Tag: HAM

  • Mengapa Hanya Sokrates?

    JAYAPURA—Ba­nyak yang berkoar soal kasus Puncak Jaya, mulai dari Dewan Adat Papua (DAP), DPRP, Komnas HAM, Gereja, bahkan Individi-individu, namun mengapa hanya Duma Sokrates Sofyan Yoman yang jadi bidikan?

    Alangkah baiknya bila kita bersama-sama melihat substansi dari munculnya tudingan atau kritikan terhadap instisuti Polri maupun TNI yang menjalankan amanah negara di wilayah paling timur Indonesia yakni Papua. Melihat kasus yang terjadi di kabupaten Puncak Jaya Papua sungguh tragis dan ironis memang, pasalnya sejak berdiri di tahun 2004 silam, kabupaten dengan ibu kota Mulia ini sudah dihebohkan dengan berita penembakan yang menggetarkan nadi dan merindingkan buluk kuduk.

    Dalam laporan Komnas HAM Papua sendiri, disebutkan bahwa pada 17 Agustus 2004 saat upacara peringatan detik-detik proklamasi di Mulia Puncak Jaya, segerombolan orang yang tidak dikenal masuk ke dalam kota Mulia dan melakukan penembakan ke arah warga sipil dan petugas keamanan TNI Polri, sehing­ga banyak korban berjatuhan baik dari warga sipil maupun aparat keamanan.

    Akibat aksi tersebut, tidak sedikit aparat keamanan yang dikirim ke wilayah tersebut, de­ngan tujuan mengejar serta menumpas habis atau membawa mereka, orang-orang yang katanya berbeda pandangan ini untuk kembali bergabung dengan masyarakat umum serta menyatakan kesetiaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Sejak saat itu pula, tidak sedikit warga atau masyarakat asli yang telah lama mendiami lembah itu mengungsi, mencari tempat aman dan tenang untuk melanjutkan aktifitas berkebun serta bersosialisasi secara bebas.

    Nah, kembali pada kasus Puncak Jaya yang kemudian perlahan tapi pasti mulai merambah ke balik meja yakni Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-Gereja Baptis Papua, Duma Sokrates Sofyan Yoman yang dengan tegas menyoroti kinerja Polisi dan TNI, kini terancam dijemput paksa oleh aparat keamanan, pernyataanna lewaT media ini dijadikan sebagai senjata untuk memanggil yang bersangkutan dengan tuduhan yang pastinya adalah penghasutan serta fitnah.

    Sokrates memang berkata keras bahkan mengaku memiliki bukti-bukti otentik akan keterlibatan aparat TNI dan Polri di Kabupaten Puncak Jaya, yang tanpa memikirkan untung rugi menyampaikan kepada publik bahwa kasus Puncak Jaya adalah proyek aparat.
    Tentu saja hal ini membuat panas telinga, “Pangdam dan Kapolda Tersinggung” begitulah tanggapan petinggi militer yang termuat pada halaman surat kabar di Jayapura.

    Kalau memang pernyataan tersebut membuat tersinggung pihak-pihak tertentu, maka agar azas keadilan diterapkan secara merata di Indonesia kepada seluruh Warga Negara Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua, agar juga tidak merugikan satu pihak, maka polisi sudah seharusnya dari sekarang membuka kembali file-file atau dokumen tentang pernyataan-pernyataan yang dilontarkan individu-individi tertentu baik lewat DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), Komnas HAM Papua, Dewan Adat Papua (DAP) maupun organisasi kepemudaan lainnya. Pasalnya dari catatan dan pengalaman, tidak sedikit individu di Tanah ini yang selalu mengkait-kaitkan kasus di Papua dengan TNI/Polri.

    “APBD kami terkuras hanya untuk masalah keamanan di Puncak Jaya, rumah Bupati saja ditembaki,” ungkap Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe belum lama ini di Jayapura.
    Nah, kembali ke Puncak Jaya, yang menarik adalah di tahun 2004 senjata rampasan yang berhasil dibawah kabur kelompok yang oleh aparat keamanan dikenal banyak versi, mulai dari Orang Tidak Dikenal (OTK), Gerombolan Bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelompok Kriminal Bersenjata, Kelompok Sipil Bersenjata dan masih banyak lagi istilah yang sering dipakai. Bahwa pada tahun 2004 sedikitnya empat sampai lima pucuk senjata berhasil dibawah kabur kelompok-kelompok ini, sejak saat itu kelompok ini sering memakai senjata rampasannya untuk melakukan teror bahkan pembunuhan baik pada warga sipil maupun aparat keamanan.

    Yang mengagetkan semua pihak, bahwa dalam kurun waktu enam tahun terakhir hingga 2010 ini, kelompok ini telah berhasil merampas dan juga telah memiliki hampir 30 sampai 40 pucuk senjata rampasan. Dan dalam kurun waktu tersebut angka korban di Puncak Jaya meningkat signifikan, angka amunisi dan personil juga meningkat siginifikan.

    “Dari tahun 2004-2007 terjadi peningkatan yang signifikan, korban di dua pihak (sipil dan Aparat keamanan) meningkat tajam, nah, selama yang jadi pertanyaan adalah suplai amunisi yang sering dipakai itu dari mana, ini kondisi yang aneh,” ujar Matius Murib wakil ketua Komnas Ham Papua.

    Ya, memang aneh, hal ini memperlihatkan bahwa Polisi terlalu reaktif terhadap pernyataan Sokrates Sofyan Yoman, padahal persoalan sesungguhnya adalah penembakan yang selalu terjadi di Puncak Jaya.

    “Ini bukan persoalan antara tersingung atau tidak tersinggung, tetapi ada warga masyarakat yang selalu jadi korban disana, itu substansi persoalannya,” tambah aktifisi hukum Gustaf Kawer kepada media ini belum lama ini.

    Sayangkan, disaat masyarakat di Kabupaten lain tengah membangun di segala bidang, dapat bersosialisasi dengan bebas, tidur dengan nyenyak, kemana saja tidak ada halangan namun masyarakat di kabupaten Puncak Jaya masih terus berkutat dengan masalah teror meneror. Kondisi ini sangat memprihatinkan. (Hendrik Hay)

  • Sokrates Tolak Panggilan Polda

    Duma Sokrates Sofyan Yoman

    JAYAPURA—Panggilan Polda Papua bernomor B/792/VIII/2010 tertanggal 7 Agustus terhadap Duma Sokrates Sofyan Yoman, terkait pernyataannya yang dinilai memojokkan TNI/Polri soal kasus Puncak Jaya, tidak dipenuhi atau ditolak yang bersangkutan.

    Duma Sokrates mengatakan, jangan pernah berpikir bahwa aparat keamanan yaitu TNI/Polri adalah pemilik kebenaran atau segala-galanya. Ini paradigma lama yang tidak relevan lagi dengan era saat ini. “Saya tidak akan pernah hadir untuk memenuhi undangan klarifikasi dari pihak Polda Papua bernomor B/792/VIII/2010 Dit Reskrim Polda Papua tertanggal 7 Agustus 2010,” tegas Ketua Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereha Baptis Papua itu kepada Bintang Papua, kemarin .

    Duma Sokrates mengatakan bahwa pernyataan yang disampaikan lewat media Jumat pekan lalu adalah benar, disertai dengan data-data yang akurat tentang keterlibatan aparat keamanan dalam kasus berkepanjagan yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya.

    “Pernyataan yang disampaikan oleh saya bukan asal omong, kami mempunyai alasan, data dan pengalaman. Pemerintah dan aparat keamanan salah menilai dan salah mengerti terhadap kami, kami bukan bangsa bodoh, tuli, bisu dan buta,” ingat Yoman.

    Gereja, kata Yoman, bukan sub ordinat (bawahan) pemerintah dan aparat keamanan. Gereja baptis Independen, otonom dan mandiri. Dalam prinsip dan roh ini, Gereja Baptis selalu menyuarakan suara kenabian bagi umat tak bersuara dan tertindas. “Kami heran, persitiwa kekerasan yang terjadi sejak tahun 2004 di kabupaten Puncak Jaya tidak pernah berakhir sampai tahun 2010, mengapa aparat keamanan yang mempunyai intelijen tidak berfungsi untuk mendeteksi kelompok-kelompok yang dianggap OPM yang membuat kacau,” tanya duma Yoman.

    “Harapan kami, aparat keamanan harus berhenti bersandiwara di Tanah Papua ini, terutama pihak kepolisian tidak pantas memanggil saya, karena saya adalah tuan dan pemilik negeri serta ahli waris tanah ini,” ungkapnya.

    Harus berhenti panggil-panggil Orang asli Papua, sarannya, tetapi mari kita hidup bersama secara bermartabat setara dan terhormat. “Jangan terus jadikan umat Tuhan seperti hewan buruan dengan stigma-stigma yang merendahkan martabat umat Tuhan,” tambahnya.

    Dikatakan, “Sudah saatnya semua kekerasan dan sandiwara dihentikan, demi keadilan, perdamaian dan HAM,” tandasnya. (hen)

    Minggu, 08 Agustus 2010 21:17

  • TNI/Polri Diminta Bisa Menjamin Keamanan Warga Sipil di Puncak Jaya

    JAYAPURA—Kapolda Papua Irjen Pol Drs Bekto Suprapto MSI dan Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun didesak untuk segera mengungkap pelaku penembakan yang menewaskan mantan sopir Kepala Distrik Mulia, Afril Wahid (25) saat berada di kios miliknya di Kampung Wuyuneri, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Rabu (4/8) sekitar pukul 18.30 WIT.

    Mereka juga didesak untuk memberikan jaminan keamanan terhadap warga sipil di daerah yang disebut sebut Daerah Operasi Militer (DOM) ini.

    Kapolda mesti dengan tegas dan berani mengungkap bahwa daerah Puncak Jaya aman dan dengan tegas pula dia harus jujur mengungkap kasus ini siapa pelaku dan dengan tegas serta harus diproses hukum,” ucap Anggota DPRP sekaligus Ketua Kaukus Perlemen Pegunungan Tengah Papua, Kenius Kogoya SIP saat dikonfirmasi Bintang Papua di ruang kerjanya, Jumat (6/8) terkait tewasnya warga sipil di Puncak Jaya.

    Dikatakan, institusi TNI/Polri juga diminta memberikan klarifikasi terkait tuduhan yang mengatakan bahwa aksi aksi penembakan terhadap warga sipil selama ini di Puncak Jaya dilakukan Orang Tak Dikenal (OTK), kelompok kriminal bersenjata serta Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Karena itu, lanjutnya, pihak mendesak Kapolda dan Pangdam dengan tegas dan harus berani mengungkap kasus penembakan ini serta tak boleh sembunyi sembunyi atau mendiamkannya. Percuma konsentrasi aparat keamanan di wilayah Puncak Jaya, tapi tak berani untuk memberikan suatu kenyamanan bagi masyarakat yang hingga kini masih terus mengalami trauma.

    Pasalnya, menurutnya, Kapolda Papua harus berani mengungkap kasus penembakan ini karena terjadi di didalam kota Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya. “Saya mau tanya penembakan ini terjadi malam hari sekitar pukul 19.00-20.00 WIT apakah tak ada aparat keamanan yang melakukan patroli di daerah tersebut. Pasukan yang banyak yang dikirim ke Puncak Jaya untuk apa,” tanyanya berang.

    Dia mengatakan, kalau Kapolda tak berani untuk memberikan suatu keamanan bagi warga. Bagaimana mungkin teroris yang melakukan aksi di wilayah yang luas mampu diungkap, tapi peristiwa penembakan yang terjadi di sebuah distrik kecil justu pelakunya tak pernah terungkap. “Ini kan lucu dan patut dipertanyakan kinerja Polri/TNI,” tandasnya.

    “Kita ragu konsentrasi pasukan dari seluruh angkatan di daerah Puncak Jaya makin meningkatkan kost anggaran yang diduga dapat dijadilan lahan bisnis TNI/Polri. Tak boleh menjadikan suatu daerah sebagai lahan bisnis.”

    Menurut dia, pihaknya juga ingin tanyakan kepada institusi TNI/Polri yang selalu menggunakan istilah OTK juga terlalu dini untuk selalu menuduh pelaku penembakan adalah OPM. “Kapolda harus mengungkap kasus ini dengan sejujur-jujurnya semua peristiwa yang terjadi penembakan itu tak pernah terungkap, tapi justru yang disalahkan adalah OPM. Apa betul pelaku penembakan adalah OPM, padahal peristiwa penembakan tersebut terjadi di wikayah perkotaan.

    Karena itu, tambahnya, pihaknya mendesak Kapolda mengklarifikasi terkait dengan bahasa- bahasa yang selalu dilontarkan lewat media massa, serta pihak- pihak yang berkompeten. Pasalnya, peristiwa penembakan yang selalu terjadi di daerah Puncak Jaya itu, bukan kali pertama terjadi, tapi telah terjadi berulangkali, tapi Kapolda tak mampu untuk memberikan suatu jaminan keamanan bagi warga di daerah Puncak Jaya. “Sekalipun itu yang mati tertembak senjata cuma 1 atau 2 orang tapi itu nyawa manusia,” ungkapnya. (mdc)

  • Pangdam — Kapolda Harus Jujur Soal Puncak Jaya

    JAYAPURA—Berlarut-larutnya penembakan yang terjadi di wilayah Kabupaten Puncak Jaya, membuat pihak gereja ‘jenuh’. Untuk itu, Pangdam dan Polda Papua diminta untuk saatnya jujur soal status Puncak Jaya. “Yang belajar untuk ciptakan konflik itu siapa, teorinya kan mereka (TNI POLRI) yang tahu, Gereja sudah tahu kok, siapa yang bermain di sana,” terang seorang tokoh gereja di Papua, Duma Sokrates Sofyan Yoman, via telephon kepada media ini, Kamis (5/8) malam kemarin.

    Sokrates mengatakan, yang menetapkan bahwa Papua ini daerah Konflik bukan pemerintah Papua, bukan juga rakyat Papua pemilik tanah Papua, namun yang menetapkan status daerah konflik di Papua adalah aparat militer dan pemerintah pusat.

    “Siapa yang mengungumkan bahwa Papua ini daerah konflik, ya mereka itu yang sebenarnya menciptakan konflik, inikan teori mudah,” ungkap Duma Sokrartes.

    Ia menjelaskan, Papua secara umum dan Puncak Jaya merupakan wilayah yang tepat bagi aparat keamanan untuk menerapkan teori-teori militeristik, baik dari segi strategis maupun pengembangan teori-teori baru.

    “Puncak Jaya itu pembiaran, konflik diciptakan, dipelihara setelah sudah bisa bergerak dengan sendirinya maka konflik itu dibiarkan, yang kemudian konflik ini menjadikan mereka adalah pahlawan-pahlawan, karena membunuh warga negaranya sendiri,” singgung Sokrates.

    Sementara itu, tanggapan yang sama juga dilayangkan, Juru Bicara Political West Papua, Saul Bomoy. Ia juga meminta kepada aparat keamanan lebih khusus Polda Papua untuk bisa menentukan status persoalan di Puncak Jaya.“Apakah yang di Puncak Jaya itu masuk dalam tindakan kriminal atau tindakan politik,” tanyanya.

    Polda Papua, ungkapnya, harus bisa memberikan rasa aman kepada Warga masyarakat yang ada di Kabupaten Puncak Jaya, pasalnya penembakan yang terus terjadi di Puncak Jaya seolah-olah menjadi proyek tersendiri bagi aparat kepolisian. “Pak Bupati Puncak Jaya pernah bilang, bahwa APBD Puncak Jaya terkuras hanya untuk keamanan, apakah itu betul, kalau betul, bagaimana sikap Polda terhadap keberlangsungan pemerintahan disana,” tanya.

    Polda Papua, sambungnya, harus bisa mencari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan teror penembakan di Puncak Jaya.

    “Baku tembak dalam Kota, inikan sudah lumpuhkan Pemerintahan, tapi kenapa polisi masih terus bertahan bahwa kasus tersebut hanyalah kriniminal biasa, padahal pemerintahana disana berjalan tidak normal,” tandasnya. (hen)

  • Wilayah Tingginambut Masih Rawan

    Jayapura [PAPOS] – Wilayah Distrik Tiginambut, Kabupaten Puncak Jaya, hingga kini masih rawan penyerangan oleh kelompok bersenjata yang tidak dikenal.

    Hal ini diungkapkan Bupati Puncak Jaya, Lukas Enembe, di Jayapura, Jumat, terkait penyerangan dengan membakar sebuah mobil pada tiga hari lalu.

    "Biasanya mobil yang masuk ke Puncak Jaya dari Wamena sekitar 20 sampai 30 mobil, untuk lewat jalur ini," katanya.

    Ia menambahkan, penyerangan sebelumnya terjadi pada 4 mobil yang melintas dengan tujuan Wamena, namun tiba di Tingginambut mereka dihadang tembakan dari kelompok sipil bersenjata.

    "Mungkin mereka yang lewat merasa yakin, akan tetapi sebenarnya sangat bahaya," katanya.

    Enembe mengakui, dalam mengendalikan wilayah ini, kemampuan TNI dan polisi sangat kuat, namun medan dan alam di sana "dikuasai" kelompok tak dikenal ini.

    Untuk mengejar para pengacau keamanan di wilayah Tingginambut, Lukas mengatakan perlu ada perencanaan yang baik, termasuk jika ingin melakukan pengejaran, karena kelompok ini menguasai alam di Tiginambut.

    Dia mengatakan, kalau hanya aparat menjaga di sepanjang jalan, tidak akan menyelesaiakan masalah.

    Terkait kasus-kasus penyerangan di Tiginambut, Pemerintah Daerah Kabupaten Puncak Jaya telah memperpanjang imbauan dan ultimatum. Yakni meminta kelompok bersenjata di hutan untuk menyerahkan diri dan kembali membangun daerah.

    "Semua pendekatan sudah dan akan terus kami lakukan, bahkan berupa imbauan, akan tetapi ini menyangkut idiologi yang sudah tertanam puluhan tahun," ungkap Enembe, yang juga Ketua Partai Demokrat Provinsi Papua.

    Daerah Puncak Jaya, kata dia, memang selalu terjadi penyerangan, baik bagi masyarakat maupun aparat keamanan di sana dalam beberepa tahun terakhir.

    "Kelompok ini ada yang berjuang untuk kemerdekaan, tetapi ada juga yang ikut karena gagal jadi anggota dewan atau bupati, termasuk ada yang dendam karena perang antarsuku," katanya.

    Sementara itu, Danrem 172/PYJ, Kolonel TNI. Daniel Ambat saat acara pertemuan dengan para wartawan di Aula Korem 172/PYJ, Kamis (29/7) lalu mengatakan, bahwa kondisi keamanan wilayah Papua masih termasuk kondusif dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Menyangkut adanya serangan pihak sipil bersenjata di Tingginambut menurutnya adalah merupakan tindakan perampokan, sama seperti yang terjadi dikota-kota besar di Indonesia.

    “ Aksi-aksi itu sama halnya seperti aksi perampokan yang terjadi dikota besar. Mereka merampok dengan memakai senjata,” katanya seraya menambahkan kalau masalah keamanan di Papua cukup aman. [ant/agi]

  • Tapol Papua Akan Dapat Amnesti

    Jakarta [PAPOS] – Kementerian Hukum dan HAM akan memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik di Provinsi Papua karena alasan tertentu.

    "Kita sedang mempelajari terhadap tahanan politik untuk diberikan amnesti, karena latar belakang politik terutama di Papua," kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar di Gedung DPR, Jakarta, Jumat.

    Ia mengatakan, dari hasil kunjungannya ke Papua dan Maluku, banyak ditemukan adanya tahanan politik (tapol) yang diputuskan oleh pengadilan karena ikut-ikutan.

    "Dia tinggal di kampus, kemudian orang kampus melakukan demo dan kalau tidak ikut dipecat, ada unsur paksaan dan ikut-ikutan. Kita akan lihat apakah ada orang yang diputuskan oleh pengadilan hanya gara-gara ikut-ikutan berdemo ingin disintegrasi bangsa atau memang serius," katanya.

    Ia mencontohkan, mengibarkan bendera Bintang Kejora, padahal dia hanya diajak dan dipaksa. "Kalau yang begitu-begitu, kita akan usulkan kepada Presiden untuk diberikan amnesti karena latar belakang politik asal tidak melakukan tindakan kriminal lainnya," kata Patrialis.

    Politisi PAN itu menambahkan, sampai saat ini pihaknya sedang melakukan inventarisasi tahanan politik yang hanya ikut-ikutan dan dipaksa.

    "Kita sedang dilakukan penyelidikan. Saya sudah temukan dan saya sudah laporkan ke Presiden SBY dan Menko Polhukam Djoko Suyanto. Penelitian itu belum selesai karena harus bisa dipertanggungjawabkan, harus tertulis. Kalau bisa diberikan amnesti pada tanggal 17 Agustus mendatang. Saya usulkan lebih baik diampuni saja semua," ujar Patrialis.

    Sebelumnya, anggota DPR dari Partai Golkar Yorris Raweyai menyesalkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat Papua.

    Ia mencontohkan pelaku pembunuhan terhadap tokoh Papua Theys Eluay dan tokoh Papua lainnya hanya dihukum 4 tahun dan banyak yang dibebaskan, tetapi masyarakat Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dihukum 15 tahun penjara karena PP No.77/2007.

    "Termasuk dengan apa yang disampaikan oleh anggota DPR Yorris, asal benar-benar hanya ikut-ikutan saja," kata Menkumham Patrialis Akbar. [ant/agi]

    Ditulis oleh Ant/Papos
    Sabtu, 24 Juli 2010 00:00

  • 18 Warga Suku Terasing Ditangkap

    JAYAPURA — Aparat kepolisian Waropen menangkap 18 orang warga suku terasing di Kabupaten Waropen. Mereka ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi pengrusakan Kantor KPU Waropen pada 2 Juli lalu. Mereka marah lantaran kecewa dengan sikap KPU Waropen yang dinilai tidak memenuhi tuntutan mereka agar mau menjelaskan alasan tidak lolosnya pasangan Drs. Ones J Ramandey dan Drs. Zet Tanati dalam proses verifikasi.

    Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua saat ini turun tangan guna menelisik peyebab kisruh pemilukada Waropen ini, terutama berkaitan dugaan sejumlah tahanan sakit karena menerima perlakuan kasar. "Atas kewenangan yang diberikan undang-undang, maka Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua menindaklanjuti laporan pengaduan atas proses verifikasi calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen Tahun 2010 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Waropen terhadap tujuh bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang diumumkan 1 Juli 2010 lalu," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, Matius Murib dalam keterangan persnya di Kantor Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, kemarin (13/7).

    Dijelaskan Matius, dari informasi yang diperoleh dari warga yang ditangkap, sebenarnya mereka tidak mau melakukan pengrusakan. Tapi karena ketua dan anggota KPU Waropen terkesan menghindar dan tidak mau peduli atas permintaan warga agar KPU Waropen menjelaskan kenapa pasangan yang didukungnya itu tidak lolos dalam verifikasi, sehingga mereka kemudian melakukan pengrusakan.

    Komnas HAM mempertanyakan penangkapan 18 warga suku pedalaman itu. "Mereka kan korban dari politik, bukan para pelaku politik murni. Seharusnya semua tahanan diperlakukan sama. Itu namanya sudah pelanggaran HAM, sebagaimana didalam UU 39 Tahun 199 pasal, 17, 18 dan pasal 43," tegasnya yang didampingi oleh dua anggota Komnas HAM lainnya, yakni Johari dan Adriana Wally.

    Matisu membeberkan kronologis kejadian. Dijelaskan, kasus ini bermula dari pengumuman hasil pleno verifikasi bakal calon bupati dan wakil bupati Waropen Tahun 2010 1 Juli 2010 lalu yang membuat Tim Sukses dan partai pengusung Balon Bupati Drs. Ones J Ramandei dan Wakil Bupati Set Tanati, mengirim surat kepada Polres Waropen untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai tanda protes atas hasil verifikasi yang diumumkan oleh KPU Waropen. Oleh pihak Polres Waropen surat ijin/pemberitahuan tersebut dinilai tidak lengkap sebab tidak mencantumkan jumlah massa dan apa tuntutannya.

    Pengumuman hasil verifikasi itu dikirim lewat surat kepada bakal calon. Atas pengumuman hasil verifikasi tersebut, terjadi aksi orasi secara spontanitas. Atas sikap reaktif kelompok masyarakat maka tanggal 1 Juli 2010, Polres Waropen melakukan evakuasi terhadap 5 orang Anggota KPU untuk diamankan di Kantor Polres Waropen. Kemudian 2 Juli 2010, patut diduga terjadi mobilisasi massa menggunakan kendaraan roda empat dengan membawa alat panah, parang dalam melakukan aksi yang ditujukan ke kantor KPU Kabupaten Waropen.

    Aksi massa yang di tujukan ke Kantor KPU tidak dapat dihalangi oleh pihak Kepolisian. Kemudian massa Atas aksi penyerangan ke Kantor KPU mengakibatkan kerusakan kaca lover pecah dan dinding kantor mengalami kerusakan, dan sejumlah kursi rusak. Atas aksi brutal warga masyarakat sipil yang tidak mendapat keterangan dari KPU Waropen, maka pihak Polres mengeluarkan tembakan peringatan. Sebab ada perkelahian antara kelompok masyarakat sipil.

    Setelah melakukan aksi di kantor KPU, warga masyarakat sempat berkumpul di Kantor Koramil Waropen dan berbincang dengan DANRAMIL Waropen, yang sempat memberikan arahan kepada masyarakat sipil. Namun datang seorang anggota TNI dan mengusir masyarakat keluar dari halaman kantor Koramil. Saat berada di jalan terjadi insiden perkelahian antara Ivan Imbiri dan Ferat Imbiri akibat perselisihan pendapat diantara mereka berdua, dan bukan perkelahian dengan kelompok masyarakat di luar. Saat itu polisi datang dan mengambil langkah pengamanan yang diduga represif kepada masyarakat sipil dalam kelompok aksi demonstrasi tersebut yang mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka dan penganiayaan.

    Berikutnya pada 3 Juli 2010, Kapolres melakukan dengar pendapat dengan DPRD, dan Kapolres menyampaikan kronologi kejadian. Dan melakukan koordinasi dengan KPU, Panwas tentang pencabutan nomor urut dan atas permintaan KPU dan Panwas agar pencabutan nomor urut dilakukan di Kantor Polres. Meski Kapolres mengusulkan agar pencabutan dilakukan di DPRD Waropen. Dengan pertimbangan situasi keamanan yang belum normal dan kewenangan diskresi kepolisian, maka dilakukan pencabutan nomor urut pada tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen yang diamankan oleh 3 pleton Dalmas.

    Atas insiden tanggal 2 Juli 2010, Polisi mengamankan 18 warga dengan sejumlah barang bukti untuk diproses hukum. Dua orang diantaranya dikembalikan sebab tidak cukup bukti, sedangkan dua orang perempuan yang terlibat dalam aksi tersebut atas pertimbangan khusus maka dilepas, namun yang bersangkutan wajib lapor setiap hari kepada Polisi.

    Diantara mereka yang diamankan memiliki Kartu Tanda Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Terhadap permasalahan itu, kata Murib, bahwa, pihaknya menemukan sejumlah masalah, diantaranya, pertama, penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Waropen tidak berjalan normal pasca pengumuman hasil verifikasi bakal calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU Waropen pada 1 Juli 2010 itu.

    Dikatkan juga, berdasarkan pantauan Komnas HAM, pengendalian situasi keamanan belum mengedepankan pola-pola komunikasi yang persuasif demi menghindari terjadinya gesekan antara kelompok yang mengakibatkan keterlibatan pihak kepolisian. Matius berharap, pihak Kepolisian Resort Waropen harus bisa memberikan rasa aman kepada KPU untuk bekerja di Kantor KPU bukan sebaliknya aktivitas, jadwal KPU dilakukan di Kantor Polres Waropen.

    Disebutkan juga, terdapat beberapa tahanan yang mengalami sakit yang diduga akibat tindakan represif aparat kepolisian pada tanggal 2 Juli 2010. Kelima, kantor KPU dalam keadaan rusak dan beberapa kaca jendela, kursi serta ruangan berantakan, dan kini sedang dipasang tanda larangan Polisi, sehingga tidak ada aktivitas KPU.

    Ditambahkannya, berdasarkan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Waropen, Nomor: 01/Kpts/KPU-KW/2010, tentang Perubahan tahapan program dan jadwal waktu penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Waropen Tahun 2010, patut diduga KPU tidak memberikan kesempatan perbaikan kepada partai pengusung atau calon perseorangan untuk melakukan perbaikan atas hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU.

    Selian itu disebutkan juga, parpol pengusung yang memiliki dua versi kepengurusan tidak dilibatkan dalam melakukan uji keabsahan kepengurusan sebagai mana ketentuan Pasal 7 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa yang berhak mengusung pasangan calon adalah kepengurusan partai politik di tingkatan itu. Apakah kepengurusan itu absah/ legitimate? Berdasarkan Pasal 50 ayat 2 Peraturan KPU 68 Tahun 2009 dicek siapa yang berwenang mengesahkan kepengurusan di tingkat kabupaten, kemudian dicek apakah pengurus Provinsi sah atau tidak, dan kemudian mengecek keabsahan pengurus pusat dengan merujuk pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang terakhir.

    "Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua telah mengeluarkan rekomendasi untuk disampaikan kepada pihak terkait, yang isinya pertama, mendesak KPU Provinsi Papua dan KPU Pusat di Jakarta untuk segera melakukan klarifikasi antara KPU Waropen dan Partai Pengusung PAN yang hak politik untuk mengusung kandidat bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen tahun 2010 dihilangkan oleh KPU Waropen," ujarnya.

    Rekomendasi kedua, patut diduga KPU Waropen tidak melaksanakan verifikasi berdasarkan jadwal dan mekanisme yang di tetapkan oleh KPU Waropen sehingga berpotensi terjadi diskriminasi. Dan agar Polres Waropen memberikan jaminan hak-hak para tahanan dalam mendapat pengobatan.

    "Patut diduga Polres Waropen melakukan tindakan intervensi dalam pelaksanaan tahapan pemilukada, pencabutan nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen sehingga diminta kepada Kapolda Papua untuk memberikan arahan kepada Kapolres Waropen," ungkapnya.

    Komnas HAM berharap Bupati dan Muspida Kabupaten Waropen untuk dapat berkoordinasi secara baik, demi tercipta situasi keamanan dan pelayanan publik yang kondusif bagi terpenuhinya hak-hak masyarakat di Kabupaten Waropen. Terhadap para tahanan yang diduga melakukan tindakan kriminal untuk diminta agar ditangani secara hukum dengan cara profesional dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Waropen. Terutama mereka yang mayoritas berasal dari masyarakat suku terasing (Demisa di Botawa).

    Terakhir, Komnas HAM berharap, jika sengketa Pemilukada seharusnya dibawa saja ke ranah hukum, jangan dengan membuat gerakan massa yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri. (nls/fud/sam/jpnn)

  • DOM DIBERLAKUKAN DI PUNCAK JAYA PAPUA: SBY – BOEDIONO GAGAL DAN GULINGKAN. WUJUDKAN DEMOKRASI DI PAPUA DENGAN PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!

    Rezim Fasis Boneka Susilo Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada perode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara “mendasar, menyeluruh, dan bermartabat. Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segerah keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi dibalik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

    Tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM) di mana alat reaksioner negara ( TNI maupun Polri) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reakioner negara ( TNI dan Polri ) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner negara ( TNI dan Polri ) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi atau-kah mungkin mereka kuburkan . Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah terbakar habis oleh alat reaksiner negara ( TNI dan Polri ). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka.

    Pada tanggal yang sama yaitu 17 Maret 2010 malam, TNI terus beroperasi dari arah Desa Kalome menuju di ibu kota Distrik Tingginambut, didaerah tersebut terdapat sebuah rumah Honai (rumah adat Papua) yang mana berada sekelompok massa rakyat yang sedang tertidur lalu mereka dikepung oleh anggota TNI yang sama setelah menembak mati Pdt. Kindeman Gire pada jam 5 sore hari kemarinya dan pada pagi jam 05.00 subu hari kamis Tanggal 18 Maret 2010 TNI mengepung sejumlah warga yang ada dalam satu honai itu berjumlah 13 orang tidak ada satupun yang lolos semuanya tertangkap lalu penyiksaan dilakukan oleh TNI. Penyiksaan yang di alami ke 13 korban sangat berat dan bahkan lebih buruk dan banyak dari mereka tinggal menungguh waktu untuk mati karena hantaman bokong senjata dan tusukan pisau sangkur. Ke 13 nama korban tersebut adalah Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn sedang sakit parah), Tiraik Morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn), Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), dan Kotoran Tabuni (42 Thn). Sampai hari ini kondisi mereka sangat memprihatinkan. Serta hingga hari ini sulit mendapatkan gambar karena memang kondisi kontrol alat reaksioner negara (TNI maupunPolri) terhadap segala akses informasi yang masuk dan keluar dari Kabupaten Puncak Jaya.

    Selanjutnya pembantaian terhadap warga sipil tidak berdosa terus berlanjut, tepatnya pukul 16.00 hingga 21.00 pada hari senin tanggal 23 Maret 2010, TNI dari kesatuan Yonif 753 yang bertugas di Pos Puncak Senyum Distrik Mulia Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya melakukan operasi sapu bersih terhadap warga massa rakyat yang bermukim disekitar Desa Wondenggobak. Akibat tembakan membabi buta ini, mengakibatkan Enditi Tabuni seorang anak mantu dari Pdt. Yason Wonda, Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia tertembak hingga mati dan tembakan membabi buta itu mengenai seorang ibu rumah tangga yang sedang tidur hingga peluru bersarang di lututnya, mengakibatkan korban harus di larikan ke rumah sakit umum Jayapura karena kesulitan melakukan operasi di rumah sakit umum Mulia, Puncak Jaya. Kemungkinan korban akan sembuh, kalau tidak kakinya harus di amputasi dan kemungkinan terburuk korban akan meninggal dunia. Itu-lah wajah, karakter dan model alat reaksioner negara (TNI dan Polri) yang bermental pengecut sehingga perempaun pun ditembak atau dibantai secara tidak manusiawi.

    Maka itu kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP), mengundang kawan-kawan mahasiswa Papua untuk turut serta dalam aksi penyikapan yang akan dilakukan pada :

    Hari/Tanggal : Senin, 28 Juni 2010
    Waktu : 10.00 – selesai
    Tempat Star : Bundaran HI – Dep Hukumdan HAM – Istana Negara

    Isu :
    1. Cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Tingginambut, Puncak Jaya-Papua !!!
    2. Copot dan Adili: Gubernur Papua, Kodam Papua, Polda Papua dan Bupati Puncak Jaya sebagai biang Kerok pelanggar Ham di Papua
    3. Wujudkan Demokrasi Sepenuh-penuhnya di Papua
    4. Tangkap dan Adili Para Pelanggar HAM di Papua
    5. Bubarkan Milisi Sipil Reaksioner (Barisan Merah Putih, Papindo, FPI, dll)
    6. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari Papua, serta Bubarkan Komando Teretorial (Kodam, Kodim, Koramil dan Babinsa)
    7. Rebut Industri tambang Asing di bawah Kontrol Rakyat
    8. Bangun Persatuan Gerakan Rakyat secara Nasional

    Demikian seruan aksi ini kami buat, atas partisipasi kawan-kawan untuk bersama menyikapi persoalan massa Rakyat Papua khususnya di Kabupaten Puncak Jaya, kami ucapkan terima kasih.

    ps : Tolong disebarluaskan untuk Kawan-kawan Mahasiswa Papua di Wilayah Jawa dan Bali, Kawan-kawan dikota-kota yang mau terlibat silahkan hubungi Pusat Koordinasi Aksi Nasional

    Salam Perlawanan!!!

    Pusat Koordinasi Aksi Nasional :
    Cp : +6285328079686 (Kawan Leon)

  • Lembaga HAM Dunia Soal Tahanan Politik Papua

    Elin Yunita Kristanti
    Rabu, 23 Juni 2010, 11:33 WIB

    VIVAnews – Penjara di Indonesia setidaknya menahan 100 tahanan politik (tapol) dari wilayah Papua dan Maluku. Menurut lembaga pro hak asasi manusia, beberapa dari tahanan itu mengalami kekerasan di penjara. Demikian laporan yang dikeluarkan Human Rights Watch, Rabu 23 Juni 2010.

    Lembaga HAM berbasis di New York itu meminta pemerintah Indoensia membebaskan tahanan yang dibui karena pandangan politik yang berbeda.

    Kata mereka, pemerintah seharusnya mencabut larangan pemakaian bendera atau logo kelompok separatis di dalam penjara.

    "Para pembela kemanusiaan dan milisi bersenjata diperlakukan sebagai kriminal di dalam penjara Papua dan Maluku Selatan," demikian bunyi laporan tersebut seperti dimuat laman KyivPost, Rabu 23 Juni 2010.

    Tidak adilnya pengelolaan kekayaan alam telah memicu gerakan separatis di Papua selama puluhan tahun. Di Pulau itu terdapay tambang Grasberg dioperasikan oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc

    Kelompok bersenjata secara sembunyi-sembunyi melancarkan serangan fatal pada pekerja Freeport, tapi sampai kini belum jelas bukti yang menunjukkan kelompok separatis ada di balik serangan ini.

    Sementara kelompok adat di Maluku Selatan, khususnya di Ambon diguncang isu pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS).

    Polisi dan pasukan militer telah berusaha untuk menghancurkan gerakan separatis itu dan menerapkan hukuman yang keras untuk pelanggaran-pelanggaran seperti, pengibaran bendera RMS, dan tarian perang "Cakalele" – sebuah tarian perang tradisional yang dikaitkan dengan gerakan separatis.

    Human Rights Watch melaporkan kasus-kasus dugaan penyiksaan terhadap tahanan politik.

    Salah satunya terhadap John Teterisa, guru sekolah yang ditahan pada 2007 dalam insiden tarian Cakalele sambil mencoba mengibarkan bendera RMS di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata laporan itu, dia dipukuli terus-menerus selama 12 jam sehari selama 11 hari setelah penangkapannya.

    "Beberapa petugas polisi memukulnya dengan batang besi dan batu, juga mengirisnya dengan bayonet," kata laporan itu.

    Teterisa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2008, tapi hukuman itu dikurangi menjadi 15 tahun di tingkat banding.

    Aktivis Maluku lain yang dikutip dalam laporan tersebut digambarkan dipukul dengan potongan kayu — hingga menyebabkan perdarahan saluran usus dan kencing — setelah mengibarkan bendera separatis, RMS.

    Dikonfirmasi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan, pemerintah tidak mengetahui kebenaran klaim yang diungkapkan dalam laporan tersebut.

    Namun, "saya yakin ada prosedur klaim yang bisa dilakukan para tahanan jika ada perlakuan buruk dalam tahanan," kata dia.
    www.vivanews.com
    http://nasional.vivanews.com/news/read/159654-seruan-lembaga-ham-untuk-pemerintah-indonesia
    Dipublikasikan : Rabu, 23 Juni 2010, 11:33 WIB
    ©VIVAnews.com

  • Tak Akomodir SK MRP, Pusat Dinilai Lecehkan Papua

    BIAK [PAPOS] – Forum Solidaritas Masyarakat Adat Papua [FSMAP] kabupaten Biak Numfor dan Supiori menilai, Jika SK MRP nomor 14 tahun 2009 tidak disahkan, berarti Pemerintah Pusat tidak lagi mendengar aspirasi dari masyarakat adat Papua.

    Forum solidaritas yang menghimpun sejumlah komponen masyarakat dari Dua Kabupaten ini, (8/6) siang kemarin menyampaikan aspirasinya melalui DPRD kabupaten Biak Numfor agar terus mendesak pemerintah pusat, agar SK MRP yang diperjuangkan demi kepentingan dan hak hak orang Papua itu, segera  diakomodir oleh pemerintah Pusat. “ MRP itu kan lembaga kultural yang mewakili dan memperjuangkan aspirasi masyarakat adat Papua, jadi kalau SK-nya tidak didukung oleh pemerintah Pusat, berarti sama saja, Pemerintah Pusat itu tidak lagi mendengarkan aspirasi dari masyarakat adat Papua,” ujar  coordinator Forum Solidaritas dari berbagai komponen masyarakat ini, Adolof Baransano saat meyampaikan aspirasinya di Aula gedung DPRD Biak Numfor, yang diterima langsung Oleh ketua DPRD kabupaten Biak Numfor dan sejumlah anggota DPRD di kabupaten tersebut.

    Diakatakannya, untuk mewujudkan aspirasi masyarakat adat Papua ini, hendaknya seluruh institusi dan kelembagaan seperti DPRP, MRP, Pemerintah Propinsi dan juga pemerintah kabupaten/kota harus menjalin komunukasi Politik secara baik untuk bersama sama memperjuangkan agar SK MRP itu, dapat diberlakukan di tanah Papua.

    Ketua DPRD kabupaten Biak Numfor, Nehemia Wospakrik SE.Bsc yang menerima langsung aspirasi masyarakat ini mengatakan, pihaknya tetap menerima aspirasi masyarakat yang diwakili oleh ratusan warga Biak dan Supiori ini, dan berjanji akan tetap mendukung dan mengawal aspirasi masyarakat ini, dan akan segera meneruskannya ke Pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan juga MRP, agar kepentingan dan hak hak masyarakat asli Papua yang tercantum didalam SK MRP itu, dapat segera diterapkan didalam penyelenggaraan Pemilukada yang sudah semakin mendesak waktu pelaksanaannya. [cr-54]

    Ditulis oleh Cr-54/Papos  
    Rabu, 09 Juni 2010 00:00

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?