Tag: HAM

  • Gen. Mathias Wenda: Pulihkan Dulu Status Kebangsaan Orang Papua, baru Bicara Status Kewarga-Negaraan

    Terkait ucapan pegiat hukum di Tanah Papua Hendrik Tomasoa, SH, seperti dimuat dalam BintangPapua.com dan dikutip di Blog ini, “Status Warga Negara 10.000 Orang Papua Dipulihkan“, 17 Oktober 2014,Gen. TRWP Mathias Wenda saat dikonfirmasi PMNews menyatakan,

    “Kalau benar-benar anak Hendrik dia perduli Hak orang, maka dia mulai dulu dengan Hak Kebangsaan, baru dia bicara tentang Hak Kewargaan. Kalau hak kebangsaan seseorang sudah dibunuh secara masal, apa artinya hak kewargaan individual?”

    Dia juga harus tahu apakah kewarga-negaraan itu seuah hak seseorang atau kewajiban seseorang.

    Berikut petikan wawancara singkat.

    PMNews: Selamat siang. Kami minta permisi, kami tahu Bapak sudah baca berita Bintang Papua yang dimuat tanggal 17 Oktober 2014, judulnya “10.000 Warga Papua di PNG Tak Miliki Status Warga Negara“. Dan kami dengar Bapak tidak sependapat dengan Pak Hendrik yang diberitakan di sini. Mohon penjelasan.

    Gen. TRWP M. Wenda: Iya, itu betul. Hendrik Tomasoa itu Bapak tau dia sudah lama sekali ada di situ, dan dia lama urus hukum di Tanah Papua, di Jayapura. Tetapi tiba-tiba dia bicara isu politik, menyangkut hak bangsa Papua. Itu yang bikin saya bingung. Ini dia sebagai orang Indonesia jadi, dia pasti dibayar untuk bicara itu.

    PMNews: Beliau sekarang sudah menjadi Anggota DPRP, Komisi A, dan dia bicara dua hal, pertama meminta pemerintah kolonial Indonesia berikan status WNI kepada semua orang Papua yang ada di PNG, dan kedua memproses orang Papua untuk pulang ke Papua Barat.

    Gen. TRWP M. Wenda: Orang Papua punya hak kewargaan-negara terhapus sejak hak kebangsaan orang Papua dihapus oleh NKRI. Kehadiran NKRI di Tanah Papua itu penyebab utamanya. Jadi solusinya harus dengan cara NKRI keluar dari Tanah Papua, maka hak kebangsaan orang Papua dipuluhkan, itu baru hak kewargaan-negara West Papua akan terpulihkan dengan otomatis.

    PMNews: Tetapi Pak Tomasoa berbicara dalam konteks NKRI. Jadi….

    Gen. TRWP M. Wenda: Tunggu dulu! Kami ini bukan stateless dan kami bukan non-nations. Kami punya state West Papua dan kami punya nation: Papua. Tetapi keduanya dihapus sejak NKRI ada di Tanah Papua. Jadi cara untuk memulihkan bukan dengan menempel kewargaan baru di atas kewargaan West Papua, tetapi NKRI keluar dari tanah leluhur saya dan anak-cucu saya. Termasuk Hendrik Tomasoa keluar dari situ kalau dia mendukung NKRI, tetapi kalau dia sebagai orang Melanesia mendukung saya dan perjuangan kami semua, maka di berhak tinggal di situ.

    Tetapi dia jangan bicara seperti orang kampungan. Dia orang tahu hukum, ahli hukum. Dia harus bicara tentang “status kebangsaan” orang Papua sebelum bicara tetang status kewargaan-negara.

    Kami ada di PNG ini tanah leluhur kami orang Papua. Orang Papua punya pulau ini. Jadi siapa sibuk urus kami? Kami mau dibawa pulang ke mana? Mereka yang harus pulang ke tanah leluhur mereka. Kami sudah ada di tanah leluhur kami, pulau New Guinea.

    PMNews: Pak Tomasoa bicara terkait hak orang Papua di dalam NKRI.

    Gen. TRWP M. Wenda: Ya, jelas, tetapi kita tidak perlu menanggapi terlau serius tentang permintaan dia itu karena dia menutup mata sebelah dan buka sebelah mata saja. Ini orang hukum yang tidak tahu HAM. Hak kewargaan-negara, itu hak, jadi negara tidak perlu berikan. Kalau orang Papua, saya menolak menjadi WNI, maka itu hak saya. Itu bukan kewajiban orang Papua dari barat New Guinea untuk menjadi WNI. Ini hak!

    Dia keliru dua kali. Pertama dia keliru karena lupa bahwa masalah utamanya ialah penghilangan hak kebangsaan orang Papua, yang berujung kepada penyangkalan dan penolakan orang Papua untuk ber-warga-negara Indonesia. Jadi, hak saya bukan-nya tidak ada tetapi saya tolak. Kedua, saya tolak berkewarga-negaraan Indonesia karena itu hak saya, bukan kewajiban saya.

    Oleh karena itu, NKRI tidak usah terlalu sibuk bawa diri mau kasih kewargaan-negara kepada kami. Kami berwarga-negara West Papua, berbangsa Papua, ras Melanesia. Itu barang sudah jelas, tidak perlu dicari dan tidak perlu diberikan oleh siapapun.

    Semua orang Papua yang ada di PNG itu pertama kami ada di tanah leluhur kami sendiri, walaupun tidak di dusun kami. Jadi Indonesia tidak usah terlalu pusing dengan kami. Kedua kami yang ada di PNG menolak tegas pencaplokan tanah leluhur kami oleh NKRI, dan pendudukan atas tanah air kami oleh penjajah Indonesia. Itu pilihan politik.

  • 10.000 Warga Papua di PNG Tak Miliki Status Warga Negara

    JAYAPURA – Sekitar 10.000 orang warga asli Papua tinggal di berbagai kampung di Negara Papua New Guinea (PNG) tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless) dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan dan tidak manusiawai.

    Pada umumnya warga Papua yang berada di negara PNG itu adalah orang-orang korban politik dan konflik Papua, sehingga mereka kehilangan tempat tinggal dan hak kewarganegaraan dengan hidup menderita di negari orang.

    “Mereka warga asli Papua adalah bagian dari warga negara Indonesia asli Papua yang disanjung dalam Undang-Undang Otonomi Khusus yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah,”

    ujar Hendrik Tomasoa, S.H., anggota Komisi A DPR Papua dalam Sidang Paripurna DPR Papua, Kamis (16/10) Pihaknya meminta kepada pemerintah agar, para warga asli Papua yang berada di PNG itu diberikan status kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di PNG untuk sementara menunggu difasilitasi untuk kembali ke Papua, Indonesia.

    Apabila mereka ingin tetap tinggal di PNG karena masalah politik, keamanan atau masalah lain, pemerintah provinsi Papua agar mendesak pemerintah pusat untuk membicarakan pemberian kewarganegaraan mereka dengan pemerintah PNG, agar mereka mendapat status warga Negara, sehingga satatus dan hak-hak mereka jelas di sana.

    Mereka sudah tiga generasi berada disana (PNG), kalau memang mereka mau tinggal di sana, tidak apa-apa, tetapi mereka berhak mendapatkan status warga Negara PNG,” katanya.

    “ Kenapa masyarakat Indonesia bisa membela TKI dan TKW serta warga Indonesia lainnya yang bermasalah di Luar negeri, seperti yang terkait kasus narkoba, pembunuhan, tetapi ada masyarakat asli Papua yang adalah bagian dari bangsa Indonesia yang terlantar di Negara PNG tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah,”

    ujar Hendrik Tomasoa.

    Untuk itu, pihaknya sebagai anggota DPR Papua mendesak pemerintah provinsi Papua agar membicarakan masalah ini dengan pemerintah pusat di Jakarta, sehingga menjadi pembahasan bilateral antara Indonesia dan PNG. (loy/don)

    Jum’at, 17 Oktober 2014 07:52, BinPA

  • Komnas HAM Sayangkan Penembakan di Sugapa

    Kapolda : Anak Buah Saya Tak Bersalah, Dikeroyok dan Dilempar Batu

    JAYAPURA – Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua menyayangkan terjadinya aksi penembakan rekoset terhadap warga yang diduga dilakukan anggota Brimob di distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Senin (30/9) sore pukul 16.30 WIT.

    Plt. Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramadey S.H., M.H., mengaku sangat prihatin setelah dirinya mendapat informasi dari Ketua Dewan Adat Intan Jaya, John Gobay soal terjadinya penembakan di Kabupaten Intan Jaya. Dari kronologis kejadian sementara penembakan terjadi karena ada sebab akibat.

    ‘’Dari kronologis sementara pasca kejadian, pasti ada sebab akibat. Ada kejadian sebelumnya hingga Brimob melakukan penembakan. Ini kita sayangkan,” kata Frits kepada wartawan di RSUD Dok II Jayapura belum lama ini.

    Frits menjelaskan, setiap aparat baik TNI maupun Polri selalu menggunakan Protap atau prosedur tetap dalam penanganan massa. Hal itu telah di atur dalam peraturan Kapolri. “Kita tidak bisa melakukan gertak lalu melakukan dengan cara-cara penembakan,” katanya.

    Untuk itu, Frits meminta kepada Kapolda Papua memperhatikan ptorap bagi anggotanya dan mengirim tim melakukan penyelidikan terhadap kejadian di Kabupaten Intan Jaya.

    Sebab menurutnya, walaupun ada sebab akibat. Namun apapun alasannya setiap aparat yang menggunakan senjata sebagai simbol alat Negara, harus dipertanggungjawabkan secara tuntas karena ada korban.‘’Ini harus dilakukan supaya tidak membuat insiden buruk terhadap polisi,” ujarnya.

     

    Polisi Dikeroyok

    Sementara itu, Kapolda Papua, Irjend (Pol) Drs. Yotje Mende ketika dikonfirmasi Bintang Papua menyebutkan, dua anggotanya dikeroyok oleh warga di distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya tidak bersalah dan sudah memenuhi prosedur.

    “Anak buah saya tidak bersalah, mereka dikeroyok warga lalu di lempari batu mengenai kepala anggota. Kemudian karena mereka banyak, akhirnya anggota saya mengeluarkan tembakan,”

    ungkap Kapolda Yotje di Mapolda Papua.

    Kapolda menegaskan, pihaknya masih menyelidiki siapa pelaku pengeroyokkan terhadap anggota tersebut. “Yang jelas, bila diketahui akan diproses secara hukum, karena anggota saya dikeroyok dan dilempari tanpa ada masalah,” katanya.

    Sekedar diketahui, Dua anggota Brimob Polda Papua masing-masing bernama, Bharada Danjoni dan Bripda Yonas dikeroyok sekelompok Pemuda, saat sedang bermain bola di lapangan sepak bola Yokatapa distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya hingga mengalami luka berat dibagian kepala dan luka dibagian lengan.

    Peristiwa itu, terjadi Senin (30/9) sekitar pukul 16.30 WIT yang mengakibatkan salah satu warga masyarakat bernama Seprianus Japugau (30) terkena tembakan rekoset di bagian perut sebelah kiri dan Benyamin Agimbau (44) luka dibagian kepala dan sekarang telah dirujuk di Rumah Sakit Nabire dengan menggunakan Avia Star Mandiri.

    Dimana, awalnya dua Brimob Polda papua atas nama Brahada Danjoni bernama, Bripda Yonas yang sedang BKO kan di Kabupaten Intan Jaya melintas di Jalan Padat Karya. Kemudian tiba-tiba sekelompok pemuda yang sedang bermain sepak bola di lapangan Yotapa Kabupaten Intan Jaya menghadang dan mengeroyok anggota tersebut.

    Melihat kejadian itu, salah seorang tukang ojek langsung melaporkan kejadiannya ke Pos BM BKO kabupaten Intan Jaya yang berada di KPU dan Guese House. Nah begitu mendapat laporan, beberapa anggota BM BKO tiba di lokasi dan berusaha membantu mengamankan rekannya. Namun massa malah tidak terima dan semakin brutal melempari anggota BM yang datang dan selanjutnya anggota BM mengluarkan tembakan peringatan.

    Massa pun semakin beringas menyerang anggota sehingga menyebabkan 2 angota Brimob Polda BKO kan ke daerah itu mengalami luka-luka yakni, Bharada Dan Joni Yaroserai mengalami luka berat di bagian kepala dan Bripda Yonas mengalami luka lemparan batu di lengan kanan.

    Sedangkan dari pihak masyarakat yang melakukan anarkhis terhadap mengalami luka-luka. Mereka diantaranya, Seprianus Japugau,(30) terkena tembakan rekoset di bagian perut sebelah kiri dan Benyamin Agimbau (44) luka di bagian kepala. (loy/ari/l03)

    Sumber: BintangPAPUA>com, Rabu, 08 Oktober 2014 09:35,

  • KNPB Hadir, Karena KNPI Tidak Berbuat Apa-apa

    Marinus Yaung
    Pengamat Hukum Internasional, Sosial dan Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung

    JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial dan Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, organisasi pemuda KNPB adalah bagian dari kelompok pergerakan masyarakat sipil yang dimotori oleh orang-orang muda Papua yang bergerak di perkotaan dan tidak di hutan. Sementara yang bergerak di hutan dan memiliki markas merupakan sayap militer OPM.

    Sejak awal KNPB didirikan yang basis operasinya hanya difokuskan di wilayah perkotaan dan di lingkungan kampus untuk merangkul dan sekaligus membangun kesadaran pemuda/i pelajar mahasiswa asli Papua akan realitas kehidupan dan penderitaan masyarakat asli Papua selama berintegrasi dengan Indonesia.
    Dijelaskannya, sejak awal KNPB digagas karena selama ini rakyat Papua berpikir bahwa organisasi KNPI buatan Indonesia dan bagian dari pelaksana kepentingan Pemerintah Pusat yang selama ini tidak sama sekali melakukan sesuatu untuk perubahan nasib Pemuda Papua.

    KNPI Papua ini organisasi pemuda yang tidak tahu kerjanya apa saja selama ini. Bahkan ketika ada pemuda Papua yang dibunuh, ditembak, atau ditangkap, KNPI Papua hanya diam saja dan bahkan ikut mendukung aksi kekerasan pihak keamanan terhadap pemuda Papua.

    Sehingga KNPB dibentuk untuk memperjuangkan hak hidup, hak bebas menentukan nasibnya sendiri para pemuda Papua di tanahnya sendiri,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura, Jumat, (25/7).

    KNPB juga dibentuk untuk menjadi corong memperjuangkan rasa keadilan orang Papua korban kejahatan negara di masa lalu yang tidak pernah diperoleh sampai saat ini. Dengan demikian jika dinyatakan markas KNPB berada di hutan itu sangat keliru, justru markas KNPB berada di tempat-tempat kontrakan mahasiswa, asrama-asrama mahasiswa, tempat pertemuan publik dan juga di dalam Kampus Uncen Jayapura, terutama ada di FISIP Uncen Jayapura.

    Ditegaskannya, pemikiran-pemikiran pihaknya dan Uncen pun ikut menentukan demokrasi lokal di Papua berujung, dan KNPB harus terus ada untuk menjaga dan memelihara isu Papua Merdeka, karena hanya isu Papua merdeka sajalah yang bisa membuat Jakarta atau Pemerintah Pusat menaruh perhatian serius untuk membangun Papua.

    Sebab jika tidak ada isu Papua merdeka, Papua akan tetap dianggap anak bawang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    “Saya bersyukur dengan adanya KNPB ini, karena tesis saya tentang pergerakan masyarakat sipil Papua melawan ketidakadilan negara di Papua melalui pemuda Papua, akhirnya bisa berjalan dengan baik,” tandasnya lagi.(Nls/don/l03)

    Sabtu, 26 Juli 2014 15:55, BINPA

  • AI Tuding Aparat Keamanan Mengkriminalisasi Aktivitas Politik Damai Di Papua

    Ilustrasi

    Jayapura, 4/4 (Jubi) – Penyiksaan dan  penganiayaan oleh aparat kepolisian Jayapura terhadap dua aktivis mahasiswa, Alfares Kapissa dan Yali Wenda, disebutkan oleh Amnesty Internasional (AI) sebagai praktek sangat mengerikan dan merupakan kejahatan di bawah hukum internasional.

    “Pihak berwenang Indonesia terus menggunakan undang-undang untuk mengkriminalisasi aktivitas-aktivitas politik damai di Papua,”

    kata Josef Benedict, juru kampanye Amnesty Internasional, melalui rilis Akepada Jubi (4/4).

    Amnesty International, kata Josef, telah mendokumentasikan kasus-kasus pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan yang tidak perlu atau berlebihan, sebagaimana juga penyiksaan dan penganiayaan terhadap beberapa aktivis politik yang beraktifitas secara damai selama penangkapan, penahanan, dan interogasi oleh aparat keamanan di Papua.

    “Kejadian ini merupakan pengingat terkini atas berlanjutnya penggunaan penyiksaan dan penganiayaan oleh aparat keamanan Indonesia.”

    kata Josef .

    Meski ada janji yang terus menerus dinyatakan pihak berwenang Indonesia untuk membawa para pelaku mempertanggungjawabankan tindakannya, tambahnya, seringkali tidak ada penyelidikan yang independen.

    “Dan mereka yang bertanggung jawab jarang dibawa ke muka hukum di depan sebuah pengadilan yang independen.”

    ujar Josef.

    Amnesty International menyerukan sebuah investigasi yang dipimpin oleh pihak sipil yang independen dan imparsial, dilaksanakan terhadap tuduhan-tuduhan pada pihak berwenang di Indonesia ini dan hasilnya harus diumumkan kepada publik. Dan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini harus dibawa ke muka hukum dan para korban diberikan reparasi.

    Seperti diberitakan media ini, dua mahasiswa, Alfares Kapissa dan Yali Wenda diduga disiksa atau dianiaya setelah mereka ditangkap pada 2 April 2014 karena memimpin demonstrasi menyerukan pembebasan tahanan-tahanan politik Papua. Keduanya mengaku polisi menendang dan memukul mereka dengan popor senjata selama ditahan oleh polisi. Keduanya dilepas sehari setelahnya. (Jubi/Victor Mambor)

    on April 5, 2014 at 01:07:29 WP,TJ

  • Uni Eropa Ingin Pastikan Senjata Yang Dijual Negaranya Tidak Digunakan Pada Warga Papua

    Ana Maria Gomez, anggota Parlemen Uni Eropa dari Portugal, salah satu penandatangan surat (kiri) bersama Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor usai sidang dengar pendapat (Dok Jubi)

    Jayapura, 31/3 (Jubi) – Anggota Parlemen Uni Eropa yang beranggotakan 28 Negara hingga tahun 2013, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuka dan menyediakan akses ke Papua bagi pengamat Independen, termasuk pengamat dari Uni Eropa maupun mekanisme HAM PBB.

    16 anggota parlemen Uni Eropa telah menulis surat kepada Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Baroness Catherine Ashton, sebagai tindak lanjut sidang dengar pendapat tentang Papua di parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 dan voting Parlemen Eropa pada 26 Februari 2014 untuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dan Uni Eropa. Surat yang ditandatangani oleh 16 anggota parlemen Uni Eropa ini meminta Baroness Catherine Ashton agar mendorong pemerintah Indonesia untuk secara aktif memulai proses dialog dengan rakyat Papua Barat sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai seperti yang dituntut oleh para aktivis perdamaian di Papua dan Jakarta. 16 anggota parlemen ini juga meminta pemerintah Indonesia membuka akses kepada pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta mekanisme HAM PBB dan melindungi kebebasan pers lokal di Papua.

    Leonidas Donskis, anggota Parlemen Uni Eropa dari Finlandia kepada Jubi melalui surat elektronik, Minggu (30/3), mengatakan surat tertanggal 26 Maret 2014 ini menyerukan agar Indonesia membebaskan semua tahanan politik dan mengakhiri praktek mengadili rakyat Papua yang terlibat dalam kegiatan politik damai dengan tindak pidana seperti pengkhianatan/Makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia. Uni Eropa juga sangat mendukung reformasi di Indonesia yang akan memastikan personil aparat keamanan yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dapat dimintai pertanggungjawaban di pengadilan independen atas tindakan mereka terhadap warga sipil, misalnya melalui reformasi sistem peradilan militer dan pelarangan penyiksaan sesuai dengan norma-norma PBB ;

    “LSM lokal terus melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap warga sipil di Papua Barat. Sementara negara-negara anggota Uni Eropa menjual senjata ke Indonesia, sangat tidak mungkin memonitor apakah senjata-senjata itu digunakan terhadap warga sipil karena pembatasan akses ke wilayah ini.”

    tulis Leonidas Donskis kepada Jubi dalam surat elektroniknya.

    “Eropa juga ingin memastikan jika senjata yang dijual ke Indonesia oleh negara-negara anggota Uni Eropa tidak digunakan terhadap warga sipil di Papua.”

    tambah Donskis.

    Surat kepada Baroness Catherine Ashton yang ditandatangani oleh anggota Parlemen Uni Eropa, yang diterima Jubi, Sabtu (29/3) juga menyebutkan beberapa pasal dalam UU Otsus telah dilanggar. Inisiatif lain dari Jakarta seperti Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Draft Otonomi Plus yang direncanakan sangat tidak partisipatif bagi masyarakat asli. Akibatnya pendekatan Jakarta terhadap situasi di Papua Barat hanya mengatasi masalah ekonomi semata. Dana yang disediakan untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan sangat besar namun fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berfungsi.

    “Penyampaian ekspresi perbedaan pendapat politik atau aspirasi kemerdekaan secara damai, terus menerus dituntut, aktivis ditangkap, demonstrasi dibubarkan dan aktivis dijatuhi hukuman sampai 20 tahun penjara. Dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM ini, kami khawatir karena pengamat PBB, organisasi-organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional serta wartawan independen ditolak masuk ke Papua atau menghadapi pembatasan yang serius untuk masuk atau bekerja di Papua Barat.”

    tulis Donskis.

    Menurut Donskis, selama ini Organisasi Hak Asasi Manusia dan gereja terus melaporkan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berekspresi dan keterbatasan akses yang sangat serius bagi penduduk asli Papua untuk sektor kesehatan dan pendidikan.

    Seperti diberitakan oleh media ini (akhir Januari 2014), Parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 lalu telah mengundang Norman Vos (Interantional Coalition for Papua), Zelly Ariane (National Papua Solidarity) dan Victor Mambor (Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura) untuk menyampaikan situasi dan persoalan terkini di Papua.(Jubi/Benny Mawel)

      on March 31, 2014 at 22:24:53 WP,TJ

  • 4 Maret, PM Vanuatu Akan Pidato Soal HAM Papua di Sidang Dewan HAM PBB

    Ilustrasi, Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil saat berpidato di Sidang PBB. Foto: pacific.scoop.co.nz

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil dipastikan berpidato soal kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Papua pada Sidang Tahunan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UN Human Rights Council, di Jenewa, Swiss, Selasa, 4 Maret 2014 mendatang.

    Dalam jadwal resmi yang diterima majalahselangkah.com malam ini, Sabtu, (01/03/14), Moana Carcasses Kalosil akan berpidato dalam High Level Segmen selama kurang lebih 10 menit, 12.00:12.10 waktu setempat.

    Sidang Tahunan Dewan HAM PBB akan dibuka secara resmi, Senin (03/03/14) oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr. Ban Ki-Moon; President of Human Rights Council, Mr. Baudelaire Ndong Ella; President of General Assembly, Mr. John W. Ashe;  High Commissioner, Ms. Navi Pillay;  Host Country,  Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation. Sidang berakhir 6 Maret 2014.

    Dalam High Level Segmen tanggal 4 Maret 2014 itu, selain Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil yang akan bicara soal kondisi HAM Papua, 19 negara lain akan menyampaikan pandangan mereka tentang kondisi HAM di seluruh dunia.

    Negara-negara yang akan berpidato pada High Level Segmen4 Maret 2014 adalah Equatorial Guinea, Greece, Estonia, Malaysia, South Africa, El Salvador, Saudi Arabia, Czech Republic, Venezuela (Bolivarian Republic of), Dominican Republic, Angola, International Committee of the Red Cross, Romania, Monaco, Hungary, United Arab Emirates, Denmark, Serbia, Community of Portuguese Speaking Countries.

    Koordinator Juru Runding Bangsa Papua Barat, Octovianus Mote dalam wawancara elektronik bersama majalahselangkah.com malam ini mengatakan, PM Vanuatu akan melanjutkan apa yang ia sudah bicarakan dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu.

    “Ini pertama kali seorang kepala negara membawa masalah pelanggaran HAM Papua melalui mekanisme tertinggi dalam PBB. Selama ini yang terjadi adalah hanya memberi kesaksian. Sedangkan yang terjadi sekarang ini masalah Papua dimasukkan dalam agenda resmi PBB,”

    kata Mote dari Amerika Serikat.

    “Ini langkah awal untuk mendorang sebuah resolusi,”

    kata mantan Wartawan Kompas itu.

    Octovianus Mote adalah satu di antara lima pejuang Papua Merdeka di luar negeri yang dipilih sebagai juru runding penyelesaian masalah Papua oleh seluruh dewan adat se-tanah Papua dan seluruh komponen perjuangan lainnya dalam sidang Papua Tanah Damai yang dibuka Menteri Koordinator Polhukham Juli 2011silam. Empat juru runding lainnya adalah Dr. John Otto Onawame di Vanuatu, Rex Rumakiek di Australia, Benny Wenda di Inggris, dan Leoni Tanggahma di Belanda.

    Ketika ditanya soal keikutsertaan Indonesia pada Sidang Tahunan Dewan HAM PBB ini, kata Mote,

    “Indonesia anggota UN Human Rights Council jadi pasti hadir dan pasti akan memberikan komentar sesudah PM Vanuatu bicara. Dalam jadwal, Indonesia belum mengajukan diri sebagai pembicara utama. Tetapi dalam mekanisme, sesudah pidato masing-masing negara, Indonesia punya hak bicara 1 sampai 2 menit untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Waktu itu Indonesia akan pakai haknya.”

    Kata Mote, Moana Carcasses Kalosil akan mengungkapkan apa yang terjadi di Papua.

    “Terpenting juga PM Moana kemungkinan mengungkapkan soal kesalahan yang terjadi pada Pepera Tahun 1969, Act of Free Choice pada rakyat Papua Barat.”

    Dikutip voaindonesia.com, edisi, Sabtu, 01 Maret 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Kamis, 28 Februari 2014 lalu di Washington DC telah mengeluarkan Laporan Hak Asasi Manusia. Dalam laporan itu disoroti berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, di antaranya penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, masih terjadinya aksi kekerasan di Papua, serta kegagalan melindungi hak kelompok minoritas dan agama.

    Diketahui, Sidang Tahun PBB di Geneva digelar tiap tahun tiga kali Maret, Juli dan September. (Yermias Degei/MS)

    Sabtu, 01 Maret 2014 23:35,MS

  • Kasus Puncak Jaya, Polisi Belum Profesional

    JUBI — Masih berlanjutnya kasus penembakan di Puncak Jaya, dinilai sebuah provokasi situasi yang diciptakan kelompok tertentu. Aparat keamanan (TNI dan Polri) diminta mengungkap pelaku sebenarnya, bukan sekedar menduga semata.

    Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai saat ditemui JUBI di ruang kerjanya, Senin (9/8), mengatakan, profesionalime aparat keamanan dipertanyakan. “Sebab, sampai sekarang tidak pernah berhasil ungkap siapa pelaku dan jenis peluru yang ditemukan. Ini yang masih menjadi tanda tanya besar,” tuturnya.

    Ruben minta pelaku harus ditangkap dan mesti diusut tuntas. “Itu baru profesionalitas polisi dijempol.”

    Menyelesaikan kasus Puncak Jaya, kata dia, akan bermartabat karena menyangkut hajat hidup masyarakat setempat. “Sekali lagi, menuduh dan menuduh bukan cara profesional. Itu kuno. Justru akan memupuk situasi tegang dan dianggap rawan, sehingga menurukan banyak pasukan. Padahal, pola pendekatan dengan militeristik tidak akan menyelesaikan persoalan Papua,” tuturnya.

    Ruben juga menyayangkan meningkatnya insiden penembakan. Hampir tiap hari ada saja penembakan. Pelakunya tidak diketahui. “Masyarakat sipil dan aparat keamanan selalu menjadi korban. Terakhir kemarin seorang pendeta juga tertembak. Siapa pelaku dan apa motifnya, sampai sekarang tidak jelas.”

    Ia berharap, situasi di Puncak Jaya segera normal supaya masyarakat bisa beraktivitas dengan tenang. (Markus You)

  • Orang Papua Berbicara, Pasti Dihukum

    JUBI — Ketua Dewan Adat Propinsi Papua (DAP) Farkorus Yaboisembut, mengatakan hukum di Indonesia perlu dibenahi. Setidaknya untuk meminimalisir terjadinya penembakan warga sipil di Papua oleh Polisi dan TNI.

    “Jadi kalau polisi merasa benar dan tindakan mereka sesuai dengan jalur hukum untuk apa harus tersinggung,” tanya Yaboisembut di Jayapura, Rabu (11/8).

    Menurut Yaboisembut, pembunuhan Almahrum Theys dan sopirnya, serta tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan oleh aparat TNI dan Polri di Papua, telah menunjukkan bahwa mereka sudah terlalu jauh bertindak. “Jadi kalau seorang tokoh gereja berbicara berdasarkan fakta kriminalitas tenatng tindakan sewenang-wenang aparat terhadap warga sipil, itu wajar,” ujarnya.

    Lebih lanjut Yaboisembut mengatakan, kalau yang salah harus dibenarkan dan orang yang berbicara benar dihukum berarti ini bentuk pembunuhan karakter warga sipil asli Papua.

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan bersama Perwakilan Komnas HAM Papua menyebutkan, sepanjang 2009, kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat.

    Aparat keamanan dengan mudah mendiskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis. Kriminalisasi atas warga yang mengibarkan bendera, pembubaran demonstrasi damai hingga penembakan terhadap Kelly Kwalik adalah cermin absennya kemauan untuk dialog di masyarakat.

    Kasus penembakan yang berujung kepada matinya tokoh pembebasan Papua, Kelly Kwalik mengulangi penembakan Abdullah Syafei dan itu adalah pengalaman kegagalan negara menyelenggarakan demokrasi.

    Menuduh Kwalik dan organisasinya sebagai ekstremis garis keras yang harus bertanggung jawab untuk setiap jengkal kasus konflik di Papua juga adalah sebuah tuduhan berlebihan. (Marten Ruma)

  • Sokrates Tidak Gentar !

    Duma Sokrates Sofyan YomanJAYAPURA—Meski ada ancaman penjemputan paksa oleh polisi, namun Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gejereja Baptis di Papua, Duma Sokrates Sofyan Yoman, tidak gentar.

    Tokoh vocal ini, justru menilai Polda Papua tidak adil dalam menjalankan dan menerapkan hukum di Tanah Papua, pasalnya berbicara soal kasus Puncak Jaya, tidak sedikit pihak yang sering menu­ding keterlibatan aparat TNI/Polri, namun ironisnya yang dipanggil hanya dirinya. “Sangat prihatin atas sikap dan perilaku penegak hukum yang tidak adil dan tidak profesional,” terang Duma Sokrates Sofyan Yoman melalui pesan singkatnya yang diterima media, Rabu (11/8) malam kemarin.

    Yoman menyebutkan ketidakadilan ini terbukti karena pihak lain juga ba­nyak mengkritisi masalah keamanan di Kabupaten Puncak Jaya, namun mere­ka sampai hari ini tidak pernah mendapatkan pemanggilan dari Polisi.

    “saya menduga aparat penegak hukum melayani pesan sponsor untuk menekan saya sebagai pimpinan gereja,” dugaan pendeta muda yang selalu kritis dengan pemerintah.

    Oleh karena itu, Sokrates yang sudah terbilang siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi pada dirinya, mengungkapkan bahwa, dirinya tidak akan pernah lari dan siap bila polisi akan lakukan upaya paksa pada dirinya.“Kalau mau datang tangkap paksa, saya tetap tunggu di kantor atau di rumah. Saya tidak pergi kemana-mana, karena disinilan tanah leluhur kami,” tantang Yoman yang terlihat tidak ragu lagi dengan sikap kritisnya.

    Sekedar diketahui, Yoman juga pernah menolak eksekusi Mahkamah Agung pada bulan April lalu yang melarang keras peredaran buku hasil karyanya ke pasaran, bahkan Yoman juga secara terang-terang pada program Kick Andi yang ditayangkan Metro TV, Yoman secara terang-terangan menolak larangan MA tersebut.

    Gereja Baptis, sambung Yoman menilai aparat keamanan sedang membelenggu dan memenjarakan nilai keadilan dan demokrasi yang sedang bertumbuh sekarang ini.
    Gereja Baptis Papua, tegas Yoman, mendesak pihak DPR Papua memanggil Pangdam XVII Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk menjelaskan penanganan serta strategi dalam penanganan persoalan puncak yang sudah menjelang enam tahun.

    “DPRP harus memanggil Pangdam dan Kapolda untuk jelaskan mengapa kasus Puncak Jaya dari tahun 2004 sampai 2010 tidak pernah berakhir, siapakah aktornya dan siapa yang diuntungkan yang menyebabkan korban pada rakyat kecil,” desak Yoman. (hen)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?