Tag: HAM

  • Delegasi ULMWP Tiba di Kepulauan Solomon Jelang KTT MSG

    Penulis: Melki Pangaribuan 17:01 WIB | Sabtu, 09 Juli 2016

    HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Anggota delegasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikabarkan tiba di Honiara, Kepulauan Solomon pada akhir pekan ini, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) yang akan dilaksanakan pada minggu depan.

    Hal ini dibenarkan oleh Ben Didiomea, salah satu juru kampanye ULMWP di negara Kepulauan Solomon.

    “Mereka tiba di Honiara dengan penerbangan terpisah,” kata Ben Didiomea sebagaimana dikutip solomonstarnews.com, hari Jumat (8/7).

    KTT MSG awalnya dijadwalkan di Port Vila di Vanuatu pada awal Mei lalu, tapi kemudian dipindahkan ke Port Moresby, Papua Nugini, menjelang akhir Juni.

    Namun, kemudian ditunda lagi karena para pemimpin tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk bertemu selama pertemuan Asia Caribbean Pacific (ACP) di Port Moresby.

    KTT MSG sekarang akan diadakan kembali bersamaan dengan Pacific Islands Development Forum (PIDF) yang juga dijadwalkan akan diselenggarakan di Honiara, minggu depan juga.

    Solomonstarnews.com melaporkan akan ada rencana demonstrasi damai selama KTT MSG minggu depan yang dilaksanakan oleh para pendukung Papua Barat untuk mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia terhadap orang Papua.

    Sebuah konser musik juga akan dipentaskan untuk mendukung perjuangan ULMWP untuk menentukan nasib sendiri dari Indonesia.

    Jaminan dari Ketua MSG

    Seperti diberitkan sebelumnya, Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Hon Manasye Sogavare selaku Ketua MSG saat ini, memberikan jaminan peningkatan status keanggotaan ULMWP menjadi anggota penuh di MSG.

    Hal itu disampaikan Sogavare ketika bertemu dengan delegasi pemimpin ULMWP di Port Vila, ibu kota negara Kepulauan Solomon, pada hari Kamis (12/5). Mereka meminta dia untuk mempertimbangkan dua isu utama untuk diputuskan oleh MSG.

    Isu-isu itu di antaranya MSG memberikan keanggotaan penuh kepada ULMWP, yang saat ini memegang status peninjau (observer) dan mendesak MSG untuk meminta intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua untuk segera menetralisir apa yang mereka klaim sebagai genosida terhadap kemanusiaan di Papua.

    Delegasi menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri Sogavare karena MSG memberikan Status Observer untuk ULMWP pada saat mengambil posisi kepemimpinan MSG pada bulan Juni 2015.

    Namun mereka mengatakan sejak ULMWP diberikan status observer dari MSG, situasi di Papua Barat menjadi tegang, meninggalkan orang-orang pribumi yang sekarang di ambang kepunahan.

    Dikatakan situasi ini telah mendorong mereka membawa dua poin petisi untuk dipertimbangkan oleh Perdana Menteri Sogavare sebagai Ketua MSG agar menjadi prioritas MSG untuk segera diatasi.

    Perdana Menteri Sogavare mengatakan jumlah genosida yang semakin meningkat di Papua Barat disampaikan kepadanya oleh delegasi dalam pertemuan itu. Dia juga menegaskan sebagai Ketua MSG, ia akan mengizinkan rekannya PM Vanuatu, Menteri Charlot Salwai, untuk mengusulkan dinaikkannya status ULMWP menjadi anggota penuh dan Sogavare akan mendukungnya dalam KTT itu.

    Perdana Menteri Vanuatu mengatakan kepada Perdana Menteri Sogavare bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Kaledonia Baru minggu depan untuk bertemu dengan Juru Bicara FLNKS, Victor Tutugoro, dalam upaya memperoleh dukungan menjadikan ULMWP sebagai anggota penuh MSG.

    Dia mengatakan Indonesia mendapatkan keanggotaan Associate MSG untuk memungkinkan dialog antara Jakarta dan Pemimpin MSG membahas masalah Papua Barat. Namun penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan untuk bertemu dengan dia mengenai posisi MSG terhadap Papua Barat merupakan indikasi yang jelas bahwa itu memiliki alasan lain untuk bergabung dengan MSG.

    Perdana Menteri Sogavare mengatakan penolakan Indonesia terhadap permintaannya untuk dialog memberinya semua alasan untuk membawa masalah ini kembali ke MSG. Dia menambahkan bahwa “Indonesia telah melewati batas sehingga kita perlu mengambil beberapa sikap keras.”

    Delegasi pemimpin ULMWP yang bertemu dengan Perdana Menteri Sogavare termasuk Jacob Rumbiak, Andy Ayamiseba dan Edison Waromi, Mama Yosepha Alomang. Delegasi didampingi oleh anggota Asosiasi Free West Papua di Port Vila.

    Indonesia Menolak

    Di sisi lain, Indonesia dengan tegas menolak keinginan ULMWP dan menyebutnya sebagai kelompok separatis.Menurut Direktur Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya, tidak benar bahwa ULMWP akan mendapat peningkatan status menjadi anggota penuh.

    “ULMWP adalah gerakan separatis di sebuah negara berdaulat. Gerakan itu tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua,” kata dia pada pertemuan tingkat menteri MSG di Lautoka, Fiji, belum lama ini.

    Oleh karena itu, menurut Desra Percaya, dalam pertemuan tingkat menteri di Fiji, MSG hanya mencatat permohonan ULMWP dan membetuk komite untuk membicarakan kriteria keanggotaan. Menurut dia, sejumlah anggota MSG lebih memilih Indonesia sebagai anggota penuh ketimbang ULMWP.

    Editor : Eben E. Siadari

  • West Papua Situation Similar to East TImor Prior to Independence, Activist Says

  • Petugas Advokasi FI, ke-19 Sidang Dewan HAM PBB, Tentang Pelangaran HAM di West Papua

    Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 Juni 2016 | Selasa, Juni 28, 2016

    Fransiskan International, Jaringan Berbasis Kepercayaan pada Papua Barat dan TAPOL ingin menarik perhatian pada penyiksaan dan eksekusi di luar hukum masih berlangsung di Papua.

    Organisasi kami sangat prihatin bahwa, meskipun fakta bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan pada tahun 1998 dan karena itu secara hukum terikat untuk melarang penyiksaan dan semua bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan terus berlanjut.

    Ketentuan belum dibuat dalam hukum pidana militer dan sipil untuk mengkriminalisasi penyiksaan sehingga pasukan keamanan Indonesia masih melakukan praktek ini dengan impunitas. Militer secara teratur melakukan operasi sweeping anti-separatis untuk flush Gerakan Papua (OPM) pendukung dugaan. Ini sering melibatkan pembakaran desa-desa, membunuh ternak, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan. Orang-orang yang paling menderita dari aksi militer ini adalah warga sipil yang tidak bersalah.

    Kami ingin menarik perhatian Anda untuk operasi militer yang berlangsung pada awal Desember 2011 di wilayah Paniai Papua Barat. Sebuah operasi sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh unit militer, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang didanai Densus 88, dan Polisi Brigade Mobil (Brimob), melaju ratusan (mungkin ribuan) penduduk desa dari rumah mereka karena mereka melarikan diri dari gelombang brutal udara dan serangan darat. Setidaknya 15 ditembak mati dan sekitar lima ratus penduduk desa Dagouto di Kabupaten Paniai meninggalkan rumah dalam ketakutan untuk mencari perlindungan di Enarotali berikut penyebaran seratus lima puluh petugas Brimob ke daerah mereka.

    Mengingat bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan empat belas tahun yang lalu, Pasal 4 yang mensyaratkan bahwa “setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut hukum pidananya,”

    Fransiskan International, mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

    • Perilaku yang cepat dan efektif penyelidikan ke dalam semua kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua, di tuduhan khususnya penyiksaan dan eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh anggota militer; mengidentifikasi dan mengadili para pelakunya; dan memberikan solusi yang memadai untuk para korban.
    • Menjinakkan Konvensi Menentang Penyiksaan ke dalam hukum nasional segera sehingga untuk mengkriminalisasi penyiksaan sesuai dengan standar internasional dan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi.
    • Mengubah Hukum Militer No.31, 1997, untuk memastikan bahwa personil militer yang melakukan kejahatan, termasuk penyiksaan, terhadap warga sipil yang diadili di pengadilan sipil.
    • Melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2014 secara penuh, dengan prioritas khusus ditempatkan pada meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membangun infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan komprehensif khususnya berkaitan dengan penunjukan setidaknya satu mekanisme pencegahan nasional.

    Coba klik, nonton video disini, https://www.youtube.com/watch?v=Fzeh5eTqFhQ

  • Tokoh Gereja: Papua Sudah Lama Ingin Merdeka

    Penulis: Eben E. Siadari 18:54 WIB | Jumat, 24 Juni 2016

    Pendeta Karel Phil Erari
    Pendeta Karel Phil Erari ketika memimpin ibadah (Foto: akun Facebook Pendeta Karel Phil Erari)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Diangkatnya isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) oleh sejumlah negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pekan ini mengungkit lagi persoalan utama yang sudah sangat lama menghinggapi provinsi paling timur Indonesia itu. Persoalan itu adalah pelanggaran HAM di Papua yang sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia sejak lebih dari dua dekade lalu tetapi sampai kini tidak ada perubahan.

    Akibatnya, rakyat Papua sudah sejak lama ingin merdeka dan meminta Indonesia melepaskannya dengan baik-baik. Permintaan itu bahkan sudah pernah disampaikan secara resmi kepada pemerintah Indonesia di Istana Negara, dihadiri oleh pejabat-pejabat resmi.

    Hal ini dikatakan oleh Pendeta Karel Phil Erari, Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) serta mantan Sekretaris Umum Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, dalam percakapan dengan satuharapan.com Kamis (23/6) di Jakarta.

    Karel Phil Erari adalah salah satu dari Tim 100, yang pada tanggal 26 Februari 1999 menghadap Presiden Indonesia, B.J. Habibie, secara resmi, mewakili rakyat Papua untuk menyampaikan keinginan merdeka. Tim 100 dibentuk ketika itu karena maraknya aksi unjuk rasa di Papua yang menginginkan merdeka. Alasan keinginan untuk merdeka, menurut Erari, adalah karena pelanggaran HAM di Papua yang tidak pernah selesai. Bukan karena alasan kesejahteraan.

    “Mengenai masalah pelanggaran HAM sudah berulang kali disampaikan kepada pemerintah Indonesia secara terbuka, di Istana sejak 1998. Kalau lewat media yang lain sudah banyak. Tetapi secara resmi disampaikan di Istana 26 Februari 1999. Itu sebagai alasan mengapa Tim 100 minta untuk Papua dilepaskan dengan baik-baik, dengan terhormat. Lalu respons Habibie adalah permintaan itu baik tetapi pulanglah dan renungkan itu,” kisah Phil Erari.

    Lalu, lanjut dia, tentang pelanggaran HAM tersebut B.J. Habibie mengutip pernyataan Yesus di kayu salib, yaitu “Ampunilah mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan.”

    Namun, kata Erari, ucapan Yesus itu sebetulnya tidak tepat dalam kasus pelanggaran HAM Papua. “Saya kira yang terlibat itu bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi mereka sengaja melakukan itu. Mereka tahu membunuh itu dilarang oleh agama,” kata dia.

    Oleh karena itu, kata dia, kala itu mereka meminta agar Papua dimerdekakan saja, karena negara gagal memperbaiki pembangunan di Papua.

    “Hal itu secara resmi disampaikan dan secara terbuka, disaksikan oleh Mendagri, Kapolri, semua ring satu istana hadir ketika itu. Suara itu sudah disampaikan tetapi tidak ada perubahan sampai hari ini,” kata Erari.

    Dengan latar belakang sejarah itu, kata Erari, yang perlu merenung dan berpikir saat ini bukan rakyat Papua melainkan justru pemerintah Indonesia. Apa yang dapat dilakukan untuk mengakhiri pelanggaran HAM di Papua?

    “Apakah mengakhiri pelanggaran HAM di Papua dapat dilakukan lewat suatu kebijakan khusus?. Ini yang saya mau sampaikan kepada Pak Jokowi,” kata dia.

    Menurut Erari, kalau tidak ada pelanggaran HAM di Papua, Papua tidak ingin merdeka. “Kalau tidak ada pelanggaran HAM, Papua baik-baik saja, karena banyak orang Indonesia datang ke Papua mau membangun Indonesia dengan baik-baik. Tetapi ada orang Indonesia yang datang merampok. Kita menghargai orang Indoensia yang datang untuk membangun. Tetapi mereka yang datang untuk merampok, itu harus ditegur,” ia mengatakan.

    Erari juga mengeritik upaya mendekati permasalahan Papua dengan melakukan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan. “Kalau pelanggaran HAM tidak diselesaikan, rakyat Papua tidak akan sejahtera,” tutur dia.

    Erari mendorong agar Jakarta membangun dialog yang menyeluruh dengan semua elemen di Papua, bukan seperti yang diinisiasi oleh Menkopolhukam Luhut Pandjaitan, yang menurut dia, hanya mendekati orang-orang pilihan pemerintah.

    “Saya kira kalau orang Papua yang murni, dari adat, dari gereja, itu jelas mereka ingin ada perubahan. Tidak boleh ada pelanggaran HAM, bahkan mereka mau merdeka. Ini yang harus dikatakan kepada pemerintah Indonesia. Orang Papua itu sudah lama ingin merdeka karena pelanggaran HAM,” kata dia.

    Ia memahami Menkopolhukam Luhut memiliki niat baik untuk memperbaiki keadaan. Namun, jika ingin mengakhiri pelanggaran HAM, seharusnya ia berbicara dengan semua orang. “Bicaralah dengan pimpinan gereja, tokoh gereja, tokoh adat, tokoh perempuan, akademisi. Dan tidak boleh lagi, Papua diciptakan sebagai wilayah konflik. Jangan lagi jadikan pembangunan Papua sebagai proyek. Itu yang membuat Papua tidak ada perubahan sampai saat ini.”

    Editor : Eben E. Siadari

  • Puluhan Ribu Rakyat Papua Berpindah Jadi Warga Negara PNG

    Penulis: Eben E. Siadari 18:19 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Setidaknya 10.000 rakyat Papua akan beralih menjadi warga negara Papua Nugini, setelah beberapa dekade berada di negara itu dengan status sebagai pengungsi.

    Otoritas Kependudukan dan Imigrasi Papua mengatakan akan mulai mendaftar semua pengungsi Papua yang telah menyeberang dari Indonesia dengan status pengungsi ke PNG.

    “Sejauh ini kami memiliki lebih dari 10.000 pengungsi dari Papua yang telah tinggal bersama kami untuk waktu yang sangat lama, dan kami telah memulai pendaftaran mereka dengan harapan akhirnya memberikan mereka status hukum,” kata Wakil Kepala Migrasi untuk Divisi Pengungsi PNG, Esther Gaegaming, sebagaimana dilansir dari asiapacificreport.nz.

    “Kami senang mengumumkan bahwa lebih dari 1000 dari mereka, telah menyelesaikan aplikasi dan mereka akan menghadap Komite Penasihat Kewarganegaraan segera untuk penerbitan kewarganegaraan mereka,” tambah dia lagi.

    “Jumat ini, tim dari kantor kami akan memulai pendaftaran di Vanimo, salah satu dari daerah pemukiman pengungsi terbesar bagi pengungsi Papua. Kami akan pergi ke Wewak setelah itu dan kemudian ke Lae.”

    “Jadi pada akhir tahun ini, kami berharap untuk lebih dari 85 persen dari pengungsi Papua sudah terdaftar,” kata dia.

    “Saya bangga mengatakan bahwa PNG memenuhi kewajibannya sebagai penandatangan Konvensi 1951 PBB tentang status pengungsi. PNG sekarang memiliki kerangka hukum dan prosedural untuk memproses klaim pengungsi di bawah Undang-Undang dan Peraturan Migrasi,” kata Gaegaming.

    “Kami juga memiliki sistem di tempat untuk pendaftaran dan naturalisasi pengungsi dari Papua yang telah tinggal di Papua Nugini selama beberapa dekade.”

    “Kami juga memiliki kebijakan pengungsi nasional yang jelas dalam hal-hal pengungsi, termasuk pedoman tentang pemukiman kembali pengungsi di PNG. Dan yang terutama, kami memiliki tim yang dikhususkan menangani hal ini,” kata dia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Kepulauan Solomon Angkat Lagi Pelanggaran HAM Papua di PBB

    Penulis: Eben E. Siadari 00:51 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

    JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Diplomat Negara Kepulauan Solomon di PBB, Barret Salato, mengangkat kembali isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua pada Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa pada Rabu, 22 Juni.

    “Kami mengungkapkan keprihatinan yang mendalam kami atas situasi HAM yang tergerus dari orang Melanesia Papua asli, yang merupakan penduduk asli Papua,” kata dia, dalam pidatonya yang dapat disaksikan lewat televisi internet PBB.

    Ia mengatakan, Kepulauan Solomon sebagai ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) dan yang ditunjuk sebagai ketua Pacific Islands Development Forum (PIDF), menyatakan solidaritas terhadap sesama rakyat Melanesia di Papua.

    “Kami akan mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi damai dan berkelanjutan atas konflik yang sedang berlangsung di Papua melalui keterlibatan konstruktif dengan perwakilan Papua dan menghormati hak mereka sebagai manusia,” lanjut dia.

    Ia mengatakan Solomon menyambut perhatian besar yang diberikan Presiden Joko Widodo dalam membangun Papua. Namun pada saat yang sama, ia menambahkan, pelanggaran HAM terhadap Papua belum terselesaikan.

    “Pemerintah Kepulauan Solomon menerima laporan rutin tentang kasus penangkapan sewenang-wenang, eksekusi, penyiksaan, perlakuan buruk, pembatasan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, yang dilakukan terutama oleh polisi Indonesia,” kata dia.

    Di bagian lain pidatonya ia menyebut penangkapan lebih dari 2.000 penduduk Papua saat berunjuk rasa damai di Papua ketika menyatakan dukungan terhadap ULMWP menjadi anggota penuh MSG, dan menyatakan keprihatinan atas kejadian itu.

    Ia juga mengungkapkan upaya MSG pada pertemuan tingkat Menlu di Fiji pekan lalu yang telah mendudukkan delegasi ULMWP dan Indonesia dalam satu meja. Hasil itu, kata dia, diharapkan dapat membangun ruang untuk keterlibatan konstruktif dengan semua pihak dalam menangani keprihatinan anggota MSG terkait perkembangan terakhir di Papua.

    Dikatakannya pula, Solomon juga menyambut inisiatif MSG untuk bekerjasama dengan pemerintah RI untuk mengunjungi Papua di kemudian hari. Kunjungan itu diharapkan memungkinkan memberikan pandangan yang objektif dan independen oleh anggota MSG.

    Pada bagian lain pidatonya, ia menyatakan mendukung deklarasi yang dibuat oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei lalu yang menyerukan perlunya referendum yang diawasi PBB di Papua.

    Solomon juga mendesak agar Indonesia membuka pintu bagi masuknya jurnalis asing ke Papua. Sejalan dengan itu, Solomon juga meminta agar Indonesia bekerja sama dengan Dewan HAM PBB untuk memungkinkan kunjungan pelapor khusus PBB ke Papua, demikian juga dengan pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF) tentang pelanggaran HAM di Papua.

    Pernyataan Kepulauan Solomon ini disampaikan pada Rapat Pleno ke-24 Sesi Regular ke-32 Dewan HAM PBB. Maret lalu, hal ini sudah pula pernah diangkat oleh Kepulauan Solomon di forum yang sama oleh diplomat yang sama.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Legislator Minta Indonesia Buka Diri Investigasi Kasus HAM di Papua

    Penulis Suara Papua – Juni 20, 2016

    JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sikap pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia menolak keterlibatan pihak lain dalam proses investigasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, menunjukkan upaya menyembunyikan “sesuatu” agar tidak diketahui dunia internasional.

    Anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa mengatakan, hal itu akan memperkuat dugaan berbagai pihak terhadap kondisi HAM di Tanah Papua selama ini.

    “Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut Pandjaitan selama ini, itu justru menguntungkan Indonesia. Tetapi kalau tidak, akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap kondisi daerah ini. Jadi, lebih baik ijinkan saja pihak lain investigasi kasus HAM, supaya lebih netral, juga tak ada hal-hal yang tersembunyi,”

    tuturnya di Jayapura, Minggu (20/6/2016).

    Menurut Kadepa, sebenarnya akan menguntungkan pihak Indonesia sendiri jika tim lain diijinkan investigasi kasus HAM dan tidak menemukan bukti-bukti pelanggaran HAM yang serius dan lain-lain. “Tetapi, kalau dibatasi terus, ya jelas akan memperkuat dugaan-dugaan pelanggaran HAM,” ujarnya.

    Kadepa menyampaikan hal ini menanggapi pernyataan Menko Polhukam bahwa Indonesia tidak mau ada yang investigasi kasus HAM di Papua.

    “Kenapa Luhut Pandjaitan tidak mau tim independen lain investigasi kasus HAM di Papua? Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut selama ini, sebenarnya justru menguntungkan Indonesia,”

    imbuh Kadepa.

    Sebelumnya, seperti diberitakan media ini, Luhut menyatakan, Indonesia tak mau tim independen lain melakukan investigasi kasus HAM di Tanah Papua. Kata Luhut, penolakan terhadap tim investigasi bentukannya tidak oleh semua orang Papua.

    Luhut mengklaim, yang menolak hanya satu dua orang saja. “Yang menolak tidak semua orang kan. Kalau tidak salah hanya Natalius Pigai, sementara Ketua Komnas HAM dan beberapa anggota Komnas HAM lainnya ada dalam tim. Tapi semua orang juga bisa sama-sama, tetapi dangan data, jangan dengan rumor,” ujar Luhut di Wamena, Jumat (17/6/2016).

    Pemerintah menurutnya, tidak mau ada orang lain membuat tim independen menginvestigasi Indonesia. Ia juga mengklaim, Indonesia siap lakukan sendiri dengan mengundang Dubes PNG, Fiji, Solomon Island dan New Zealand.

    Untuk proses penyelesain kasus-kasus HAM di Papua, Luhut yakin bisa tuntas pada akhir tahun 2016. “Semua kasus selesaikan tahun ini (2016), jika tidak selesai kami selesaikan tahun depan,” ujarnya.

    Pewarta: Mary

  • Bangsa Papua Sedang Melawan Slow Motion Genocide

    YOGYAKARTA, SUARAPAPUA.Com — Melalui Radio New Zealand (RNZ), dilansir RNZ (15/5/2016), Pdt. Socratez Sofyan Yoman menegaskan, bangsa Papua hari ini sedang mengalami ‘slow motion genocide’, genosida yang terjadi perlahan-lahan.

    Menurut Yoman, bangsa Papua tidak tinggal diam. Bangsa Papua sudah, sedang, dan akan terus berusaha berupaya dan berjuang untuk tetap eksis dan hidup di atas tanah airnya.

    Pendeta Zocratez yang adalah pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua ini dikabarkan bertemu dengan beberapa anggota perlemen dan dengan petinggi-petinggi agama di kawasan Melanesia dan Pasifik.

    Dalam kesempatan wawancara dengan RNZ, Yoman juga mengaku kecewa terhadap sikap Ramos Horta, pejuang kemerdekaan Timor Leste yang datang ke Papua beberapa waktu lalu. Menurut Yoman, Horta, komentarnya usai mengunjungi Papua tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pejuang yang pernah memimpin sebuah bangsa menuju kemerdekaan.

    Yoman tidak sendiri bicara soal genosida di Papua Barat. Sebelumnya, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Agung Brisbane, Australia, pada 1 Mei 2016, telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul We Will Lose Everything.

    Dokumen ini berisi catatan pelanggaran atas hak asasi manusia Papua di atas tanah airnya. Kesimpulan dari dokumen ini, adalah adanya genosida yang berjalan lambat, sedang terjadi di Papua, dan bangsa Papua terancam punah.

    “Sistim hukum dan politik Indonesia tidak mau dan tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat,” kata laporan tersebut seperti dikutip suarapapua.com, Rabu (18/5/2016).

    “Mereka (bangsa Papua) selalu hidup dalam ketakukan akan kekerasan dan merasa putus asa dengan jumlah mereka yang berkurang sangat cepat serta terus terpinggirkannya mereka secara ekonomi dan sosial,”

    lanjut laporan ini.

    Sebelumnya, Jim Elmslie, seorang akademisi dari Universitas Sidney, Australia, pernah melakukan penelitian di Papua dan mengeluarkan sebuah laporan dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, berupa kepunahan bangsa Papua secara berlahan-lahan. Kesimpulan penelitiannya ini didukung oleh data statistik tentang komposisi kuantitas penduduk asli Papua dan non Papua.

    Analisis statistik Elmslie dengan kuat memperlihatkan kesenjangan dari komposisi dari perkiraan total penduduk Papua tahun 2020: pendatang di Papua berjumlah 5.174.782 (71,1%) dan orang asli Papua di Papua hanya 2.112. 681 (28,99%). Elmslie menyebutnya, sebuah bencana demografis terparah, yang mengindikasikan adanya ‘slow motion genocide’.

    Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pemerintahannya telah melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua. Misalnya, menanggapi soal laporan berjudul We Will Lose Everything, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Panjaitan, menanggapi dingin.

    “Bila ada bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya singkat, dilansir rappler.com edisi 3 Mei 2016.

    Sementara itu, Presiden Joko Widodo terus menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Islands Forum (PIF) untuk datang ke Papua memantau langsung pelanggaran HAM. Bahkan ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), Manasseh Sogavare. Indonesia beralasan, soal Papua adalah persoalan internalnya.

    Untuk diketahui, genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944. Kata ini diambil dari bahasa Yunani, genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’).

    Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

    Genosida adalah istilah yang menggambarkan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok mengakibatkan penderitaan fisikatau mental yang berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain

    Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.

    Pewarta: Bastian Tebai

    Editor: Arnold Belau

  • DPR Papua Tolak Tim Penanganan Pelanggaran HAM Bentukan Pemerintah

    KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Ketua DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, DPR Papua menolak tim terpadu penanganan dugaan pelanggaran HAM Papua bentukan pemerintah yang di dalamnya terdapat berbagai elemen adat, masyarakat, agama, bahkan aktivis HAM lainnya.

    Menurut Yunus, sampai saat ini masih ada 16 kasus pelanggaran HAM yang dibahas di dalam tim itu. Tetapi dengan adanya tim bentukan pemerintah ini, pihaknya tak yakin, pengungkapan kasus pelanggaran HAM dapat terungkap.

    “Tim ini bukan tim independen dan yang jadi pertanyaan saat ini adalah, mengapa tak melibatkan Komnas HAM. Bayangkan saja, misalnya saya membunuh, lalu saya sendiri yang membuat kajian itu, kan ini tak masuk di akal,”

    jelas Yunus kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua, Selasa 14 Juni 2016.

    Walaupun ada data yang dibuat oleh tim bentukan pemerintah, pihaknya yakin tak ada negara manapun yang akan mempercayai data tersebut. “Mau menggelontoorkan dana berapapun untuk Papua, tetap tak menyelesaikan masalah di Papua. Sebab akar masalahnya tak di bongkar. Kami harap ada penyelesaian Papua secara dialog,” ucapnya lagi.

    Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Menkopolhukam membuat tim pengungkapan pelanggaran HAM yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menkopolhukam RI nomor 40/2016. Komponen di dalamnya beranggotakan penyidik Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan tim pembela HAM.

    Tim ini diharapkan pada akhir 2016 dapat memberikan kesimpulandalam sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua kepada Presiden Jokowi. Ada tiga kasus utama yang ditangani oleh tim ini yakni Kasus Wasior 2001, Wamena 2003 ddan paniai 2014. ***(Lazore)

  • Sekjen PBB Terima Laporan Genosida di Papua

    ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menggambarkannya sebagai ‘genosida gerak lambat’ telah sampai ke tangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemarin (25/5).

    Laporan itu diberikan oleh Direktur Eksekutif  Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO),  Emele Duiturage, pada hari kedua Konferensi Kemanusiaan Dunia (World Humanitarian Summit/WHS) di Istanbul, Turki. Laporan itu diterimakan kepada asisten Sekjen PBB.

    Menurut PACNEWS, Duituturaga menyerahkan laporan tersebut kepada Ban Ki-moon pada siang hari. Duituturaga mengatakan dirinya senang sempat melakukan percakapan singkat dengan Ban pada akhir KTT.

    Penyerahan ini dilakukan setelah Duituturaga menyampaikan paparannya pada pleno WHS hari pertama, dimana ia menyerukan intervensi PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua.

    “PIANGO adalah pendukung kuat pendekatan berbasis HAM dan kami berkomitmen untuk menegakkan norma-norma yang melindungi umat manusia, khususnya dalam kaitannya dengan berbicara tentang pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional,”

    kata dia.

    “Di Pasifik, kami menghadapi konflik yang disebabkan tantangan kemanusiaan. Kami memuji penutupan kamp pengungsi di Papua Nugini, kami prihatin atas konflik di pusat penahanan Nauru dan kami meminta intervensi PBB untuk pelanggaran HAM di Papua,” kata dia.

    Laporan ini pelanggaran HAM ini merupakan temuan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, yang dilansir secara resmi  pada hari Minggu (1/5) di Brisbane. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua  itu, mencuat rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    Dalam laporan setebal 24 halaman itu,  salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

    Laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negara di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

    Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

    Misi pencarian fakta ini  mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga  mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

    Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

    Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

    Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

    Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

    “Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

    “Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

    Selain menyampaikan keprihatianan tentang Papua dalam forum ini Duiturage juga menegaskan bahwa sebagai organisasi masyarakat sipil terkemuka, PIANGO mewakili LSM di 21 negara dan wilayah Kepulauan Pasifik, berkomitmen terhadap Agenda Kemanusiaan.

    “Di Pasifik di mana 80 persen dari populasi berbasis di pedesaan, respon yang pertama dan  terakhir selalu respon lokal, karena itu kita perlu memperkuat kepemimpinan lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dan memprioritaskan ulang lokalisasi bantuan.”

    “PIANGO berkomitmen untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif dari organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional dengan peran pelengkap LSM internasional.”

    KTT dihadiri oleh 9.000 peserta dari 173 negara, termasuk 55 kepala negara, ratusan perwakilan sektor swasta dan ribuan orang dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Konferensi berakhir pada hari Rabu (25/5).

    Editor : Eben E. Siadari

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?