Tag: dukungan internasional

  • Dubes AS: Terima Kasih Polisi Telah Amankan Freeport

    Jumat, 22 Januari 2016, 13:11 WIB, Red: Teguh Firmansyah

    REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Duta Besar Amerika Serikat Roberth Blake menyampaikan terima kasih karena polisi di jajaran Polda Papua berhasil mengamankan operasional PT.Freeport beserta warga AS.

    “Kami menyampaikan terima kasih kepada Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw beserta jajarannya yang sudah mengamankan PT.Freeport,” kata Dubes Blake seusai melakukan kunjungan kehormatan kepada Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, Jumat di Jayapura.

    Ia mengatakan, dalam pertemuan tersebut, AS juga mendapat informasi tentang situasi keamanan di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu sempat dilakukan diskusi dan membandingkan tantangan yang dihadapi polisi Amerika dan polisi Indonesia.

    Departemen kepolisian Amerika Serikat kini menggunakan peralatan yang tidak mematikan. Ia berharap hal serupa juga dilakukan polisi Indonesia.

    Menurutnya, penggunaan alat tidak mematikan yang digunakan polisi dalam menghadapi massa sangat penting karena polisi sudah disumpah untuk melindungi masyarakat.

    Dubes AS Roberth Blake yang didampingi sejumlah staff dari kedutaan besar di Jakarta juga menyampaikan ucapan selamat karena berhasil meredam ketegangan yang terjadi di Tolikara dan Paniai.

    Seusai melakukan kunjungan kehormatan ke Kapolda Papua, Dubes Blake dan rombongan melakukan kegiatan serupa ke Kodam XVII Cenderawasih dan diterima Kasdam XVII Brigjen TNI Herman Asaribab.

    Sumber : Antara

  • Setelah Dubes AS, Kini Giliran Duta Besar Inggris ke Papua

    Rabu, 20 Januari 2016, 08:56 WIB

    REPUBLIKA.CO.ID — Duta Besar (Dubes) Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengunjungi Provinsi Papua untuk menemui para pejabat pemerintahan dan beberapa universitas.

    “Senang bisa melakukan kunjungan saya yang ke dua ke wilayah ini sejak menjabat sebagai Duta Besar,” katanya di Jayapura, Rabu.

    Menurut Moazzam, pihaknya berada di Papua untuk membahas beberapa isu demi kepentingan bersama seperti perubahan iklim, pendidikan dan pembangunan.

    “Dalam agenda kali ini, saya sangat senang bisa mengunjungi Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Papua (Unipa), di mana kami ingin mempromosikan kerja sama pendidikan dengan Inggris dan mengajak lebih banyak lagi masyarakat Papua untuk belajar di Inggris, termasuk beasiswa Inggris Chevening,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, Inggris mendukung secara penuh integritas teritori dan kedaulatan Indonesia. Inggris mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia.

    “Kami juga mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi kemasyarakatan dalam menanggulangi masalah-masalah di Papua,” katanya lagi.

    Dia menambahkan, Inggris berharap bisa menyaksikan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah bangsa ini.

    Selama kunjungan ini Dubes Inggris akan bertemu dengan Gubernur dan Kapolda Papua serta pejabat lainnya.
    Setelah mengunjungi Jayapura, ia juga akan mengunjungi wilayah lain di Provinsi Papua.

    Sumber : Antara

  • Dubes AS Sebut Papua Sangat Penting Bagi Amerika

    Rabu, 20 Januari 2016, 09:15 WIB, Red: Andi Nur Aminah

    REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Roberth O Blake menyebut bahwa Papua sangat penting bagi Amerika. Karena itu, pihaknya melakukan kunjungan kerja di Bumi Cenderawasih itu.

    “Dubes AS mengatakan kepada kami bahwa Papua itu penting bagi Amerika, makanya dia merasa penting untuk berkunjung ke tanah Papua,” kata Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Yuliano Languwuyo di Kota Jayapura, Papua, Rabu (20/1).

    Dubes Blake, kata Yuliano, ingin mendengar bagaimana situasi politik dan HAM di tanah Papua selain perkembangan lainnya.

    “Kami menyampaikan situasi politik di 2014 hingga 2015. Kami sampaikan situasi HAM di tanah Papua tidak ada perubahan walaupun di pertengahan 2014 orang bilang kita akan mempunyai pimpinan sipil yang kami harapkan,”

    katanya.

    Namun, harapan kekuasaan militerisme itu akan turun jika angka kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan militerisme juga turun. Namun, ternyata kenyataan itu tidak juga terjadi, meski orang sipil berkuasa,” lanjutnya.

    Lebih lanjut, Yuliano mengatakan kepada Dubes Blake bahwa pengaruh militerisme masih dominan, terutama kepada investor besar di Papua, yaitu Freeport dan BP di Teluk Bintuni, Papua Barat.

    “Di mana terlihat pemakaian militerisme sangan besar di dua perusahaan itu guna menjaga area investasi. Dan, itu berdampak buruk kepada masyarakat Papua juga kepada masyarakat yang tinggal sekitar perusahaan karena militer benar-benar menjaga daerah tambang,” katanya.

    Yuliano mengutip penjelasan Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, yang mengatakan perusahaan Freeport dan BP memberikan pelatihan tentang apa itu HAM kepada TNI dan polisi. Dengan harapan, mereka punya perspektif soal HAM sehingga dalam penanganan pengamanan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.

    Pertanyaan itu kami sampaikan kepada Freeport, tapi kami tak mendapat jawaban dan Dubes Blake mempertanyakan balik, “Apakah itu merupakan hal yang penting? Dan, kami bilang itu penting baik polisi dan militer,” katanya.

    Mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di Papua, dia mengatakan, Dubes Blake mengaku tahu soal kekerasan yang terjadi di Papua.

    “Dubes juga bertanya bagaimana pendapat soal Presiden Jokowi? Kami katakan Presiden Jokowi orang yang baik, tapi pemerintahan sekarang masih dikontrol oleh militer. Pak Frits Ramandey juga menyatakan kepada Dubes Blake untuk merekomendasikan kepada pemerintahan Jokowi agar menyelesaikan kasus Paniai dan kekerasan lainnya di Papua,”

    katanya.

    Sejumlah tokoh Papua bertemu dengan Dubes AS Robert Blake yang dikemas dalam acara makan malam bersama di Restoran Yougwa, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Selasa (19/1) malam.

    Terlihat tokoh Papua yang bertemu, di antaranya Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey, Ketua LSM Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Septer Manufandu, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay, dan Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Papua Yuliana Languwuyo.

    Sumber : Antara

  • ULMWP: Semua Pemimpin Pasifik Ingin HAM di Papua Dilindungi

    Oleh : Redaksi SUARAPAPUA.com | Selasa, 15 September 2015 – 23.48 WIB

    PORT MORESBY, SUARAPAPUA.com — Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus Mote menyatakan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-46 di Port Moresby, semua pemimpin Pasifik menginginkan HAM orang Papua dilindungi, termasuk mengakhiri kekejaman yang terjadi.

    “Orang-orang Papua dan masyarakat sipil telah menangis merindukan pengakuan dari Negara Pasifik, dan hari ini kita melihat sebuah lubang yang memberi kita beberapa kenyamanan nanti kedepannya,” kata Mote, dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Jumat (11/9/2015) malam.

    Menurut Mote, semua pimpinan Negara Pasifik mengharapkan HAM orang Papua dilindungi, termasuk mengakhiri berbagai kekejaman militer Indonesia di Tanah Papua.

    “Artinya bagi kita orang Papua adalah kita memiliki hak untuk menjadi bagian dari proses ini dalam forum Pacific Islands Forum (PIF),” kata Mote, usai menghadiri pertemuan tingkat tinggi pemimpin-pemimpin Negara Pasifik di Port Moresby.

    Mote mengatakan, ULMWP bersama utusan khusus Negara Kepulauan Solomon di Papua Barat akan siap membantu dalam proses sulit ini, terutama memastikan resolusi dapat berjalan dengan baik.

    Utusan Khusus Negara Kepulauan Solomon di Papua Barat, Mathew Wale, hati-hati menyambut keputusan pemimpin Negara Pasifik untuk mengirim misi pencari fakta tentang hak asasi manusia ke Indonesia untuk persoalan Papua Barat.

    “Ini adalah kehendak semua pemimpin Pasifik, termasuk Australia, Selandia Baru dan PNG sebagai ketua diberi mandat untuk berkonsultasi dengan Indonesia terkait Papua,” kata Wale.

    “Melihat kembali komitmen pemimpin Pasifik pada isu Papua Barat sebelumnya, keputusan hari ini adalah sejarah, dan pasti kemajuan dalam gerakan Papua. Hanya ada dua kemungkinan, hasil yang diharapkan itu baik, atau Indonesia menolak mentah-mentah permintaan semua pemimpin Forum dan menghadapi konsekuensi yang sulit untuk mengirim misi pencari fakta,” tutur Wale.

    Menurut Wale, peran PNG yang dipercayakan sebagai Ketua Forum untuk memulai negosiasi ini menempatkan beban yang besar, karena PNG harus memastikan bahwa itu tidak membingungkan kepentingan ekonomi dan perdagangan bilateral dengan Indonesia.

    “Mengirim misi pencari fakta ke Indonesia adalah resolusi atas nama anggota Forum negara Pasifik dan orang-orang dari Pasifik,” ujar Wale.

    Pemimpin komunike juga khusus menyoroti beberapa kekhawatiran tentang situasi hak asasi manusia di Papua. Menurut Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill, ini adalah alasan mengapa mereka menyerukan semua pihak untuk melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua warga di Papua.

    OKTOVIANUS POGAU

  • Papua Barat, Isu Paling Kontroversial dalam Agenda PIF

    Jayapura, Jubi – Forum Kepulauan Pasifik (PIF) telah dibuka pada tanggal 4 September, ditandai dengan Workshop PINA/PIFS Regional Media yang dibuka oleh Dame Meg Taylor, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Kepulauan Pasifik.

    Kepada wartawan yang menghadiri workshop, Meg Taylor kembali menegaskan lima isu yang ada dalam agenda PIF. Kelima isu tersebut adalah perikanan di Pasifik,  perubahan iklim, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)di Papua Barat, kanker serviks dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.

    Mengenai tiga rekomendasi yang sebelumnya didorong oleh Sekretariat PIF untuk dibicarakan oleh para pemimpin negara-negara Pasifik, Meg Taylor tidak memberikan tanggapan lebih lanjut. Sebelumnya, Sekjen PIF perempuan pertama ini menyebutkan tiga tindakan yang mungkin direkomendasikan kepada para pemimpin Pasifik adalah misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari para menteri dari negara Pasifik, mendorong Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan Indonesia dan perusahaan pemerintah yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

    Namun Meg Taylor menegaskan dugaan isu hak asasi manusia di Papua Barat telah dimasukkan dalam agenda pembahasan para pemimpin di Pasifik untuk dipertimbangkan.

    “Tiga pengajuan, yang mewakili lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di seluruh Pasifik telah diajukan dalam agenda para pemimpin. Dalam hal nomenklatur,  pengajuan dari masyarakat sipil di Pasifik ini menunjukkan bahwa Papua Barat adalah bahasa yang digunakan untuk menjelaskan dugaan pelanggaran HAM. Tak perlu  dikatakan, Papua Barat menjadi salah satu isu yang paling kontroversial dalam agenda,”

    ujar Meg Taylor.

    Ia menambahkan, dalam diskusinya dengan para pemimpin Pasifik untuk mempersiapkan PIF, dua isu yang tampaknya akan ditolak oleh para pemimpin adalah isu Papua Barat dan kanker serviks.

    “Saya tidak akan memberikan jawaban. Saya ingin masyarakat sipil di Pasifik berpikir dan memberitahu saya apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara terbaik agar saya dapat menginformasikan kepada para pemimpin. Sebab saya akan bertemu dengan enam belas pemimpin Pasifik minggu depan dan saya sudah diberi banyak pandangan. Mereka akan mempertimbangkan lima isu ini. Mungkin mereka tidak memilih semua isu untuk dibicarakan. Tapi masalah Papua Barat akan menjadi tantangan bagi beberapa pemerintah Pasifik. Dan kanker serviks, banyak orang tidak memahami betapa pentingnya masalah ini dibicarakan demi perempuan dan anak perempuan. Penyakit ini membunuh banyak perempuan di Pasifik,”

    jelas Meg Taylor.

    Ia juga mengakui kelompok masyarakat sipil di Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB, seperti halnya Tahiti. Ia membenarkan menjelang PIF, masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah se Pasifik (PIANGO) telah bertemu di Port Moresby. Ia juga menghadiri pertemuan yang diselenggarakan sejak tanggal 1-3 September ini. Dua isu utama yang didorong oleh kelompok masyarakat sipil Pasifik ini adalah Perubahan Iklim dan Papua Barat.

    Emele Duituturaga Direktur PIANGO, kepada Jubi, Sabtu (5/9/2015) mengatakan kelompok masyarakat sipil Pasifik selain menginginkan perjanjian internasional yang mengikat tentang pengurangan emisi gas rumah kaca juga meminta pada para pemimpin Pasifik untuk memperhatikan masalah Papua Barat.

    “Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kami mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini sangat mendesak,”

    kata Emele.

    Emele menambahkan, PIANGO bersama kelompok masyarakat sipil di Pasifik meminta para pemimpin Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB.

    Terpisah, Octovianus Mote, Sekjen United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yakin perjuangan rakyat Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat akan berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh dukungan masyarakat sipil yang terus bergulir dan meningkat. Papua sudah menjadi isu di Pasifik Selatan, bukan hanya di Melanesia.

    “Papua sudah menjadi perhatian seluruh negara Pasifik Selatan karena masalah Papua merupakan masalah rakyat Pasifik Selatan. Bukan saja Melanesia tetapi Polinesia dan Micronesia,”

    kata Mote.

    Ia menambahkan, sekalipun ada pemerintah negara tertentu yang mencoba menghalangi pimpinan ULMWP demi hubungan baik dengan Indonesia, tidak akan mampu menghadang “people’s power” yang sedang bergulir di Pasifik Selatan.

    Mengenai isu dekolonisasi Papua Barat, mantan wartawan Kompas ini mengatakan Pemerintah Kepulauan Solomon berada paling depan.

    “Dekolonisasi Papua Barat satu paket perjuangan pembebasan Papua Barat dibawah kepemimpinan negara Solomon Island yg saat ini merupakan ketua MSG,”

    terang Mote. (Victor Mambor)

    September 6, 2015 at 23:55:16 WP,TJ

  • FI dan 14 LSM Berkolaborasi untuk Melaporkan Kasus Pelanggaran HAM di Papua ke PBB

    JAYAPURA Dengan didukung oleh 14 LSM lokal, nasional dan Internasional Fransiskan Internasional mengajukan banding mendesak kepada PBB mengenai penembakan sewenang-wenang oleh Aparat Kepolisian Republik Indonesia beberapa hari lalu terhadap dua pelajar SMA Kaleb Bagau (18 tahun) tewas di tempat dan Efrando Sobarek (17 tahun) dilarikan ke rumah sakit dan masih dirawat secara intensif. Fransciscans International salah satu LSM yang memilki Status Konsultatif di PBB . Organisasi yang beroperasi di bawah sponsor dari Konferensi Keluarga Fransiskan (CFF) ini bekerjasama dengan 14 LSM lokal di Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pemusnahan yang terjadi di Papua Barat ke PBB.

    Dirilis di situs resmi Fransciscans Internasional, terhitung sejak 2006 hingga September 2015 sudah 9 orang pelajar yang di bunuh oleh Polisi maupun Militer Indonesia. Populasi Orang Papua asli 45% dibandingkan dengan penduduk pendatang, sehingga praktek-praktek secara terang-terangan maupun secara sembunyi dilakukan oleh Polisi dan Militer Indonesia untuk memusnahkan orang Papua dari atas tanahnya sendiri. Karena pelaku penembakan tidak pernah diminta pertanggungjawaban.

    Untuk diketahui bahwa, Fransciscans Internasional adalah sebuah LSM yang memilki status Kosultatif di PBB yang berkolaborasi dengan 14 LSM di tanah Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua Barat kepada PBB. (ns) 

    Lihat banding yang di serahkan ke PBB klik Disini

  • Inggris Tak Mendukung Pandangan Benny Wenda

    JAYAPURA – Kedutaan Besar (Dubes) Inggris, Moazzam Malik menyatakan, Pemerintahan Inggris tidak pernah mendukung gerakan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menyuarakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    “Kebijakan pemerintah saya, jelas mendukung Indonesia yang bersatu dan kami tidak mendukung kelompok OPM dan kami juga mendukung aspirasi semua masyarakat, termasuk hak proses demokrasi, kesejahteraan, dan proses pertumbuhannya. Kami tidak mendukung trend tersebut,” kata Moazzam kepada wartawan usai melakukan pertemuan dengan Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Yotje Mende, pada Kamis (28/5).

    Menurutnya, kunjungan pertama yang dilakukan ke Papua untuk melihat sendiri bagaimana situasi yang nyata di Papua dan Papua adalah salah satu Provinsi yang penting sekali untuk masa depan Indonesia.

    “Walaupun ada beberapa masalah disini yang harus diatasi, tetapi saya percaya pemerintah baru Jokowi berkomitmen untuk mengatasi masalah disini dengan sering berkunjung ke Papua,” katanya.

    Disinggung Tokoh OPM, Benny Wenda yang saat sedang berada di Inggris, Moazzam Malik menyatakan, Pemerintah Inggris tidak pernah mendukung terhadap pandangan Benny Wenda. “Tidak mendukung pandangan itu, tapi kami mendukung pendapat dari Indonesia,” katanya.

    Dia menandaskan, selama dia (Benny Wenda) tidak melanggar peraturan bisa bebas mengeluarkan pendapat. Namun segala Visi Misi atau pandangan dari Benny Wenda tidak pernah disetujui oleh Pemerintah Inggris.

    Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Yotje Mende menegaskan, Benny Wenda merupakan DPO Polda Papua. “Dia DPO kita, kalau dia datang ke Indonesia pasti akan kita tangkap,” tegasnya.

    Ia mengatakan, Benny Wenda yang saat ini sudah masuk penduduk inggris namun kewargaan negara Indonesia belum dicabut, sehingga yang bersangkutan masih resmi warga negara indonesia (WNI).

    “Selama ini ia melakukan perhatian di Papua melalui jalur inernet dengan cara memprovokasi agar menjadi bahan mereka untuk disampaikan kepada Pemerintah Indonesia. Itu dipersilahkan. Tapi ketika menginjak Indonesia kami segera tangkap,” tandasnya. (Loy/don/l03)

    Source: BinPa, Jum’at, 29 Mei 2015 09:13

  • 30 Tapol Papua Akan Dapat Amnesty

    JAYAPURA — Sedikitnya, 30 Tahanan Politik (Tapol) Papua akan mendapat amnesty (pengampunan) dari Presiden RI H. Ir. Joko Widodo (Jokowi) secara bertahap.

    Hal itu diawali dengan pemberian amnesty yang dilakukan dalam rangkaian kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Papua, yang mengagendakan bertemu sekaligus memberikan Amnesty atau pengampunan bagi 8 Tahanan Politik (Tapol) Papua yang selama ini menghuni Lapas Abepura, Sabtu (9/5) sekitar pukul 15.00 WIT.

    Pembela HAM Papua, Matius Murib kepada wartawan di Abepura, Jumat (8/5) mengatakan, 8 Tapol Papua tersebut, masing-masing Jafrain Murib, Numbungga Telenggen, Apotnagolik Lokobal, Jefri Wanimbo, Jogor Telengen, Kimanius Wenda dan Linus Hiluka.

    Menurut Matius Murib, Tapol Papua hingga bulan Februari 2015 berjumlah 38 Tapol. Presiden Jokowi pada tahap awal ini memberikan pengampunan kepada 8 Tapol, sedangkan sisa 30 Tapol secara bertahap bakal dibebaskan puncaknya pada saat HUT Proklamasi RI tahun 2015 mendatang.

    Ia menjelaskan, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua, Lenis Kogoya mewakili Presiden Jokowi pada Jumat (8/5) telah menemui sekaligus menyampaikan tawaran pengampunan kepada ke-8 Tapol tersebut.

    Hanya saja, ke-8 Tapol mengakui masalah politik Papua masa lalu telah melibatkan pihak internasional, seperti PBB, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia.

    Makanya sangat fair bila persoalan politik diharapkan melibatkan pihak internasional. Ke-8 Tapol ini juga menginginkan setelah mereka dibebaskan Papua langsung merdeka. “Tapi setelah bebas masih dijajah oleh Indonesia dan masih tak aman, bahkan ditangkap lagi mereka justru menolak Amnesty Presiden,” tandas Matius Murib.

    Dikatakan Matius Murib, Amnesty adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesty diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif dan legislatif atau yudikatif.

    Di Indonesia Amnesty merupakan salah-satu hak Presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembangunan kekuasaan. (Mdc/aj/l03

    Source: Minggu, 10 Mei 2015 02:30, BinPa

  • Gereja-Gereja di Tanah Papua Mencari Keadilan, Kedamaian dan Stabilitas di Tanah Papua

    Tepat tanggal 1 Mei 2015, Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) hadir dalam konferensi World Council of Churches (WCC) dan menyampaikan berbagai laporan tentang pelanggaran HAM di Tanah Papua.

    Artikel berjudul “Churches in Tanah Papua seek justice, peace and stability” ini menjelaskan berbagai permasalahan yang dialami di tanah Papua, terkait dengan pelanggaran HAM, dan pembunuhan yang terjadi secara terus-menerus.

  • 9 Negara, 20 Kota Aksi Serentak untuk Akses ke Papua

    London, Jubi – Rabu, 29 April 2015 puluhan demonstran berbaju hitam melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Indonesia untuk memimpin aksi global menentang isolasi panjang di Papua selama 50 tahun. Demonstrasi ini diorganisir oleh TAPOL dan Survival Internasional dan didukung oleh Amnesty Internasional Inggris serta Free West Papua Campaign. Aksi ini diikuti oleh 22 aksi serupa di dunia untuk meminta kebebasan dan keterbukaan akses untuk wilayah yang paling disembunyikan di Indonesia ini. Sejak aneksasi di Papua pada tahun 1963, Indonesia telah memberlakukan blokade media pada wilayah kaya sumber daya alam yang diperebutkan, yang memungkinan pelaku pelanggaran hak asasi manusia bertindak dengan mendapatkan impunitas total. Papua adalah salah satu wilayah konflik yang terisolasi di Papua. Selama beberapa tahun, aparat keamanan di Indonesia secara brutal telah menindas gerakan pro kemerdekaan di Papua.

    Hari Aksi Serentak untuk Kebebasan dan Keterbukaan Akses untuk Papua dilakukan di Papua, Indonesia, Australia, New Zealand, the Solomon Islands, Scotland, Germany, France, Italy dan Spain. Aksi di Los Angeles, New York dan San Francisco dilakukan sehari sebelumnya. Aksi ini adalah upaya koordinasi global, yang pertama dari jenisnya, menunjukkan bahwa solidaritas di seluruh dunia untuk Papua telah mencapai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Esther Cann dari TAPOL, sebuah organisasi HAM di London yang mengkoordinir aksi ini menyatakan: “Dunia belum pernah tampak melakukan dukungan serupa ini untuk Papua. LSMs, anggota parlemen dan kelompok solidaritas diseluruh dunia memberitahu Indonesia bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak bisa lagi diabaikan. Suara orang Papua harus didengar. Dalam era informasi ini, sangat mengejutkan bahwa ada daerah tertutup seperti Papua.”

    Dari Pulau Solomon sampai Scotlandia sampai San Fransisco, ratusan demonstran dari 22 kota di 10 negara berbeda bersatu untuk meminta kebebasan dan keterbukaan di Papua. Demonstran menggunakan baju hitam, menunjukkan ketertutupan media di Papua. Mereka bersatu untuk meminta Presiden Joko Widodo memenuhi janji pada masa pemilihan presiden untuk membuka akses bagi jurnalis internasional, kelompok kemanuisaan dan organisasi HAM. Aksi diam 3 menit dilakukan untuk menjadi simbol pembungkaman media di Papua.

    Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang disembunyikan di Papua. Lalu mengapa hampir tidak mungkin wartawan dan organisasi HAM melaporkan situasi di Papua? Kita tahu bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, tapi kami masih tidak tahu skala pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi selama 50 tahun terakhir, ” kata Cann.

    “Hari aksi global ini adalah upaya kami untuk mengatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa dunia sedang memperhatikan. Meskipun mereka terus mengisolasi Papua selama 50 tahun, dunia tidak melupakannya. Kebenaran harus terungkap dan harus disampaikan,”kata aktivis hak asasi manusia Peter Tatchell, yang turut serta dalam aksi tersebut.

    Di akhir aksi, sebuah surat kepada Presiden Jokowi yang ditandangani oleh 51 orang dan organisasi dari Papua, Indonesia dan kelompok internasional serta anggota parlemen diserahkan langsung kepada Kedutaan Besar Indonesia di London. Surat tersebut menunjukkan bahwa “blokade media di Papua telah memberangus hak orang-orang Papua untuk didengar suaranya dan membuka ruang pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang berlangsung tanpa tindakan penghukuman/impunitas… Secara de-fakto, pelarangan jurnalis internasional, LSM dan organisasi kemanusiaan berkontribusi terhadap isolasi kepada jurnalis di Papua dan menyebabkan investigasi independen dan pembuktian hampir tidak mungkin dilakukan. Sebuah petisi Avaaz meminta kebebasan media di Papua telah diinisiasi oleh Free West Papua Campaign dan ditandatangani oleh lebih dari 47,000 dan disampaikan kepada Presiden Jokowi oleh mahasiswa Papua di Jakarta hari ini.

    Reporters without Brothers, salah satu penanda tangan surat bersama, mengkritik kebebasan media yang semakin terbatas. Benjamin Ismail, Kepala Desk Asia-Pasifik di Reporters without Borders mengatakan, “peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia telah memburuk secara dramatis dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 138 dari 180 negara. Posisi tahun ini terutama adalah hasil dari blokade media di Papua Barat yang dibatasi oleh otoritas negara.”

    Akses untuk pemantau HAM telah ditutup dalam 8 tahun. Beberapa tahun terakhir, kelompok kemanusiaan dan organisasi HAM internasional telah dipaksa unatuk menutup kantor mereka dan meninggalkan Papua. Jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat internasional yang bermaksud untuk mengunjungi Papua saat ini disyaratkan untuk menjalani proses visa ketat yang melibatkan persetujuan dari 18 instansi pemerintah yang berbeda-beda yang dikenal dengan Komite Clearing House.

    Pada Oktober tahun lalu, dua orang jurnalis Prancis telah dihukum 11 minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Pada sidang Dewan HAM bulan lalu, Valentine Bourrat, salah satu dari dua orang jurnalis Prancis yang ditangkap menyatakan: .. menetapkan Papua tertutup bagi jurnalis menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menyembunyikan pelanggaran HAM. Sebagai jurnalis kami tidak bisa membiarkan pembunuh menang dalam keheningan.”

    Laporan independen yang dilakukan oleh jurnalis lokal dan nasional berada dalam kondisi berbahaya dan beresiko terhadap kematian. Berdasarkan AJI Papua, pada tahun 2014 telah terjadi 20 orang peristiwa kekerasan dan intimidasi yang terjadi kepada jurnalis di Papua.

    “Jurnalis di Papua harus bisa bekerja tanpa intimidasi, teror, dan ancaman dari pihak pemerintah melalui aparat keamanan. Kita harus bisa melaporkan secara independen tanpa takut akan pembatasan, Mengapa hal ini tidak dijamin untuk wartawan di Papua? Kalau dianggap warga negara, mengapa hak-hak kami tidak dihargai?” kata Oktovianus Pogau, wartawan Suara Papua.

    Selama kampanye presiden, Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada yang harus disembunyikan di Papua dan berjanji untuk membuka wilayah ini. Sekarang, 6 bulan pada masa pemerintahannya, Papua masih tertutup dari komunitas internasional. Ketika Presiden Jokowi berjanji dalam komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penghukuman terhadap 8 terpidana yang diduga melakukan perdagangan narkoba justru terjadi kurang dari 24 jam yang lalu meragukan arah masa depan HAM di Indonesia. (*)

    Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Admin Jubi on April 30, 2015 at 12:27:02 WP [Editor : Victor Mambor]
    http://tabloidjubi.com/2015/04/30/9-negara-20-kota-aksi-serentak-untuk-akses-ke-papua/

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?