Tag: dukungan PNG

  • O’Neill Berharap Gubernur Enembe dan Atururi Berpartisipasi di MSG

    Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter O’Neill berharap Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi bisa mewakili rakyat Papua dalam forum-forum Melanesia Spearhead Group (MSG).

    Berbicara di Lowy Institute, Sydney hari Jumat (15/5/2015) pekan lalu, O’Neill menegaskan orang yang sah untuk mewakili rakyat West Papua saat ini adalah pemimpin yang dipilih dan itu adalah gubernur di provinsi Papua dan Papua Barat.

    “Kami ingin suara yang satu di MSG untuk Papua Barat. Namun banyak kelompok yang mewakili berbagai kepentingan. Satu-satunya orang yang sah untuk mewakili rakyat West Papua saat ini adalah pemimpin yang dipilih dan itu adalah gubernur provinsi,”

    kata O’Neill dalam forum tersebut.

    Diwawancarai usai forum tersebut oleh ABC, O’Neill berharap bisa melakukan pendekatan yang sama dengan yang pernah dilakukan untuk Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), kelompok pro kemerdekaan Kanaki di Kaledonia baru.

    “Karena itu kami ingin pemimpin yang representatif, yang dipilih oleh orang West Papua untuk datang dan berpartisipasi dalam forum MSG,” kata O’Neill.

    Namun O’Neill mengaku hingga saat ini PNG tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua Barat.

    “Kami tidak memiliki hubungan langsung dengan masalah ini, selain persoalan masyarakat di perbatasan. Karena itu hal ini sangat penting dan saya pikir ini adalah langkah besar yang dilakukan oleh presiden Indonesia untuk membuka peluang proses ini dimulai. Saya pikir kita harus mengambil keuntungan dari peluang ini dan dialog dengan mereka harus terus dilakukan dan melihat bagaimana kelanjutannya,”

    lanjut O’Neill. (Victor Mambor)

    Diposkan oleh : Victor Mambor on May 18, 2015 at 12:26:24 WP [Editor : -]
    Sumber : TabloidJubi.com

  • Gubernur Oro, PNG, Juffa: West Papua Telah Cukup Menderita

    Gubernur Provinsi Oro Papua New Guinea, Garry Juffa
    Gubernur Provinsi Oro Papua New Guinea, Garry Juffa

    PORT MORRESBY, PNG — Gubernur Provinsi Oro Papua New Guinea, Garry Juffa telah mengumumkan sikapnya dalam perjuangan untuk Papua Barat gratis.

    Gubernur mengatakan dilema bahwa Papua Barat yang dihadapi adalah masalah lama bahwa pemerintah Papua Nugini dan negara-negara Kepulauan Pasifik lainnya perlu untuk melihat ke dalam untuk membantu mereka mencapai pencarian mereka untuk kemerdekaan politik dari Indonesia.

    Gubernur Juffa kata West Papua telah menderita tindakan brutal pemerintah Indonesia melalui aparat negara koersif (polisi dan tentara) yang menewaskan lebih dari tujuh ratus ribu orang Papua Barat sejak tahun 1965 ketika para penguasa Belanda menyerahkan mereka untuk menjadi bagian dari Indonesia pada saran dari Unite Bangsa berdasarkan referendum yang katanya tidak mewakili mayoritas orang Papua Barat.

    Dia sebagian menyalahkan PBB karena tidak benar melakukan referendum itu dan mengatakan bahwa ia telah menyiapkan petisi kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk melihat ke Papua Barat Politik Kemerdekaan dari Indonesia.

    Dia mengatakan bahwa Papua Barat adalah bagian dari keluarga Melanesia yang layak untuk bebas dan diberi kebebasan politik mereka kembali dan tidak harus ditekan.

    Dia menjelaskan sikapnya bukanlah sikap agresi terhadap pemerintah Indonesia, tetapi sebuah langkah politik netral yang bertujuan emansipasi rakyat Papua Barat dari dilema mereka ditimpakan kepada mereka oleh tentara Indonesia dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk membantu mereka mencapai keinginan mereka lama dicari menjadi negara merdeka.

    Sementara itu, ketika ditanya untuk ada pembicaraan diplomatik antara PNG dan pemerintah Indonesia mengenai isu tersebut, gubernur mengatakan bahwa sejauh ini ia sadar, tidak ada pembicaraan antara kedua pemerintah tentang masalah Papua Barat….

    Sumber: www.radionz.co.nz

  • Minta Indonesia Kurangi Militer di Papua, Pernyataan O’Neill Dinilai Sangat Keras

    Jayapura, Jubi – Dr Richard Chauvel dari University of Melbourne Asia Institute mengatakan ia belum pernah mendengar pernyataan yang keras dari seorang pemimpin Papua Nugini (PNG), ketika mereka berbicara tentang Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Namun pernyataan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill saat diwawancarai Radio Australia Jumat (27/3/2015) adalah pernyataan yang sangat keras dan berpotensi mempermalukan Indonesia.

    “Keterusterangan Peter O’Neill meminta pertanggungjawaban pemerintah Jokowi untuk memenuhi komitmen presiden sebelumnya, Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) adalah kejujuran yang sangat luar biasa,” kata Richard Cauvel setelah O’Neill diwawancarai Radio Australia, Jumat (27/3/2015).

    O’Neill saat berada di Australia untuk menghadiri pemakaman Malcolm Fraser, mantan Perdana Menteri Australia telah diwawancarai oleh Radio Australia terkait Papua Barat. Dalam wawancara ini, O’Neill meminta pemerintah Indonesia memenuhi janji mengurangi personel militer di Papua Barat.

    Menurut O’neill, pengurangan personel militer ini adalah janji presiden SBY saat ia bertemu dengan mantan Presiden Indonesia ini dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dengan PNG di Jakarta.

    “Kami akan terus mencoba untuk memastikan bahwa pemerintah Indonesia saat ini juga memiliki pandangan yang sama tentang pengurangan kehadiran militer di Papua. Dan otonomi yang lebih luas tentu lebih baik untuk rakyat Papua Barat,” kata O’Neill kepada Radio Australia.

    Pernyataan inilah yang disebut oleh Richard Chauvel, seorang ahli Papua Barat, sangat keras dan berpotensi untuk mempermalukan pemerintah Indonesia.

    “Tapi dia (O’Neill) juga sangat berhati-hati dalam caranya menghubungkan pernyataan untuk pelaksanaan otonomi yang lebih efektif untuk Papua Barat dan juga tanggung jawab Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional,” kata Chauvel kepada Jubi melalui sambungan telepon, Sabtu (28/3/2015).

    Chauvel bahkan meragukan pernyataan versi Indonesia tentang pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dengan O’Neill baru-baru ini.

    “Versi Indonesia terhadap pertemuan dengan Mr O’Neill, bagaimanapun, sangat jauh berbeda,” ujarnya.

    Dr Richard Chauvel pernah menjadi konsultan untuk International Crisis Group (ICG) di Papua dan laporannya diterbitkan tahun 2001 oleh ICG dengan judul “Indonesia: Ending Repression in Irian Jaya”. (Victor Mambor)

  • Benny Wenda Meninggalkan Papua Nugini Setelah “Masalah Visa”

    Port Moresby, MAJALAH SELANGKAH —  Pemerintah Papua Nugini mengatakan, Juru Bicara The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda  yang sempat  ditahan  oleh imigrasi Papua Nugini (PNG), Selasa (24/3/15) siang karena masalah visa  telah  diterbangkan ke luar negeri.

    “Sekarang aku dideportasi,” kata Wenda sebelum dibawa ke terminal internasional di bandara Port Moresby itu seperti dikutip abc.net.au.

    “Itu berarti saya meninggalkan negara ini, tapi semangat saya dan perjuangan, saya akan meninggalkannya dengan orang-orang dari PNG hari ini.”

    Perdana menteri Papua Nugini, Peter O’Neill  mengatakan,  Wenda telah tiba di negara itu tanpa visa.

    Seorang juru bicara Mr O’Neill mengatakan,  pemimpin kemerdekaan Papua Barat tidak dideportasi, tapi ia “tidak diizinkan untuk memasuki negara”.

    “Ini bukan isu politik, itu masalah visa,” katanya.

    Perdana menteri campur tangan dalam kasus ini, Rabu.

    Benny Wenda, yang telah dilepaskan ke perawatan teman-teman, terbang keluar dari PNG pada Kamis sore.

    Bulan lalu Mr O’Neill mengatakan, dia akan mulai berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat Indonesia.

    “Saya pikir, sebagai negara, sudah saatnya bagi kita untuk berbicara tentang penindasan rakyat kita di sana,” katanya.

    Beberapa pengamat bertanya-tanya apakah memaksa keberangkatan  Benny Wenda dari PNG merupakan pengunduran oleh Mr O’Neill.  (Yermias Degei/MS)

  • Sejumlah Reaksi Masyarakat PNG atas Deportasi Benny Wenda dari Port Moresby

    Lorna Terry This is what our so called government is so good at doing . We are all aware that they have never been for their people . So why would they be for WP? Our fellow Melanesia ? Their actions speak louder than any kundu garamut or bamboo pipes . Cowardless men with no spines . Worse than criminals . It is like they themselves own the country and we are common refugees with no say in the matter . They steal from us , they sell us out of our land , our minerals and our resources , they have slowly been raping our mother land of all her goodness, whoring it off to offshore companies and foreigners and does not give two fucks about its people and those neighborhood surrounding it . We do not need anymore proof of why they are so readily abled and willing to deport an innocent man out of the country without reason; when they themselves won’t lift a finger to ban a fugitive and the thief from hiding in PNG. Let alone sell off our birth right inch by inch while we standby and watch . shame ! shame ! shame ! May the blood of all innocent West Papuans be on your hands PM , your cronies and the Indonesian Government.

    George Gauba If they want to deport Wenda then they must also deport all Indonesians and Asylum seekers back to their land!!!!! im sick and tired of the government excuses!!!!

    Nigel Druven Sawanga I’m sorry west Papua ..but the truth is , PNG can’t do anything to help at the moment . Our military is weak and our government is corrupt, its all false hope ..but we’ll do our best to spread the word and pray someone comes to your aid soon. Always believe in the god that took Israelites out of Egypt.

    Christine Lacey This is a bloody disgrace, when a man cant live in his own country, regardless of what the UN say, get rid of the UN maybe people will live a better life free of politics, and favouritism.

    Gibson Simon By denying and Deporting Mr Wenda you are indirectly Promoting extermination of Fellow Melanesians and is Tatamount to Highest TREASON CMO!!! . Have you lost your Sense???How could you Put Money ahead of Precious souls that are Recklessly Murdered,Tortured ,raped and systematically Depopulated by the Indonesian military Junta. Since 1969. ???You are no different to a Murderer!! Hope you eat and sleep well as of the Moment Benny Wenda leaves his Land..To our West Papuan Brothers ,let this not Dampen our spirits , Ordinary PNG people supports this cause and are with you all , from Sorong to Samarai we are One People, one Graun, one tumbuna GOD Bless PNG, GOD Bless WEST PAPUA ..Merdeka Papua

    Aboriginal Patron Wao’moni Thats messed up, a soon as he touches american soil he will lose his identity and be called an African-American….SMH the world dislike the original man!!! Power to the indigenous original man of the earth

    Kaiku Freeman PM (O’NEILL), you made it clear that we Papua New Guineans are with West Papua and will fight for the rights of West Papuans and yet now what you are doing is totally different and its telling us the public that this is who you really is.. please stop it and think as a real Leader . he is your native brother so try do something best for your country.. Stop being a puppet all the time….!!! You Pussy…. !!!

    M Steven Reoghberths How can we deport someone from his own motherland when we can allow yellow bellied fugitives in and out of our country at will? this not on. Perhaps it is now a question of the high ups knowing how they themselves originated. Their background indicates otherwise. All the reason why.

    Martita Maima Block the road at Gordons so he’ll not get to Jacksons. O’Neill and his govt is doing a favor for Asians hey? C’mon O’Neill, you can’t do that

    Ben Victor PNG, authourities are fuckin whores, they sell their families for cash.

    Tunaefa Moafanua Omeli What a bunch of cowards these people are. Deport a native but kept these pigs killing their own people.

    Danny Draper Come to Australia we’re used to Indonesia having the shits with us.

    Tony Dundon How brave is Benny Wenda , Peter O’Neill PNG PM has deserted his brother from WPNG , uses excuse of no visa to bow to Indonesian wishes , wonder what the pay off is? Benny will be sent to Brisbane , let’s see how our government treats him, specially how Indonesia is treating Australia at the moment joki won’t even return abbots phone calls

    Sambaiyok P Den i just felt something deep in my heart n my tears swept down my chicks when i saw mothers and sisters raped and tortured, fathers and brothers killed and operated like pigs. i just can’t hold back my breath, i for one i feel like helping myself with a ripple and go to fight for these our brothers and sisters from W. P….their colour skin is just like ours its just that the border that is separating the whole country otherwise we are all one. if this png government claims itself as a peoples government then why not do something for our west papuans who are in a genocide situation in the hands of these inhuman Indonesians..

    Eddy Diro I feel guted and betrayed by our leaders The battle may have been won by those gutless soul less PNG Government officials but you never kill a spirit The greatest tragedy is to stay down when you get knocked below the belt and I Refuse to surrender and put up my flag to those cretans gutless kniving corrupt government officials and the pro Indonesia West Papua lobby led by Franz Albert Joking I live to fight another day until the morning star is raised on liberation day in West Papua. Freedom

    Jason Jesse Simon What’s the reasons behind his deportation our very own PM was very vocal about the plight that was faced by our Family from the other side of the boarder so the Question is why in the world for such a person to be treated like a fugitive?

    Susan Merton Im sorry but Oneil has sacked and appointed anyone in png govt bodies etc to benefit his own interest yet he couldnt do anything to stop Benny from been deported.Who is Oneils puppet master? I wonder.Where is the Solidarity mr Oneil?

    Paul Madden The rest of the world is now starting to question whether PM Peter O’Neil is a tool of the evil Indonesian regime?

    Geo Solien Indonesian govt have probably done a deal with Immigration. They are so corrupt. The PM and Foreign Minister are saying Benny can stay and immigration aren’t listening.

    Trish Hunnam So…was the PNG Prime Minister telling porkies that Benny Wenda could stay in the country? Well he is a politician after all, and that’s what they excel in.

    Lorraine Joy Foote I hope and pray our politicians were listening to the sermon at Malcolm Frasers funeral today. It was magnificent. Please listen if you can. Good word for those ignoring West Papua and there were lots of politicians there too.

  • Langkah ULMWP Harus Didukung Semua Komponen Rakyat Papua

    Oleh : Redaksi | Minggu, 22 Maret 2015 – 12.38 WIB

    *Oleh: Yan Christian Warinussy “SUARAPAPUA.com

    Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, saya cenderung memandang bahwa langkah yang telah dilakukan oleh rakyat Papua melalui wadah pemersatu bernama United Liberation Movement for West Papua/ULMWP (Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat) saat ini tengah berada pada aras dan ruang yang tepat, proporsional serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum internasional, bahkan memenuhi syarat dan mekanisme yang dibenarkan pada tingkat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Langkah dimaksud adalah dimana pada awal dan pertengahan Desember 2014 lalu di Port Villa, Vanuatu, telah terjadi kesepakatan diantara 3 (tiga) organisasi politik rakyat Papua yang sangat berpengaruh untuk bersatu demi secara bersama-sama mendorong pendaftaran ulang aplikasi keanggotaan Papua Barat (West Papua) sebagai calon anggota pada Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Hal itu kemudian diwujudkan dengan ditandatanganinya Deklarasi Saralana oleh 3 pimpinan organisasi politik Papua, yaitu Buchtar Tabuni mewakili Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Rex Rumakiek mewakili West Papua National Coalition for LIberation (WPNCL) serta Edison K.Waromi atas nama Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB).

    Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pandangan bahwa apa yang sudah dicapai tersebut merupakan sebuah langkah maju dalam konteks perjuangan penegakan hak-hak politik rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat dan pribumi di dunia sebagaimana diatur di dalam Deklarasi Internasional tentang masyarakat adat dan pribumi di negara-negara merdeka.

    Pencapaian agenda pendaftaran secara resmi aplikasi keanggotaan rakyat Papua oleh para wakil mereka di ULMWP yang diwakili Sekretaris Jenderal ULMWP, Oktovianus Mote dan anggotanya ke Kantor Sekretariat MSG di Port Villa, Vanuatu, 5 Februari 2015 lalu.

    Ini merupakan sebuah langkah nyata dan semakin maju dari segi perjuangan penegakan hak-hak politik dan demokrasi rakyat Papua di tingkat internasional, sekaligus dapat dipandang sama dengan sebuah perjuangan perlindungan hak asasi dan hak dasar mereka yang selama 50 tahun sejak tahun 1963 terus dilanggar secara sistematis dan struktural oleh Pemerintah Indonesia.

    Oleh sebab itu, langkah yang sangat progresif ini sangat perlu mendapat dukungan nyata dan positif dari semua komponen perjuangan politik rakyat Papua, bahkan oleh mayoritas rakyat Papua di atas Tanah Papua secara keseluruhan.

    Kenapa demikian? Karena langkah yang sedang dilakukan tersebut adalah langkah yang sesuai dengan mekanisme hukum internasional sebagaimana diakui dan digunakan di tingkat PBB. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon di Auckland, Selandia Baru, beberapa tahun lalu, bahwa terhadap penyelesaian masalah Papua dapat ditempuh melalui dua jalan.

    Menurut Sekjen PBB, bilamana masalah Papua menyangkut soal hak asasi manusia, maka prosesnya harus dimulai dengan membawa dan membahas serta memutuskannya pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Council) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.

    Sedangkan jika hal itu merupakan masalah politik, maka mekanisme penyelesaiannya harus dibawa untuk dibahas dan diputuskan pada Komisi Dekolonisasi yang berada dibawah Majelis Umum PBB yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat.

    Dengan demikian, langkah rakyat Papua bersama ULMWP adalah sangat tepat, bermartabat dan memenuhi standar dan mekanisme serta prosedur hukum internasional yang diakui PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia, dimana Indonesia dan negara-negara berumpun Melanesia seperti halnya Vanuatu, Papua New Guinea (PNG), Fiji dan Solomon Island maupun Kaledonia Baru juga menjadi anggotanya.

    Bila pada pertemuan tingkat tinggi MSG pada Juni 2015 mendatang, aplikasi ULMWP dan rakyat Papua diterima dan status mereka menjadi anggota, maka sesungguhnya sebuah langkah progresif ke arah penyelesaian damai bagi masalah konflik politik berkepanjangan selama 50 tahun terakhir yang berdimensi pelanggaran HAM serius di Tanah Papua makin menemukan solusinya secara imparsial, damai, transparan, demokratis, bermartabat dan memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

    Oleh sebab itu, peran Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo hendaknya tidak bersifat konfrontatif dan sedikit lebih menyesuaikan diri dengan langkah-langkah damai yang sudah dibangun secara damai dan dalam periode yang cukup lama diantara ULMWP dan rakyat Papua dengan para saudara-saudaranya di negara-negara Pasifik serumpun Melanesia tersebut.

    Saya kira saudara Mote dan para anggota ULMWP akan sangat sedia untuk duduk secara terhormat berbicara bersama jajaran Pemerintah Indonesia saat ini dan di masa depan dalam mencari model penyelesaian damai bagi masalah-masalah sosial-politik di Tanah Papua selama 50 tahun terakhir ini secara damai kelak. Terutama setelah aplikasi ULMWP atas nama rakyat Papua diterima oleh MSG Juni mendatang.

    *Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Pemenang Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada.

  • Diplomasi dengan Negara-Negara Melanesia: Let us Do it In Melanesian Way

    Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)
    Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)

    Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Gen. TRP Mathias Wenda lewat Secretary-General Lt. Gen. Amunggu Tabi mengirimkan pesan-pesan singkat ke Crew PMNews dengan pesan berjudul: Menindaklanjuti Kunjungan para Menlu MSG Hari ini, Diplomasi di Melanesia perlu diteruskan dengan motto: “Let us Do It in Melanesian Way” bukan hanya diwarnai oleh motto: “Let us Do It Because We are Melanesians.”

    Mendapatkan pesan itu, PMNews menelepon MPP TRWP dan menanyakan penjelasan lebih lanjut. Dalam penjelasan per telepon Gen. Tabi menyatakan

    karena identitas, hargadiri dan martabat kita sebagai orang Melanesia hanya terorientasi kembali saat kita berdiplomasi lewat koridor, mekanisme dan jalur-jalur diplomasi ke-Melanesia-an” Kalau tidak begitu, diplomasi bangsa Papua pasti gagal, karena NKRI lebih duluan berjuang melawan penjajah, lebih duluan merdeka serta punya negara dan di atas semua ini, dia lebih duluan tahu menjajah pula. Jadi kekuatan Indonesia jangan kita anggap remeh.

    Berikut petikan wawancara.

    Papua Merdeka News (PMNews): Selamat pagi. Masih terlalu pagi, tetapi kami mendapat SMS tadi malam menyangkut kedatangan para Menlu MSG hari ini. Kami mau minta penjelasan lebih lanjut. Apakah bisa?

    Tentara Revolusi West Papua (TRWP): Kami sangat harapkan untuk mendapat telepon ini supaya bisa kami jelaslah lebih lanjut.

    PMNews: Pertama minta penjelasan tentang dua kalimat dalam bahasa Inggris tadi supaya kami umum bisa paham maknanya.

    TRWP: Oh ya. Pertama, “Let us Do it in Melanesian Way” artinya kita jangan lupa diri bahwa kita ini orang Melanesia, dan bahwa orang tua kita sudah tahu berdiplomasi dari sejak nenek-moyang kita dan kita sebagai satu keluarga Besar Melanesia masih memiliki budaya diplomasi Melanesia itu masih hidup dan merakyat secara baik di seluruh kawasan Melanesia sampai hari ini, bahkan sampai besok-pun. Jadi, selain diplomasi yang telah berhasil dengan melamar West Papua ke MSG dan ditindak-lanjuti dengan kunjungan ini, kita perlu topang keberhasilan ini dengan pendekatan-pendekatan ke-Melanesia-an.

    Artinya yang kedua ialah bahwa jangan kita terbatas melihat mereka yang datang semua orang Melanesia jadi kita sama-sama orang Melanesia menentang NKRI.

    Kita perlu ingat bahwa mereka yang datang itu sama-sama dengan NKRI mereka adalah anggota berbagai lembaga internasoinal, termasuk resmi di dalam MSG, APEC, mungkin juga ASEAN dan mereka semua sama-sama sesama anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka dalam konteks hubungan internasional adalah sahabat, negara tetangga, negara berkembang, negara-negara nob-blok. Sedangkan kita orang Papua bukan anggota dari semua ini. Secara rumpun kita sama, tetapi secara hukum internasional mereka sama-sama satu barisan. Jadi kita jangan terlalu berat menginjak kaki diplomasi kita di bingkai “Melanesia” saja tetapi kita harus perluas bingkai itu ke ruang “ke-Melanesia-an” sehingga komunikasi politik dan diplomasi dapat menembus ke alam sadar dan alam bawah sadar, alam logika dan alam darah, daging dan nafas.

    PMNews: Seperti biasanya dalam wawancara sebelumnya. Kami semakin tidak mengerti maksudnya. Bisa dijelaskan lebih praktis?

    TRWP: OK, to the point untuk kasus kunjungan yang sedang berlangsung sekarang, ya. Pertama, kita harus sambut mereka yang datang dengan menaikkan Upcakan Syukur kepada Tuhan, dan menyampaikan terimakasih kepada Papua New Guinea, PNG, Solomon Islands, Vanuatu dan Kanaky.

    Kalau para menteri yang datang itu melanggar atau tidak sesuai dengan keputusan rapat MSG baru-baru lalu di Noumea, dan kalau Vanuatu melakukan protes dan tidak mengirimkan Menlu-nya, dan setelah mereka datang dan NKRI sendiri mengatakan kedatangan mereka untuk melakukan hubungan bisnis antara West Papua dengan negara-negara Melanesia, maka jangan kita kebakaran jenggot.

    Kita harus mengiyakan dan menyatakan,

    “Ya betul. Indonesia betul, orang-orang Melanesia ini datang untuk bisnis dengan kita. Mereka tidak datang untuk bicara atau dukung Papua Merdeka. Jadi biarkan mereka datang sekarang. Kali ini NKRI silahkan undang, tetapi setelah kami bangun hubungan, besoknya NKRI tidak perlu undang karena mereka datang ke orang-orang mereka sendiri, ke kampung asal-usul mereka sendiri, ke penjaga dusun mereka sendiri yang mereka tinggalkan 50.000 tahun lebih waktu itu. Jadi, NKRi tidak perlu mengundang mereka lagi.

    Itu yang dimaksud oleh Rt. Hon Powes Parkop, MP, Gubernur DIK Port Moresby, bahwa jangan kita orang Papua di pulau New Guinea lihat pendekatan pemerintah PNG saat ini dengan kacamata negativ terus. Politik sekarang ialah “politics of engangement”, politik untuk memulai melihatkan pihak lain dalam suatu kegiatan (bisnis, dialog, politik, apa saja.)

    Sasarannya ialah menyambung kembali hubungan antar orang Papua atau antar orang Melanesia yang telah begitu lama terputus karena isolasi geografis, karena penjajahan, karena dekolonisasi dan karena neo-kolonialisme. Saat ini West Papua dikunjungi sebagai salah satu dari Negara-negara Melanesia yang masih diduduki dan dijajah pihak asing, dalam hal ini NKRI. Komunikasi lintas Melanesia terputus.

    Selama itu pula komunikasi antara negara-negara Melanesia dengan negara Indonesia tidak pernah terjadi dalam kaitannya dengan orang Melanesia di Tanah Papua bagian Barat. Topik yang umumnya dibahas hanyalah basa-basi dan demi “gentlemen’s agreement” seperti perdagangan bebas, penanaman modal dan kerjsama bisnis. Karena itu menang harus ada komunikasi, ada kunjungan timbal-balik, ada saling menyapa dan saling menegur, saling bertanya tentang isu-isu dan soal-soal apa saja antara NKRI dan negara-negara Melanesia. Selama ini NKRI dan negara-negara Melanesia hadir di forum-forum regional dan internasional membicarakan hal-hal yang tidak prinsipil, tidak dari hati ke hati. Jangankan menyebut soal HAM, menyebut nama “West Papua”-pun tidak pernah, hukumnya jadi “haram” dalam politik di kawasan Pasifik Selatan.

    Itulah sebabnya  Rt. Hon Powes Parkop, MP menyerukan agar kita (maksudnya negara-negara Melanesia) jangan berlama-lama berlaku seperti anjing dan kucing atau kucing dan tikus. Kita ini manusia beradab, kita harus “enganged” dalam berbagai kesempatan dan tempat, di berbagai peristiwa di semua lapisan berkomunikasi dan bertukar pendapat dan aspirasi. Untuk itu kita harus mulai di satu titik.

    Untuk memnjelaskan maksud beliau, dan saya sebagai orang Melanesia, saya carita satu mob tahun 80-an, yang berjudul: “Bisa makan cicak ka?” Mob ini berisi cerita tentang dua pemuda Papua: gadis dan remaja Papua yang selama sekolah di SMP mereka berkirim surat, dan suratnya penuh dengan kata-kata mutiara yang dikutip dari buku-buku kata mutiara yang mereka beli di toko-buku. Mereka tidak pernah bertatap-muka, mereka hanya saling memandang dari jauh. Setelah sampai masuk ke SMA yang sama, mereka punya kesempatan saling bertemu. Pada pertemuan pertama, mereka berdua sama-sama bingung mau bicara tentang apa, siapa yang mulai bicara dan bagaimana caranya memulai pembicaraan tentang cinta. Mungkin sekitar 5 menit berlalu, tidak ada yang berani memulai cerita “cinta”. Tiba-tiba dua ekor “cecak” jantan dan betina berkelahi di langit-langit kelas di mana mereka duduk, dan jatuh “Buuup!” tepat di tengah-tengah meja di mana mereka dua duduk membisu. Keduanya kaget, tetapi si pemuda lebih duluan curi kesempatan. Belum satu detik setelah cecak jatuh, dia langsung tanya si gadis, “Bisa makan cicak ka?” Lalu si gadis membalas, Baru ko?

    Jadi, pertanyaan ini tidak punya makna apa-apa. Dan kalau ditanyakan kepada si pemuda ini, dia tidak bisa menjelaskan kenapa ini pertanyaan keluar dari mulutnya. Tetapi satu hal yang pasti dia akan jawab, “Ini pemicunya, sehingga kami menjadi ‘engaged’ dalam percakapan lanjutan tentang cinta …” Kejatuhan cecak inilah yang Rt. Hon Powes Parkop, MP katakan sebagai  “politics of engagement”. Harus ada sesuatu dimulai, mesti ada pemicu yang menggiring (men-engage) NKRI dan orang Papua (penghuni pulau New Guinea) untuk mulai berkomunikasi sebagaimana manusia beradab dan negara demokratis. Pemicu itu tidak harus yang terpenting dan yang dipuji oleh semua pihak. Ia mungkin yang dihujat oleh orang Papua di Timur dan Barat pulau New Guinea, tetapi Indonesia harus di-“enganged” dalam hubungan antar kedua bangsa “bangsa Papua dan bangsa Indonesia”. “Bangsa Papua” atau “orang Papua” di sini semua orang penghuni pulau terbesar kedua di dunia: New Guinea.

    Itu maksud pertama dengan pernyataan tadi. Kemudian…

    PMNews: Mohon maaf. Sekali lagi, minta maaf! Kami harus hentikan di sini. Waktu sudah pagi dan para tamu sudah pasti mendarat. Kami akan lanjutkan wawancara sebentar siang atau malam atau sore.

    TRWP: OK Baik, nanti hubungi lagi. Terimakasih.

    Enhanced by Zemanta
  • Melawan Perintah Otopsi Jenazah Danny Kogoya, Kepala RS Vanimo Ditahan

    The main entrance of the parliament building i...
    The main entrance of the parliament building in Port Moresby, Papua New Guinea. (Photo credit: Wikipedia)

    Jayapura, 9/1 (Jubi) – Pengadilan Vanimo hari ini, Kamis (9/1) telah memerintahkan Kepolisian Vanimo untuk menangkap Kepala Rumah Sakit Vanimo, Dokter Stela Jimmy. Dokter ini ditangkap karena telah melawan perintah pengadilan dalam penyelidikan kematian Danny Kogoya.

    Bonn Amos, Magistrate Coroner di Pengadilan Vanimo, melalui telepon selulernya membenarkan penangkapan kepala Rumah Sakit Vanimo ini. Amos, pejabat Pengadilan Vanimo yang mengeluarkan laporan kematian Danny Kogoya sebagai kasus pembunuhan ini mengatakan polisi Vanimo menahan Dokter Stella karena dokter ini mengeluarkan surat atas nama rumah sakit yang menunjuk doter lain untuk melakukan otopsi jenazah Danny Kogoya. Ini berlawanan dengan perintah pengadilan Vanimo dan permintaan keluarga.

    “Ya. Pengadilan telah memerintahkan polisi Vanimo untuk menahan kepala Rumah Sakit Vanimo. Ia ditangkap sekitar jam 9.30 tadi dan sudah dibawa ke pengadilan. Dokter ini ditahan karena melawan perintah pengadilan. Pengadilan telah memerintahkan dokter Philip Gopak dari Port Moresby dan seorang dokter dari Srilanka untuk melakukan otopsi, tapi dokter Stella menunjuk dokter lain.”

    kata Bonn Amos kepada Jubi melalui telepon selulernya, Kamis (9/1) pagi.

    Amos juga menegaskan bahwa kasus kematian Danny Kogoya ini berada di wilayah hukum Papua New Guinea (PNG) sehingga dalam hal ini, siapapun harus tunduk pada perintah pengadilan PNG.

    “Danny Kogoya meninggal di PNG. Pengadilan Vanimo sudah memastikan ia meninggal karena dibunuh dan sudah ada perintah pengadilan untuk melakukan penyelidikan dan melakukan otopsi oleh dokter yang ditunjuk pengadilan. Ini wilayah hukum PNG. Siapapun tidak boleh melakukan tindakan apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahuan pengadilan PNG. Sekalipun itu pihak Rumah Sakit atau Konsulat Indonesia. Jenazah Danny Kogoya milik negara saat ini.”

    kata Bonn Amos.

    Informasi yang dikumpulkan Jubi mengindikasikan adanya konspirasi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Vanimo dengan pihak tertentu yang berkepentingan dengan jenazah Danny Kogoya. Pihak Rumah Sakit diketahui telah memaksa keluarga Danny Kogoya untuk melakukan otopsi pada tanggal 7 Januari 2013.

    Meskipun sebelumnya telah disepakati oleh masing-masing pihak bahwa otopsi harus dilakukan paling lambat tanggal 7 Januari, namun otopsi ini gagal dilakukan pada tangggal tersebut. Dokter yang ditunjuk pengadilan masih berlibur sedangkan dokter yang ditunjuk Rumah Sakit Vanimo tak bisa datang karena anaknya mengalami kecelakaan. Karena dokter yang ditunjuk oleh Rumah Sakit ini tak bisa datang, pihak Rumah Sakit memaksa keluarga Danny Kogoya untuk memastikan dokter Philip Gopak melakukan otopsi pada hari itu juga, tanggal 7 Januari dengan alasan jenazah Danny Kogoya harus dikeluarkan dari Vanimo secepatnya karena membawa virus penyakit berbahaya, sementara otopsi untuk mengetahui penyebab kematian Danny Kogoya belum pernah dilakukan.

    “Karena dokter yang mereka tunjuk tidak bisa datang, pihak Rumah Sakit Vanimo memberi kami waktu dua jam untuk memastikan dokter Philip melakukan otopsi. Mereka bilang, jenazah harus dikeluarkan dari Vanimo karena membawa penyakit berbahaya.”

    kata Jeffrey Pagawak kepada Jubi (9/1).

    Menurut Jeffrey, usai pemeriksaan dokter Stella, Pengadilan Vanimo tetap memerintahkan otopsi dilakukan oleh Dokter Philip Gopak bersama seorang dokter yang independen.

    “Pengadilan telah memerintahkan melanjutkan penyelidikan dan proses otopsi dilakukan oleh dua doter yang diminta keluarga. Pihak Rumah Sakit juga telah diperintahkan untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahun pengadilan.”

    kata Jeffrey. (Jubi/Victor Mambor)

    Author : Victor Mambor on January 9, 2014 at 12:30:24 WP, JUBI

    Enhanced by Zemanta
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?