Tag: dukungan PNG

  • Sir Michael Somare : Kami Melanesia Harus Membuat Pilihan yang Benar untuk Papua

    Tezt Asli dalam Bahasa Inggris di sini

    Diterjemahkan oleh CEB-DoOPM, 18 Juli 2016.

    The four Melanesian prime ministers of Papua New Guinea, Solomon Islands, Vanuatu, and Fiji will come together in Honiara, Solomon Islands today as chairman Manasseh Sogavare hosts the 23rd Melanesian Spearhead Group Special Leader’s Summit.

    Empat Perdana Menteri, masing-masing dari Papua New Guinea, Kepulauan Solaiman, Vanuatu dan Fiji akan berkumpul bersama di Honiara, Kepulauan Solaiman hari ini saat ketua MSG Sogavare memimpin KTT MSG yang ke 23.

    Dekolonisasi dan kemerdekaan negara-ngara Melanesia adalah proses pembebasan yang dekat di hati saya. The Noumea Accord, misalnya, menjadi simbol dalam mengejar kemandirian dan otonomi yang sinonim dengan hak dan kebebasan yang tersedia bagi semua umat manusia dari negara ini.

    Dalam prakteknya accord ini menyediakan bantuan teknis, program pelatihan untuk masyarakat Kanak yang masih ada dalam kedaulatan Perancis saat ini.

    Pengaturan seperti ini telah menyadiakan sebuah kerangka hukum dan praktis untuk penduduk pribumi Kaledonia Baru untuk sepenuhnya menentukan nasib mereka sendiri, bahkan sampai memperoleh keperdekaan yang mereka dambakan.

    Keputusan-keputusan yang kamibuat pada KTT MSG dalam dua hari ke depan ini mengandung nilai-nilai untuk generasi mednatang dari masyarakat Melanesia yang akan memandang solidaritas kami dengan kekaguman bilamana kita membuat keputusan yang benar menyangkut dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri.

    Mulai hari ini kami akan mulai menceritakan cerita kami sendiri, cerita tentang hak konstitusional dan universal kami untuk memperoleh kemerdekaan yang diberikan kepada kami dalam kemerdekaan negara-negara kami masing-masing.

    Hari ini kami mampu, dengan jalan aklamasi, memicu proses untuk penentuan nasib sendiri yang lebih luas yang akan dinikmati oleh orang Papua di Tanah Papua.

    ‘Founding Father’
    Sebagai seorang Pendiri” saya terdorong oleh kemajuan yang telah dibuat dalam isu kunci dari West Papua untuk menjadi anggata penuh dari Melanesian Spearhead Group.

    Saya terinspirasi bahwa pejabat senior MSG, para menteri dan pemimpin tetap mengedepankan aklamasi walaupun menghadapi isu-isu diplomatik, ekonomi, sosial dan politik yang rumit dan sensitif.

    Konsultasi yang sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak di antara para negara-negara anggota MSG dan satu wilayah dalam mempertimbangkan jejak masa depan dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri untuk West Papua begitu penting sekarang lebih-lebih demikian daripada yang pernah ada sebelumnya.

    Kita dapat memperkuat Melanesian Spearhead Group dan kawasan  kami, yaitu termasuk West Papua, dengan menjamin bahwa para pemimpin Melanesia di Honiara mengesahkan lamaran United Liberation Movement for West Papua untuk keanggotaan penuh dari Melanesian Spearhead Group

    Kami satu kaum terbentang di antara banyak pulau dan lautan, dipisahkan oleh lautan dan gunung-gunung dalam keragaman jurisdiksi kedaulatan pula.

    Leluhur kami bergerak dengan bebas dalam tanah kami dan laut kami selama berabad-abad lamanya sebelum kaum kolonial dan umat Kristen melakukan intervensi ke dalam kehidupan kami.

    Kami harus memegang roh masyarakat yagn luas dalam usaha-usaha modern kami dalam diplomasi dan kerjasama internasional dan dialog.
    We must hold onto that spirit of a vast community that underpins our modern efforts within diplomacy and international cooperation and dialogue.

    Political upheaval
    Semua negara-negara anggota MSG dan satu wulayah telah mengalami beberapa tingkat gangguan politik dan konflik sipil yang membutuhkan reformasi politik dan ekonomi yang tegas dan deklarasi agar terjadi transisi secara damai.

    Expor kekayaan mineral dan komoditas pertanian menjadi sumber utama pendapatan dari semua negara dan satu wilayah dalam kawasan MSG.

    Karena itu sangatlah penting untuk berupaya mempertahankan stabilitas politik agar mendorong keberlanjutan ekonomi dan lingkungan demi masa depan semua orang Melanesia yang lebih baik.

    Akan tetapi sub-region kami hanya dapat menjadi makmur ketika semua isu politik, ekonomi, sosio-budaya dan lingkugnan hidup dipertimbangkan dengan bobot yang sama dikaitkan dengan kebutuhan dari semua kaum kami.

    Potensi pertumbuhan kami bergantung kepada hubungan-hubungan diplomatik dan dinas kami, hubungan kami dan jaringan kami dengan dunia ini. Akan tetapi sebagai sebuah kelompok yang terkait secara etnis kami selama ini selalu bergantung kepada berbicara, bertukaran dan berpartisipasi secara budaya.

    Sesungguhnya kami semua orang Melanesia. Itulah yang membuat kami berbeda.

    Kami membawa fitur beberbeda-bda dimaksud ke forum tetapi minggu ini di KTT Pemimpin Khusus Melanesian Spearhead Group kami punya peluang yang unik sekali lagi untuk mengambil keputusan menyangkut masa depan kita dengan integritas sebagai negara-negara yang memerintah sendiri dan negara-negara merdeka sebagai blok sub-regional yang sangat kuat.

    Lebih daripada sebelumnya, sub-region perlu memasukkan West Papua sebagai bagian yang tak terpisahkan daripadanya dan, sebagai anggota yang mengambil bagian secara setara.

    Rt Hon Grand Chief Sir Michael T Somare
    Port Moresby

  • Puluhan Ribu Rakyat Papua Berpindah Jadi Warga Negara PNG

    Penulis: Eben E. Siadari 18:19 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Setidaknya 10.000 rakyat Papua akan beralih menjadi warga negara Papua Nugini, setelah beberapa dekade berada di negara itu dengan status sebagai pengungsi.

    Otoritas Kependudukan dan Imigrasi Papua mengatakan akan mulai mendaftar semua pengungsi Papua yang telah menyeberang dari Indonesia dengan status pengungsi ke PNG.

    “Sejauh ini kami memiliki lebih dari 10.000 pengungsi dari Papua yang telah tinggal bersama kami untuk waktu yang sangat lama, dan kami telah memulai pendaftaran mereka dengan harapan akhirnya memberikan mereka status hukum,” kata Wakil Kepala Migrasi untuk Divisi Pengungsi PNG, Esther Gaegaming, sebagaimana dilansir dari asiapacificreport.nz.

    “Kami senang mengumumkan bahwa lebih dari 1000 dari mereka, telah menyelesaikan aplikasi dan mereka akan menghadap Komite Penasihat Kewarganegaraan segera untuk penerbitan kewarganegaraan mereka,” tambah dia lagi.

    “Jumat ini, tim dari kantor kami akan memulai pendaftaran di Vanimo, salah satu dari daerah pemukiman pengungsi terbesar bagi pengungsi Papua. Kami akan pergi ke Wewak setelah itu dan kemudian ke Lae.”

    “Jadi pada akhir tahun ini, kami berharap untuk lebih dari 85 persen dari pengungsi Papua sudah terdaftar,” kata dia.

    “Saya bangga mengatakan bahwa PNG memenuhi kewajibannya sebagai penandatangan Konvensi 1951 PBB tentang status pengungsi. PNG sekarang memiliki kerangka hukum dan prosedural untuk memproses klaim pengungsi di bawah Undang-Undang dan Peraturan Migrasi,” kata Gaegaming.

    “Kami juga memiliki sistem di tempat untuk pendaftaran dan naturalisasi pengungsi dari Papua yang telah tinggal di Papua Nugini selama beberapa dekade.”

    “Kami juga memiliki kebijakan pengungsi nasional yang jelas dalam hal-hal pengungsi, termasuk pedoman tentang pemukiman kembali pengungsi di PNG. Dan yang terutama, kami memiliki tim yang dikhususkan menangani hal ini,” kata dia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • PM Papua Nugini dan PM Solomon Bertemu Bahas Isu Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 17:28 WIB | Senin, 29 Februari 2016

    Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O Neill (Foto: RNZI / Koro Vaka'uta)
    Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O Neill (Foto: RNZI / Koro Vaka’uta)

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM -Surat kabar Papua Nugin (PNG)i, National, melaporkan bahwa PM negara itu, Peter O Neill, mengatakan akan terus memelihara dialog dengan Indonesia dengan cara yang terhormat berkaitan dengan isu keselamatan dan keamanan atas rakyat Papua, yang ia istilahkan sebagai “saudara Melanesia kami.”

    Menurut laporan Radio New Zealand Inetrnasional (RNZI), O Neill bertemu dengan PM Solomon, Manasseh Sogavare, yang juga ketua Melanesian Spearhed Group (MSG) di Port Moresby, hari ini (29/2).

    Sogavare mengunjungi Port Moresby, ibukota PNG, dalam rangka tur ke negara-negara anggota MSG mendiskusikan isu-isu yang berkembang di MSG, seperti kondisi hak asasi manusia di wilayah Papua. MSG adalah perhimpunan negara-negara di Pasifik Selatan, yang beranggotakan empat negara Melanesia, Fiji, PNG, Solomon Islands dan Vanuatu. Selain itu turut pula bergabung dengan MSG yaitu Kanak and Socialist National Liberation Front of New Caledonia.

    Pada bulan Jun 2015, Indonesia disahkan sebagai associate member, sedangkan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berstatus sebagai observer.

    O’Neill mengatakan bahwa ia akan mempertahankan dialog dengan Jakarta dalam cara yang “terhormat … dengan fokus untuk membangun saling pengertian dalam kaitannya dengan keselamatan dan keamanan jutaan saudara-saudara Melanesia kami di sepanjang perbatasan.”

    Dia mengatakan Papua Nugini tetap menjadi pendukung kuat MSG yang berkantor pusat di Vanuatu. Ia menegaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan oleh kelompok sub regional itu tetap relevan bagi rakyat Melanesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • 20 Uskup Negara-negara Melanesia Turun ke Papua, Ada Apa?

    Rabu, 13 April 2016

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tanpa banyak menarik perhatian pemberitaan media mainstream Jakarta, sebanyak 20 uskup Gereja Katolik Papua Nugini dan Kepulauan Solomon mengunjungi Jayapura akhir pekan lalu. Di antara mereka yang datang, adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat dan Uskup Agung Honiara, Solomon Islands, Adrian Smith.

    Media Australia, abc.net.au, yang pertama kali  melaporkan adanya kunjungan itu, tidak menyebutkan kapan persisnya para uskup menginjakkan kaki di Papua. Namun menurut Markus Haluk, tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang turut menghadiri misa yang diadakan para uskup itu, rombongan uskup tiba di Jayapura pada hari Jumat 8 April pukul 09:00. Mereka pulang pada hari Sabtu pukul 14:00.

    “Sebanyak 20 uskup, tiga dari Solomon Island dan 17 dari Papua Nugini. Selain itu ada 2 pastor imam dan dua suster,” kata Markus Haluk lewat pesan singkat kepada satuharapan.com.

    Di antara agenda mereka adalah mengunjungi STFT Fajar Timur, RS Katolik Dian Harapan, pertemuan dengan uskup-uskup Papua dan misa bersama.

    Para aktivis setempat mengatakan kunjungan para uskup itu terkesan mendadak dan tidak diumumkan secara luas. Bis dan personel militer dilaporkan mengangkut dan mendampingi mereka selama kunjungan ke Papua.

    Frederika Korain, aktivis dan pengacara di Papua, mengatakan kunjungan para uskup itu sama sekali tak terduga.

    “Merupakan kejutan besar bagi kami, karena sudah puluhan tahun tidak ada delegasi sebesar itu datang ke tanah kami,” kata dia, kepada abc.net. au.

    Ia menambahkan, dirinya baru mengetahui adanya kunjungan itu pada hari pertama mereka tiba di Papua, pada sore hari. Info tersebut ia dapatkan dari pelajar yang bertemu dengan para uskup.

    “Mereka datang dari perbatasan Papua Nugini dengan mengendarai bis militer, dikawal oleh personel militer, beberapa di antara mereka berseragam, yang lainnya tidak,” kata Frederika.

    Para aktivis yang mendengar adanya kunjungan itu, segera mencoba berbagai cara untuk datang dan menemui mereka. Namun, kata Frederika, pengawal oleh personel militer sangat ketat dan ia menilai kunjungan para uskup ke Papua agak tertutup.

    Sebuah kelompok perempuan Katolik di Papua mengatakan, kunjungan para uskup dari negara-negara Pasifik Selatan ini adalah semacam misi pencarian fakta (fact finding).

    Apakah mereka dapat menemukan fakta yang sebenarnya di Papua?

    “Saya pikir mereka tidak akan mendapatkan gambaran yang akurat tentang kehidupan di Jayapura. Mereka tidak punya waktu bertemu dengan penduduk biasa,” kata Frederika.

    Kendati demikian, kedatangan para uskup itu tetap mendapat apresiasi. Kedatangan mereka diharapkan dapat memberi mereka gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi di Papua.

    “Kami mendapat pernyataan yang jelas, khususnya dari presiden Bishop Conference, yang bertemu dengan Uskup Agung Jayapura. Bahwa mereka akan datang lagi dan ingin mendengarkan apa yang terjadi di sini (Papua),” kata Frederika.

    Menurut Markus Haluk, pertemuan ini adalah inisiatif dari para uskup Kepulauan Solomon dan Papua Nugini. Hanya saja mereka diantar dan dijemput dengan mobil bis Kodam 17 Cendrawasih.

    “Tanggapan saya, kami menyambut baik kunjungan bersejarah uskup Solomon dan Papua Nugini. Sudah saatnya uskup-uskup Melanesia dari Papua Nugini dan Solomon mendengar, melihat langsung, tangisan penderitaan umat pribumi Katolik (Kristen) Melanesia di West Papua,” kata Markus Haluk.

    “Sudah waktunya para uskup Melanesia dan Oceania, Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, Uni Eropa, AS bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus, mendoakan kami guna menyelamatkan umat Tuhan di Melanesia, Papua Barat yang sedang menuju kepunahan,” kata dia.

    Sebelum ini, Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, telah membuka kembali mata dunia internasional atas pelanggaran HAM di Papua dengan terungkapnya laporan yang disajikan sebuah tim pencari fakta yang mereka kirim ke Papua.

    Dalam laporan itu dikatakan  warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.

    Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua pada bulan Februari.

    Laporan itu mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

    Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa “orang (pemerintah) Indonesia ingin mengganti agama Kristen dengan Islam”.

    Penulis laporan tersebut, Suster Susan Connelly dari Kesusteran Josephite, berangkat ke Papua didampingi oleh oleh executive officer Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt.

    Selama misi pencarian fakta, mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.

    Belum diketahui apakah isi laporan mereka akan menjadi sikap resmi Gereja Katolik.

    TNI Amati Sikap Gereja Katolik

    Berkaitan dengan kunjungan para uskup tersebut, menurut Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, pemerintah pusat khususnya TNI, selalu berusaha mengamati sikap dan posisi gereja, dalam konstelasi konflik di Papua.

    Hanya saja, kata Adriana, dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, Senin (11/4), di Papua jumlah gereja banyak. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan satu kesimpulan mengenai posisi mereka dalam menyikapi keinginan sementara kalangan rakyat Papua yang menuntut ingin menentukan nasib sendiri (self determination).

    Menurut Adriana, sikap Gereja Katolik lebih dapat dibaca antara lain karena hirarki organisasinya yang jelas.

    “Gereja di Papua kan banyak. Saya melihat Katolik lebih mudah membacanya,” tutur dia.

    Sikap Gereja Katolik selama ini, kata Adriana, adalah fokus pada misi kemanusiaan. Itu sebabnya, kata Adriana, Gereja Katolik sangat menentang pelanggaran HAM di Papua.

    Namun, ia menambahkan, dalam hal perjuangan untuk menentukan nasib sendiri atau merdeka di kalangan rakyat Papua, sikap Gereja Katolik sudah disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Duta Besar Indonesia untuk Vatikan.

    Menurut Adriana, Paus mengatakan kepada Dubes, bahwa Gereja Katolik tetap mendukung Papua sebagai bagian dari NKRI. Namun di sisi lain, pemerintah pusat harus memperhatikan Papua secara serius.

    “Paus sudah menyampaikan kepad Dubes kita bahwa Vatikan mendukung Indonesia, Papua di dalam Indonsia, tetapi tolong perhatikan Papua,” tutur Adriana, menirukan pesan Paus.

    Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Gereja Katolik tentang hal ini.

    Di luar Katolik, diakui oleh Adriana, banyak juga gereja yang pro-kemerdekaan. “Jemaatnya juga banyak dan mereka mendukung adanya dialog. Dan mereka sudah sampai pada tuntutan yang konkret. Mereka umumnya bicara tentang hal yang sama. Apalagi kalau bicara tentang pelanggaran HAM, suaranya sama,” kata Adriana

    “Dari TNI yang paling dikahwatirkan memang posisi gereja Katolik. Kalau sudah diasumsikan bahwa mereka pro kepada merdeka, itu yang paling ditakuti tentara. Sejauh ini belum. Posisi gereja membela kemanusiaan, bukan pro kemerdekaan.”

    Laporan lengkap dari hasil kunjungan para uskup ini, menurut radionz.co.nz diharapkan rampung pada akhir bulan ini.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Gerakan kemerdekaan Papua Barat galang dukungan

    BBC Indonesia – Pimpinan gerakan Papua Barat, Benny Wenda, menyampaikan kembali tuntutan untuk pemungutan suara bagi masa depan politik Papua.

    Kali ini dia menyampaikannya lewat konferensi pers di sebuah hotel berbintang empat di pusat kota London, menjelang pertemuan dengan beberapa anggota parlemen Inggris, Selasa (03/05).

    Lewat pernyataan persnya, Wenda mengatakan selain penegakan hak asasi manusia di Papua Barat, Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP) juga menuntut penentuan nasib sendiri untuk masa depan politik.

    “Gerakan kami yakin satu-satunya cara untuk mencapainya dengan damai adalah melalui proses penentuan nasib sendiri yang melibatkan pemungutan suara yang diawasi secara internasional.”

    “Hal itu harus dilakukan sesuai resolusi Majelis Keamanan PBB 1514 dan 1541, yaitu dalam kasus Timor Timur, yang sekarang harus menjadi kasus di Papua Barat,” tambahnya.

    Walau upaya untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan, agaknya kali ini mereka ‘mengemasnya’ dengan dukungan internasional, paling tidak dari Melanesian Spearhead Group (MSG), yang terdiri dari Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu.

    Hadir dalam konferensi pers di London, antara lain Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pohiva, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Bruno Leingkone, Utusan Khusus Kepulauan Solomon untuk Papua Barat, Rex Horoi, serta Gubernur Distrik Oro di Papua Nugini, Gary Juffa.

    Dalam kesempatan itu, PM Pohiva mengaku tidak tahu persis rincian situasi di Papua namun terjadi pelanggaran hak asasi dan menegaskan dukungan atas setiap perjuangan penentuan nasib sendiri.

    Sementara Menteri Luar Negeri Vanuatu, Bruno Leingkone, menegaskan rasa persatuan dengan Papua Barat.

    “Vanuatu sudah membuat jelas posisinya mendukung rakyat Papua Barat. Kami semua adalah satu. Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi dan menyatakan tidak ada kekerasan kepada saudara-saudara kami di Papua Barat.”

    Sedangkan Kepulauan Solomon sudah menyetujui anggaran untuk utusan khusus yang akan dibantu oleh seorang penasehat strategis.

    “Jadi keduanya akan membentuk tim untuk membangun koalisi di Pasifik dan di dunia untuk mengambil tindakan karena perjuangan Papua Barat sudah terlalu lama,” jelas Rex Horoi.

    Usai menyampaikan tuntutan dengan dukungan dari MSG, Benny Wenda -yang dulu pernah ditangkap di Indonesia dan kini tinggal di Oxford Inggris- bertemu dengan beberapa anggota parlemen Inggris untuk meminta dukungan.
    Masalah Papua ‘sudah final’

    Pemerintah Indonesia sendiri menegaskan tidak menerima gagasan penentuan nasib sendiri di Papua.

    Hari Senin (02/05), lebih dari 1.000 orang di Papua ditangkap ketika menggelar aksi dukungan atas gerakan kemerdekaan Papua, yang menurut polisi bertentangan dengan kedaulatan negara. Mereka kini sudah dibebaskan.

    Di London, Koordinator Fungsi Penerangan KBRI, Dino R Kusnadi, menegaskan kembali posisi pemerintah Indonesia.

    “Sudah jelas sikap dan posisi Indonesia bahwa masalah Paua sudah final. Papua sebagai kesatuan NKRI (Negara Kesaturan Republik Indonesia) kembali ke pangkuan Indonesia melalui act of free choice. Ini juga sudah disahkan oleh PBB, sehingga bagi kami sudah final.”

    Dino juga mempertanyakan kedatangan para pejabat pemerintah beberapa negara MSG dalam pertemuan dan konferensi pers di London karena belum tentu mewakili MSG tapi sebagai individu.

    “Kedua mereka ingin membesarkan suport kepada mereka (lebih) dari kenyataannya. Itu adalah bagian supaya mereka nendapat kredibilitas tapi selama ini bisa kita katakan seluruh dunia sudah mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.
    ‘Menurunnya’ proporsi warga Papua

    Sekjen ULMWP, Octovianus Mote, mengatakan bahwa dukungan dari negara-negara MSG amat berperan dalam pergerakan Papua Barat.

    “Anda bisa melihat sekarang ini, bukan hanya saya dan Benny (Wenda), tapi juga para pemimpin negara-negara Melanesia menyatakan dukungannya sebagai kekuatan kami,” jelasnya.

    Pelapor khusus PBB untuk Penyiksaan pada tahun 2010, sudah menempatkan Papua Barat dalam 10 bangsa di dunia yang akan punah jika tidak ada campur tangan internasional.”
    Octovianus Mote

    Dia juga mengungkapkan sebuah perkiraan bahwa pada tahun 2020 nanti maka proporsi warga asli Papua di wilayah itu hanya sekitar 25% dari total penduduk.

    “Pelapor khusus PBB untuk Penyiksaan pada tahun 2010, sudah menempatkan Papua Barat dalam 10 bangsa di dunia yang akan punah jika tidak ada campur tangan internasional,” tambahnya.

    Berdasarkan data sekitar tiga tahun lalu, menurut Mote, terdapat warga asli Papua sekitar 48% sedangkan pendatang mencapai 52% dari total penduduk di Papua.

    Mote -yang pernah menjadi wartawan Kompas sebelum mengungsi ke Amerika Serikat- meminta perlu diakhirinya hal yang disebutnya sebagai ‘genosida yang bergerak pelan’ yang dilakukan Indonesia di Papua.

  • Menlu Papua Nugini: Kami Tidak Tertarik Bicara Papua Merdeka

    Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato (Foto: RNZ/Johnny Blades)
    Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato (Foto: RNZ/Johnny Blades)

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, mengatakan Papua adalah bagian integral dari Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Negaranya tidak tertarik untuk membicarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    “Posisi Papua Nugini selalu pada pandangan bahwa provinsi Irian Jaya (nama lama dari  Papua) merupakan bagian integral dari bangsa yang berdaulat Indonesia. Jadi kami tidak tertarik membicarakan masalah penentuan nasib sendiri, karena itu tidak pernah menjadi masalah bagi kami, dan itu tidak pernah menjadi perhatian bagi kami,”

    kata Rimbink dalam wawancara dengan Johnny Blades dari radionz.co.nz.

    Kendati demikian, Papua Nugini, menurut dia, menganggap masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tetap menjadi keprihatinan, seperti telah terungkap[ dalam resolusi yang dikeluarkan oleh pemimpin Pacific Island Forum di Port Moresby.

    “Perdana menteri kami telah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dan memberitahukan resolusi itu; dan mungkin akan ada respon untuk itu. Tapi itu bukan masalah yang ada hubungannya dengan panggilan apapun untuk menentukan nasib sendiri,”

    kata dia.

    Komentar Rimbink merupakan jawaban atas berbagai spekulasi atas kunjungan Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan ke Papua Nugini, yang oleh banyak kalangan dikatakan untuk menekan negara itu untuk tidak mendukung kelompok yang selama ini menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    Rimbink juga menegaskan bahwa kerjasama Papua Nugini dengan Indonesia berlangsung cukup erat. Termasuk dalam berbagai masalah yang dihadapi, seperti soal kebakaran hutan di Merauke dan ketegangan militer di perbatasan.

    “Ada beberapa insiden baru-baru ini sepanjang perbatasan tapi kami mampu bekerja sangat erat dengan pemerintah Indonesia dan membawa masalah tersebut ke sebuah resolusi. Dan, seperti yang saya katakan, Papua Nugini menjadi teman yang sangat dekat dari Indonesia, dan Indonesia mempercayai negara kami, sehingga tidak ada yang kami ingin lakukan yang akan menggantikan kepercayaan dari rakyat dan pemerintah Indonesia kepada kami.”

    Namun pada saat yang sama ia menekankan bahwa  isu hak asasi manusia tetap penting dan mengharuskan Indonesia dan Papua Nugini bekerjasama.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Menlu Papua Nugini: Kami Tidak Tertarik Bicara Papua Merdeka

    Menlu Papua Nugini: Kami Tidak Tertarik Bicara Papua Merdeka

    Penulis: Melki Pangaribuan 17:57 WIB | Jumat, 01 April 2016

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, mengatakan Papua adalah bagian integral dari Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Negaranya tidak tertarik untuk membicarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    “Posisi Papua Nugini selalu pada pandangan bahwa provinsi Irian Jaya (nama lama dari  Papua) merupakan bagian integral dari bangsa yang berdaulat Indonesia. Jadi kami tidak tertarik membicarakan masalah penentuan nasib sendiri, karena itu tidak pernah menjadi masalah bagi kami, dan itu tidak pernah menjadi perhatian bagi kami,” kata Rimbink dalam wawancara dengan Johnny Blades dari radionz.co.nz.

    Kendati demikian, Papua Nugini, menurut dia, menganggap masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tetap menjadi keprihatinan, seperti telah terungkap[ dalam resolusi yang dikeluarkan oleh pemimpin Pacific Island Forum di Port Moresby.

    “Perdana menteri kami telah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dan memberitahukan resolusi itu; dan mungkin akan ada respon untuk itu. Tapi itu bukan masalah yang ada hubungannya dengan panggilan apapun untuk menentukan nasib sendiri,” kata dia.

    Komentar Rimbink merupakan jawaban atas berbagai spekulasi atas kunjungan Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan ke Papua Nugini, yang oleh banyak kalangan dikatakan untuk menekan negara itu untuk tidak mendukung kelompok yang selama ini menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    Rimbink juga menegaskan bahwa kerjasama Papua Nugini dengan Indonesia berlangsung cukup erat. Termasuk dalam berbagai masalah yang dihadapi, seperti soal kebakaran hutan di Merauke dan ketegangan militer di perbatasan.

    “Ada beberapa insiden baru-baru ini sepanjang perbatasan tapi kami mampu bekerja sangat erat dengan pemerintah Indonesia dan membawa masalah tersebut ke sebuah resolusi. Dan, seperti yang saya katakan, Papua Nugini menjadi teman yang sangat dekat dari Indonesia, dan Indonesia mempercayai negara kami, sehingga tidak ada yang kami ingin lakukan yang akan menggantikan kepercayaan dari rakyat dan pemerintah Indonesia kepada kami.”

    Namun pada saat yang sama ia menekankan bahwa  isu hak asasi manusia tetap penting dan mengharuskan Indonesia dan Papua Nugini bekerjasama.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Di Sidang Dewan HAM, SOlomon Minta PBB Turun ke Papua

    Kamis, 17 Maret 2016 | 04:59 WIB

    TEMPO.COJayapura – Sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) ke-31 di Jenewa, Swiss berlangsung pada 29 Februari hingga 24 Maret mendatang. Berbagai isu HAM di berbagai negara anggota PBB disampaikan dalam sidang ini. Salah satunya isu HAM di Papua yang disampaikan oleh delegasi Kepulauan Solomon.

    Dalam sesi pleno 15 Maret, Barrett Salato, yang menjadi Ketua delegasi Kepulauan Solomon di sidang Dewan HAM PBB, menyampaikan beberapa isu HAM di Papua yang menjadi perhatian bukan saja Kepulauan Solomon, melainkan juga Melanesia Spearhead Groups (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF).

    “Kami sangat menghargai pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua. Melalui Otonomi Khusus ini, banyak sumber daya pembangunan yang disediakan untuk Papua, termasuk untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kami juga mengapresiasi meningkatnya perhatian Presiden Indonesia Joko Widodo kepada Papua sejak ia terpilih sebagai Presiden,” kata Barrett Salato.

    Meski demikian, lanjut Barrett Salato, negaranya memiliki kepedulian besar pada berbagai laporan tentang penahanan, pembunuhan, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul yang terjadi di Papua.

    “Hal-hal ini menunjukkan indikasi kuat adanya diskriminasi rasial yang terjadi pada Orang Asli Papua (OAP) di tanah mereka sendiri,” lanjut Barrett Salato.

    Kepulauan Solomon dan negara-negara Melanesia, menurut Barrett Salato, juga prihatin dengan populasi OAP yang diperkirakan telah menjadi minoritas di Tanah Papua, sekitar 43 persen dari total populasi di Provinsi Papua dan Papua Barat.

    “Kami mendorong pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Dewan HAM PBB memprioritaskan akses untuk Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi datang ke Papua,”

    kata Barrett Salato.

    Kepulauan Solomon, ujar Barrett Salato, juga mendesak pemerintah Indonesia merespons secara positif permintaan Ketua PIF Peter O’Neill yang juga Perdana Menteri Papua Nugini, untuk mengizinkan misi pencari fakta HAM datang ke Papua guna memastikan adanya dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di sana.

    Mengenai misi pencari fakta yang merupakan resolusi pertemuan PIF di Port Moresby tahun lalu, Ketua PIF Peter O’Neill telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada akhir Januari lalu untuk berkonsultasi tentang misi tersebut.

    Namun Ketua MSG Manasye Sogavare, seusai bertemu dengan Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama di Suva pekan lalu, mengatakan belum ada jawaban pasti dari pemerintah Indonesia.

    “Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri PNG Peter O’Neill, ia mengatakan ia masih berdiskusi dengan Presiden Indonesia, tentang bagaimana PIF bisa mengirim misi pencari fakta ke Indonesia,” kata Sogavare.

    JUBI

  • ULMWP: Semua Pemimpin Pasifik Ingin HAM di Papua Dilindungi

    Oleh : Redaksi SUARAPAPUA.com | Selasa, 15 September 2015 – 23.48 WIB

    PORT MORESBY, SUARAPAPUA.com — Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus Mote menyatakan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-46 di Port Moresby, semua pemimpin Pasifik menginginkan HAM orang Papua dilindungi, termasuk mengakhiri kekejaman yang terjadi.

    “Orang-orang Papua dan masyarakat sipil telah menangis merindukan pengakuan dari Negara Pasifik, dan hari ini kita melihat sebuah lubang yang memberi kita beberapa kenyamanan nanti kedepannya,” kata Mote, dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Jumat (11/9/2015) malam.

    Menurut Mote, semua pimpinan Negara Pasifik mengharapkan HAM orang Papua dilindungi, termasuk mengakhiri berbagai kekejaman militer Indonesia di Tanah Papua.

    “Artinya bagi kita orang Papua adalah kita memiliki hak untuk menjadi bagian dari proses ini dalam forum Pacific Islands Forum (PIF),” kata Mote, usai menghadiri pertemuan tingkat tinggi pemimpin-pemimpin Negara Pasifik di Port Moresby.

    Mote mengatakan, ULMWP bersama utusan khusus Negara Kepulauan Solomon di Papua Barat akan siap membantu dalam proses sulit ini, terutama memastikan resolusi dapat berjalan dengan baik.

    Utusan Khusus Negara Kepulauan Solomon di Papua Barat, Mathew Wale, hati-hati menyambut keputusan pemimpin Negara Pasifik untuk mengirim misi pencari fakta tentang hak asasi manusia ke Indonesia untuk persoalan Papua Barat.

    “Ini adalah kehendak semua pemimpin Pasifik, termasuk Australia, Selandia Baru dan PNG sebagai ketua diberi mandat untuk berkonsultasi dengan Indonesia terkait Papua,” kata Wale.

    “Melihat kembali komitmen pemimpin Pasifik pada isu Papua Barat sebelumnya, keputusan hari ini adalah sejarah, dan pasti kemajuan dalam gerakan Papua. Hanya ada dua kemungkinan, hasil yang diharapkan itu baik, atau Indonesia menolak mentah-mentah permintaan semua pemimpin Forum dan menghadapi konsekuensi yang sulit untuk mengirim misi pencari fakta,” tutur Wale.

    Menurut Wale, peran PNG yang dipercayakan sebagai Ketua Forum untuk memulai negosiasi ini menempatkan beban yang besar, karena PNG harus memastikan bahwa itu tidak membingungkan kepentingan ekonomi dan perdagangan bilateral dengan Indonesia.

    “Mengirim misi pencari fakta ke Indonesia adalah resolusi atas nama anggota Forum negara Pasifik dan orang-orang dari Pasifik,” ujar Wale.

    Pemimpin komunike juga khusus menyoroti beberapa kekhawatiran tentang situasi hak asasi manusia di Papua. Menurut Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill, ini adalah alasan mengapa mereka menyerukan semua pihak untuk melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua warga di Papua.

    OKTOVIANUS POGAU

  • Tanda Heran di Honiara Menjadi Tonggak Sejarah Baru bagi Melanesia

    Selama beradad-abad orang Melanesia di kawasan Pasifik Selatan berada dalam dunia mereka sendiri, terisolir, terdampar, terpojok. Tidak berbicara, apalagi mengenal apa yang ada di sekelilingnya. Dikirannya di sekelilingnya hanyalah hamparan air laut yang di dalamnya ada ikan. Ia tahu selepas ikan-ikan di dalam air itu terdapat manusia lain, tetapi ia tidak mengakui persis bahwa yang dikenalnya seberang laut itu sebenarnya dirinya sendiri.

    Ditambah lagi, kalaupun dia berusaha mengetahui lalu mengenalnya, ia didikte, dipaksa, ditekan supaya walaupun ia mengenal orang-orang di seberang sana itu dirinya sendiri, ia dibayar dan dengan dasar bayaran itu dipaksa untuk tidak mengakui bahwa mereka itu dirinya sendiri. Sebuah penyangkalan paksa, sebuah penderitaan yang begitu lama dideritanya.

    Sebelum modernisasi ia mengira di dunia ini hanya dirinya dan suku-bangsanya. Di era penjajahan dikiranya orangnya ialah penjajahnya, dan sesama bangsa dan ras-nya itu musuhnya. Setelah kemerdekaan, rekan sesama Melanseia-nya itu diberi nama A, B, dan C, sehingga tidak senama dengan dirinya, yang membuat dirinya tidak sanggup berkata bahwa dirinya ialah dirinya, dan tetangganya itu juga ialah dirinya. Ia terpaksa harus mengaku ini sebagai “west papua” dan itu sebagai “papua new guinea”, ini sebagai Vanuatu dan itu sebagai West Papua, ini sebagia Solomon Islands dan itu sebagai West Papua, ini sebagai Fiji dan itu sebagai West Papua, bukannya kami ini Melanesia.

    Tanda heran yang dimulai di Kepala Burung, pulau Mansinam, bahkan dari pulau-pulau Timor kini bersambung menjadi tanda heran berikutnya, “West Papua diakui sebagai ras Melanesia, bangsa Papua!”, sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh NKRI. NKRI memaksa dirinya menyebut orang Melanesia di Tanah Papua sebagai orang Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia. Padahal tanah dan air di Indonesia bukan satu, beribu-ribu; bangsa bukan satu, beribu-ribu; bahasa juga apalagi bukan satu. Sebuah pembohongan diri sendiri, Indonesia menipu diri sendiri, dan penipuannya balik menelan dirinya sendiri, dan pada akhirnya KEBENARAN akan berjaya, dan di era kejayaan itu, tipudaya tidak punya kuasa lagi. Era kekalahan tipu-daya itu telah dimulai, di meja KTT MSG, di kota Honiara, Kepulauan Salomon.

    Tanda heran ini menyusul tanda heran sebelumnya, yaitu beberapa bulan sebelumnya telah terjadi sebuah pertemuan akbar di kalangan pejuang dan organisasi perjuangan bangsa Papua di Port Vila, Republik Vanuatu dan di akhir pertemuan tersebut telah dibentuk sebuah wadah pemersatu, ULMWP, sebuah payung organisasi yang mempersatukan berbagai faksi yang ada selama ini.

    Tanda heran di Honiara menyusul tanda heran di Port Vila. Dan Tanda heran di Honiara disusul oleh Tanda heran di Port Moresby, yaitu di Sidang PIF yang baru saja berakhir, di mana isu West Papua dibahas secara resmi, dan secara resmi pula diputuskan bahwa sebuah “Fact-Finding Mission” harus dikirim ke West Papua, Indonesia untuk mengusut berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Tanah Papua, di tangan polisi dan militer Indonesia.

    Tanda heran di Vila, Honiara dan Moresby telah terjadi menyusul tanda-tanda heran sebelumnya, yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir, yaitu yang pertama Perdana Menteri Papua New Guinea sebagai seorang Papua, yang lahir dan besar di Tanah Papua, yang sukses menjadi Perdana Menteri di Tanah Papua secara resmi, dan secara dinas mengumumkan bahwa beliau akan “engage” Indonesia untuk membicarakan berbagai isu yang muncul di West Papua.

    Tanda heran yang pernah dimulai di paling barat kepulauan Melanesia sedang mengikuti arus gelombang samudera pasifik, perlahan tetapi pasti, tenang tapi menghanyutkan. Pengakuan bangsa Papua sebagai ras Melanesia kali ini sudah merupakan tanda heran tonggak sejarah bagi identitas Melanesia sebagai sebuah ras yang terhimpit oleh ras Melayu di bagian Barat dan bangsa Eropa di bagian Selatan, dan Asia di bagian Utara.

    Pengakuan orang West Papua sebagai rumpun Melanesia secara resmi atas nama negara-negara Melanesia merupakan titik tolak seluruh proses pengembalian jatidiri dan  hak asasi yang melekat kepada manusia Melanesia sebagai makhluk hidup dan sebagai makhluk manusia.

    Mari kita doakan terus, sehingga tanda heran dan tanda heran ini terus berlanjut, sampai tanda heran terakhir ialah West Papua dan bangsa-bangsa lain di muka Bumi yang saat ini masih dijajah merdeka dan berdaulat di luar cengkeraman penjajah. Amin!

    Artikel Mirip:

    1. Adakah Tanda Heran di PIF
    2. Tanda Heran itu Ada di Honiara
    3. Kita Sadar, …
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?