamanan obyek vital strategis, pengamanan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini, serta membantu: tugas pemerintahan di daerah, Kepolisian RI, pengamanan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang di Indonesia, menanggulangi bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan, pencarian dan pertolongan kecelakaan (search and rescue) dan membantu pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan perompakan.

    Dalam menjalankan tugas-tugasnya, tentara harus mendasakan diri kepada kebijakan dan keputusan politik negara. terkait dengan ketentuan ini, maka MoU antara Panglima TNI, dan Kepala BKKBN, perlu dipertanyakan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.

    Kegagalan KB adalah Pelanggaran Negara

    Bahwa selama 10 tahun terakhir negara mengalami kegagalan dalam mempromosikan dan mensukseskan Keluarga Berencana, adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri.

    Kegagalan tersebut, bukanlah disebabkan oleh berhentinya kerterlibatan TNI dalam program KB. Namun lebih disebabkan oleh adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, terutama pemerintah. Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indoneisa melalui UU No. 7 Tahun 1984, menyatakan bahwa negara wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, sebelum dan sesudah persalinan, serta pelayanan cuma-cuma termasuk untuk KB serta pemberian makanan yang bergizi.

    Namun sejak reformasi, dimana pemerintah memiliki ikatan utang dengan IMF (International Monetary Fund) dan diharuskan melaksankan program Structural Adjustment, yang salah satunya diharuskan menghapuskan program layanan kesehatan dan KB cuma-cuma. Sejak itulah layanan KB bagi masyarakat – terutama bagi kelompok miskin diabaikan.

    Sehubungan dengan dilakukannya MoU antara Panglima TNI dengan kepala BKKBN, maka INFID mendesak agar MoU tersebut dibatalkan.

    Jakarta, 6 Maret 2009

    Don K Marut Direktur Eksekutif INFID

    Anggota, Jejaring kerja dan Individu yang peduli, ikut mendukung pernyataan ini:

    ORGANISASI:

    1.Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Biro Informasi, Jakarta
    2.BAKUMSU, Medan
    3.BISMI, Depok
    4.Forum Pemerhati Masalah Perempuan, Sulawesi Selatan
    5.IDEA, Yogyakarta
    6.IDSPS
    7.Institut Perempuan
    8.Institute for National and Democratic Studies (INDIES)
    9.JATAM
    10.KAIL
    11.Kapal Perempuan
    12.Kelompok Pelita Sejatera (KPS), Medan
    13.Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKPST)
    14.Koalisi Perempuan Indonesia
    15.KSPPM, Medan
    16.LARAS, Kalimantan Timur
    17.Our Voice
    18.Perkumpulan relawan CIS TIMOR
    19.PIKUL, Kupang

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?