Pastor Alain Nafuki, Ketua panitia pelaksana mengatakan, kegiatan akan ditunda ke bulan Oktober 2014, yakni dimulai dari tanggal 1 sampai 4 Oktober 2014 mendatang di Vanutua.
“Keputusan tersebut dibuat setelah panitia mengkaji kembali kesiapan dari berbagai kelompok perlawanan yang akan diundang guna menghadiri simposium dimaksud,” kata Pastor Alain.
Salah satu tokoh Papua Merdeka di Vanuatu, Andy Ayamiseba ketika dikonfirmasi suarapapua.com, membenarkan informasi tersebut.
Port Moresby, 2/7 (Jubi) – Pemerintah Vanuatu akan terus mendorong isu Papua Barat di level PBB.
Usai pertemuan para Pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) di Port Moresby tanggal 26 Juni lalu, Perdana Menteri Vanuatu Joe Natuman kembali menegaskan komitmen Vanuatu untuk mendorong isu pembebasan Papua Barat. Natuman mengatakan pemerintah Vanuatu masih terus melihat peluang untuk mendorong isu Papua Barat di tingkat PBB.
Natuman, kepada wartawan mengatakan pemerintah Vanuatu sedang mempertimbangkan untuk meminta pendapat Mahkamah Internasional. “Kami mempertimbangkan untuk mencari pendapat tentang legalitas proses yang dilakukan PBB saat menyerahkan bekas koloni Belanda ini ke Indonesia.” kata Natuman di Port Villa, Vanuatu (30/6).
Sebelumnya, Perdana Menteri Vanuatu ini menyampaikan hal yang sama di Port Moresby.
“Proses ini (di level PBB) masih terbuka bagi kita. Sekarang kita harus berurusan dengan masalah seperti itu. Kami berbicara dengan Indonesia, melakukan dialog dengan Indonesia dan dialog dengan semua orang Melanesia tentang berbagai kecenderungan. Terutama kecenderungan politik di provinsi Papua dan Papua Barat.”
ujar Natuman di Port Moresby, 27 Juni lalu.
Natuman juga menghargai keputusan MSG untuk mencari pendekatan yang lebih proaktif bersama Indonesia agar dapat membantu mengatasi masalah pembangunan di Tanah Papua. Natuman sendiri, dalam masa Perdana Menteri Moana Kalosil, ditunjuk untuk mewakili Vanuatu dalam misi menteri MSG ke Papua Barat. Namun Natuman akhirnya tidak terlibat karena Vanuatu memutuskan menarik diri dari misi tersebut.
Sejak menjadi negara merdeka, Vanuatu telah menunjukkan komitmennya terhadap isu Papua Barat. Beberapa Perdana menteri Vanuatu sebelumnya, semisal Walter Lini dan Barack Sope adalah dua Perdana Menteri Vanuatu yang aktif membawa isu Papua Barat di level PBB sebelum dilanjutkan oleh Moana Kalosil dan Natuman sendiri. Moana, bahkan sempat menuding negara-negara MSG telah mengingkari rakyat Papua sebagai entitas Melanesia.
“Vanuatu adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak takut untuk berdiri dan berbicara untuk hak kebebasan bagi rakyat Papua Barat baik dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atau pertemuan lain di mana saja di dunia,”
kata Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Karkas Kalosil, usai menyampaikan pidatonya di hadapan sidang dewan HAM PBB di Genewa bulan Maret lalu. (Jubi/Victor Mambor)
Odo Tevi (tengah) saat masih menjabat sebagai Gubernur Bangk Vanuatu (IST)
Jayapura, 4/4 (Jubi) – Duta Besar Vanuatu untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang baru dilantik, Odo Tevi, meyakinkan pemerintah dan rakyat Vanuatu, ia akan memperjuangkan isu Papua Barat di PBB, selain isu kepulauan Matius dan Hunter serta perubahan iklim.
Dilansir dari dailyvanuatu.com, dihadapan Kepala Negara, Iolu Abil, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, Edward Natapei, Pejabat Luar Negeri dan Pejabat Senior Vanuatu, Tevi berjanji akan menjaga momentum yang telah dbangun oleh pemerintah Vanuatu saat ini dengan PBB di New York.
“Saya akan bekerja sama Perdana Menteri Moana Karkas dan menjaga momentum dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas apa yang dicita-citakan Vanuatu, seperti isu Papua Barat , masalah HAM dan Perubahan Iklim, terutama dalam berkaitan dengan efek yang telah di negara-negara yang lebih kecil di Kepulauan Pasifik,”
kata Duta Besar Vanuatu yang baru diangkat tak lama setelah menerima surat dari Kepala Negara dan bersumpah setia yang dihadapan Jaksa Agung Vanuatu, Ismail Kalsakau, Kamis (3/4)
“Saya bersumpah bahwa PBB akan mendengar suara Vanuatu berulang-ulang pada masalah ini (Papua, HAM dan perubahan iklim-red).”
tambah Tevi yang menggantikan Donald Kalpokas.
Presiden Abbil, Kepala Negara Vanuatu dalam pernyataan singkatnya mengatakan ia memiliki setiap keyakinan dan kepercayaan pada Duta Besar Tevi. Menurutnya, Tevi memiliki kualitas , nilai dan kepercayaan untuk pekerjaan yang akan ia lakukan di New York .
“Citra negara ini akan tercermin dalam pekerjaan Anda. Kita tidak ingin Anda terlibat dalam penjualan paspor dan isu-isu terkait.”
Presiden Abbil memperingatkan Tevi. (Jubi/Victor Mambor)
Jayapura, 8/3 (Jubi) – Salah satu tahanan politik (tapol) Papua, Filep Karma dan mantan tapol Papua, Yusak Pakage, mengucapkan terima kasih kepada Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcasse Kalosil atas pidatonya yang luar biasa tentang situasi HAM di Papua dalam Sidang HAM PBB yang baru saja berlangsung, 5 Maret 2014 lalu.
“Puji Tuhan untuk apa yang sudah dilakukan Moana bagi rakyat Papua,”
kata Filep saat ditemui tabloidjubi.com di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (7/3) siang.
Menurut Filep, bagaimanapun usaha dilakukan menutupi kebenaran, tetap saja kebenaran tak dapat dikalahkan.
“Sudah saatnya dunia tahu tentang penderitaan bangsa dan rakyat Papua. Saya berharap negara-negara demokratis di dunia harus segera merespons apa yang disampaikan PM Vanuatu itu,”
katanya.
Masih terkait Sidang HAM PBB, Yusak Pakage, salah satu mantan tapol Papua yang mana namanya disebut bersama-sama dengan Filep Karma dalam pidato HAM tersebut mengatakan, dirinya sangat berterima kasih pada apa yang telah dilakukan Moana.
“Terima kasih yang sangat dalam untuk Moana, atas nama seluruh orang Papua yang menjadi korban dan telah menderita di atas tanah Papua. Mereka yang menderita di dalam penjara, di tengah rimba, di tempat pengungsian ataupun tempat pelarian. Tuhan telah membuka mata hatinya atas penderitaan rakyat Papua,”
jelas Yusak kepada tabloidjubi.com di Padangbulan, Kota Jayapura, Sabtu (8/3) sore.
Menurut Yusak, PM Vanuatu adalah malaikat Tuhan yang memperhatikan dan mendengar jeritan hati nurani orang Papua selama ini.
“Sudah cukup banyak orang Papua yang dibunuh, disiksa , dipenjara, dikejar-kejar, diteror. Selama itu pula, negara-negara maju bersikap seolah-olah tak tahu pada apa yang dialami bangsa Papua. Padahal, Papua adalah dapur negara-negara maju ini, terutama Amerika dengan Freeport-nya dan Inggris dengan British Protelium-nya. Mereka seolah-olah tidak melihat penderitaan rakyat Papua karena mereka memang hanya ingin menguras kekayaan alam Papua,”
Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST)
Jayapura, 5/3 (Jubi) – Selasa, 4 Maret 2014, pukul 12.15 waktu Jenewa, Perdana Mentri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25. Dihadapan para pemimpin negara-negara anggota PBB ini, Moana menyampaikan keprihatinan tentang situasi yang dialami rakyat Melanesia di Papua. Moana juga mempertanyakan komitmen dalam sidang HAM PBB yang dari tahun ke tahun seakan buta dan tuli terhadap masalah Orang Asli Papua. Di akhir pidatonya, Moana menegaskan komitmen pemerintahannya untuk terus memperjuangkan hak-hak dasar bangsa Papua di atas tanahnya sendiri.
Pidato PM Vanuatu ini bisa disaksikan di laman UN Web TV.
Berikut transkrip pidato PM Vanuatu yang diterjemahkan oleh Jubi. Transkrip berbahasa Inggris bisa diakses di laman West Papua Daily
———-
REPUBLIK VANUATU
Pidato oleh
YANG MULIA MOANA CARCASSES KATOKAI KALOSIL PERDANA MENTERI REPUBLIK VANUATU
DI HADAPAN SIDANG TINGKAT TINGGI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA YANG KEDUA PULUH LIMA
JENEWA, SWISS
4 MARET 2014
Tuan Ketua Sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB Tuan Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon Delegasi-delegasi yang terhormat Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Republik Vanuatu amat bersyukur untuk dapat menyampaikan pidato pada pertemuan hari ini.
Saya datang kemari untuk bergabung dengan para pemimpin dunia guna membahas dan mengangkat keprihatinan mengenai tantangan hak asasi manusia yang berbeda-beda yang melanda jutaan warganegara tak berdosa di seluruh penjuru dunia, mulai dari negara-negara kepulauan dan di dalam negara-negara di semua benua.
Tuan Ketua, fokus dari pidato saya di sini dan hari ini terdiri dari dua hal penting tapi menyangkut masalah-masalah yang amat penting bagi seluruh penduduk negara saya. Pertama, saya hendak memusatkan perhatian atas hak masyarakat adat untuk memraktikan ritual adat dan spiritual mereka di dua pulau kami di Provinsi Tafea, Selatan Vanuatu. Dan kedua, saya akan memaparkan kepada sidang sebagian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang telah mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat demokratis di seluruh dunia.
Tuan Ketua, perjuangan negara saya untuk meraih kemerdekaan politis di tahun 1980 ditandai dengan berbagai aksi protes sosial dan munculnya berbagai gerakan politis di negara kami. Kami bangsa Melanesia diperintah oleh Inggris dan Perancis di tanah kami sendiri. Sebelum tahun 1980 kami tidak memiliki status negara di negeri kami dan kami juga bukan warganegara Perancis atau Inggris. Selama 3 empat dasawarsa, kami dibenturkan dengan aturan asing. Dengan demikian kami harus berjuang untuk membentuk identitas sebagai bangsa merdeka yang hidup di negeri kami secara bermartabat. Kemerdekaan adalah tujuan kami. Ini adalah dorongan kuat yang menggerakan para pemimpin kami untuk meraih sesuatu yang tidak lebih kurang dari kemerdekaan politis. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena secara keuangan dan ekonomi kami sudah siap. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena tuan-tuan penjajah membunuh bangsa kami. Tidak. Kami berjuang untuk kemerdekaan politis karena Tuhan kami telah memberikan hak untuk bebas. Kebebasan adalah hak yang tidak tergadaikan. Itu adalah hak asasi manusia. Dan Vanuatu dinyatakan merdeka pada 30 Juli 1980.
Tiga puluh tiga tahun sesudah kami merdeka, saya senang untuk menyatakan bahwa Perancis telah mulai menunjukkan niat baiknya kepada masyarakat adat kami yang pergi mengunjungi dua dari pulau-pulau yang amat sakral, Umaepnune (Matthew) dan Leka (Hunter) di bagian Selatan negeri kami guna memenuhi kewajiban adat dan spiritual mereka. Ritual dan upacara-upacara adat terus dilangsungkan di pulau-pulau lain di Provinsi Tafea setiap tahunnya meski sebelumnya ada pelarangan yang diterapkan oleh Pemerintah Perancis terhadap masyarakat adat kami untuk bepergian ke Pulau-pulau suci Umaepnune dan Leka guna memenuhi kewajiban adat dan kultural mereka.
Tuan Ketua, sekarang saya ingin membahas tantangan-tantangan hak asasi manusia yang sudah bersifat kronis dan telah berdampak serius bagi masyarakat adat Melanesia di Tanah Papua sejak 1969. Dan saya berbuat ini dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati.
Negara saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969.
Tuan Ketua, Anda memimpin sidang dalam organ PBB yang paling mulia: Dewan HAM PBB. Tetapi apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Tanah Papua ditindas oleh campur tangan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang bersifat kontroversial itu, Bangsa Melanesia di Papua telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, perampasan, perkosaan, penyerbuan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan masyarakat sipil akibat operasi intelijen. Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan tersebut tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan menurut UU no. 26/2000 (KOMNAS HAM 2001, 2004).
Dalam suasana ketakutan dan penindasan protes politik, dan pengabaian masyarakat internasional secara terang-terangan termasuk PBB dan negara-negara berkuasa sejak 1969, senyatanya ras yang terlupakan ini masih berani mendambakan persamaan dan keadilan. Namun demikian negara-negara demokratis tetap bungkam seribu bahasa.
Tuan Ketua, sebagai warga Melanesia, saya datang kemari untuk menyerukan adanya tindakan segera. Ketidakadilan di Tanah Papua adalah ancaman atas prinsip keadilan dimanapun di dunia. Saya tidak tidur ketika saya tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak direkam oleh aparat keamanan saat rebah di pinggir kolam bersimbah darah dengan usus memburai dari perutnya. Saya prihatin ketika di tahun 2010 Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat oleh TNI dan secara keji disiksa. Sungguh-sungguh memprihatikan saat saya melihat tayangan video saat sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh para prajurit TNI tak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya gelisah karena antara Maret 2011 dan Oktober 2013, 25 orang Papua telah dibunuh dan tidak ada tindakan untuk membawa pelaku ke meja hijau. Sungguh memalukan bagi saya, warga Melanesia, saat mengetahui bahwa sekitar 10% dari populasi Papua telah dibunuh oleh tentara Indonesia sejak 1963. Meski 15 tahun proses reformasi Indonesia telah berlangsung, saya juga cemas bahwa bangsa Melanesia akan segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri.
Tuan Ketua, dalam dunia yang kini begitu erat terhubung dengan teknologi baru, seharusnya tidak ada lagi dalih mengenai kurangnya informasi mengenai situasi hak asasi manusia yang menimpa orang Papua selama lebih dari 45 tahun. Carilah internet dan riset kalangan akademisi dan LSM-LSM internasional, dan Anda akan menemukan fakta-fakta dasar yang menggambarkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua secara brutal. Tetapi mengapa kita tidak membahasnya dalam Sidang ini? Mengapa kita memalingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita terhadap suara-suara sepi orang Papua, yang banyak di antaranya telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan. Banyak yang menjadi martir yang telah dianiaya dan dibunuh secara keji karena mereka menyuarakan suara-suara yang tak terucapkan dari jutaan manusia yang kini hidup dalam ketakutan di lembah-lembah dan puncak-puncak gunung di Papua. Mereka menuntut pengakuan dan persamaan hak serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia mereka dan hak untuk hidup secara damai. Akankah sidang Agustus nanti mendengarkan rintihan mereka dan ambil langkah untuk melindungi hak-hak asasi mereka dan mengakhiri segala kesalahan masa lalu itu?
Saya telah mendengarkan dengan seksama suara seorang mantan PNS Tuan Filep Karma dan mahasiswa Yusak Pakage yang masing-masing divonis penjara 15 dan 10 tahun. Mereka berseru dari balik terali besi dan menyerukan agar negara-negara di Pasifik bersuara menentang ketidakadilan yang menimpa mereka. Kami ini anak-anak pejuang yang gigih berjuang selama Perang Dunia II di Pasifik dan yang telah berhasil membawa damai dan keamanan di belahan bumi Pasifik. Kini saatnya kami berkewajiban untuk membawa damai bagi kampung-kampung dan masyarakat-masyarakat adat Papua dengan memperjuangkan hak-hak dasar mereka yang bagi sebagian terbesar dari kita di sini telah kita terima begitu saja secara cuma-cuma.
Saya sungguh merasa bersemangat karena perkara ini sekarang telah sampai di meja Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa dan kami berharap ada tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua. Selanjutnya saya menyerukan kepada pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya ingin menyuarakan kembali kata-kata Martin Luther King Jr., yang mengatakan dalam pidatonya di tahun 1963 bahwa,
“tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja.”
Kita negara-negara demokratis tidak boleh mengabaikan erang kesakitan bangsa Papua.
Tuan Ketua, keprihatinan yang kami angkat ini lebih daripada sekedar perkara menjaga 70% kekayaan minyak dan gas di Papua. Ini adalah perkara status politis. Keprihatinan kami di sini lebih daripada sekedar perkara ekonomis dimana 80% kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua. Ini adalah perkara penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Perhatian kami tidak menyangkut berapa banyak mereka disuap dengan sendok emas, melainkan seberapa jauh mereka dihargai hak-haknya sebagai sesama warganegara. Dan sejauh mana masyarakat sipil diberi hak untuk menyampaikan pendapat mengenai mutu pemerintahan di tanah mereka sendiri karena inilah yang menjadi ukuran suatu demokrasi yang hidup dan berkembang.
Tuan Ketua, akses harus diberikan kepada ahli-ahli hak asasi manusia PBB, wartawan internasional and LSM internasional untuk mengunjungi Papua.
Dari berbagai sumber sejarah telah nyatalah bahwa bangsa Melanesia di Papua adalah kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera akan kekayaan sumber alam yang dimiliki Papua. Tuan Ketua, jika Utusan Sekjen PBB waktu itu, Tuan Ortiz Sanz telah mengibaratkan Papua sebagai kanker “dalam tubuh PBB dan tugas beliau adalah menghilangkannya,” maka dari apa yang telah kita saksikan ini amat jelaslah sekarang bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan tetapi sekedar ditutup-tutupi. Suatu hari, kanker ini akan didiagnosa. Kita tidak boleh takut jika PBB telah membuat kesalahan di masa lalu. Kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya.
Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya berkeyakinan bahwa tantangan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali ke dalam agenda PBB. Saya menyerukan agar Dewan HAM PBB mempertimbangkan untuk mensahkan resolusi mengenai keadaan hak asasi manusia di Papua. Mandat sebaiknya mencakup penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan memberikan saran bagi penyelesaian politik secara damai di Papua. Hal sedemikian akan membantu upaya Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog untuk Papua.
Terimakasih sekali lagi atas kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya dalam forum ini.
Long God Yumi Stanap. Dalam Tuhan kami berpijak. Terimakasih.
Ilustrasi, Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil saat berpidato di Sidang PBB. Foto: pacific.scoop.co.nz
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil dipastikan berpidato soal kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Papua pada Sidang Tahunan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UN Human Rights Council, di Jenewa, Swiss, Selasa, 4 Maret 2014 mendatang.
Dalam jadwal resmi yang diterima majalahselangkah.com malam ini, Sabtu, (01/03/14), Moana Carcasses Kalosil akan berpidato dalam High Level Segmen selama kurang lebih 10 menit, 12.00:12.10 waktu setempat.
Sidang Tahunan Dewan HAM PBB akan dibuka secara resmi, Senin (03/03/14) oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr. Ban Ki-Moon; President of Human Rights Council, Mr. Baudelaire Ndong Ella; President of General Assembly, Mr. John W. Ashe; High Commissioner, Ms. Navi Pillay; Host Country, Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation. Sidang berakhir 6 Maret 2014.
Dalam High Level Segmen tanggal 4 Maret 2014 itu, selain Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil yang akan bicara soal kondisi HAM Papua, 19 negara lain akan menyampaikan pandangan mereka tentang kondisi HAM di seluruh dunia.
Negara-negara yang akan berpidato pada High Level Segmen4 Maret 2014 adalah Equatorial Guinea, Greece, Estonia, Malaysia, South Africa, El Salvador, Saudi Arabia, Czech Republic, Venezuela (Bolivarian Republic of), Dominican Republic, Angola, International Committee of the Red Cross, Romania, Monaco, Hungary, United Arab Emirates, Denmark, Serbia, Community of Portuguese Speaking Countries.
Koordinator Juru Runding Bangsa Papua Barat, Octovianus Mote dalam wawancara elektronik bersama majalahselangkah.com malam ini mengatakan, PM Vanuatu akan melanjutkan apa yang ia sudah bicarakan dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu.
“Ini pertama kali seorang kepala negara membawa masalah pelanggaran HAM Papua melalui mekanisme tertinggi dalam PBB. Selama ini yang terjadi adalah hanya memberi kesaksian. Sedangkan yang terjadi sekarang ini masalah Papua dimasukkan dalam agenda resmi PBB,”
kata Mote dari Amerika Serikat.
“Ini langkah awal untuk mendorang sebuah resolusi,”
kata mantan Wartawan Kompas itu.
Octovianus Mote adalah satu di antara lima pejuang Papua Merdeka di luar negeri yang dipilih sebagai juru runding penyelesaian masalah Papua oleh seluruh dewan adat se-tanah Papua dan seluruh komponen perjuangan lainnya dalam sidang Papua Tanah Damai yang dibuka Menteri Koordinator Polhukham Juli 2011silam. Empat juru runding lainnya adalah Dr. John Otto Onawame di Vanuatu, Rex Rumakiek di Australia, Benny Wenda di Inggris, dan Leoni Tanggahma di Belanda.
Ketika ditanya soal keikutsertaan Indonesia pada Sidang Tahunan Dewan HAM PBB ini, kata Mote,
“Indonesia anggota UN Human Rights Council jadi pasti hadir dan pasti akan memberikan komentar sesudah PM Vanuatu bicara. Dalam jadwal, Indonesia belum mengajukan diri sebagai pembicara utama. Tetapi dalam mekanisme, sesudah pidato masing-masing negara, Indonesia punya hak bicara 1 sampai 2 menit untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Waktu itu Indonesia akan pakai haknya.”
Kata Mote, Moana Carcasses Kalosil akan mengungkapkan apa yang terjadi di Papua.
“Terpenting juga PM Moana kemungkinan mengungkapkan soal kesalahan yang terjadi pada Pepera Tahun 1969, Act of Free Choice pada rakyat Papua Barat.”
Dikutip voaindonesia.com, edisi, Sabtu, 01 Maret 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Kamis, 28 Februari 2014 lalu di Washington DC telah mengeluarkan Laporan Hak Asasi Manusia. Dalam laporan itu disoroti berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, di antaranya penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, masih terjadinya aksi kekerasan di Papua, serta kegagalan melindungi hak kelompok minoritas dan agama.
Diketahui, Sidang Tahun PBB di Geneva digelar tiap tahun tiga kali Maret, Juli dan September. (Yermias Degei/MS)
Jayapura, 11/1 (Jubi) – Sekretariat Melanesia Spearhead Group (MSG) menyatakan keberatannya untuk terlibat dalam undangan Pemerintah Indonesia untuk mengunjungi Indonesia dan Papua, karena menganggap kunjungan ke Indonesia, termasuk ke Papua sudah melenceng dari resolusi para pemimpin negara-negara MSG di Noumea, Kaledonia Baru, bulan Juni tahun lalu.
Sumber Jubi di sekretariat MSG, mengatakan kunjungan negara-negara yang tergabung dalam MSG ke Indonesia bersifat Multilateral, bukan kunjungan MSG seperti keputusan dalam resolusi pemimpin MSG di Noumea, tahun lalu.
“Kunjungan ke Indonesia untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan pembangunan. Ini lebih bersifat kunjungan multilateral, bukan kunjungan dari sebuah entitas bernama Melanesia Spearhead Group. Tema kunjungan ternyata diluar resolusi yang diambil oleh pemimpin MSG di Noumea, tahun lalu.”
kata sumber ini, Sabtu (11/01).
Karena maksud dan tujuan yang berbeda dari resolusi MSG ini, lanjut sumber ini, Sekretariat MSG telah menyatakan keberatan mereka. Sekretariat MSG juga tidak menghadiri pertemuan teknis tentang kunjungan ini, yang dihadiri oleh para Mentri Luar negeri dari Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Fiji. Sedangkan Mentri Luar Negeri Vanuatu juga tidak menghadiri pertemuan ini. Vanuatu hanya mengirimkan Hon Joe Natuman (Vanuatu special envoy for decolonisation) untuk hadir.
Berbeda dengan informasi sebelumnya yang diterima dari Mentri Luar Negeri vanuatu, Joe Natuman mengatakan bahwa para Mentri Luar Negeri dari Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Fiji ini juga akan mengunjungi provinsi Papua. Delegasi ketiga negara ini dijadwalkan bertemu dengan Gubernur Papua dan DPRP pada tanggal 13 Januari di Jayapura. Namun Natuman menambahkan, bahwa kunjungan ke Papua ini hanya untuk bertemu dengan pemerintah provinsi dan DPRP saja, tidak dengan elemen masyarakat sipil seperti pihak Gereja, Masyarakat Adat atau Tahanan Politik.
“Vanuatu masih menunggu kabar terakhir mengenai agenda di Papua dari ketua MSG, Victor Tutugoro. Jika pertemuan hanya dilakukan dengan orang-orang pemerintah saja, besar kemungkinan Vanuatu akan menolak untuk terlibat.”
kata Natuman, saat dihubungi Jubi (11/1).
Kepala Misi Papua Barat di Vanuatu, Andy Ayamiseba, membenarkan kunjungan para Mentri Luar negeri dari tiga negara Melanesia ini. Menurut Andy Ayamiseba, ia telah bertemu dengan Pemerintah vanuatu dan Sekretariat MSG, Jumat (10/1) di Port Villa, vanuatu.
“sekretariat MSG menolak kunjungan ini karena tidak sesuai dengan jiwa resolusi dari MSG leaders meeting. Mereka tidak mengikuti MSG technical staff. Tiga Menlu yang lain datang dengan team departemen luar negeri mereka, terkecuali Menlu Vanuatu. Vanuatu menolak hadir dengan alasan yang sama.”