Tag: features

  • Apa Artinya Otsus Gagal? – Seri Ulasan Editorial WPMNews (1)

    Orang Papua, terutama pemuda Papua selalu dan berulangkali melakukan demonstrasi di hadapan pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan yang bervariasi dan dalam berbagai bentuk. Dari berbagai kegiatan ini, ada tiga hal penting yang selalu saya amati. Contoh kasus, terjadi “perang suku” , maaf ini kata orang Indonesia, bukan kata saya, maka mahasiswa Papua melakukan aksi menuntut kekerasan dihentikan. Selang beberapa kata, kalimat, paragraph kemudian selalu muncul ungkapan atau tuntutan, “Papua Merdeka”. Itu hal pertama.

    Hal kedua, dalam pada itu, ada yang memilih bahasa yang lebih sopan, tidak menuntut merdeka, mereka hanya bilang “menolak Otsus”. Mereka punya argumen Otsus telah gagal, dengan menunjukkan berbagai bukti kegagalan pemerintah neo-kolonial Indonesia dalam memberlakukan Otsus NKRI di West Papua.Termasuk “perang suku” di Timika dianggap sebagai bukti kegagagalan, atau Pemda yang sudah punya Otsus itu gagal mengamankan dan gagal menyelesaikan akar persoalan ‘perang suku’ dimaksud. Apa kaitan ‘perang suku” dengan Otsus?

    Rupanya ada saja orang Papua yang pernah mengharapkan di awal-awal proses pemberian Otsus itu bahwa dengan pemberlakukan Otsus, maka nasib orang Papua akan lebih diperhatikan, kehidupan mereka akan lebih baik, pembunuhan berkurang, pelanggaran HAM hilang, orang Papua menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua Dewan, Kepala Sekolah, Kepala Desa, Lurah, Kapolda, Pangdam, Kapolres, Pilot, Direktur Rumah Sakit, dst, dsb. Saya sudah sejak awal, tahun 2002 mengatakan dalam tiga buku Papua Menggugat: Prakek, Teori dan Politisasi Otsus NKRI untuk West Papua dan terbuka dan terus-terang menunjukkan, jauh sebelum semua ini terjadi, bahwa justru proses etnosida dan genosida akan terjadi lebih cepat, lebih meluas, lebih mendalam dan lebih canggih, serta lebih pasti.. Itulah yang sedang terjadi sekarang. Waktu itu ada elit politik Papua dalam bedah buku-buku itu mengatakan tulisan-tulisan dan ulasan saya bersifat provokativ, tetapi saya mau katakan bahwa itu bukan provokativ, tetapi proaktiv dan projective melihat apa yang pasti bakalan terjadi. Dan buktinya sekarang sudah terjadi. Buktinya itu sebabnya masih saja ada demo-demo menolak Otsus atau mengembalikan Otsus. Itulah sebabnya tuntutan awal bangsa Papua, “Papua Merdeka!” masih terdengar di Bumi Cenderawasih.

    Dia antara kedua kubu ini ada hal ketiga yang saya catat saat ini, yaitu setelah menuntut Papua Merdeka, ada orang Papua menuntut referendum. Sama halnya pula, mereka yang menolak Otsus atau yang mengatakan Otsus gagal, juga pada saat yang sama menuntut referendum. Kita telah baca artikel terbaru Papua Pos, “Otsus No, Referendum Yes!”

    Yang menuntut Papua Merdeka dan yang menyatakan Otsus gagal dan karena itu dikembalikan kepada NKRI bertemu pada titik ‘tuntutan referendum’. Keduanya mulai dari titik yang berbeda, tetapi, karena tujuan mereka sama saja, maka mereka bertemu di persimpangan ‘jalan referendum” atau lebih tepat “perempatan referendum”. Maka itulah saya katakan tadi bahwa yang satu memilih jalan yang terus-terang, yang sering di-bahasa-politik-kan menjadi “garis keras”, dan yang satunya kelompok “non-kekerasan” atau perjuangan damai. (Perlu diketahui bahwa wacana dan gerakan “Papua Tanah Damai” dan perjuangan “non-kekerasan” memiliki sejumlah perbedaan yang tidak saja berbeda tetapi bertolak-belakang satu sama lain, maka maksud kelompok “non-kekerasan” di sini bukan dirujuk kepada kelompok yang mengkampanyekan dan mendukung “Papua Zona Damai”).

    Merujuk ke referendum tadi saya bilang ada ‘perempatan referendum’, maka pasti ada empat jalan yang menuju ke pertemuan mereka itu. Jalan pertama ‘jalan terus-terang’ atau blak-blakan, jalan kedua “diplomatis”, jalan ketiga “oportunis” dan jalan keempat “nogwe inok nawok, wogwe inok worawok” artinya “orang tak berpendirian, tetapi dapat dipengaruhi” oleh siapa saja. Saya tidak punya kepentingan dengan dua kelompok (1) Oportunis yang kebanyakan orang Papindo (Papua-Indonesia) dan (2) orang tratau diri tadi. Saya hidup dan punya kepentingan khusus dengan dua kelompok lainnya.

    Oleh karena toh akhirnya dua jalan tadi: (1) terus terang dan (2) diplomatis bertemu di persimpangan yang sama, maka kita perlu bertanya, “Apa artinya Otsus gagal?” Tentu saja, maksud saya di sini, Apa artinya kalau orang Papua katakan “Otsus gagal?”

    Tentu saja kaum oportunis Papindo akan menjawabnya lain. Jawaban saya dalam bentuk sebuah pertanyaan lagi, “Bukankah itu maksudnya, ‘menuntut Papua Merdeka?’”

    Peranyaan ini beranjut dengan pertanyaan lagi:
    1. Apa yang terjadi kalau Otsus ditolak?
    2. Apakah NKRI akan menerima penolakan Otsus itu?
    3. Kalau diterima, maka NKRI akan buat apa sebagai pengganti Otsus? Apakah dia akan minta maaf dan batalkan
    semua Undang-Undang, semua dana dan tenaga yang dikeluarkan selama ini, HANYA oleh karena orang Papua
    menyatakan “Otsus gagal”?
    4. Kalau ditolak, apakah itu artinya Otsus tidak gagal alias berhasil?
    5. Apa target orang Papua dengan menolak Otsus?

    Apa artinya Otsus gagal?

    Pertanyaan ini bukan pertanyaan politis, tetapi sebuah pertanyaan matematis. Pertanyaan ini sama artinya dengan kalimat matematika 1 + 1 = …. (satu tambah satu sama dengan?). Otsus gagal artinya….?

    Matematika mengkalimatkan hal-yang yang pasti untuk mendapatkan jawaban yang pasti pula, tetapi politik mengkalimatkan hal-hal dengan berbagai kemungkinan dan jawabannya-pun dipenuhi dengan sejumlah kemungkinan pula.

    Tinggal Anda dan saya memilih, apakah:
    1. Otsus gagal artinya kalimat matematik, atau
    2. Otsus gagal ialah sebuah kalimat politik

    Di samping itu ada pertanyaan lanjutan
    1. “Mengapa orang Papua menolak atau “Mengembalikan Otsus?”
    2. Bisakah, atau kapankah kelompok blak-blakan dan yang non-kekerasan tadi bertemu?
    3. Dapatkah keduanya bersatu dan berfokus kepada satu bidikan yang secara realistik menurut “real-politik” Indonesia
    paling dapat menyebabkan NKRI memberikan tanggapan?
    4. Untuk itu orang Papua perlu tahu, “Apa yang Indonesia mau dengar dari orang Papua: Otsus gagal atau tuntut
    referendum?”

    Politik penuh dengan sejuta kemungkinan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, dan politik tidak mengenal negara itu besar dan raksasa atau kecil seperti semut. Politik dapat menyatakan satu tambah satu sama dengan lima, dan lima sama dengan dua tambah tiga. Semuanya penuh dengan kemungkinan.

    Olehnya itu, dalam interaksi politik West Papua – NKRI perlu dipegang sebuah prinsip bahwa “kebenaran” yang merupakan sesuatu yang mutlak, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun juga. Ia tidak akan, tidak dapat dan tidak pernah terkalahkan, malahan ia selalu dan pasti menang. Politik hanya dapat memanggil nama angka “2” dari 1+1 itu dengan nama “lima” tetapi ia tidak dapat merubah angka “2” menjadi angka “5”. Itu kebenaran mutlak. Keinginan dan aspirasi serta perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat serta hidup damai dan harmonis di tanah leluhurnya adalah angka “2” sebagai hasil penjumlahan dari angka 1+1 tadi. Walaupun Indonesia membacanya dengan nama “5” atau “500” sekalipun, ia hanya sebatas memanggilnya dengan nama itu, sedangkan angka “2” tidak dapat dan tidak akan pernah dirubahnya, baik oleh Indonesia atau Amerika Serikat sekalipun. Hukum Alam tentu tidak dapat, tidak pernah dan tidak akan pernah dikalahkan oleh Hukum Ekonomi, Hukum Politik, Hukum Negara manapun juga. Pejuang kemerdekaan West Papua patut bekerjasama dengan Hukum Alam itu karena Hukum Alam hanya berbahasa dan berkalimat matematis. Manusia dapat mempolitisasinya, tetapi karena manusia itu lahir, hidup dan mati menurut Hukum Alam, maka karya dan “imagined nationalism”-nya pasti tunduk kepada Hukum Alam.

    Menurut Hukum Alam itu, maka orang Papua yang menolak Otsus atau menyatakan “Otsus gagal!” perlu memantapkan barisan dan membangun stategi bersama dengan kelompok blak-blakan tadi untuk tunduk dan taat kepada Hukum Alam. [Semoga bermanfaat]

  • Modus Pengacau Papua, Menyamar Jadi Warga

    Elin Yunita Kristanti

    VIVAnews – Situasi Puncak Jaya Papua belum benar-benar kondusif, aksi kelompok bersenjata yang diduga OPM masih terus mengancam dan setiap saat bisa terjadi.

    Saat Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem berkunjung ke Mulia, ibu kota Puncak Jaya Senin 28 Juni, sebanyak 1 SSK aparat gabungan TNI/ Polri menjaga bandara Mulia.

    Penjagaan di sepanjang jalan yang dilintasi juga tak kalah ketat.

    Wakapolres Puncak Jaya, Komisaris Jefry Dian mengatakan, penjagaan ketat dilakukan untuk mewaspadai dan mencegah aksi dari kelompok bersenjata.

    "Di bandara ada 1 SSK aparat gabung ditempatkan, sedangkan di sepanjang kota Mulia juga dalam jumlah yang sama. Ini mengantisipasi aksi dari kelompok pengacau yang masih berkeliaran, terutama saat Wagub berkunjung," ujarnya.

    Menurutnya, situasi Puncak Jaya belum bisa dikatakan aman, selama kelompok pengacau masih memiliki senjata. Mereka bisa beraksi kapan dan dimana saja di Puncak Jaya.

    "Sudah 8 senjata api aparat yang dirampas, ditambah senjata yang mereka miliki sebelumnya, tentu setiap saat mereka bisa menebar teror," ujarnya.

    Dikatakan, saat ini kelompok bersenjata itu juga tidak segan-segan masuk kota Mulia dan melakukan aksi teror penembakan.

    "Mereka bukan lagi hanya beraksi di kampung-kampung tapi sudah masuk kota dengan menyamar seperti masyarakat, inilah yang diwaspadai," ujarnya.

    Kondisi geografis Kota Mulia yang dikelilingi gunung-gunung, sangat menyulitkan aparat keamanan dalam melakukan pengejaran.

    "Kami sangat kewalahan jika mengejar kelompok itu, pasalnya,
    sesudah mereka beraksi, bisa dengan cepat masuk gunung-gunung yang terjal," tukasnya.

    Dari pantauan, setiap saat aparat keamanan baik Polisi maupun tentara melakukan patroli dengan senjata lengkap. Setiap anggota juga terlihat memakai rompi anti peluru meski patroli dilakukan dalam kota.

    Laporan: Banjir Ambarita| Papua
    www.vivanews.com
    http://nasional.vivanews.com/news/read/160716-modus-pengacau-papua–menyamar-jadi-warga
    Dipublikasikan : Senin, 28 Juni 2010, 10:34 WIB
    ©VIVAnews.com

  • Perkembangan Terakhir: Dukungan Pemerintah dan Negara Vanuatu dan Desakan Dewan Gereja Sedunia

    Sumber-sumber berita elektronik mainstream berbahasa Inggris minggu ini memberitakan secara berulangkali dan luas tentang dukungan pemerintah dan negara Republik Vanuatu untuk menggugat Indonesi atas Pepera 1969 dan pendudukan NKRI di West Papua selama ini disertai berbagai pelanggaran HAM.

    Christian human Rights Group, sebuah organisasi lintas negara yang berbasis di Inggris juga mendesak Indonesia untuk membuka dialogue dan mengungkap berbagai pelanggaran HAM yang mereka sendiri temukan setelah mengirim utusan ke Indonesia dan West Papua untuk melihat kondisi nyata di lapangan.

    Liputan media utama (mainstream) tentang dukungan dan protest berbagai wadah HAM dan gereja seperti ini perlu dicermati oleh setiap pejuang kemerdekaan West Papua dan organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua.

    Media dan liputan media seperti ini sangat berguna dalam membangun opini. Pembangunan opini itu bisa menjadikan hitam menjadi putih, gelap menjadi terang atau sebaliknya. Segala macam bisa diakukan, apa saja bisa terjadi, teroris bisa menjadi pahlawan, ulama bisa menjadi teroris. Semuanya tergantung opini yang dibangun dan terbangun.

    Terlepas dari dukungan “sebuah” negara dan pemerintah yang merdeka dan berdaulat terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua, pemberitaannya di berbagai medi mainstream merupakan sebuah titik penting dalam sejarah peliputan berita tentang penderitaan bangsa Papua, kesalahan dalam sejarah dekolonisasi West Papua dan tingkah laku NKRI selama menduduki wilayah West Papua.

    Tuhan bangsa dan Tanah Papua berpihak kepada kebenaran, dan kita bertugas untuk memetakan dan memberitakan kebenaran itu, karena ia tidak perlu dibela oleh siapapun, kapanpun, bagaimanapun juga, sebab pada akhirnya, dan selalu kebenaran selalu dan pasti menang.

    Update berita-berita dimaksud dapat dibaca di:

    1. westpapua.net atau
    2. papuapress.blogspot.com

    Chief Editor

  • Alam-Adat Papua Bicara: Kini Memasuki Tanah Papua – Maksudnya?

    Catatan WPMNews

    Sudah tiga tahun WPMNews memberitakan peristiwa-peristiwa alamiah, yang pada umumnya disebut Musibah alamiah, sebagai berita dalam Topik “Alam Bicara”, yang pada dasarnya hendak menunjukkan betapa Alam dan Adat Papua sudah sedang beroperasi mengobrak-abrik NKRI dan segala jaringannya dalam rangka penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat Papua sampai NKRI mengakui West Papua sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetangga NKRI sendiri.

    Setiap hari, sekali lagi, setiap hari kebakaran dan ‘musibah’ terus melanda NKRI. Itu bukan mimpi, atau dongeng. Waktu WPMNews menerbitkan peringatan tentang Penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat tiga tahun lalu, ada banyak orang tidak percaya. Tiga tahun berselang, peristiwa itu terus berlanjut, dan orang2 di negeri bernama Indonesia ini sudah merasa suatu hal biasa. Biarkan saja.

    Sebellum semuanya dimulai,sebuah surat telah dilayangkan Pemangku Adat-Alam Papua kepada:

    1. Suslo Bambang Yudhoyono, yang diterima di Kantor Seknek, Istana Presiden NKRI,
    2. Megawati Sukarnoputri, diterima di kediamannya di Jakarta Pusat; yang sinya menyatakan Mega tidak akan menjadi Presiden Kembali,
    3. Mantan Presiden NKRI, Sultan Hamengkubuwono X, di Keratonan Yogyakarta,
    4. Mantan Presiden NKRI KH Abdurrahman Wahid

    Isi suratnya sudah dibaca, dan apa yang terjadi sekarang sudah disampaikan jauh sebelumnya kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab di Indonesia ini.

    Yang menarik, peristiwa itu sedang menginjakkan kakiknya ke wilayah West Papua.

    1. Apa artinya?
    2. Apa maksudnya?
    3. Kenapa begitu?
    4. Apakah itu hanya MUSIBAH ALAM?

    Silahkan tanyakan hati nurani dan jawab sendiri.

     

    Wassalam!

  • Aparat kepolisian berhasil menyita amunisi senjata jenis M16 serta magazine, tempat peluru, di Bandara Sentani, Jayapura, Rabu 23 Juni 2010.

    Peluru dan magazine itu di sita dari cargo Maskapai penerbangan Manunggal Jaya, dan rencananya akan di kirim ke Pegunungan tengah Papua tepatnya Wamena.

    Kapolres Jayapura, AKBP Matius Fachiri saat di konfirmasi via telepon selulernya membenarkan adanya penemuan tersebut.

    "Benar, kami menemukan sejumlah amunisi di kargo milik Manunggal Air di Bandara Sentani, dan rencananya akan dikirim ke Wamena," ucapnya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya masih terus mencari pemilik amunisi tersebut. "Kami sudah berkoordinasi dengan petugas di Wamena untuk melacak pemilik amunisi itu," tandasnya.

    Mengenai kronologis penemuan, jelas Fachiri, Sekitar pukul 14.00 WIT pada saat loading barang, petugas security kargo Bandara Sentani curiga dengan paket barang dengan nama penerima atas nama Isak Alitopo.

    Sebab, beratnya tidak normal. Dalam manifest tertulis alat elektronik (amplifier). Setelah dicek dan dibuka, dalam amplifier tersebut tersembunyi 38 butir peluru kaliber 5,56 mm, satu magazine M-16 dan tujuh butir peluru kaliber 7,62 mm — yang dilakban dalam amplifier tersebut.

    "Amunisi itu langsung diamankan dan dibawa oleh anggota Polsek KP3 Bandara Sentani. Sedangkan pengirim barang melarikan diri namun sudah diketahui identitasnya," ungkapnya.

    Sesuai dengan manifes barang tersebut dikirim tanggal 23 Juni 2010 via Manunggal Air dan semestinya dikirim pada penerbangan pertama sekitar pukul 08.00 WIT.

    Laporan: Banjir Ambarita| Papua

  • Seluruh isi surat pemerintah Vanuatu yang akan dikirimkan kepada Sekretaris Jenderal. Ban Ki-moon

    Seluruh isi surat pemerintah Vanuatu yang akan dikirimkan kepada Sekretaris Jenderal. Ban Ki-moon untuk mengagendakan soal Papua Barat di Sidang Majelis PBB ke 65 mendtang tahun ini adalah sebagai berikut:

    “ Negara Daulat Republik Vanuatu,

    “Memohon dukungan dari Sidang Majelis Umum PBB yang ke 65;

    “ Mengingat pernyataan bangsa2 didunia sebagai diungkapkan dalam piagam2 PBB

    “ Menyadari pernyataan bangsa dari bekas jajahan Belanda New Guinea selama dan sejak Augustus 1962 melawan perjanjian yang ditunjangi oleh Amerika Serikat antara Republik Indonesi and Kerajaan Belanda mengenai Papua Barat,

    “Mengakui penderitaan yang berkelanjutan untuk kebebesan berbicara diakui oleh Kerajaan Belanda dengan menaikan Bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1961, mengakui dibukanya Dewan Rakyat Papua Barat pada tanggal 5 April 1961, mengakui diadakannya pemilihan umum secara bebas dan rahasia dibulan Januari 1961,

    “Mengakui atas pernyataan2 mengenai kesahan hukum dari perjanjian antara Republik Indonesia and Kerajaan Belanda yang dimajukan oleh bangsa Papua Barat dan bangsa2 lain yang baik didunia, dan

    “ Menyakinkan masalah kebenaran untuk menghapuskan perbudakan diseluruh dunia,

    “Memohon dukungan dari Sidang Majelis Umum PBB yang ke 65 untuk Mahkamah Agung Internasional untuk memberikan Pendapat Hukum atas sahnya perjanjian antara Republik Indonesia and Kerajaan Belanda yang mempunyai dampak buruk bagi hak2 rakyat dan kehidupan bangsa Papua Barat,

    “Dan akhirnya, Negara Daulate Republik Vanuatu mengusulkan pertanyaa ini kepada Mahkamah Agung International:

    “Dengan memperhatikan prinsip2 dasar untuk menghapuskan perbudakan , Pernyataan Hak Azasi Manusia, Piagam2 PBB and resolusi2 1514 dan 1541 dari Majelis Umum PBB,

    “Kami peserta dari Sidang Majelis Umum PBB yang ke 65 memohon Pendapat Hukum dari Mahkamah Agung Internasional dr PBB,

    “pada masalah kesahan hukum atas Perjanjian New York antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Papua Barat,

    “ pada masalah kesahan hukum dari PBB dalam menjalakan pasal :12 dari penjanjian New York tersebut.

    “ pada masalah kesahan hukum atas memberikan ijin tambang demi kepentingan penjajah,

    “pada masalah kesahan hukum atas cara2 atau akhibat2 langsung dari PEPERA tahun 1969, dan kedudukan politik Papua Barat sekarang berdasarkan prinsip2 No:4 dan 5 dari resolusi 1514 dari Majelais Umum PBB.

  • Pemerintah Republik Vanuatu Mendukung RUU tentang Dukungan terhadap Perjuangan Kemerdekaan West Papua

    Masyarakat Adat Vanuatu dari Pulau Tanna sedang menampilkan Tariannya
    Masyarakat Adat Vanuatu dari Pulau Tanna sedang menampilkan Tariannya

    Press Release yang dikeluarkan West Papua West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) menyebutkan “A Motion on Foreign Policy regarding West Papua had been passed in the Vanuatu Parliament” telah terjadi kemajuan dalam diplomasi perjuangan kemerdekaan West Papua di mana pada tanggal 19 Juni 2010 telah diloloskan sebuah Mosi tentang West Papua yang disetujui oleh pihak pemerintah dan oposisi. Kedua belah pihak sepakat secara aklamasi untuk:

    1. Akan membentuk sebuah West Papua Desk dalam kementerian Luar Negeri Republik Vanuatu;
    2. Akan meloloskan sebuah Rancangan Undang-Undang untuk Mendukung perjuangan Kemerdekaan West Papua;
    3. Menjadi sponsor resmi menggugat pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat.

    Pemerintah Vanuatu juga akan mensponsori lobi-lobi ke Melanesia Spearhead Group (MSG) dan Pacific Island Forum Leaders Summit untuk meloloskan sebuah resolusi tentang dukungan terhadap kemerdekaan West Papua.

    Tokoh OPM, Dr. John Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba menghadiri pertemuan bernilai sejarah tinggi ini dan secara tertulis ataupun lisan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pemerintah dan rakyat Vanuatu atas dukungan yang tak henti-hentinya selama ini dan atas perkembangan terakhir yang sedang terjadi dalam negara dan pemerintah Republik Vanuatu menyangkut sikap negara dan pemerintah terhadap perjuangan Kemerdekaan West Papua.

    1. Link ke Wawancara dengan Andy Ayamiseba;
    2. Link ke Siaran Radio Australia;
    3. Link ke Press Release asli

    Demikian Press Release yang diterima WPMNews pada hari ini 22 Juni 2010

    Dokumen asli dalam versi Inggris dapat diunduh dengan mengunjungi www.westpapua.net

  • DAP Wilayah V Gelar Demo ke DPRD Merauke

    Nyatakan Dukung Hasil Mubes MRP

    demo-lagi MERAUKE- Dewan Adat Papua Wilayah Lima Merauke menggelar aksi demo damai ke Kantor DPRD Merauke, Senin (21/6), kemarin. Demo damai yang digelar puluhan orang ini dipimpin oleh Ketua DAP Wilayah Lima Merauke Stanislaus Gebze dan Sekretarisnya Jhon Bob.

    Aksi demo damai yang dilakukan DAP Wilayah V Merauke itu mendukung hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP yang menolak Otsus Papua dan meminta referendum. ‘’UU Nomor 21 tahun 2010 tentang Otonomi Khusus Papua dinyatakan gagal dan dikembalikan ke DPRP, Pemerintah Provinsi dan NKRI,’’demikian bunyi salah satu spanduk yang dibentangkan para pendemo.

    Sebelum diterima anggota DPRD Merauke, aksi demo damai tersebut diawali orasi di depan Gedung DPRD Merauke yang disampaikan langsung oleh Ketua DAP Wilayah V Merauke Stanislaus Gebze, yang intinya mendukung hasil Mubes MRP karena menurutnya Otsus yang menjadi solusi bagi Papua selama ini dinilai gagal dan harus dikembalikan ke Pemerintah NKRI. Pihaknya berharap, DPRD Merauke sebagai wakil rakyat dapat meneruskan aspirasi yang disampaikan ke pihak-pihak terkait.

    Para pendemo yang diwakili Ketua dan Sekretaris DAP diterima Ketua Komisi A DPRD Merauke Anton Omogio Kahol, Ketua Komisi C Hengky Ndiken dan Ketua Komisi B Drs Lukas Patrauw, SH serta sejumlah anggota DPRD Merauke di ruang sidang DPRD Merauke.

    Dihadapan Anggota DPRD Merauke, Sekretaris DAP Jhon Bob membacakan kembali hasil Mubes MRP dan rekomendasi yang dihasilkan saat Mubes.

    Setelah membacakan hasil Mubes MRP dan rekomendasinya itu, Sekretaris DAP John Bob kemudian menyerahkan dan diterima Ketua Komisi Anton Omogio Kahol.

    Sementara itu, Pangkreasia Yam, menilai Otsus telah berjalan, namun sebagai perempuan Papua Otsus tersebut selama ini belum perpihak kepala kaum perempauan. ‘’Karena itu, kami tetap mendukung hasil musyawarah Adat Papua dan MRP untuk sama-sama kita kembalikan Otsus kepada Pemerintah daan Pemerintah sebagai bagian Papua untuk kita sama-sama pada hari ini sampaikan kepada bapak-bapak di dewan untuk melanjutkan aspirasi ini,’’ kata Pangresia.

    Setelah menerima aspirasi itu, Anton Kahol menyatakan akan menyampaikan kepada pimpinan dewan untuk selanjutnya dibahas.(ulo/ary) (scorpions)

  • “Segerah Cabut Status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua”

    Demo Pengembalian Otsus, Menuntut Referendum
    Demo Pengembalian Otsus, Menuntut Referendum
    Rezim Fasis Boneka Susilo Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada perode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara “mendasar, menyeluruh, dan bermartabat. Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segerah keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi dibalik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)

    Tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM) di mana alat reaksioner negara ( TNI maupun Polri) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reakioner negara ( TNI dan Polri ) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner negara ( TNI dan Polri ) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi atau-kah mungkin mereka kuburkan . Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah terbakar habis oleh alat reaksiner negara ( TNI dan Polri ). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka.

    Pada tanggal yang sama yaitu 17 Maret 2010 malam, TNI terus beroperasi dari arah Desa Kalome menuju di ibu kota Distrik Tingginambut, didaerah tersebut terdapat sebuah rumah Honai (rumah adat Papua) yang mana berada sekelompok massa rakyat yang sedang tertidur lalu mereka dikepung oleh anggota TNI yang sama setelah menembak mati Pdt. Kindeman Gire pada jam 5 sore hari kemarinya dan pada pagi jam 05.00 subu hari kamis Tanggal 18 Maret 2010 TNI mengepung sejumlah warga yang ada dalam satu honai itu berjumlah 13 orang tidak ada satupun yang lolos semuanya tertangkap lalu penyiksaan dilakukan oleh TNI. Penyiksaan yang di alami ke 13 korban sangat berat dan bahkan lebih buruk dan banyak dari mereka tinggal menungguh waktu untuk mati karena hantaman bokong senjata dan tusukan pisau sangkur. Ke 13 nama korban tersebut adalah Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn sedang sakit parah), Tiraik Morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn), Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), dan Kotoran Tabuni (42 Thn). Sampai hari ini kondisi mereka sangat memprihatinkan. Serta hingga hari ini sulit mendapatkan gambar karena memang kondisi kontrol alat reaksioner negara (TNI maupunPolri) terhadap segala akses informasi yang masuk dan keluar dari Kabupaten Puncak Jaya.

    Selanjutnya pembantaian terhadap warga sipil tidak berdosa terus berlanjut, tepatnya pukul 16.00 hingga 21.00 pada hari senin tanggal 23 Maret 2010, TNI dari kesatuan Yonif 753 yang bertugas di Pos Puncak Senyum Distrik Mulia Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya melakukan operasi sapu bersih terhadap warga massa rakyat yang bermukim disekitar Desa Wondenggobak. Akibat tembakan membabi buta ini, mengakibatkan Enditi Tabuni seorang anak mantu dari Pdt. Yason Wonda, Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia tertembak hingga mati dan tembakan membabi buta itu mengenai seorang ibu rumah tangga yang sedang tidur hingga peluru bersarang di lututnya, mengakibatkan korban harus di larikan ke rumah sakit umum Jayapura karena kesulitan melakukan operasi di rumah sakit umum Mulia, Puncak Jaya. Kemungkinan korban akan sembuh, kalau tidak kakinya harus di amputasi dan kemungkinan terburuk korban akan meninggal dunia. Itu-lah wajah, karakter dan model alat reaksioner negara (TNI dan Polri) yang bermental pengecut sehingga perempaun pun ditembak atau dibantai secara tidak manusiawi.

    Hingga saat ini belum terdata secara pasti berapa jumlah korban jiwa dan material yang berjatuhan karena begitu ketatnya kontrol akses informasi yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI/Polri). Dan pengungsian ratusan hingga ribuan massa rakyat Papua dari Distrik Tinginambut tersebut sejak kemarin 07 Juni 2010 telah masuk di Wilayah Kabupaten Jayawijaya – Wamena dan diiperkirakan pengungsian lain akan menyusul. Selain itu pengungsian dari Distrik Tinginambut tersebut juga telah masuk dibeberapa daerah seperti ; Ilaga, Sinak, Kuyawagi, Ilu dan beberapa Kabupaten di Pegunungan Papua. Selain itu tenda-tenda pengungsian yang telah memasuki Kecamatan Wunineri Kabupaten Tolikara dilarang didirikan tanpa alas an yang jelas oleh Militer. Alat reaksioner negara dari gabungan kesatuan TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Polri (Brimob) telah menguasai hampir seluruh pelosok dan kota Kabupaten Puncak Jaya, bahkan kendali pemerintahan sepenuhnya dikuasi oleh alat reaksioner negara (TNI/Polri). Hingga saat ini tindakan pembakaran terhadap rumah-rumah warga massa Rakyat, Gereja, penembakan ternak, penelanjangan terhadap perempuan dan intimidasi terhadap massa rakyat Papua terus berlanjut.

    Dengan banyaknya korban jiwa dan material yang terus berjatuhan dan tindakan kekerasan yang terus dilakuakan alat reaksioner negara (TNI/Polri) terhadap warga sipil tidak berdosa hingga hari ini di Puncak Jaya, Papua, maka kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) menuntut dan mendesak rezim fasis SBY-Budiono untuk segerah :

    1. Cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Tingginambut, Puncak Jaya-Papua paling lambat tanggal 26 Juni 2010
    2. KOMNAS HAM segerah menyelidiki kasus Kekerasan Militer di Tingginambut, Puncak Jaya-Papua
    3. Hentikan dan Tarik Pengiriman Militer Organik dan Non-Organik ke Puncak Jaya dan seluruh Papua
    4.Hentikan Intimidasi dan Kekerasan Militer di Puncak Jaya dan seluruh Papua

    Demikian statement solidaritas ini kami buat, jika tuntutan kami tidak segerah di penuhi oleh rezim hari ini, maka kami akan mengalang solidaritas yang seluas-luasnya untuk mendesak pencabutan status Dearah Operasi Militer (DOM) atau ‘Kebijakan Bumi Hangus” di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya – Papua.

    Yogyakarta, 21 Juni 2010

    Koordinator Umum

  • Otsus, No. Minta Referendum

    kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.”]MASSA : Ribuan massa dari berbagai lapisan masyarakat Papua, Jumat [18/6] kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.JAYAPURA [PAPOS]- Ribuan massa dari berbagai lapisan masyarakat Papua, Jumat [18/6] kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.

    Sebelum tiba di kantor DPR Papua sekitar pukul 14.30 WIT, ribuan massa melakukan long march dari kantor Majelis Rakyat Papua [MRP] menuju DPRP sambil membawa beberapa buah spanduk, poster-poster bertuliskan penolakan terhadap Pemilukada di Papua, Otsus gagal dan lain sebagainya.

    Setibanya di halaman kantor DPRP, massa langsung melakukan beberapa aksi sambil meneriaki “Papua Merdeka”. Diawali dengan doa bersama yang dipimpin Pdt. Jhon Baransano, ribuan massa menuntut DPRP dapat mengakomodir hasil rekomendasi yang telah disepakati bersama antara MRP dan seluruh masyarakat asli Papua, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama lainnya saat menggelar Musyawarah di kantor MRP 9-10 Juni 2010 lalu.

    Dalam aksi tersebut, bukan hanya masyarakat, mahasiswa saja yang ikut menyuarakkan aspirasi mereka terhadap DPRP, namun beberapa anggota MRP dan unsur pimpinan pun ikut turun dalam aksi itu.

    Adapun rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah MRP dan masyarakat asli Papua antara lain, selama sembilan tahun Otonomi Khusus berjalan di tanah Papua didesak agar UU Nomor 21 tahun 2001 tersebut dikembalikan, rakyat Papua menuntut dialog yang dimediasi oleh pihak internasional, menuntut referendum, menuntut pemerintah Republik Indonesia untuk mengakui tentang kedaulatan bangsa Papua Barat, menolak dengan tegas seluruh proses Pemilukada di tanah Papua, hentikan program transmigrasi dan menuntut pemerintah pusat agar dapat membebaskan seluruh Tapol/Napol di seluruh Indonesia.

    Sekitar satu jam lamanya menggelar berbagai orasi, akhirnya pendemo diterima oleh Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda didampingi beberapa anggota DPRP seperti Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai, Ketua Komisi C, Carolus Bolly, Yan Ayomi, Yance Kayame dan lainnya.

    Usai diterima Wakil Ketua dan anggota DPRP, Ketua Majelis Rakyat Papua, Drs. Agus Alue Alua, M.Th dalam kata pengantarnya menegaskan, MRP sebagai lembaga kultur masyarakat Papua mempunyai kewajiban untuk menyampaikan aspirasi yang disampaikan masyarakat asli Papua, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh dewan.

    “MRP hanya memfasilitasi masyarakat asli Papua untuk menyampaikan aspirasi dari hasil Musyawarah kemarin untuk diserahkan ke dewan, aspirasi ini juga nantinya akan diserahkan ke Gubernur untuk ditindaklanjuti,” ujar Agus Alua dalam arahannya di depan pendemo.

    Setelah itu, hasil rekomendasi pun dibacakan didepan ribuan massa dan seluruh masyarakat yang hadir, Ketua Forum Demokrasi Papua Bersatu [Fordem], Salmon Jumame membacakan hasil Musyawarah MRP dan masyarakat asli Papua. Dilanjutkan dengan penyerahan rekomendasi yang diserahkan Wakil Ketua MRP, Dra. Hanna Hikoyabi dan diterima Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda.

    Usai diserahkannya hasil rekomendasi tersebut, masyarakat memberikan deadline kepada DPRP agar rekomendasi itu dapat ditindaklanjuti dalam waktu satu minggu. Namun setelah Yunus Wonda menegaskan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan DPRP saja, dimana harus dikoordinasi terlebih dahulu dengan DPRD Provinsi Papua Barat.

    Usai mengatakan hal itu, maka masyarakat meminta agar dalam jangka waktu tiga minggu DPRP harus menyelesaikan aspirasi yang disampaikan. Jika tidak, maka pada tanggal 8 Juli 2010 mendatang, masyarakat akan turun kembali dengan jumlah massa yang lebih banyak.

    Yunus Wonda juga mengungkapkan, aspirasi atau hasil rekomendasi yang disampaikan itu akan ditindaklanjuti bersama Provinsi Papua Barat dan akan dilakukan dalam sidang paripurna.

    Dalam aksi itu juga, selain menyerahkan hasil rekomendasi kepada DPRP, perwakilan masyarakat juga mengembalikan buku UU Otonomi Khusus bersamaan dengan Bendera Merah Putih secara simbolis kepada pimpinan dewan, untuk dikembalikan ke pemerintah pusat dengan tanda bahwa Otonomi Khusus di tanah Papua dinyatakan gagal.

    Setelah bisa menerima usulan yang disampaikan pimpinan DPRP, maka berbagai element masyarakat bersepakat menandatangani perjanjian tentang rekomendasi yang dihasilkan akan segera ditindaklanjuti dengan batas waktu yang diberikan. Setelah itu, massa membubarkan diri sekitar pukul 18.00 WIT dengan tertib.

    DPRP Mendukung

    Ketua Komisi A Ruben Magai kepada wartawan di press room DPRP, usai aksi demo yang digelar masa mendukung MRP,Jumat [18/6] kemarin

    “Tahun 2000 lalu, kongres II orang Papua sepakat minta merdeka, tapi keinginan besar itu dibalas pemerintah pusat dengan Otsus,” kata Ruben.

    Pemerintah, kata Ruben, menyatakan bahwa Otsus tidak dilaksanakan dan ini sudah jelas menjadi komitmen Negara didalam UU Otsus tahun 21.

    Tetapi komitmen Itu tidak diterjemahkan dengan baik oleh setiap alat kelengkapan Negara baik pusat mapun di daerah.

    Dimana, lanjut Ruben, hal tersebut lantas dipandang masyarakat Papua sebagai kegagalan Otsus, yang berawal dari ketidak siapan pemerintah Papua membuat grand design dari pada Otsu situ sendri.

    “Grand desain dipakai sebagai satu ukuran evaluasi otsus, tapi hari ini tidak ada grand desain itu,” kata dia.

    Sehingga DPRP sebagai penampung aspirasi masyarakat Papua akan mendukung masyarakat Papua mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat, yang akan dilakukan melalui rapat Pansus DPRP dan tindak lanjut ke pusat.

    “Nanti tergantung pemerintah pusat mau memberikan apalagi bagi orang Papua, apakah Otsus lagi atau Karena DPRP hantya penyambung aspirasi rakyat,” kata dia.

    Ruben juga menilai, permintaan referendum yang disampaikan masa pendemo yang berorasi dihalaman kantor DPRP, Jumat kemarin merupakan kegagalan negara. [anyong/lina]

    Ditulis oleh Anyong/Lina/Papos
    Sabtu, 19 Juni 2010 00:00

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?