Tag: dukungan Selandia Baru

  • 9 Anggota Parlemen NZ Teken Deklarasi Referendum Papua

    9 Anggota Parlemen NZ Teken Deklarasi Referendum Papua

    Anggota parlemen Selandia Baru, Catherine Delahunty. keempat dari kanan, bersama sejumlah anggota parlemen Selandia Baru lainnya, seusai penandatanganan deklarasi mendukung penentuan nasib sendiri Papua. Tampak juga hadir Benny Wenda, juru bicara ULMWP (Foto: akun Facebook Catherine Delahunty)
    Anggota parlemen Selandia Baru, Catherine Delahunty. keempat dari kanan, bersama sejumlah anggota parlemen Selandia Baru lainnya, seusai penandatanganan deklarasi mendukung penentuan nasib sendiri Papua. Tampak juga hadir Benny Wenda, juru bicara ULMWP (Foto: akun Facebook Catherine Delahunty)

    WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM – Sedikitnya sembilan anggota parlemen Selandia Baru (New Zealand) menandatangani deklarasi untuk menyerukan dan memberi dukungan bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua.

    Penandatanganan itu dilaksanakan di Wellington, Rabu (10/05), disponsori oleh anggota parlemen dari Partai Hijau Selandia Baru, Catherine Delahunty. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi yang menjadi wadah berbagai elemen rakyat yang pro-referendum Papua.

    “Tadi malam diam-diam sejarah terjadi di Parlemen Selandia Baru, seiring dengan sembilan anggota parlemen menandatangai Deklarasi Westminster bagi referendum Papua yang diawasi oleh PBB,”

    tulis Delahunty lewat akun Facebooknya, Rabu (10/05).

    Ia juga menerangkan bahwa dirinya senang Benny Wenda dapat hadir dan turut meluncurkan acara itu.

    “Saya sangat bangga dengan anggota parlemen kita dari Partai Hijau, Partai Buruh, dan satu dari (partai) Nasional yang menandatanganinya tadi malam, dan juga Marama Fox dari Partai Māori dan Aupito S’ua William Sio, yang tidak dapat hadir tetapi telah menandatanganinya hari ini,”

    lanjut Delahunty.

    Delahunty tidak menyebut secara rinci siapa saja para anggota parlemen Selandia Baru yang menandatangani deklarasi. Namun di laman FB-nya ia menampilkan sejumlah foto acara penandatanganan itu. Belakangan berdasarkan siaran pers Green Party, diketahui nama-nama anggota parlemen yang menandatangani adalah Catherine Delahunty, Barry Coates, Mojo Mathers, Jan Logie dan Steffan Browning dari Green Party; Louisa Wall, Carmel Sepuloni dan Adrian Rurawhe dari Partai Buruh; dan  Chester Burrows dari Partai Nasional. Deklarasi juga ditanda tangani Co-leader dari Māori Party, Marama Fox, dan anggota parlemen dari Partai Buruh lainnya yang menanda tanganinya keesokan harinya, Aupito S’ua William Sio.

    Deklarasi Westminster pertama kali diluncurkan di London tahun lalu. Ketika itu sejumlah anggota parlemen dari negara-negara Pasifik dan Inggris turut menandatangani deklarasi yang menyerukan dilakukannya referendum rakyat Papua.

    Benny Wenda yang sedang beranda di Selandia Baru beberapa hari terakhir,  mengatakan dukungan terhadap penentuan nasib sendiri Papua terus tumbuh dari berbagai kalangan. (Berbeda dengan data Delahunty, dia menyebut ada 11 anggota parlemen NZ yang menandatangani deklarasi).

    Menurut dia, salah satu pemicu pertumbuhan itu adalah upaya Pacific Coalition for West Papua yang terdiri dari tujuh negara Pasifik, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare.

    Menurut Benny Wenda, inisiatif Sogavare telah membawa isu Papua hingga ke level PBB.

    Koalisi negara-negara Pasifik itu terdiri dari Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau dan Marshall Islands.

    Tahun lalu, tujuh negara ini menyampaikan pernyataan di Sidang Majelis Umum PBB yang mendesak pemerintah RI membuka pintu bagi pelapor khusus PBB ke Papua terkait pelanggaran HAM yang terjadi di pulau paling timur RI itu.

    Awal bulan ini, tujuh negara tersebut juga mengeluarkan pernyataan bersama di Brussels, dalam pertemuan tingkat menteri kelompok negara yang tergabung dalam African, Carribean and Pacific (ACP). Dalam pernyataan bersama itu mereka menyatakan keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua serta mendukung penentuan nasib sendiri.

    “Jadi terjadi perubahan besar saat ini. Kami juga telah mendapat dukungan dari African Carribean and the Pacific (ACP). Telah terjadi pertumbuhan jumlah dan solidaritas di seluruh dunia,” kata Benny Wenda, dikutip dari radionz.co.nz.

    Benny Wenda mengatakan dukungan anggota parlemen Selandia Baru “adalah obat terbaik bagi rakyat PApua. Itu yang membuat semangat mereka tetap hidup….”

    Ia juga menegaskan bahwa rakyat Papua bersatu dibawah ULMWP.

    Di kalangan elit Papua belakangan ini juga terjadi perkembangan baru. Bila selama ini pengakuan terhadap ULMWP tidak begitu jelas dinyatakan secara resmi, kini mulai terungkap secara terbuka.

    Gubernur Papua, Lukas Enembe, Rabu pekan lalu seusai bertemu dengan Dubes HAM Belanda, dikutip oleh berbagai media berkata bahwa untuk menyelesaikan masalah Papua harusnya dilakukan seperti penyelesaian konflik Aceh.

    Dia menjelaskan kasus di Papua mirip dengan Aceh karena ada kelompok United Liberation Movement for West Papua New (ULMWP) maupun Komite Nasional Papua Barat (KNPB) maupun TPN/OPM yang memperjuangkan kemerdekaan Papua.

    “Konflik yang terjadi di Papua sama seperti Aceh, karena ada kelompok United Liberation Movement for West Papua New (ULMWP) maupun Komite Nasional Papua Barat (KNPB) maupun TPN/OPM yang memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga sering terjadi konflik dengan TNI/Polri,” ujar Enembe.

    “Jika ingin menyelesaikan persoalan di Papua, maka perlu dilakukan seperti di Aceh. Di mana, hadirkan semua kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah Indonesia seperti ULMWP maupun KNPB,” kata Lukas Enembe.

    Komentar Enembe ini merupakan sebuah tahap baru, karena tahun lalu ketika media meminta komentar Enembe tentang ULMWP, dia berkilah bahwa dirinya tidak memikirkannya. Enembe yang saat itu berada di Istana Presiden di Jakarta, mengatakan tugasnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua sehingga tidak mau membuang waktu memikirkan soal-soal seperti ULMWP.

    Dukungan terhadap dialog Jakarta dengan ULMWP juga dikatakan oleh kalangan parlemen Papua. Anggota Komisi I DPR Papua, komisi yang membidangi pemerintahan, politik, hukum, HAM dan hubungan luar negeri, Kusmanto, mengatakan pemerintah perlu berdialog dengan ULMWP, wadah yang selama ini gencar menyuarakan berbagai masalah Papua di kancah internasional.

    Ketika membacakan laporan komisinya dalam sidang paripurna ke IV DPR Papua terhadap LKPJ Gubernur Papua tahun 2016, Selasa (09/05), Kusmanto mengatakan pemerintah harus duduk berunding dengan ULWMP.

    “Persoalan HAM di Papua, bukan rahasia lagi. Sudah menjadi pembahasan di dunia internasional bahkan sampai ke PBB. Pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua, harus duduk bersama mencari solusi,” kata Kusmanto, sebagaimana dikutip dari Tabloid Jubi.

    Komisi I, menurut dia, mendukung komitmen atau pernyataan gubernur, meminta pemerintah berdialog dengan ULMWP.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Awal Mei, Benny Wenda akan disambut hangat di Selandia Baru

    Awal Mei, Benny Wenda akan disambut hangat di Selandia Baru

    Lukisan karya Adele O’Conner berjudul Mama Yosepha versus the TNI - Katalog pameran
    Lukisan karya Adele O’Conner berjudul Mama Yosepha versus the TNI – Katalog pameran

    Jakarta, Jubi – Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan mengunjungi Aotearoa, Selandia Baru dari tanggal 8 hingga 16 Mei mendatang.

    Dilansir voxy.co.nz (19/4) kunjungannya kali ini selain untuk tetap meminta dukungan keadilan politik dan sosial terhadap rakyat West Papua, juga secara khusus hendak meminta agar pemerintah Selandia Baru mendukung inisiatif bangsa-bangsa Pasifik yang mendorong isu West Papua di PBB.

    Terakhir kunjungannya ke Selandia Baru pada tahun 2013, Wenda sempat dicekal oleh Juru Bicara Parlemen David Carter untuk tidak berbicara di hadapan parlemen negeri itu.

    Namun saat ini kelompok-kelompok yang cukup beragam hingga anggota-anggota parlemen lintas partai mulai makin luas mendukung West papua dan memberikan jaminan bahkan sambutan hangat terhadap tokoh pergerakan kemerdekaan West Papua itu.

    Wenda akan disambut di Orakei Marae saat ketibaannya dan diundang resmi untuk memberikan sambutan pada Ngati Whatua Orakei whanau. Sejumlah jadwal pertemuan yang cukup padat menantinya di Auckland, Wellington, Christchurch, dan menyusul Te Tai Tokerau.

    Seperti diketahui, tujuh bangsa-bangsa Pasifik di negara Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Palau, Kepulauan Marshall, dan Nauru secara kolektif menyarakan situasi hak azasi manusia di West Papua di hadapan sidang umum PBB tahun lalu serta sidang Dewan HAM PBB baru-baru ini.

    Hal ini telah memulai momentum baru bagi keterlibatan badan-badan tertinggi PBB untuk menetapkan kemungkinan resolusi baru bagi hak-hak rakyat West Papua.

    Diharapkan pemerintah Selandia Baru tidak berdiam diri dan berada dipinggiran, melainkan member dukungan kepada bangsa-bangsa Pasifik tersebut untuk mendorong isu West Papua dan membantu perjuangan keadilan di wilayah itu.

    Wenda akan bertemu gelombang aktivis peduli West Papua, Maori dan Pasifika, yang baru di berbagai wilayah Selandia Baru, termasuk anggota-anggota International Parliamentarians for West Papua (IPWP).(*)

  • Perkuat Dukungan, Benny Wenda Akan Kunjungi Selandia Baru

    Perkuat Dukungan, Benny Wenda Akan Kunjungi Selandia Baru

    Jayapura, Jubi – Benny Wenda, Juru bicara Gerakan Pembebasan Papua Barat Bersatu (ULMWP), direncanakan mengunjungi New Zealand, penghujung bulan Agustus 2016 nanti, untuk memperkuat dukungan kampanye keadilan dan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat.

    Benny, seperti dilansir Asia Pacific Report, Rabu (3/8) lalu, akan memulai kunjungannya pada tanggal 23 Agustus hingga 1 September mendatang. Dirinya akan ditemani pimpinan suku tradisional Ngati Whatua dan akan disambut di kota Orakei Marae, utara Selandia Baru.

    Benny diundang untuk bicara di hadapan Ngati Whatua Orakei whanau serta kahalayak umum sebelum bertolak ke pusat-pusat kota di seluruh negeri itu untuk menenmuai anggota-anggota parlemen, perwakilan iwi (wakil organisasi-organisasi Maori), kelompok-kelompok HAM, kelompok gereja, pelajar-mahasiswa, dan kelompok-kelompok muda.

    Dibanding kunjungan yang sama tahun 2013, “dengan meluasnya kelompok anggota-anggota parlemen yang mendukung Papua Barat, kunjungan kali ini diharapkan mendapat sambutan lebih baik dari wakil-wakil pemerintah,” demikian Asia Pacific Report.

    Benny Wenda, ditengah berbagai kecaman dari Jakarta, terus melakukan perjalanan diberbagai temapt di Afrika, Eropa, Pasifik untuk menguatkan solidaritas terhadap sisu-isu Hak Azasi Manusia di Papua Barat yang sedang bertumbuh.

    Di Selandia Baru, dia direncanakan bertemu gerakan Maori dan aktivis Pasifika di Aotearoa, termasuk pertemuan dengan para anggota International Parliamentarians for Wes Papua (IPWP). Mei lalu, IPWP sempat meluncurkan kampanye referendum dibawah pengawasan internasional terhadap masa depan Papua Barat.

    Sebelumnya seperti diberitakan Jubi Selasa (2/8) lalu, pemerintah Selandia Baru, melalui Duta Besar Selandia Baru di Indonesia, Trevor Matheson, menyatakan perhatian terhadap isu kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua Barat. Dia mengatakan hal itu seusai memenuhi undangan Menkopolkam mengunjungi Papua Juni lalu.

    Sehari sebelumnya (1/8), Inspektur Detektif Tim Haughey, Perwira Penghubung Kawasan Imigrasi Ilegal Kedutaan Besar Selandia Baru, juga mengunjungi Pemrov Papua.

    Diterima oleh Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua, Elia Loupatty; Kepala Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri Papua, Suzana Wanggai; serta Kepala Kesbangpol Papua, Musa Isir, Elia mengaku kedatangan Tim Haughey lebih banyak bertanya terkait perkembangan pembangunan di Papua.(*)

  • PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

    Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Selandia Baru, Jhon Key di Istana Negara, Senin 18 Juli (Foto: setkab.go.id)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

    Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

    Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

    Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

    Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

    Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

    “Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

    “Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

    Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

    “Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

    Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

    Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

    Hukuman Mati

    Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

    Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

    Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

    Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

    “Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

    Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

    “Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

    Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Kunjungi RI PM New Zealand akan Bicara Sapi Ketimbang Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 14:07 WIB | Jumat, 08 Juli 2016

    WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM – Perdana Menteri Selandia Baru (New Zealand), John Key, dalam waktu dekat akan berkunjung ke Jakarta. Ia dijadwalkan akan bertemu dan berbicara dengan Presiden Joko Widodo seusai lawatannya ke sejumlah negara Eropa.

    Walau sejumlah kalangan mengharapkan ia mengangkat juga isu Papua dalam pembicaraannya dengan Jokowi, diduga pembicaraannya akan lebih banyak bertumpu pada isu peningkatan hubungan perdagangan, khususnya akses ekspor sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Permasalahan daging sapi telah menjadi kronis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah harga daging sapi yang tinggi jadi persoalan sepanjang tahun. Ada perdebatan tentang data pasok sapi di antara berbagai kementerian. Akibatnya selalu menjadi persoalan tentang seberapa besar kebutuhan sapi di Tanah Air.

    Masalahnya, Indonesia sejak era SBY telah melakukan restriksi terhadap pasok sapi dari luar negeri. Ini berdampak pada negara-negara eksportir sapi, termasuk Selandia Baru.

    Dalam enam tahun terakhir akses ekspor sapi Selandia Baru ke RI telah menurun drastis. Dalam catatan stuff.co.nz, pada tahun 2010, Indonesia adalah pasar sapi terbesar kedua bagi Selandia Baru, mencapai 48.823 ton atau senilai US$185 juta.

    Seiring dengan tekad Indonesia untuk berswasembada, akses ekspor sapi Australia kemudian dipersempit. Akibatnya ekspor sapi Selandia Baru ke Indonesia jatuh menjadi hanya 8.899 ton pada tahun 2015, turun sebanyak 82 persen.

    Secara keseluruhan volume perdagangan Indonesia dan Selandia Baru adalah yang terbesar ke-13 bagi Selandia Baru. Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia memperkirakan bila diakumulasi, dampak dari pembatasan ekspor daging Selandia Baru ke RI mencapai antara US$500 jura hingga US$ 1 miliar.

    Akses ekspor buah apel dan bawang juga ikut terdampak oleh pembatasan itu.

    Chief Executive Horticulture Export Authority Australia, Simon Hegarty, mengatakan, berbagai produk ekspor Selandia Baru telah mengalami pembatasan lewat sistem kuota sejak tahun 2010.

    “Berbagai produk masih tetap kita ekspor, tetapi harus melalui berbagai prosedur, membuatnya sulit,” kata dia.

    Bagi eksportir sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi enam bulan ke depan sehingga membangun hubungan perdagangan yang erat dengan Indonesia merupakan sebuah tantangan.

    Indonesia tidak hanya menerapkan pembatasan impor kepada Selandia Baru. Bersama Amerika Serikat, Selandia Baru telah membawa kasus ini ke WTO dan ada 14 negara lain yang ikut.

    Indonesia juga telah berkembang menjadi pasar yang penting bagi daging potong, dan jeroan (seperti lidah, hati dan hati), dan juga produk-produk lain seperti kaki sapi.

    Namun, pembatasan impor terhadap produk itu telah diberlakukan dalam bentuk kuota, pembatasan produk dan persyaratan perizinan.

    Kepala eksekutif Asosiasi Industri Daging Selandia Baru, Tim Ritchie, mengatakan pembatasan dan sistem izin impor yang tidak dapat diprediksi, tidak pasti dan fluktuatif membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menantang bagi Selandia Baru untuk ekspor daging sapi.

    “Ini berarti bahwa perusahaan Selandia Baru harus lebih berhati-hati ketika mengekspor ke Indonesia dan cenderung enggan berinvestasi dalam membangun dan mengembangkan pasar karena menghadapi risiko dan ketidakpastian yang signifikan.

    “Ini adalah pasar yang penting bagi kami tapisulit untuk membentuk hubungan di sana,” kata Ritchie.

    Sementara industri susu tidak menghadapi masalah yang sama. Tahun lalu total ekspor susu Selandia Baru mencapai US$ 425M dan terus bertumbuh.

    Tahun lalu, perusahaan Selandia Baru Fonterra juga membuka pabrik pengepakan dengan nilai investasi US$ 37 juta, yang merupakan fasilitas namufaktur pertamanya di Indonesia.

    Nottage mengatakan kasus sapi adalah yang kedua yang dibawa oleh Selandia Baru ke WTO dalam dekade belakangan. Kasus lainnya adalah tentang akses apel Selandia Baru ke Australia. Dalam kasus itu Selandia Baru menang.

    Sebelumnya, Partai Hijau, salah satu partai oposisi di Selandia Baru telah melayangkan protes kepada pemerintah karena dalam kunjungan ke RI agenda utama adalah soal perdagangan. Padahal, partai itu mengharapkan isu pelanggaran HAM di Papua diangkat.

    “John Key harus mendesak Presiden Joko Widodo untuk berhenti berbicara tentang pendekatan yang lebih demokratis dan mulai bertindak, dimulai dengan komitmen untuk mengakhiri pelanggaran HAM oleh militer dan polisi, penahanan politik dan pembunuhan direstui negara di Papua Barat,” kata anggota parlemen Partai Hijau, Catherine Delahunty dalam siaran pers partai tersebut (5/7)..

    Delahunty mengharapkan pembicaraan tentang HAM merupakan salah satu cara untuk menekan Indonesia.

    “Jika mitra perdagangan Indonesia, termasuk Selandia Baru, menempatkan perbaikan pada HAM sebagai prasyarat untuk hubungan perdagangan, tekanan pada pemerintah Indonesia akan memaksa mereka untuk bertindak,” kata Delahunty.

    John Key dijadwalkan meninggalkan Selandia Baru pada 8 Juli. Dalam kunjungan luar negerinya kali ini yang akan berakhir pada 20 Juli, ia akan terbang ke Inggris bertemu dengan PM negara itu, David Cameron.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Kunjungi RI, PM Selandia Baru Didesak Angkat Isu Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 18:17 WIB | Selasa, 05 Juli 2016

    WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM – Perdana Menteri Selandia Baru, John Key, akan melakukan kunjungan selama dua hari ke Indonesia dalam waktu dekat ini. Namun dalam agenda kunjungannya, tidak disebutkan adanya pembicaraan mengenai isu pelanggaran HAM di Papua. Isu perdagangan dan ekonomi akan mendominasi isi pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo.

    Hal ini telah mendatangkan kritik pedas dari salah satu partai oposisi, Partai Hijau.

    “Tidak adanya sama sekali isu HAM dalam agenda pembicaraan John Key dengan Presiden Widodo sangat disesalkan mengingat seorang anak sekolah ditembak oleh polisi militer di Papua (Barat) minggu lalu,” kata anggota parlemen Partai Hijau, Catherine Delahunty dalam siaran pers partai tersebut hari ini (5/7).

    “John Key harus mendesak Presiden Joko Widodo untuk berhenti berbicara tentang pendekatan yang lebih demokratis dan mulai bertindak, dimulai dengan komitmen untuk mengakhiri pelanggaran HAM oleh militer dan polisi, penahanan politik dan pembunuhan direstui negara di Papua Barat,” kata dia.

    “Menolak membicarakan isu HAM dengan Indonesia adalah memalukan bagi reputasi kita sebagai warga dunia dan anggota Dewan Keamanan PBB,” tambah dia lagi.

    “Kita harus bersama dengan anggota Pacific Islands Forum seperti Vanuatu dan Solomon Islands untuk memberi perhatian kepada nasib rakyat Papua dan menyerukan dihentikannya pelanggaran HAM,” kata dia.

    Kunjungan PM Selandia Baru ke Indonesia akan diisi oleh pembicaraan resmi dengan Presiden Joko Widodo bertujuan membangun hubungan perdagangan dan ekonomi.

    Delahunty mengharapkan pembicaraan tentang HAM merupakan salah satu cara untuk menekan Indonesia.

    “Jika mitra perdagangan Indonesia, termasuk Selandia Baru, menempatkan perbaikan pada HAM sebagai prasyarat untuk hubungan perdagangan, tekanan pada pemerintah Indonesia akan memaksa mereka untuk bertindak,” kata Delahunty.

    “John Key perlu berhenti hanya lip service dalam soal HAM dan mempertahankan prinsip-prinsip yang selama ini membuat Selandia Baru dikenal,” kata Delahunty.

    John Key akan meninggalkan Selandia Baru pada 8 Juli mendatang. Dalam kunjungan luar negerinya kali ini yang akan berakhir pada 20 Juli, ia akan terbang ke Inggris bertemu dengan PM negara itu, David Cameron.

    Dari sana, ia akan mengunjungi Italia dan bertemu dengan Perdana Menteri Matteo Renzi di Roma. Selanjutnya ia akan terbang ke Prancis bertemu dengan Presiden Francois Hollande dan Perdana Menteri Manuel Valls.

    Dari Paris John Key akan terbang ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo.

    “Indonesia adalah partner penting Selandia Baru di kawasan regional dan pemain kunci di Asia Pasifik,” kata Key.

    “Ia merupakan mitra dagang Selandia Baru terbesar ke-13 dan terdapat potensi yang besar untuk membangun hubungan lebih jauh,” kata dia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • NZ MPs want action on West Papua mission

    5:11 pm on 15 June 2016, Radio NZ International

    New Zealand politicians want the government to press for progress on a high level fact-finding mission to Indonesia’s Papua region.

    The Pacific Islands Forum leaders agreed at last year’s summit in Papua New Guinea to consult Indonesia over how to monitor and investigate human rights abuses in Papua.

    New Zealand Greens MP Catherine Delahunty
    New Zealand Greens MP Catherine Delahunty is pushing for an independent fact-finding mission to West Papua. Photo: RNZI

    The New Zealand government indicated on several occasions that Indonesia was opposed to the idea but Greens MP, Catherine Delahunty, who leads a now 20 strong group of New Zealand parliamentarians, said this country had to do more.

    “We will be writing a collective letter to Murray McCully as Minister of Foreign Affairs calling on him to make a comment on this lack of progress,” she said.

    “Because it was already agreed. It is clear from the past year that there continue to large numbers of human rights abuses and there is a need for a fact finding mission. So we are going to push our government because they signed up to this, they should be standing up for it.”

    Meanwhile, hundreds of West Papuans have today been demonstrating again in Jayapura, Papua’s provincial capital, calling for freedom from Indonesian rule.

    Reports from Papuan media sources indicate Indonesian police arrested dozens of activists since the weekend for organising the demonstration.

    One one day alone in early May, around 2000 Papuans were arrested for participation in another large demo.

  • Parlemen Selandia Baru Ingin Tim Pencari Fakta Versi PIF Segera ke Papua

    Jayapura, Jubi – Politisi Selandia Baru ingin pemerintahnya memberikan tekanan pada level pemimpin tingkat tinggi untuk melakukan kemajuan-kemajuan yang bertujuan mendorong misi pencari fakta independen dari Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum (PIF) segera ke tanah Papua (Papua dan Papua Barat).

    Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Papua Nugini tahun lalu, para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum (PIF) telah menyepakati untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia terkait bagaimana tim pencari fakta dari forum negara-negara Melanesia itu dapat melakukan tugas-tugasnya untuk memantau dan menyelidiki kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terajadi di tanah Papua.

    Pada beberapa kesempatan, pemerintah Selandia Baru mennggambarkan bahwa pemerintah Indonesia menentang kesepakatan tersebut.

    Kendati demikian, anggota parlemen dari Partai Hijau, Catherine Delahunty, yang saat ini memimpin sebuah kelompok kuat yang terdiri dari 20 anggota parlemen di Selandia Baru, menyatakan untuk mendesak negara agar harus berbuat lebih banyak untuk mendapatkan kemajuan yang baik.

    “Kami akan menulis surat kolektif untuk Murray McCully sebagai Menteri Luar Negeri untuk meminta dia memberikan komentar atas kurangnya kemajuan yang dilakukan,” kata Catherine Delahunty, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (15/6/2016).

    “Karena itu sudah disepakati. Hal ini jelas sejak tahun lalu terus ada sejumlah besar pelanggaran hak asasi manusia dan ada kebutuhan untuk misi pencari fakta. Jadi kita akan mendorong pemerintah kita karena mereka mendaftarkan ini, mereka harus bersikap untuk itu,” katanya lagi.

    Ditengah-tengah penolakan itu, pemerintah Indonesai melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Luhut B. Panjaitan pada April lalu telah membentuk sebuah tim pencari fakta kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dengan melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.

    Namun, tim pencari fakta versi Jakarta itu benyak menuai penolakan dari para aktivis HAM dan aktivis gerakan perjuangan Pembebasan Papua. (*)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?