Tag: features

  • Rupiah Pagi Turun Tajam Capai Rp10.470 Dolar AS

    Jakarta, (ANTARA News)- Kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antar bank Jakarta, Senin pagi merosot tajam mendekati angka Rp10.500 per dolar AS, karena pelaku pasar masih panik dengan krisis keuangan global yang terus menekan pasar.

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun menjadi Rp10.470/10.480 dibanding penutupan akhir pekan lalu yang mencapai Rp9.963/10.250 per dolar AS atau melemah 367 poin.

    Pengamat pasar uang, Edwin Sinaga di Jakarta, mengatakan, pelaku pasar makin panik terhadap gejolak krisis keuangan yang terus menekan pasar yang mendorong mereka memborong dolar AS dalam jumlah yang besar.

    Para pelaku khawatir dengan kondisi pasar seperti ini yang diperkirakan akan terus berlanjut, meski bank-bank sentral melakukan kerja sama menyuntik dana ke pasar, katanya.

    Menurut dia, suntikan dana dari sejumlah bank sentral masih belum berdampak positif terhadap pasar, karena baru berjalan beberapa hari, sedangkan gejolak krisis keuangan itu merupakan masalah global.

    “Rupiah akan makin terpuruk hingga menjauhi angka Rp10.500 per dolar AS, “ucapnya. Keterpurukan rupiah, lanjut dia diperkirakan akan diserahkan kepada pasar, karena Bank Indonesia (BI) akan sulit mengatasi masalah ini.

    Merosotnya rupiah akan juga mengganggu sektor industri di dalam negeri terutama produk yang sebagian bahan bakunya berasal dari impor, katanya.

    Ia mengatakan, para pelaku pasar seharusnya tidak panik dengan kondisi pasar yang makin terpuruk, karena itu semua merupakan gejolak global, apabila gejolak itu mereda makin pertumbuhan akan mulai berjalan, namun kapan mereda itu masih belum diketahui dengan pasti.(*)

  • Gereja Tawarkan Dialog Damai – menilai peluncuran International Parliaments for West Papua (IPWP) tidak signifikan

    JAYAPURA (PAPOS) –Sembilan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Papua, prihatin atas situasi yang bergolak beberapa hari terakhir ini di Kota Jayapura.

    Di satu sisi pimpinan gereja menilai peluncuran International Parliaments for West Papua (IPWP) tidak signifikan, sementara di sisi lain pimpinan gereja menilai pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua.

    Keprihatinan pimpinan Gereja-gereja itu dituangkan alam suatu pernyataan sikap ditandatangani Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. JJ Mirino Krey, S.Th, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pdt. S. Karubaba, MA, Ketua I Sinode GBGP di Tanah Papua, Pdt. Tomy, Ketua Gereja Pantekosta Tabernakel Papua, Pdt. Isak Doom, S.Th, Ketua Sinode GMK di Tanah Papua, Pdt. Theys Wopari, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Gereja Pantekosta di Tanah Papua, Pdt. Andreas Ayomi, Pastor Neles Tenay, Pr dan Ketua GIDI, Pdt. Lipiyus Biniluk.

    Menurut mereka, pro dan kontra masalah Pepera tidak akan diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan dan lainnya. Oleh sebab itu, masalah Pepera harus diselesaikan dengan suatu dialog damai.

    Pimpinan Gereja-gereja di Papua mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah Pepera melalui dialog yang difasilitasi pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, menurut mereka, persoalan Papua harus diselesaikan melalui dialog damai untuk mendapatkan solusi damai.

    Dalam pernyataan sikap tertanggal 22 Oktober tersebut, pimpinan-pimpinan gereja ini menyatakan, IPWP yang diluncurkan 15 Oktober di House of Commons oleh Dubes Indonesia di London menilai acaranya tidak signifikan karena hanya dihadiri 2 orang parlemen Inggris saja.

    Yang menjadi keprihatinan, meskipun peluncurannya oleh pemerintah Indonesia diakui tidak signifikan tetapi pada tanggal 16 Oktober gabungan dari Polisi, Tentara dan Angkatan Laut memblokir jalan raya di Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada DPRP.

    “Menghadapi rencana demonstrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut kota Jayapura, bahkan sampai mengeluarkan tank-tank militer seakan-akan hendak menghadapi serangan militer yang dilancarkan oleh negara lain,” kata Pdt. S. Karubaba, dkk, dalam pernyataan sikapnya yang dibawa ke redaksi Papua Pos, Jumat (24/10).

    Diterangkan, pemblokiran jalan oleh pihak keamanan, menurut mereka merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi. Ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu.

    Mereka melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup oleh pihak keamanan dan tertutup bagi orang Papua. “Kami prihatin karena orang Papua yang mau demonstrasi itu tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentunya hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi negara demokratis,” kata Pdt. Socrates menambahkan.

    Yang makin memprihatikan, tindakan represif masih berlanjut. Ketika tanggal 20 Oktober orang Papua ingin melaksanakan demonstrasi, suasana kota Jayapura mencekam.

    Aparat keamanan yang terdiri dari Polisi, Brimob, Militer dan Marinir diangkut dengan 11 truk dan disebarkan di kota Jayapura, ratusan intelijen disebarkan dalam kota.

    Sementara situasi di kota mencekam, pihak Kepolisian melakukan penangkapan terhadap belasan orang dan menahan mereka di tahanan Polresta. Menurut para pimpinan gereja-gereja ini, tindakan berlebihan dari pihak aparat memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua. Bila aspirasi dan pendapat berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan kriminal.

    Mereka melihat orang Papua berada di tengah 2 pendapat. Di satu pihak, orang Papua mendengar bahwa IPWP membahas tentang Pepera 1969 karena dinyatakan cacat hukum.

    Sementara di satu pihak, orang Papua mendengar dari pemerintah Indonesia bahwa Pepera sudah final. “Kami merasa prihatin karena orang Papua dibiarkan bingung diantara 2 pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban,” kata para pimpinan gereja ini. (frida)

    Ditulis Oleh: Frida/Papua Pos
    Sabtu, 25 Oktober 2008

  • Rektor Setuju Aparat Tidak Masuk Kampus – Kapolresta: Isu Penyisiran dan Intimidasi, Ulah Provokator

    JAYAPURA – Aksi pemalangan kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Kamis (23/10) berakhir. Ini setelah mahasiswa yang tergabung dalam senat fakultas akhirnya berhasil bertatap muka dan melakukan dialog langsung dengan rektor Uncen, Prof Batlazar Kambuaya di halaman aula utama kampus Uncen di Abepura.
    Pertemuan yang berlangsung sekitar 2 jam ini disepakati bahwa aparat keamanan diberikan batasan dalam bertindak didalam wilayah kampus. Hal itu mengacu pada otonomi kampus itu sendiri. Sebelumnya mahasiswa bersikeras meminta kepastian soal dikembalikannya otonomi kampus dan tidak melibatkan aparat keamanan dalam sistim keamanan kampus.

    Alhasil usai melakukan orasi selama kurang lebih 2 jam di kampus Uncen Abepura, sekitar pukul 10.45 WIT, dengan menggunakan 7 truk dan 2 bus rombongan mahasiswa menuju Uncen Waena untuk bergabung dengan mahasiswa lainnya yang sudah melakukan aksi serupa dipintu utama.Dalam perjalanan menuju kampus Uncen di Waena, rombongan sempat diperiksa tim gabungan Polresta dan Polsekta untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.

    “Giat sweeping yang kami lakukan merupakan giat perimbangan yang sasaran utamanya senjata tajam.Namun hingga akhir sweeping tidak ditemukan benda tajam,” ungkap Kapolsek Abepura, AKP Dominggus Rumaropen disela-sela razia.

    Pantauan Cenderawasih Pos di Kampus Uncen di Waena, Koalisi Mahasiswa Peduli Kampus yang sedari pagi menutup pintu gerbang utama terus melakukan orasi yang intinya tetap mempertahankan agar tidak ada lagi bentuk militerisme dalam kampus. Beberapa tulisan yang dipajang sehari sebelumnya masih terlihat di gerbang utama.
    “Kami menolak TN/Polri masuk kedalam kampus karena merusak kedaulatan mahasiswa.Jika tidak dipenuhi maka akan memboikot seluruh ruang perkuliahan,” ujar koordinator lapangan, Nasrul dengan nada tinggi.

    Hanya banyak yang menilai aksi pemalangan di Uncen dalam ini sedikit berlebihan, pasalnya seluruh kendaraan dilarang untuk masuk dan orasi yang disampaikan terlalu menyudutkan pihak keamanan.

    Dari hasil pertemuan, Rektor Uncen sepakat jika aparat keamanan tidak masuk untuk mencampuri permasalahan civitas akademika, apapun yang terjadi jika menyangkut permasalahan kampus maka pihak manapun tidak bisa mengintervensi.Namun ada hal yang dianggap bisa disentuh aparat keamanan yaitu jika terjadi bentuk kriminalitas di dalam kampus dan ini dianggap menjadi tanggung jawab aparat kepolisian.

    ” Saya juga tidak setuju jika aparat masuk dunia kampus begitu saja apalagi terjadi intervensi karena itu menjadi tanggung jawab saya sebagai rektor,” jelas Batlazar yang juga meminta aparat selektif menilai Uncen.

    Yang dimaksud adalah selama ini jika terjadi demo maka yang menjadi sasaran pemeriksaan maupun pengamanan adalah kampus Uncen padahal di Jayapura banyak kampus lainnya.Ini dianggap merugikan pihak Uncen karena mendapatkan image bahwa Uncen tempat atau sarang mahasiswa yang suka berdemo.

    Koreksi juga ditujukan ke pihak mahasiswa dimana rektor meminta sikap dan tindakan memalang tidak lagi dilakukan mengingat banyak rugi dibanding untungnya.Dikatakan Uncen merupakan kampus besar milik Papua yang mahasiswanya tidak hanya dari Jayapura saja melainkan seluruh Papua. Gambaran ini menjelaskan bahwa semangat untuk melanjutkan pendidikan masih tinggi sehingga jika diganggu dengan sikap pemalangan maka banyak yang akan dirugikan.”Uncen dibangun untuk perubahan tahap kedua di Papua, bagaimana menyiapkan SDM yang bermutu untuk Papua kedepan.Jika aksi palang dijadikan kebiasaan lalu kapan Papua bisa berubah,” terang rektor.

    Sementara itu, adanya tuduhan terhadap aparat keamanan yang melakukan penyisiran dan intimidasi di kampus-kampus dan asrama mahasiswa, hingga berbuntut aksi pemalangan yang dilakukan oleh mahasiswa di Uncen, dibantahkan tegas oleh Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, AKBP Roberth Djoenso SH.
    ” Isu yang dikembangkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang mengatakan dan menghembuskan informasi bahwa ada penyisiran di asrama-asrama mahasiswa dan sweeping dalam kampus. Itu tidak benar,” tegas Kapolresta Roberth Djoenso kepada wartawan, Kamis (23/10) kemarin.

    Kapolresta menilai bahwa isu adanya penyisiran dan intimidasi sengaja dikembangkan dan disebarkan serta diprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memperkeruh situasi dan untuk menciptakan instabilitas kamtibmas di Kota Jayapura.

    Untuk itu, Kapolresta mengharapkan kepada seluruh masyarakat dan mahasiswa yang tinggal di asrama-asrama untuk tidak begitu saja mempercayai dan tidak termakan dengan isu-isu tersebut. Apalagi, hal tersebut sama sekali tidak benar.

    Menurut Roberth Djoenso, aparat keamanan dalam hal ini, Polri dalam melakukan razia atau sweeping-sweeping yang digelar dijalan-jalan, semuanya bertujuan untuk menciptakan situasi aman di kota ini. “Tujuannya hanya untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat di kota ini. Tidak ada tujuan lain,” tandasnya.
    Kapolresta mengatakan, jika ada yang menyebarkan isu adanya mahasiswa yang dipukul oleh aparat keamanan dan yang mengatakan ada yang hilang, hal tersebut sama sekali tidak benar. “Itu (tuduhan) tidak benar,” tandasnya lagi.

    Kapolresta mensinyalir adanya upaya oleh oknum tertentu dan yang tidak bertanggungjawab untuk mempolitisir situasi ini yang menginginkan Abepura berdarah, 16 Maret terulang lagi di Kota Jayapura ini.

    ” Ini yang saya tidak kehendaki. Saya harapkan kepada mahasiswa dan masyarakat yang lain untuk tidak terpancing dan termakan isu-isu yang sama sekali tidak bermoral, karena saya nilai itu merupakan upaya orang tertentu dengan cara-cara yang tidak bermoral,” ujarnya.

    Terkait masih adanya aksi demo di kampus Uncen yang menolak adanya penyisiran dan intimidasi terhadap mahasiswa, Kapolresta Roberth DJoenso mengungkapkan bahwa ada pihak tertentu yang terus berupaya untuk mencoba menghasut mahasiswa untuk turun kejalan. ” Tapi, Rektor sudah sampaikan bahwa akan adakan pertemuan di Kampus Uncen Baru, apalagi kelihatannya bukan mahasiswa asli Uncen yang ikut demo, tapi ada orang-orang atau anak-anak yang mengaku mahasiswa Uncen, ya tujuannya untuk memperkeruh suasana dan mengganggu kestabilan kamtibmas di Kota Jayapura,” jelas Roberth Djoenso.

    Dirinya menghimbau kepada mahasiswa untuk tidak mudah terpancing dan terhasut serta menjalankan aktivitas kuliah seperti biasanya. “Jangan mudah terhasut untuk turun ke jalan, demo dan lainnya sebagainya, karena situasi Kota Jayapura sampai hari ini masih aman dan terkendali,” ujarnya.

    Jangan gara-gara satu dua orang, yang menghasut dan menghembus isu yang tidak benar, membuat situasi yang tadinya aman dan menjadi tidak aman, sehingga hal ini akan merugikan semua pihak, baik itu anak pelajar, mahasiswa dan masyarakat lainnya. ” Saya minta agar aktivitas seperti biasa dan kami dari aparat keamanan juga membantu menciptakan aman di kota ini,” imbuhnya.

    Kapolresta menambahkan pihaknya akan tetap melakukan razia-razia dalam rangka melaksanakan operasi penyakit masyarakat (pekat) II sampai 25 Oktober 2008 lusa.

    Dalam operasi pekat ini, sasarannya adalah premanisme, senjata tajam, senpi, miras termasuk minuman lokal dan racikan sendiri, narkoba, perjudian dan lainnya. Operasi pekat Ini, bertujuan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat di Kota Jayapura dan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan atau tindak kriminal. (ade/bat)

  • Hasil IPWP London Diumumkan – Sikap Represive Aparat Disesalkan

    JAYAPURA – Gagal melakukan demo guna menyampaikan dukungan peluncuran Kaukus International Perlemen for West Papua (IPWP) 15-18 Oktober lalu di London, Inggris tidak menyurutkan IPWP Papua untuk tetap menyuarakan asprasi tersebut.

    Dalam press confrence di Sekertariat Dewan Adat Papua (DAP), Selasa (21/10), Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni didampingi Sekertaris IPWP Viktor F Yeimo, Koordinator umum Peluncuran IPWP Sebi Sambom, Koordinator Lapangan Elly Sirwa dan Ketua Tim Legislasi AMPTP Albert Wanimbo didampingi puluhan massa pendukungnya akhirnya mengumumkan hasil IPWP di London, Inggris yang sudah ada di tangan mereka.

    4 lebar hasil IPWP dalam Bahasa Inggris itu diterjemahkan oleh Viktor F Yeimo. Isi dari hasil IPWP di London memuat beberapa poin yaitu pertama, mendesak setiap negara di Eropa untuk tidak melakukan hubungan dengan Indonesia sampai Indonesia memberikan ruang kebebasan yang damai bagi masyarakat Papua. Kedua, meminta agar ada peninjau dari pihak International menyangkut masalah di Papua. Ke-tiga, mendesak PBB untuk mendengarkan salah satu penasehat dari pengadilan Internasional dibawah hukum Internasional.

    Ke-empat, seluruh kekayayaan alam di Papua digunakan sepenuhnya untuk masyarakat Papua. Ke-lima, desak Sekjend PBB untuk mereview kembali tentang aturan PBB menyangkut proses bebas memilih di Papua (menyangkut Pepera). Ke-enam, mengirim tim peninjau untuk melihat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

    Ke tujuh, meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan Filep Karma, Yusak Pakage dan semua tahanan politik dengan segera serta membuka akses jurnalis internasional ke Papua. Ke-delapan, mendesak agar dihentikan segala bentuk illegal loging oleh Indonesia di Papua yang dapat mengakibatkan perubahan iklim serta memonitor perjanjian mineral di Papua hingga ICJ memberikan kelayakan.

    Menurut Victor, Peluncuran Kaukus yang dihadiri oleh sejumlah parlemen International di Inggris dan Eropa ini intensif dilakukan mulai pukul 15.00 – 16.30 waktu London yang dihadiri oleh dua anggota Perlemen Inggris Andrew Smith dam Lord Harries. Tidak itu saja, Vintor juga mengklaim bahwa peluncuran tersebut mendapat dukungan dari seluruh parlemen di Inggris, Eropa Amerika, para senator di Australia, New Zealand, Vanuatu, dan Papua New Guinea.

    “Dari pertemuan itu juga dihadiri oleh Benny Wenda -mahasiswa, Mrs Melinda Janki dari International Human Rights Law Expert, Jeremmy Corbyn dan Opik dari Parlemen UK,” papar Victor membacakan hasil tersebut.

    Sementara ketika disinggung kecaman anggota DPR RI, Theo L Sambuaga terkait sponsor yang dilakukan pihak asing dalam parlemen tersebut, Koordinator umum peluncuran IPWP Sebi Sambom mengatakan bahwa Indonesia jangan ikut campur urusan negara lain yang sedang membahas permasalahan di Papua, karena saat ini Indonesia tidak bisa mengintervensi negara maju.” Itu hanya komentar orang politik yang sedang dalam posisi sulit,” lanjut Sebi.

    Ia juga menyayangkan sikap aparat dalam aksi demo damai di Jl Irian Jayapura, Senin (20/10). Menurutnya, dari sikap represive aparat saat mengamankan dan membawa pendemo menggambarkan pada dunia bahwa di Papua memang terjadi penekanan militer terhadap masyarakat Papua Barat. Padahal menurut pria berambut gimbal ini, demokrasi itu memiliki undang-undang dan bagaimana menyampaikan pendapat dimuka umum mereka telah pahami.

    ” Jangan memberikan teror mental yang akhirnya menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Kami melihat tentara dan polisi yang membangun konflik dari ketakutan tersebut,” jelas Sebi.
    Sementara itu, Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni juga menyayangkan sikap anggota DPRP yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Alasannya, saat mereka akan menyampaikan aspirasi, ternyata tidak satupun wakil rakyat berada di tempat. ” Kami sudah memberitahukan sebelumnya bahwa kami akan datang tanggal sekian untuk menyampaikan pendapat, tetapi ternyata tidak ada siapa-siapa,” sesal Buchtar.

    Sikap semacam ini yang dianggap tidak memihak rakyat sehingga kedepannya Buchtar Cs sepakat untuk memboikot Pemilu.” Kami juga akan menyurati semua mahasiswa Papua yang kuliah di Jawa, Bali, Sumatrea, Sulawesi untuk kembali menyusun kekuatan serta boikot Pemilu.

    Buchtar menyampaikan bahwa dengan sikap tegas yang akan mereka ambil l itu sama artinya tidak ada legitimasi terhadap pemerintah Indonesia yang membenarkan bahwa rakyat Papua adalah bagian dari Indonesia.”Papua bisa dikatakan bagian dari NKRI jika rakyat ikut memilih. Jika tidak, yah sama saja ada penolakan terhadap legalitas daerah itu,” tegas Buchtar.

    Pria dengan gaya khas kacamata hitam dan pakaian loreng model Army ini juga mengomentari soal penanganan para pendemo kemarin.

    Dengan gagalnya penyampaian aspirasi langsung ke DPRP nampaknya membuat IPWP Papua merancang strategi lain. Buchtar Tabuni dan Victor menegaskan bahwa yang difokuskan saat ini bukan lagi menghadap DPRP, melainkan melakukan sosialisasi untuk seluruh masyarakat Papua Barat melalui parlemen yang telah dibentuknya.

    ” Jika Papua ( DPRP, red) tidak mau menerima ini, kami akan sampaikan di parlemen kami sendiri. Soal hasil ini akan kemana nantinya urusan parlemen,” tandas keduanya seraya mengatakan bahwa mereka akan kembali mengambil sikap menyurat ke Jakarta dan PBB, tanpa menjelaskan lebihjauh meteri surat yang akan dikirim tersebut.(ade)

  • Rupiah Merosot 86 Poin Jadi Rp9.890 Per Dolar AS

    Jakarta, (ANTARA News)- Kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antarbank Jakarta, Rabu sore turun 86 poin menjadi Rp9.890/9.900 per dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya Rp9.804/10.016, karena pelaku pasar makin aktif membeli dolar AS.

    Direktur Retail Banking PT Bank Mega Tbk Kostaman Thayib di Jakarta, mengatakan, pelaku pasar makin khawatir dengan krisis keuangan global yang terus menekan pertumbuhan.

    Pelaku pasar lebih cenderung membeli dolar AS ketimbang rupiah selain lebih menguntungkan juga karena mata uang asing itu sudah dikenal dunia lebih dulu, katanya.

    Karena itu, lanjut dia, pelaku pasar semakin aktif membeli dolar AS yang mendorong rupiah terpuruk lebih dalam pada sore ini dibanding pagi.

    “Kami khawatir rupiah akan terus terpuruk hingga mencapai angka Rp10.000 per dolar AS, ujarnya.

    Ditanya apakah keterpurukan hingga Rp10.000 per dolar AS tidak memberatkan kinerja pemerintah, menurut dia, tidak masalah, karena hampir semua mata uang utama regional terpuruk.

    Meski demikian, lanjut dia, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan kembali melakukan intervensi pasarnya melihat rupiah terus terpuruk.

    Namun intervensi BI sampai sejauhmana masih belum diketahui, karena BI tidak akan jor-jor dalam mengatasi rupiah yang terpuruk itu, ucapnya.

    Menurut dia, tekanan pasar terhadap rupiah diperkirakan akibat faktor psikologis saja. Suntikan dana baru oleh bank sentral itu, seharusnya bisa mendorong rupiah menguat karena likuiditas dolar makin melonggar, namun kenyataannya faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap rupiah.

    “Kita lihat saja dulu apakah ada pengaruhnya terhadap rupiah yang selama ini terpuruk,” ucapnya.(*)

  • Tidak Ada Negara Dukung Separatis Papua

    Ditulis Oleh: Ant/Papos Rabu, 22 Oktober 2008

    MASSA : Pendukung International Parlment for West Papua saat berkumpul mendengarkan orasi di depan Expo Waena(16/10) sebelum bergerak menuju DPRP, namun massa ini dihadang aparat keamanan, mereka gagal membawa aspirasi ke DPRP.
    JAKARTA (PAPOS) -Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, menegaskan bahwa tidak ada satu negara pun yang mendukung isu separatis di Papua.

    “Tidak ada satu pun negara anggota PBB yang mendukung isu separatisme di Papua sehingga posisi Indonesia sangat solid,” kata Dino di kantor Kepresidenan.

    Dino mengemukakan hal itu saat menanggapi aksi peluncuran “International Parliamentarians for West Papua” di Inggris. Walaupun begitu, Dino mengakui bahwa memang ada segelintir anggota parlemen dan LSM yang mendukung aksi itu.

    “Inisiatif International Parliamentarians itu kandas dan posisi pemerintah Inggris pun tetap mendukung integritas Indonesia,” katanya di Jakarta Selasa (21/10) seperti dikutip Koran ini dari Antara News, tadi malam.
    Parlemen Inggris, lanjut dia, juga menghargai serta menghormati wilayah teritorial Indonesia. “Situasi di lapangan juga baik,” katanya.

    Sebelumnya pemerintah Indonesia melalui Jurubicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, aksi tersebut tidak signifikan. Ia menjelaskan peluncuran International Parliamentarians for West Papua di Inggris pada 15 Oktober 2008 itu hanya dihadiri oleh dua orang anggota parlemen Inggris.

    Sementara parlemen Inggris terdiri atas House of Lords sejumlah 746 orang dan House of Common sejumlah 646 orang– dan sekitar 30 peserta yang umumnya LSM yang selama ini memang pro kemerdekaan Papua.

    Dengan adanya peristiwa itu, lanjutnya, maka dapat dilihat bahwa masalah kemerdekaan Papua justru bukanlah suatu hal yang menjadi isu. Menurut Faiza, aksi tersebut hanya didukung oleh orang-orang yang sama yang selalu menggunakan referensi Indonesia di masa 90-an untuk memandang kasus Papua, padahal saat ini telah diberlakukan otonomi khusus di Papua sehingga isu-isu pro-kemerdekaan ini tidak relevan.

    Menurut laporan dari KBRI London, kegiatan di dalam gedung parlemen tersebut tidak mendapat perhatian dari para anggota parlemen yang lain, kalangan media dan publik dan tidak secara resmi masuk dalam agenda kegiatan House of Common serta tidak tercatat dalam pengumuman di lobbi gedung Parlemen.

    Selain itu kegiatan demonstrasi dengan menyanyi dan menari yang dilakukan sebelum dan setelah acara kegiatan tersebut di luar gedung Parlemen Inggris juga kurang mendapat perhatian dari publik.(nas)

  • Separatisme Papua Tidak Signifikan: Tanggapan TRPB

    Menanggapi Pernyataan aparat kolonial NKRI tanggal 19 Oktober 2008 berjudul “Separatisme Papua Tidak Signifikan”, maka SPMNews sejenak mewawancarai tanggapan Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB). Gen. TRPB  A. Tabi menyatakan, “Ini bukan masalah signifikan atau tidak, tetapi masalahnya mengapa NKRI mengatakan TIDAK SIGNIFIKAN? Sebaiknya kan NKRI tidak mengatakan apa-apa!”

    Berikut Petikan Wawancara SPMNews dengan SekJend TRPB, A. Tabi  per em@il sebanyak dua kali em@il:

    SPMNews: Kami sempatkan diri kali ini untuk mengetahui tanggapan dari TRPB tentang ucapan pejabat NKTI bahwa separatisme di Papua itu tidak signifikan. Bagaimana pendapat Anda dan lembaga Anda?

    TRPB: Kita sebagai bangsa Papua yang menentang sebuah negara penjajah NKRI tidak mempermasalahkan hal “signifikan dan tidak”. Ini bukan masalah signifikan atau tidak, tetapi masalahnya mengapa NKRI mengatakan TIDAK SIGNIFIKAN? Sebaiknya kan NKRI tidak mengatakan apa-apa!

    SPMNews: Mohon penjelasan sedikit mengenai kalimat “…tetapi mengapa NKRI mengatakan TIDAK SIGNIFIKAN?”

    TRPB: Maksudnya bahwa dengan membuat pernyataan saja sudah jelas siapapun bisa tahu apakah itu signifikan atau tidak. Dengan kata lain, kalau tidak signifikan, kenapa harus mengatakannya? Kalau begitu, barangkali “bukan tidak signifikan” tetapi, yang penting adalah “ada sesuatu” dan “sesuatu itu memaksa Deplu kolonial NKRI harus membuat pernyataan. Selama ini kan NKRI seolah-olah tidak pernah punya bangsa Papua, tetapi hanya punya wilayah yang namanya Papua Barat. Selama ini kan NKRI katakan orang menganggap Otsus sebagai solusi final dan hanya segelintir yang mau merdeka. Ternyata apa?

    SPMNews: Dalam pernyataan juga dikatakan bahwa badan Free West Papua Campaign tidak terdaftar dalam dokumen negara sebagai sebuah organsasi di dalam Kerajaan Inggris, “Bagaimana pandangan TRPB?”

    TRPB: Ini juga perlu diluruskan. Rupanya pejabat NKRI tidak memahami benar status sebuah organisasi perjuangan untuk kemerdekaan di luar negara-bangsa yang sudah ada di seluruh dunia dan status LSM sebagaimana lazimnya. Kelompok ini bukan LSM, ini kelompok lobi dan kampanye Papua Merdeka, yang menentang eksistensi negara-bangsa Indonesia, anggota PBB. Artinya, status kelompok Free West Papua Campaign tidak diukur dari statusnya dalam negara, tetapi dampak dari kampanenya, dan bahwa kelompok itu tidak dilarang. Tidak dilarang dan tidak terdaftar, apa untung-ruginya sepanjang kampanye tetap berjalan sebagaimana diharapkan?

    SPMNews: NKRI juga mengatakan dukungan dari parlemen Inggris tidak begitu hebat karena hanya didukung oleh dua anggota dari 600-an yang ada.

    TRPB: NKRI juga tidak paham baru berkomentar. Mereka tidak paham dalam beberapa hal, tetapi kami tidak perlu sebutkan karena ini bukan forum atau media pendidikan politik untuk NKRI. Satu saja dari ketidahpahaman dimaksud adalah bahwa wadah ini diluncurkan bukan untuk memobilisasi dukungan penuh dari seluruh anggota Parlemen Inggris yang terdiri dari Parlemen Tinggi dan Rendah itu (House of Lords and House of Commons). Bukan begitu. Lembaga ini sebuah Interparliamentary Group yaitu lintas partai, ditambah dengan International atau antar negara-bangsa. Itu berarti sebuah forum berbagi informasi dan strategi untuk para anggota parlemen dan politisi yang simpatik dan mendukung Papua Merdeka di seluruh dunia. Karena itu, acara ini tidak diluncurkan oleh Dua Anggota Parlemen saja, tetapi Empat anggota Parlemen, dua dari Inggris Raya dan Dua dari dua negara Melanesia (PNG dan Vanuatu).

    Anda perlu ketahui bahwa Powes Parkop, Master of Law ada di jajaran TRPB, dan beliau pendukung murni Papua Merdeka. TRPB ikut aktiv dalam kampanye Pemilu barusan ini untuk memenangkan suara dan menduduki posisi sebagai Gubernur DKI Port Moresby, dan upaya itu sudah suksese. Anda lihat saja beliau datang sebagai Anggota Parlemen sekaligus Gubernur DKI Moresby. Demikian pula dengan Moana Kalosil, yang sudah lama menjalin hubungan dan mendukung Papua Merdeka dan bekerjasama aktiv dengan WPPRO (West Papua Peoples’ Representative Office) di Port Vila, Republik Vanuatu. Tuan Rumahnya anggota parlemen Inggris tetapi yang mendirikan lembaga itu keempat parlementarian dimaksud. Selanjutnya Anda bayangkan apa saja dapat terjadi sebagai hasilnya.

    SPMNews: Di dalam negeri terlihat tanggapan yang bertolak-belakang antara tanggapan NKRI dengan kaum Papindo (Papua-Indonesia), salah satunya Yance Kayame. Yance Kayame menyatakan ini masalah serius, tetapi NKRI memandang remeh.

    TRPB: Ini kesalahpahaman kedua, yang tidak saya maksudkan untuk disebut, tetapi tidak terlalu pokok, maka saya sebutkan yaitu bahwa NKRI TIDAK TAHU, atau tidak mau tau, atau tidak pandai memahami orang Papua. Ada perbedaan cara pandang tentang dampak IPGWP terhadap kedudukan NKRI di Papua Barat antara kaum pendukung NKRI yang berasal dari ras Melanesia di Papua Barat, Yance Kayame dan teman-temannya dengan pandanagan NKRI yang mereka bela hidup-mati itu.

    Bagaimana mungkin satu pemerintahan NKRI bersuara dua? Perbedaannya ras kedua pembicara, satu dari Melanesia, satu dari Melayu. Yance Kayame sebagai orang Papua bukan sekeder menilai dan mempertimbangkan serta mencari-tahu sana-sini lalu menyimpulkan, tetapi ia tahu persis dampak dan bobot pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan orang Papua di antara segenap rakyat Papua. Beliau sendiri orang Papua, maka ia turut merasakan. Berdasar atas perasaan itu, ia sudah berhitung dan atas hitungan itu ia katakan even ini sebagai serius. Persoalan “merasakan” dan “mengetahui serta mencaritahu lalu menyimpulan” bergitu berbeda. Hasil penilainnya dan tindak lanjutnya juga berbeda. Biarkan perpedaan itu berlanjut, karena itu bukan urusan kita.

    Yang perlu diperhatikan bangsa Papua adalah “Persiapkan diri untuk menerima yang terburuk sementara  mengharapkan yang terbaik dan berupaya untuk meraih harapan yang terbaik itu sampai batas kemampuan kita dan sampai titik darah penghabisan.” Orang yang tidak memiliki tekad dan nekad itu bukan manusia Papua, tetapi manusia mati, mayat-mayat Papua yang berbunyi: mati nalurinya, mati hatinurani, mati secara psikologis dan rohani, mati secara jiwa, sementara fisiknya berbicara, tetapi hanya sebuah bunyi, bukan suara.

    Orang Papua sudah paham, karena itu saya tidak perlu memperjelas kalimat-kalimat ini, menghindari NKRI memahami maksudnya secara jelas.

    SPMNews: NKRI juga menyebutkan lembaga Friends of Indonesia yang memberikan masukan kepada Indonesia bahwa forum yang diluncurkan ini tidak berarti apa-apa. Apa komentar TRPB?

    TRPB: Sama saja Free West Papua Campaign mereka bilang tidak terdaftar itu, pasti Friends of Indonesia juga tidak terdaftar. Jadi di satu sisi NKRI melemahkan posisi kampanye Papua Merdeka karena tidak terdaftar sementara dalam pernyataan yang sama atau dari sumber yang sama menyebutkan dukungan dari lembaga mereka yang tidak terdaftar juga. Jadi, siapa yang sebenarnya tidak terlalu pandai bermain kartu dan tidak berkata benar kepada dirinya dan rakyat Indonesia? Pilih sendiri!

    SPMNews: Apakah ada catatan penting lain yang perlu ditambahkan?

    TRPB: Orang Papua seharusnya sudah tahu dari cerita orang tua, dari pengalamannya sendiri dan dari pengalaman teman-teman di Acheh dan Timor Leste serta pengalaman penjajahan di seluruh dunia, termasuk penjajahan Belanda di wilayah NKRI yang selalu diindoktrinasi dalam pelajaran sejarah NKRI itu. Yang kita perlu tanyakan terhadap pernyataan NKRI adalah: apakah Belanda atau negara manapun di dunia pernah mengakui berbagai lembaga dan organisasi perjuangan bangsa Indonesia yang pernah ada selama masa perjuangan mereka? Apakah sebuah kumpulan dan organisasi perjuangan kemerdekaan harus diakui oleh sebuah negara? Kelanjutan perntanyaannya: “Apa urusan negara itu dengan organisasi perjuangan untuk kemerdekaannya sehingga harus dicatat dan diakui?” tidak sama sekali! Selain itu kita perlu bertanya juga apakah Free West Papua Campaign sebuah LSM? atau Apakah Free West Papua Campaign sebuah kedutaan negara sehingga harus dicatat Negara Inggris? Lalu kita bertanya juga “Mengapa Friends of Indonesia yang tidak dicatat itu perlu dijadikan dasar penyangkalan kemajuan diplomasi bangsa Papua?”

    Jadi, JANGAN KITA DIMANIPULASI OLEH PENIPUAN NKRI yang didasari ketidaktahuan dan muslihat jahat. Kita sebagai sebuah bangsa haruslah berdiri di atas posisi kita masing-masing dan memandang serta menilai permainan NKRI itu sebagai sebuah lagu lama dan tidak pandai alias tolol, yang tak pernah belajar dari kelemahan dan kesalahan.

    Selain itu, catatan terakhir dan penting lainnya adalah bahwa ORANG MELAYU INDONESIA TIDAK MENGENAL KATA “MINTA MAAF! ADUH SAYA KECOLONGAN!” tidak memiliki sense of crises dan tidak bernaluri manusiawi sehingga tidak memiliki “shame”, rasa malu sebagaimana manusia normal. Kerakusannya telah membuatakkannya, kebodohannya telah ditutup mata-hatinya, tipu-daya pertama telah melahirkan ribuan tipu-daya selanjutnya. Termasuk komentar NKRI yang ditanyakan. Apakah orang PApua harapkan Indonesia katakan, “Aduh, minta maaf, kita sudah salah jadi akan berusaha meningkatkan diplomasi di Inggris?” Sama sekali tidak. Korupsi trilyunan rupiah, pembantaian kiri-kanan bertahun-tahun di tanah air,, penculikan dan pembunuhan Theys, semuanya meraka sangkal mati-matian, malahan pembunuh disebut pahlawan. Apakah kita mau mendengar NKRI jujur? Kapan?

    Oleh karena itu, mereka yang memaksa diri untuk percaya kepada bangsa seperti ini adalah manusia tidak berguna, karena sudah tahu tapi masih mau percaya.

    Apakah kaum Papindo seperti Kosay dan Kayame di DPRP mengharapkan Indonesia yang jujur dan konsekuen dengan cara menjadi Ketua Komisi ini dan itu di DPRP? Apakah mereka bersuara agar NKRI merasa bahwa bangsa Papua itu penting? Apakah mereka ada di situ untuk kepentingan bangsa Papua? Atau jangan-jangan mereka sekedar cari makan sesuap nasi untuk keluarga masing-masing?

    Kalau ternyata yang terakhir ini, maka siapapun bisa bayangkan betapa hidup kaum Papindo terancam, karena kebijakan dan pernyataan Jakarta selalu tidak sesuai dan bahkan mematikan bangsa Papua, termasuk diri mereka sendiri terancam. Perjuangan bangsa Papua sudah “Go International”, sementara kampanye Otonomisasi Papua BArat sudah ketahuan GAGAL TOTAL. Kegagalan itu tidak perlu dikampanyekan, semua orang tahu Otsus sudah gagal. Kalau begitu kaum Papindo mau ke mana? Sudah ada Jalan namana Gueteres Highway, yang menuju penderitaan dan ketelantaran di negeri Ibu Pertiwi. Itu nasib yang harus dijalani, mau tak mau.

  • Separatisme Papua Tidak Signifikan

    18 Oktober 2008 09:36:29

    Dubes: Inggris Dukung Integritas Papua dalam NKRI (Pemerintah Pusat Sebaiknya Jangan Anggap Remeh Masalah Papua)

    JAYAPURA-Jika di tanah air (Papua red) digembargemborkan bahwa kelompok kemerdekaan Papua Free west Papua campaign (FWPE) tanggal 15 Oktober lalu yang mengklaim meluncurkan International Parlementarians for West Papua di London Inggris, namun ternyata kenyataannya tidak demikian.

    Sebab yang terjadi di negerinya Pangeran Charles itu hanyalah pertemuan antara beberapa orang, tapi tidak ada gaungnya sama sekali. Demikian diungkapkan Duta Besar Republik Indonesia di London Inggris Yuri Thamrin kepada Cenderawasih Pos tadi malam via telepon selulernya.

    “Itu bukan pertemuan parlementarians internasional karena yang hadir disana hanya beberapa orang,” tukasnya.

    Dijelaskan, kegiatan tanggal 15 oktober itu tepatnya jam 3 Sore bukanlah kegiatan resmi Parlemen Inggris, karena kegiatan itu tidak masuk dan tidak tercatat di dalam agenda kegiatan House of Common serta tidak tercatat dalam pengumuman di loby gedung perlemen. Sebaliknya kegiatan itu kegiatan tertutup yang hanya dihadiri oleh 3 orang anggota parlemen Inggris yang sama sekali tidak punya pengaruh di negara itu. Dan lagi, kegiatan itu dianggap tidak penting dan tidak signifikan secara politik, karena anggota parlemen Inggris jumlahnya mencapai 700 orang dan tidak menaruh perhatian terhadap kegiatan itu.

    “Jadi tidak seperti yang diberitakan dan memang tidak ada pengaruhnya di parlemen Inggris,” imbuhnya. Dua dari tiga anggota parlemen itu masing-masing bernama Andrew Smith dan L. Harrys.

    Bagi pemerintah dan rakyat Inggris kata Yuri Thamrin, peristiwa tersebut tidaklah terlalu penting karena sama sekali tidak mendapatkan perhatian publik di negara itu. Bahkan media cetak maupun elektronik di negara itu tidak memberitakan peristiwa itu karena memang dianggap tidak penting untuk diberitakan.

    Setelah kegiatan itu, ada sejumlah orang Papua yang datang dari Vanuatu, PNG dan Belanda serta beberapa negara lain di Eropa yang selama ini mendukung gerakan separatis di Papua melakukan aksi demo di luar gedung parlemen Inggris (parliament square) pada saat itu, tetapi tetap saja aksi mereka tidak mendapat perhatian publik di London, apalagi pada saat itu Kota London diguyur hujan dan sedang musim dingin. “Jadi tidak ada yang mau perhatikan aksi itu,” imbuhnya.

    Dalam aksi demonya itu kata Yuri Thamrin, mereka melakukan aksi menari dan bernyanyi, tetapi Kota London saat itu sedang diguyur hujan dan sedang musim dingin sehingga kegiatan itu tidak mendapat perhatian publik maupun anggota parlemen Inggris lainnya.

    Pihaknya menyimpulkan kegiatan itu merupakan upaya – upaya dari beberapa kalangan yang tidak bertanggungjawab, khususnya kalangan prokemerdekaan di Inggris untuk memancing dan mendorong gerakan – gerakan pro kemerdekaan di dalam negeri agar terjadi konflik atau peristiwa yang berdampak negatif bagi Indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan gerakan menujuk kemerdekaan Papua.

    Kata dia, kegiatan itu adalah upaya menyimpangkan sesuatu yang tidak penting dan tidak ditanggapi lalu dibuat besar sehingga menimbukan reaksi. “Ini pekejaan yang tidak bertangung jawab,” ujarnya.

    Yuri Thamrin berkali – kali menegaskan bahwa kegiatan itu bukanlah kegiatan resmi parlemen Inggris, karena seperti yang kerap dikemukakan oleh pemerintah Inggris bahwa parlemen, pemerintah dan rakyat Inggris tidak pernah mendukung Papua merdeka ” Sebagai duta besar saya berhubungan dengan tokoh- tokoh, anggota perlemen dan pemerintah serta rakyat Inggeis, mereka semua tidak pernah mendukung kemerdekaan Papua, mereka percaya dengan demokrasi yang solid di Indonesia,” katanya.

    Kata dia, orang Inggris melihat demokrasi di Indonesia sangat baik dan sedang berkembang. Mereka percaya bahwa penyelesaian Papua dilaksanakan secara demokratis melalui Otonomi Khusus (Otsus). “Jadi tidak ada dukungan pemerintah Ingeris untuk Papua merdeka,”tukasnya bernada serius.

    Untuk itu, ia menghimbau masyarakat Indonesia khususnya di Papua agar tidak terpancing dengan upaya distorsi atas kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok itu yang sama sekali tidak ada artinya secara politik.

    Hal senada juga diungkapkan Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah

    Dikatakan, pertemuan tersebut dihadiri oleh 2 anggota Parlemen Inggris, 1 anggota Parlemen Papua Neu Guinea (PNG), 1 anggota Parlemen Vanuatu, dan selebihnya, sekitar 30 orang adalah simpatisan kelompok separatis Papua.

    Dikatakan, bahwa dengan komposisi kehadiran tersebut, maka pemerintah menilai bahwa pertemuan tersebut tidak signifikan.

    “Walaupun ada upaya-upaya pihak tertentu untuk mengesankan peristiwa tersebut sebagai signifikan, namun pada kenyataannya dari sisi peserta maupun anggota parlemen Inggris yang menghadirinya sangat kecil,” ujarnya di Jakarta kemarin (17/10).

    Faiz mengatakan bahwa pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh 2 orang anggota parlemen Inggris, padahal keseluruhan jumlah anggota parlemen Inggris terdiri atas House of Lords sejumlah 746 orang dan House of Common sejumlah 646 orang. “Bahkan peristiwa ini dilakukan dalam forum tertutup,” lanjutnya.

    Diplomat berkacamata ini menjelaskan bahwa masalah kemerdekaan Papua justru bukanlah suatu hal yang menjadi isu. “Dari sisi keikutsertaan peserta dan parlemen yang hadir menunjukkan bahwa masalah kemerdekaan Papua telah mengalami downgrade,” ungkapnya.

    Dirinya menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tidak terpancing oleh hal-hal tidak signifikan dan masih menggunakan pola pikir lama untuk melihat masalah dalam negeri.
    “Khususnya pandangan yang menggunakan referensi Indonesia di masa 1990-an, sedangkan dewasa ini banyak terjadi perubahan dan perbaikan di Papua terutama sejak diterapkannya otonomi Papua sehingga isu-isu pro-kemerdekaan ini tidak relevan,” imbuh Faiz.

    Friends of Indonesia di Inggris menurut Jubir, juga telah memberikan masukan agar Indonesia tidak merisaukan aktifitas pro-kemerdekaan Papua karena selama ini digerakkan oleh orang-orang yang sama dan selalu apriori, tidak mau mengakui kemajuan yang terjadi di Papua.

    Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishak menjelaskan bahwa kondisi Papua tak sekondusif Aceh. Dari data yang dimiliki polisi, Benny Wenda adalah narapidana kasus perusakan Polsek Abepura yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura pada tahun 2000.

    Polisi telah meminta interpol untuk ikut menangkap Wenda. “IPWP pun tidak ada dan tidak signifikan di Inggris,” ujarnya di Mabes Polri kemarin (17/10).
    Markas besar korps baju coklat itu menyebut jika di Papua masih terindikasi adanya upaya makar terkait pengerahan massa mendukung pembentukan kaukus International Parliament for West Papua (IPWP) di Jayapura Kamis lalu (16/10).

    Sementara itu, terkait aksi unjuk rasa untuk mendukung peluncuran caucus International Parlement for West Papua yang melibatkan ribuan massa di Expo Waena Jayapura Kamis lalu, sebaiknya disikapi serius oleh pemerintah pusat di Jakarta. Sebab dengan begitu bukan mustahil akan berdampak serius pada ancaman disintegrasi bangsa. Hal itu dikemukakan Yance Kayame, SH Ketua Komisi A DPR Papua yang membidangi politik, luar negeri, pemerintahan dan Otsus kepada Cenderawsih Pos kemarin dikantornya.

    “Kalau saya lihat sebaiknya pemerintah memang menseriusi masalah ini dan jangan anggap remeh,” tukasnya serius.

    Ia mengatakan, soal tuntutan massa yang melakukan aksi demo itu dewan akan tetap kembali pada aturan main internasional, sehingga DPRP sendiri tak bisa menentukan sikap dalam masalah itu sebab urusan politik luar negeri adalah urusan pemerintah pusat. “Yang harus diingat disini adalah siapa PBB, jawabnya Indonesia juga adalah anggota PBB bahkan Indonesia juga masuk dalam anggota Dewan Keamanan PBB,” katanya.

    Karena itu, ia yakin bahwa aspirasi itu akan ditampung dan ditindaklanjuti melalui mekanisme pembahasan masalah internasional. “Pemerintah pusat sudah tentu akan menyikapi dan menyampaikan msalah ini ke PBB apabila dianggap perlu karena Indonesia juga adalah anggota PBB dan anggota dewan keamanan PBB,” katanya.

    Selanjutnya Yance Kayame berterima kasih kepada aparat yang sudah mengantar aksi demo sehingga berlangsung dengan damai. “Antisipasi yang dilakukan aparat sudah sudah cukup bagus,” ujarnya. Ia juga berterima kasih kepada kelompok masyarakat yang sudah menyampaikan aspirasinya secara tertib.

    Lebih jauh, politisi gaek ini meminta pemerintah pusat dalam rangka meredam masalah – masalah Papua agar sebaiknya memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah pertama, pemerintah pusat jangan selalu menganggap remeh masalah Papua. “Pemerintah jangan selalu anggap remeh masalah Papua, karena yang terjadi selama ini selalu begitu,” katanya.

    Ia lalu mencontohkan sejumlah persoalan yang terkesan diselesaikan asal – asalan seperti pemaksaan pemekaran Provinsi Papua Barat atau mencangkok Perpu Nomor 1 tahun 2008 yang justru kontra dengan Otsus bahkan lagi diangkat menjadi acuan legalitas Provinsi Papua Barat.

    Kedua, ia juga meminta pemerintah agar Otsus di dorong dan dilaksanakan secara murni dan konsekwen dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Ketiga, Yance Kayame

    menilai para diplomat Indonesia di luar negeri dalam menyikapi masalah Papua di luar negeri tidak kawakan (tidak professional) dan akibatnya NGO, Parlement ataupun sejumlah pemerintah di beberapa negara dan pihak – pihak lain luar negeri seringkali mengembangkan masalah Papua secara negatif.

    “Itu karena diplomat kita di luar negeri tidak kawakan, akibatnya NGO ataupun pihak – pihak lain di luar negeri seenaknya mempolitisir isu Papua di luar negeri hingga berkembang,” kilahnya serius.

    Karena itu kata Yance Kayame, pemerintah perlu mereposisi para diplomat di luar negeri termasuk sejumlah menteri terkait diantaranya Menteru Luar Negeri, Menkopolhukam, Mendagri dan Kepala BIN. “Saya lihat selama ini mereka terkesan jalan sendiri – sendiri dan minim koordinasi. Jadi harus ada konsep serta kepastian operasional yang terukur bagi para diplomat di luar negeri untuk menjaga integritas NKRI,” ujarnya.

    Untuk itu menurut dia sejumlah departemen terkait ini harus menyusun konsep operasioanal diplomat dan inteligen yang mampu memberikan data dan informasi kepada pemerintah agar dapat mengantisipasi dan mencegah hal – hal atau kegiatan – kegiatan yang mengancam disintegrasi bangsa yang cukup marak di luar negeri dengan baik, tepat dan benar.(ta/jpnn)

  • West Papua – Tragedi Terlupakan di Pasifik – 17th October 2008

    Oleh WPNews
    Sep 30, 2008, 20:02

    Anda diundang untuk sebuah even petang hari in Reading pada Jumat 17th October 2008 untuk merayakan bersama masyarakat Papua BArat, budaya mereka dan pelanggaran serta penindasan yang tak terbayangkan.

    Orang Papua telah menderita selama bertahun-tahun lamamnya karena pelanggaran HAM, diskriminasi dan pelecehan di tangan Indonesia. Even ini merupakan kesempatan untuk mendengarkan langsung cerita mereka dari Caroline Lucas MEP, pemimpin Partai Hiyau dan dari orang Papua sendiri, termasuk Sekjen DeMMAK, ditambah dengan penari dari Papua BArat, teater dan cerita-cerita.

    Yours sincerely,

    Dr. Sean V. O’Leary,

    On behalf of:
    Reading International Solidarity Centre and
    Free West Papua Campaign
    Tel: 01189 874298
    s.v.oleary@reading.ac.uk

  • West Papua

    Oleh WPNews
    Sep 30, 2008, 20:02

    Anda diundang untuk sebuah even petang hari in Reading pada Jumat 17th October 2008 untuk merayakan bersama masyarakat Papua BArat, budaya mereka dan pelanggaran serta penindasan yang tak terbayangkan.

    Orang Papua telah menderita selama bertahun-tahun lamamnya karena pelanggaran HAM, diskriminasi dan pelecehan di tangan Indonesia. Even ini merupakan kesempatan untuk mendengarkan langsung cerita mereka dari Caroline Lucas MEP, pemimpin Partai Hiyau dan dari orang Papua sendiri, termasuk Sekjen DeMMAK, ditambah dengan penari dari Papua BArat, teater dan cerita-cerita.

    Yours sincerely,

    Dr. Sean V. O’Leary,

    On behalf of:
    Reading International Solidarity Centre and
    Free West Papua Campaign
    Tel: 01189 874298
    s.v.oleary@reading.ac.uk

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?