Tag: dukungan Solomon Islands

  • Ketua MSG Sogavare Desak PBB Turun Tangan Soal Papua

    Sabtu, 14 Mei 2016 | 09:47 WIB

    TEMPO.CO, Port Vila- Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) Mannasseh Sogavare mengatakan MSG mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk turun tangan terhadap masalah di Papua Barat (Papua).

    Sogavare yang saat ini menjabat Perdana Menteri Kepulauan Solomon menjelaskan, sejak Papua mendapatkan status pengamat di MSG tahun lalu, situasi Papua di wilayah Indonesia menjadi lebih tegang dan masyarakat adat Papua dalam situasi “diambang kepunahan.”

    Selain meminta PBB segera melakukan intervensi seperti dilansir radionz.co.nz, 13 Mei 2016, Sogavare juga telah mendeklarasikan dukungan negaranya kepada Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua-ULMWP) yang mengajukan diri untuk menjadi anggota penuh MSG.

    Permintaan ULMWP untuk diterima sebagai anggota penuh di MSG, menurut Sogavare, akan dibahas dalam pertemuan tingkat tinggi MSG pada Juni ini.

    Sogavare berada di Port Vila, Vanuatu saat menjelaskan tentang desakannya agar PBB turun tangan dalam kasus Papua dan agenda pembahasan status ULMPW di MSG.

    Di Port Vila, Sogavare bertemu rekannya Charlot Salwai, Perdana Menteri Vanuatu. Keduanya memberikan dukungan kepada ULMWP untuk mendapatkan keanggotaan penuh dalam pertemuan tingkat tinggi MSG Juni nanti di Port Moresby, Papua Nugini.

    Meski pertemuan tinggi MSG baru berlangsung Juni nanti, namun 3 anggota MSG dipastikan mendukung ULMWP mendapat status anggota penuh, yakni Kepuluan Solomon, Vanuatu dan Kanak Kaledonia Baru. Dua anggota lainnya, Fiji dan Papua Nugini belum memberikan sinyal yang jelas.

    Awal tahun ini, Sogavare telah menawarkan diri kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai mediator dialog antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua. Namun Jokowi menolak tawaran itu.

    MSG juga telah menerima laporan dari sejumlah lembaga hak asasi manusia tentang situasi yang dihadapi rakyat Papua. Sehingga menurut Sogavare, dalam pertemuan tingkat tinggi MSG nanti mengagendakan permintaan kepada PBB untuk melakukan aksi terhadap masalah genosida sebagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia terhadap rakyat Papua.

    RADIONNZ.CO.NZ | MARIA RITA

  • 20 Uskup Negara-negara Melanesia Turun ke Papua, Ada Apa?

    Rabu, 13 April 2016

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tanpa banyak menarik perhatian pemberitaan media mainstream Jakarta, sebanyak 20 uskup Gereja Katolik Papua Nugini dan Kepulauan Solomon mengunjungi Jayapura akhir pekan lalu. Di antara mereka yang datang, adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat dan Uskup Agung Honiara, Solomon Islands, Adrian Smith.

    Media Australia, abc.net.au, yang pertama kali  melaporkan adanya kunjungan itu, tidak menyebutkan kapan persisnya para uskup menginjakkan kaki di Papua. Namun menurut Markus Haluk, tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang turut menghadiri misa yang diadakan para uskup itu, rombongan uskup tiba di Jayapura pada hari Jumat 8 April pukul 09:00. Mereka pulang pada hari Sabtu pukul 14:00.

    “Sebanyak 20 uskup, tiga dari Solomon Island dan 17 dari Papua Nugini. Selain itu ada 2 pastor imam dan dua suster,” kata Markus Haluk lewat pesan singkat kepada satuharapan.com.

    Di antara agenda mereka adalah mengunjungi STFT Fajar Timur, RS Katolik Dian Harapan, pertemuan dengan uskup-uskup Papua dan misa bersama.

    Para aktivis setempat mengatakan kunjungan para uskup itu terkesan mendadak dan tidak diumumkan secara luas. Bis dan personel militer dilaporkan mengangkut dan mendampingi mereka selama kunjungan ke Papua.

    Frederika Korain, aktivis dan pengacara di Papua, mengatakan kunjungan para uskup itu sama sekali tak terduga.

    “Merupakan kejutan besar bagi kami, karena sudah puluhan tahun tidak ada delegasi sebesar itu datang ke tanah kami,” kata dia, kepada abc.net. au.

    Ia menambahkan, dirinya baru mengetahui adanya kunjungan itu pada hari pertama mereka tiba di Papua, pada sore hari. Info tersebut ia dapatkan dari pelajar yang bertemu dengan para uskup.

    “Mereka datang dari perbatasan Papua Nugini dengan mengendarai bis militer, dikawal oleh personel militer, beberapa di antara mereka berseragam, yang lainnya tidak,” kata Frederika.

    Para aktivis yang mendengar adanya kunjungan itu, segera mencoba berbagai cara untuk datang dan menemui mereka. Namun, kata Frederika, pengawal oleh personel militer sangat ketat dan ia menilai kunjungan para uskup ke Papua agak tertutup.

    Sebuah kelompok perempuan Katolik di Papua mengatakan, kunjungan para uskup dari negara-negara Pasifik Selatan ini adalah semacam misi pencarian fakta (fact finding).

    Apakah mereka dapat menemukan fakta yang sebenarnya di Papua?

    “Saya pikir mereka tidak akan mendapatkan gambaran yang akurat tentang kehidupan di Jayapura. Mereka tidak punya waktu bertemu dengan penduduk biasa,” kata Frederika.

    Kendati demikian, kedatangan para uskup itu tetap mendapat apresiasi. Kedatangan mereka diharapkan dapat memberi mereka gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi di Papua.

    “Kami mendapat pernyataan yang jelas, khususnya dari presiden Bishop Conference, yang bertemu dengan Uskup Agung Jayapura. Bahwa mereka akan datang lagi dan ingin mendengarkan apa yang terjadi di sini (Papua),” kata Frederika.

    Menurut Markus Haluk, pertemuan ini adalah inisiatif dari para uskup Kepulauan Solomon dan Papua Nugini. Hanya saja mereka diantar dan dijemput dengan mobil bis Kodam 17 Cendrawasih.

    “Tanggapan saya, kami menyambut baik kunjungan bersejarah uskup Solomon dan Papua Nugini. Sudah saatnya uskup-uskup Melanesia dari Papua Nugini dan Solomon mendengar, melihat langsung, tangisan penderitaan umat pribumi Katolik (Kristen) Melanesia di West Papua,” kata Markus Haluk.

    “Sudah waktunya para uskup Melanesia dan Oceania, Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, Uni Eropa, AS bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus, mendoakan kami guna menyelamatkan umat Tuhan di Melanesia, Papua Barat yang sedang menuju kepunahan,” kata dia.

    Sebelum ini, Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, telah membuka kembali mata dunia internasional atas pelanggaran HAM di Papua dengan terungkapnya laporan yang disajikan sebuah tim pencari fakta yang mereka kirim ke Papua.

    Dalam laporan itu dikatakan  warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.

    Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua pada bulan Februari.

    Laporan itu mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

    Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa “orang (pemerintah) Indonesia ingin mengganti agama Kristen dengan Islam”.

    Penulis laporan tersebut, Suster Susan Connelly dari Kesusteran Josephite, berangkat ke Papua didampingi oleh oleh executive officer Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt.

    Selama misi pencarian fakta, mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.

    Belum diketahui apakah isi laporan mereka akan menjadi sikap resmi Gereja Katolik.

    TNI Amati Sikap Gereja Katolik

    Berkaitan dengan kunjungan para uskup tersebut, menurut Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, pemerintah pusat khususnya TNI, selalu berusaha mengamati sikap dan posisi gereja, dalam konstelasi konflik di Papua.

    Hanya saja, kata Adriana, dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, Senin (11/4), di Papua jumlah gereja banyak. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan satu kesimpulan mengenai posisi mereka dalam menyikapi keinginan sementara kalangan rakyat Papua yang menuntut ingin menentukan nasib sendiri (self determination).

    Menurut Adriana, sikap Gereja Katolik lebih dapat dibaca antara lain karena hirarki organisasinya yang jelas.

    “Gereja di Papua kan banyak. Saya melihat Katolik lebih mudah membacanya,” tutur dia.

    Sikap Gereja Katolik selama ini, kata Adriana, adalah fokus pada misi kemanusiaan. Itu sebabnya, kata Adriana, Gereja Katolik sangat menentang pelanggaran HAM di Papua.

    Namun, ia menambahkan, dalam hal perjuangan untuk menentukan nasib sendiri atau merdeka di kalangan rakyat Papua, sikap Gereja Katolik sudah disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Duta Besar Indonesia untuk Vatikan.

    Menurut Adriana, Paus mengatakan kepada Dubes, bahwa Gereja Katolik tetap mendukung Papua sebagai bagian dari NKRI. Namun di sisi lain, pemerintah pusat harus memperhatikan Papua secara serius.

    “Paus sudah menyampaikan kepad Dubes kita bahwa Vatikan mendukung Indonesia, Papua di dalam Indonsia, tetapi tolong perhatikan Papua,” tutur Adriana, menirukan pesan Paus.

    Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Gereja Katolik tentang hal ini.

    Di luar Katolik, diakui oleh Adriana, banyak juga gereja yang pro-kemerdekaan. “Jemaatnya juga banyak dan mereka mendukung adanya dialog. Dan mereka sudah sampai pada tuntutan yang konkret. Mereka umumnya bicara tentang hal yang sama. Apalagi kalau bicara tentang pelanggaran HAM, suaranya sama,” kata Adriana

    “Dari TNI yang paling dikahwatirkan memang posisi gereja Katolik. Kalau sudah diasumsikan bahwa mereka pro kepada merdeka, itu yang paling ditakuti tentara. Sejauh ini belum. Posisi gereja membela kemanusiaan, bukan pro kemerdekaan.”

    Laporan lengkap dari hasil kunjungan para uskup ini, menurut radionz.co.nz diharapkan rampung pada akhir bulan ini.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Sogavare Dan Salwai Bertemu Bahas Beberapa Isu MSG, Termasuk ULMWP

    Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare dan rekannya Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai melangsungkan pertemuan untuk membahas beberapa isu paska ditundanya pertemuan para pemimpin Melanesia Spearhead Group yang sedianya dilakukan di Port Vila, Vanuatu. Pertemuan ini dilakukan di Port Vila, Vanuatu, Kamis (12/5/2016).

    Dalam pertemuan ini keduanya juga membahas sikap Vanuatu yang kuat mendorong United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh MSG.

    “Keputusan anda untuk mendukung gerakan ULMWP menyentuh hati saya dan saya mendukung sepenuhnya. Saya berharap bahwa rekan-rekan lainnya akan memberikan dukungan mereka pada agenda penting ini, ” kata Sogavare, dikutip dari rilis pers Kantor Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang diterima Jubi, Jumat (13/5/2016).

    Sebaliknya, Perdana Menteri Salwai juga mengakui posisi pemerintah Kepulauan Solomon pada masalah Papua Barat dan jaminan dukungan dari Perdana Menteri Sogavare untuk peningkatan keanggotaan ULMWP di MSG.

    Salwai mengatakan dia akan bertemu dengan juru bicara Front Pembebasan Kanak (FLNKS), Victor Tutugoro saat ia melakukan perjalanan ke Noumea minggu depan dalam upaya mengamankan dukungannya terhadap ULMWP.

    Terhadap masalah penunjukan Amena Yauvoli dari Fiji sebagai Direktur Jenderal Sekretariat MSG, baik Sogavare maupun Salwai sepakat bahwa itu adalah masalah kecil dan tidak seharusnya dibesar-besarkan oleh pihak lain untuk melemahkan solidaritas MSG.

    “Pemerintah saya menghormati keputusan yang telah diambil dalam kapasitas Sogavare sebagai ketua MSG untuk menunjuk Duta Besar Yauvoli sebagai Direktur Jenderal Sekretariat MSG.
    Itu hanya maslaah proses pengangkatannya kami persoalkan setelah menjadi sorotan oposisi Vanuatu,” kata Perdana Menteri Salwai.

    Salwai menambahkan Vanuatu akan terus mempertahankan nilai-nilai Melanesia dan kepentingan MSG dalam pengambilan setiap keputusan MSG.
    “MSG adalah bayi kami dan kami akan terus mempertahankannya. Kami memiliki banyak kesamaan untuk diperjuangkan bersama sebagai saudara Melanesia,” kata Salwai.

    Pertemuan para pemimpin MSG yang rencananya dilangsungkan pada awal bulan Mei ini telah dipindahkan pada akhir Mei atau awal Juni 2016. Meskipun tanggal pastinya belum tetap, pertemuan ini akan dilangsungkan di Port Moresby, Papua Nugini. (*)

  • Ketua MSG Menangguhkan Pertemuan Puncak MSG, Mengirim Utusan Khusus untuk West Papua ke London

    Geologie van Dorp, http://pmpresssecretariat.com, Monday, 2 May 2016,By PM Press

    Ketua MSG, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Hon Manasye Sogavare telah menunda KTT Pemimpin MSG dan akan diumumkan pada waktunya.

    KTT itu awalnya dijadwalkan dimulai besok 3 Mei dan berakhir pada hari Jumat 6 Mei 2016.

    Penundaan tersebut terjadi karena beberapa masalah penting dalam politik nasional dan menuntut kepemimpinan, tegasnya.

    Ketua MSG sedang membangun hubungan dengan para pemimpin negara-negara MSG lainnya untuk menyepakati tanggal dan tempat yang pasti, yang akan memakan biaya bagi negara-negara anggota MSG. Setelah rincian ini selesai, para anggota MSG akan diinformasikan bersama-sama dengan masyarakat umum di negara-negara MSG.

    Hal ini dilakukan dalam upaya MSG untuk memastikan bahwa masyarakat umum benar-benar diberitahui tentang keputusan yang dibuat oleh para pemimpin MSG kami.

    Serangkaian berita daerah yang salah telah mengakibatkan ketegangan yang tidak perlu dan kesalahpahaman, dengan demikian telah menjadi prioritas bagi Ketua MSG untuk memastikan bahwa informasi yang benar, fakta dasar MSG disahkan dan disampaikan ke masyarakat MSG secara jelas dan transparan.

     

    Menyangkut aplikasi keanggotaan “Persekutuan untuk Pembebasan West Papua (ULMWP)”, Ketua MSG telah resmi menerima aplikasi keanggotaan. Lamaran ini sekarang sedang disebarkan ke negara-negara anggota MSG dan akan menjadi masalah prioritas dalam agenda KTT Pemimpin MSG nanti.

    Ketua MSG juga, telah mengirimkan Utusan Khusus-nya untuk Papua Barat, yaitu; Mr Rex Stephen Horoi, sebagai mewakilinya untuk mengikuti konferensi International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London, Inggris.

    Hal ini dipertimbangkan bahwa selama dua hari konferensi yang akan dimulai di London, hari ini akan dilaksanakan “musyawarah tertinggi” tentang “strategi layak dan realistis untuk mempertahankan pada agenda global hak rakyat Papua Barat untuk menentukan masa depan mereka sendiri”. Hasil dari konferensi ini akan disampaikan kepada Papua Barat, pada saat keputusan KTT Pemimpin MSG berikutnya.

    Pemimpin MSG lain yang ikut menghadiri Konferensi IPWP adalah Hon Ralph Regenvanu, Menteri Pertanahan Republik Vanuatu dan Hon Gary Juffa, Gubernur Provinsi Oro (Utara) di Papua Nugini.

    Untuk pertanyaan terkait media, silakan hubungi:
    Mr rence Sore
    Sekretaris Ketua MSG
    Kantor Perdana Menteri & Kabinet di Kepulauan Solomoni
    Telepon: (677) 22202 Ext: 216
    Diterjemahkan Ke dalam bahasa indonesia Oleh : Demi Cinta Papua dan diedit oleh PMNews Sumber Asli : http://pmpresssecretariat.com/2016/…

  • Dukung ULMWP Anggota Penuh,Vanuatu Minta RI Didepak dari MSG

    Penulis: Eben E. Siadari 00:34 WIB | Rabu, 20 April 2016

    PORT VILA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah pukulan baru menerpa upaya diplomasi Indonesia di forum negara-negara Pasifik Selatan (Melanesian Spearhead Group atau MSG). Pukulan itu datang dari salah satu anggota MSG, yaitu Vanuatu, yang mengumumkan dukungannya terhadap United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh MSG. Padahal, Indonesia selama ini tidak mengakui keberadaan ULMWP sebagai perwakilan rakyat Papua.

    Pada saat yang sama, Vanuatu juga mengumumkan sikapnya untuk meminta MSG menanggalkan status Indonesia sebagai associate member. Padahal, Indonesia kini tengah melobi negara-negara anggota MSG untuk memperoleh keanggotaan penuh.

    Sikap Vanuatu ini muncul pada hari Selasa (19/4) ketika Dewan Menteri negara itu menginstruksikan pemerintahnya untuk membawa usulan agar ULMWP ditetapkan menjadi anggota tetap MSG pada KTT mendatang di ibu kota Vanuatu, Port Vila, 6 Mei 2016.

    Menurut radionz.co.nz, media yang intens memberitakan pandangan negara-negara Pasifik Selatan terhadap isu-isu regional, pada Selasa (119/4) Dewan Menteri Vanuatu menginstruksikan pemerintahnya untuk mengusulkan agar Indonesia tak lagi menjadi associate member MSG. Itu berarti, Menkopolhulam, Luhut Binsar Pandjaitan, masih harus berupaya lebih keras melobi negara-negara Melanesia lainnya agar dapat meloloskan upaya diplomasi mengegolkan Indonesia sebagai anggota penuh MSG. Kerja keras itu harus dilakukan setelah turnya baru-baru ini ke beberapa negara di kawasan itu, diklaim telah memenangkan dukungan dari Papua Nugini dan Fiji.

    Pemerintah Vanuatu selama ini dikenal sebagai pendukung paling setia bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua.

    Konflik di Dalam MSG

    Pada saat yang sama, Dewan Menteri Vanuatu juga mengumumkan sikap yang bagi sementara kalangan dilihat sebagai merebaknya konflik di antara sesama anggota MSG.

    Dewan Menteri Vanuatu menegaskan tidak akan menerima penunjukan Amena Yauvoli dari Fiji sebagai Direktur Jenderal MSG yang baru, yang telah diumumkan oleh Ketua MSG, Manasye Sogavare, yang juga Perdana Menteri Solomon, belum lama ini.

    Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, menyatakan keberatan atas keputusan Sogavare dan ia mengatakan masalah penunjukan itu akan diselesaikan pada pertemuan para pemimpin MSG bulan depan di Port Vila.

    Sogavare membantah klaim Vanuatu yang mengatakan penunjukan Dirjen MSG dibuat di luar aturan MSG. Menurut dia, menyusul pengunduran diri Peter Forau yang tiba-tiba sebagai Dirjen MSG tahun lalu, adalah hal yang mendesak menunjuk seseorang untuk yang posisi penting tersebut.

    Sementara itu, pemerintah Vanuatu sendiri telah merencanakan untuk mencalonkan duta besar negara itu untuk Uni Eropa, Roy Mickey-Joy, untuk posisi Direktur Jenderal MSG.

    Saat ini, menurut radionz.co.nz, Mickey-Joy dan para pemohon lain dapat mencari upaya judicial review terhadap keputusan pengangkatan Dirjen yang telah diumumkan oleh ketua. Apakah upaya ini akan diambil, yang jelas pertentangan antara Vanuatu dan PM Solomon mengenai hal ini, menambah dimensi baru bagi perdebatan di MSG.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Solomon Tunjuk Utusan Khusus untuk Angkat Isu Papua di PBB

    Kantor pusat Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu (Foto: RNZI / Jamie Tahana)
    Kantor pusat Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu (Foto: RNZI / Jamie Tahana)

    HONIARA, SOLOMON ISLANDS, SATUHARAPAN.COM – Negara Kepulauan Solomon akan menunjuk mantan diplomat negara itu, Rex Horoi, menjadi utusan khusus urusan Papua di Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Perdana Menteri Solomon, Manasseh Sogavare, telah mengisyaratkan bahwa Horoi – mantan direktur Foundation for the Peoples of the South Pacific, akan segera mengisi posisi tersebut.

    Menurut radionz.co.nz, Horoi akan bertanggung jawab memastikan dukungan MSG untuk memasukkan Papua dalam daftar Dekolonisasi PBB.

    Sejak tahun lalu, Kepulauan Solomon telah merencanakan penunjukan utusan khusus untuk melobi negara-negara di kepulauan Pasifik dalam mendukung dimasukkannya Papua dalam daftar dekolonisasi PBB.

    Kepulauan Solomon juga diharapkan akan menunjuk Feiloakitau Tevi – mantan Sekretaris Jenderal Konferensi Gereja-gereja Pasifik – sebagai penasihat bagi utusan khusus tersebut.

  • Socratez: RI Tolak PM Solomon Justru Percepat Papua Merdeka

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tokoh Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, menilai penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat justru dapat mempercepat Papua Merdeka.

    “Kalau Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) ditolak, untuk apa Indonesia menjadi anggota MSG? Dengan alasan-alasan seperti ini Indonesia semakin memberikan legitimasi dan kekuatan lobby-lobby ULMWP di dunia Internasional. Akibatnya, Indonesia sendiri mempercepat Papua Merdeka,” kata Socratez dalam pesan singkat yang dikirim ke satuharapan.com, hari Jumat (26/2).

    Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP) itu juga menilai, bahwa “memang sangat berat dan rumit bagi pemerintah Indonesia menghadapi masalah Papua.”

    Dia mencontohkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan awal kemenangan bagi Pemerintah Indonesia. “Tapi sayang, pasal demi pasal dan ayat demi ayat yang dalam UU Otsus itu tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh bahkan kenyataannya Otsus telah gagal total.”

    Untuk memperbaiki itu, kata Socratez, pemerintah provinsi Papua sudah mengajukan Otsus Plus tapi itu juga ditolak pemerintah.

    “Permintaan untuk smelter dibangun di Papua juga tidak digubris Jakarta. Lebih parah lagi penembakan 4 siswa di Paniai 8 Desember 2014, yang dilakukan aparat keamanan tidak ditangkap dan diadili pelakunya.”

    Lebih lanjut, Socratez yang berada di Jayapura, menilai lebih fatal lagi bagi pemerintah Indonesia yang menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Island Forum (PIF) ke Papua dan menolak menerima kunjungan ketua MSG PM Salomon Islands untuk pertemuan dengan Indonesia sebagai anggota MSG.

    “Pemerintah Indonesia jangan persalahkan rakyat Papua tapi introspeksi diri baik-baik demi kebaikan Indonesia,” katanya.

    Jokowi Tolak Bertemu PM Solomon

    Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat.

    Hal itu diungkapkan Sogavare di Noumea, New Caledonia, pada hari Jumat (19/2), dalam pertemuan dengan para pejabat dari Front de Liberation Nationale Kanak et Sosialis (FLNKS). Ini merupakan perjalanan 13 hari Sogavare sebagai Ketua MSG di ibu kota MSG. Sedangkan FLNKS merupakan anggota MSG.

    “Perjalanan saya saat ini ke ibu kota MSG seharusnya telah berakhir di Jakarta,” kata Sogavare kepada rekan-rekan FLNKS seperti dikutip solomonstarnews, hari Senin (22/2).

    “Ini adalah untuk membahas kemungkinan mengatur pertemuan antara Indonesia dan anggota United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), yang menginginkan kemerdekaan bagi Papua Barat.”

    Tapi Sogavare mengatakan: “presiden Indonesia telah mengindikasikan dirinya tidak tertarik untuk membahas masalah Papua Barat.”

    Keputusan dari presiden Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa Indonesia menjadi anggota MSG jika tidak mau bekerja sama dalam menangani isu-isu yang menjadi perhatian MSG.

    “Namun demikian, pemerintah Kepulauan Solomon di bawah kepemimpinan saya dan MSG di bawah pimpinan saya akan terus mengejar isu Papua Barat,” kata Sogavare.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Jokowi Tolak Bertemu PM Solomon Bahas Opsi Papua Merdeka

    Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare (kiri) yang akan membahas isu Papua Barat. (Foto: news.godsdirectcontact.net/arrl.org)
    Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare (kiri) yang akan membahas isu Papua Barat. (Foto: news.godsdirectcontact.net/arrl.org)

    NOUMEA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat.

    Hal itu diungkapkan Sogavare di Noumea, New Caledonia, pada hari Jumat (19/2), dalam pertemuan dengan para pejabat dari Front de Liberation Nationale Kanak et Sosialis (FLNKS). Ini merupakan perjalanan 13 hari Sogavare sebagai Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) di ibu kota MSG. Sedangkan FLNKS merupakan anggota MSG.

    “Perjalanan saya saat ini ke ibu kota MSG seharusnya telah berakhir di Jakarta,” kata Sogavare kepada rekan-rekan FLNKS seperti dikutip solomonstarnews, hari Senin (22/2).

    “Ini adalah untuk membahas kemungkinan mengatur pertemuan antara Indonesia dan anggota United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), yang menginginkan kemerdekaan bagi Papua Barat.”

    Tapi Sogavare mengatakan: “presiden Indonesia telah mengindikasikan dirinya tidak tertarik untuk membahas masalah Papua Barat.”

    Keputusan dari presiden Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa Indonesia menjadi anggota MSG jika tidak mau bekerja sama dalam menangani isu-isu yang menjadi perhatian MSG.

    “Namun demikian, pemerintah Kepulauan Solomon di bawah kepemimpinan saya dan MSG di bawah pimpinan saya akan terus mengejar isu Papua Barat,” kata Sogavare.

    Selama bertemu di Noumea, juru bicara FLNKS, Victor Tutugoro, mengatakan kepada Sogavare bahwa isu Papua Barat merupakan agenda yang harus dikejar dengan semangat MSG.

    “Kami sedang mencari pemerintahan Anda untuk menjadi tuan rumah dialog antara pemerintah Indonesia dan ULMWP sehingga mereka dapat duduk tatap muka dan membahas masalah Papua Barat,” kata Tutugoro kepada Sogavare.

    “Sangat penting bahwa ULMWP disediakan dengan platform  mengangkat isu-isu secara langsung kepada pemerintah Indonesia,” tambahnya.

    Sogavare berterima kasih kepada Tutugoro karena mengangkat isu tersebut bersama dia, dan meyakinkan bahwa hal tersebut merupakan niatnya untuk membawa Indonesia dan ULMWP untuk berdialog.

    “Masalah Papua Barat adalah jantung hati pemerintah dan rakyat Kepulauan Solomon,” kata Sogavare.

    Dia berterima kasih kepada FLNKS atas dukungan mereka untuk pengakuan terhadap ULMWP di MSG untuk status pengamat pada KTT Pemimpin MSG ‘di Honiara tahun lalu.

    Sogavare mengatakan pentingnya masalah ini bagi pemerintah Kepulauan Solomon telah dimanifestasikan dalam penunjukan seorang utusan khusus untuk Papua Barat pada tahun lalu. Namun, ia mengatakan utusan khusus tersebut telah “menyeberangi lantai” untuk bergabung dengan Independent Group di parlemen dan pemerintah sekarang dalam proses penunjukan tenaga pengganti untuk memajukan isu Papua Barat dan mengejar untuk menentukan nasib sendiri.

    Editor : Eben E. Siadari

  • PM Kepulauan Solomon Dukung Dialog Indonesia-Papua Merdeka

    Selasa, 26 Januari 2016 | 10:44 WIB

    TEMPO.CO, Honiara – Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan akan terbang ke Jakarta untuk memfasilitasi dialog antara pemerintah Indonesia dan para aktivis pendukung kemerdekaan Papua.

    Sogavare, yang saat ini menjabat ketua kelompok negara-negara Pasifik, Melanesian Spearhead Group (MSG), berusaha mempertemukan pemerintah Indonesia dengan kelompok gerakan prokemerdekaan Papua, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

    ULMWP, seperti dijelaskan Abc.net.au, 25 Januari 2016, telah diberikan status pengamat (observer) di MSG pada tahun lalu.

    Menurut Sogavare, selain Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Kaledonia Baru mendukung upaya dialog pemerintah Indonesia dengan ULMWP. Adapun Papua Nugini dan Fiji kurang tertarik membahas dialog itu dengan Jakarta.

    Sebelumnya, koordinator Jaringan Papua Damai, Neles Tebay, kepada Tempo pada pertengahan Desember lalu menuturkan ia mendorong pemerintah melakukan dialog dengan semua elemen masyarakat di Papua, termasuk mereka yang mendukung kemerdekaan Papua. Jadi semua pihak mendengarkan langsung apa yang menjadi tuntutan dan alasan, kemudian bersama-sama mencari solusi terbaik.

    ABC.NET | MARIA RITA

  • Tanda Heran di Honiara Menjadi Tonggak Sejarah Baru bagi Melanesia

    Selama beradad-abad orang Melanesia di kawasan Pasifik Selatan berada dalam dunia mereka sendiri, terisolir, terdampar, terpojok. Tidak berbicara, apalagi mengenal apa yang ada di sekelilingnya. Dikirannya di sekelilingnya hanyalah hamparan air laut yang di dalamnya ada ikan. Ia tahu selepas ikan-ikan di dalam air itu terdapat manusia lain, tetapi ia tidak mengakui persis bahwa yang dikenalnya seberang laut itu sebenarnya dirinya sendiri.

    Ditambah lagi, kalaupun dia berusaha mengetahui lalu mengenalnya, ia didikte, dipaksa, ditekan supaya walaupun ia mengenal orang-orang di seberang sana itu dirinya sendiri, ia dibayar dan dengan dasar bayaran itu dipaksa untuk tidak mengakui bahwa mereka itu dirinya sendiri. Sebuah penyangkalan paksa, sebuah penderitaan yang begitu lama dideritanya.

    Sebelum modernisasi ia mengira di dunia ini hanya dirinya dan suku-bangsanya. Di era penjajahan dikiranya orangnya ialah penjajahnya, dan sesama bangsa dan ras-nya itu musuhnya. Setelah kemerdekaan, rekan sesama Melanseia-nya itu diberi nama A, B, dan C, sehingga tidak senama dengan dirinya, yang membuat dirinya tidak sanggup berkata bahwa dirinya ialah dirinya, dan tetangganya itu juga ialah dirinya. Ia terpaksa harus mengaku ini sebagai “west papua” dan itu sebagai “papua new guinea”, ini sebagai Vanuatu dan itu sebagai West Papua, ini sebagia Solomon Islands dan itu sebagai West Papua, ini sebagai Fiji dan itu sebagai West Papua, bukannya kami ini Melanesia.

    Tanda heran yang dimulai di Kepala Burung, pulau Mansinam, bahkan dari pulau-pulau Timor kini bersambung menjadi tanda heran berikutnya, “West Papua diakui sebagai ras Melanesia, bangsa Papua!”, sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh NKRI. NKRI memaksa dirinya menyebut orang Melanesia di Tanah Papua sebagai orang Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia. Padahal tanah dan air di Indonesia bukan satu, beribu-ribu; bangsa bukan satu, beribu-ribu; bahasa juga apalagi bukan satu. Sebuah pembohongan diri sendiri, Indonesia menipu diri sendiri, dan penipuannya balik menelan dirinya sendiri, dan pada akhirnya KEBENARAN akan berjaya, dan di era kejayaan itu, tipudaya tidak punya kuasa lagi. Era kekalahan tipu-daya itu telah dimulai, di meja KTT MSG, di kota Honiara, Kepulauan Salomon.

    Tanda heran ini menyusul tanda heran sebelumnya, yaitu beberapa bulan sebelumnya telah terjadi sebuah pertemuan akbar di kalangan pejuang dan organisasi perjuangan bangsa Papua di Port Vila, Republik Vanuatu dan di akhir pertemuan tersebut telah dibentuk sebuah wadah pemersatu, ULMWP, sebuah payung organisasi yang mempersatukan berbagai faksi yang ada selama ini.

    Tanda heran di Honiara menyusul tanda heran di Port Vila. Dan Tanda heran di Honiara disusul oleh Tanda heran di Port Moresby, yaitu di Sidang PIF yang baru saja berakhir, di mana isu West Papua dibahas secara resmi, dan secara resmi pula diputuskan bahwa sebuah “Fact-Finding Mission” harus dikirim ke West Papua, Indonesia untuk mengusut berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Tanah Papua, di tangan polisi dan militer Indonesia.

    Tanda heran di Vila, Honiara dan Moresby telah terjadi menyusul tanda-tanda heran sebelumnya, yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir, yaitu yang pertama Perdana Menteri Papua New Guinea sebagai seorang Papua, yang lahir dan besar di Tanah Papua, yang sukses menjadi Perdana Menteri di Tanah Papua secara resmi, dan secara dinas mengumumkan bahwa beliau akan “engage” Indonesia untuk membicarakan berbagai isu yang muncul di West Papua.

    Tanda heran yang pernah dimulai di paling barat kepulauan Melanesia sedang mengikuti arus gelombang samudera pasifik, perlahan tetapi pasti, tenang tapi menghanyutkan. Pengakuan bangsa Papua sebagai ras Melanesia kali ini sudah merupakan tanda heran tonggak sejarah bagi identitas Melanesia sebagai sebuah ras yang terhimpit oleh ras Melayu di bagian Barat dan bangsa Eropa di bagian Selatan, dan Asia di bagian Utara.

    Pengakuan orang West Papua sebagai rumpun Melanesia secara resmi atas nama negara-negara Melanesia merupakan titik tolak seluruh proses pengembalian jatidiri dan  hak asasi yang melekat kepada manusia Melanesia sebagai makhluk hidup dan sebagai makhluk manusia.

    Mari kita doakan terus, sehingga tanda heran dan tanda heran ini terus berlanjut, sampai tanda heran terakhir ialah West Papua dan bangsa-bangsa lain di muka Bumi yang saat ini masih dijajah merdeka dan berdaulat di luar cengkeraman penjajah. Amin!

    Artikel Mirip:

    1. Adakah Tanda Heran di PIF
    2. Tanda Heran itu Ada di Honiara
    3. Kita Sadar, …
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?