Tag: dukungan internasional

  • Asosiasi Mahasiswa Maori Beri Dukungan Untuk Gerakan Pembebasan Papua

    Jayapura, Jubi – Mahasiswa Māori di Selandia Baru berpawai hari ini sebagai dukungan untuk gerakan pembebasan Papua Barat. Pawai ini dilakukan dalam rangkaian kegiatan konferensi tahunan Te Huinga Tauira o Te Mana Ākonga selama tiga hari (25-28 Agustus) yang diselenggarakan oleh Ngāi Tauira, Asosiasi Mahasiswa Māori ‘di Victoria University of Wellington.

    “Peristiwa saat ini Papua Barat bergema dengan sejarah bangsa kita,” kata Ivy Harper, Pemimpin Te Mana Ākonga, Asosiasi Nasional Mahasiswa Māori.

    “Kami ingin menyoroti apa yang terjadi di sana (Papua Barat) seperti apa yang terjadi pernah dan sedang terjadi pada masyarakat adat lainnya,” kata Harper kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (25/8/2016).

    a menekankan masyarakat internasional saat ini menerima beberapa gerakan pembebasan tapi menolak gerakan pembebasan lainnya dan publik, terutama masyarakat Selandia Baru tidak melakukan apa-apa.

    Pimpinan asosiasi mahasiswa lainnya, Raimona Tapiata mengatakan para mahasiswa mulai memperkenalkan yel-yel “MA Tatou te reo Kawe nama mo te Hunga kua MU na nga aupēhitanga. Papua Merdeka” kepada publik Selandia Baru sebagai ajakan untuk mendukung pembebasan Papua Barat.

    “Orang-orang di Papua Barat dipenjara atau dibunuh hanya untuk berbicara bahasa mereka. Bagaimana mungkin kita tidak mengatakan sesuatu?” kata Raimona Tapiata, Co-Tumuaki dari Ngāi Tauira.

    Ia menambahkan, suara mahasiswa Maori adalah suara yang mewakili orang Papua Barat yang tidak bisa bebas menuntut pembebasan.

    “Tapi kami juga ingin sesuatu yang lebih di Aotearoa. Bahasa Māori harus wajib tersedia di sekolah, bukan hanya subjek dalam kurikulum. pendidikan kewarganegaraan juga harus diajarkan sehingga orang tahu sejarah kita sendiri,” lanjut Raimona.

    Para mahasiswa ini diagendakan bertemu dengan anggota parlemen Marama Fox (Māori Partai), Catherine Delahunty (Partai Hijau) dan anggota parlemen lainnya di Parlemen.

    “Kami ingin pemerintah Selandia Baru berbicara di forum internasional sehingga orang Papua Barat bisa bebas untuk hidup. Kita tidak diam sementara kekejaman di Papua Barat terjadi,” katanya lagi. (*)

  • Kepulauan Solomon akan Pimpin Advokasi Isu-isu Papua Barat

    Jayapura, Jubi – Kepulauan Solomon akan memimpin advokasi terkait isu-isu pelanggaran HAM di Papua Barat oleh mandat pertemuan Forum Menteri-Menteri Luar Negeri di Suva, Fiji, minggu lalu.

    Tak saja berhasil menjadi salah satu dari enam inisiatif yang terdaftar untuk menjadi pertimbangan bagi para pemimpin di forum Menteri Luar Negeri Pasifik, kini isu-isu Papua Barat akan dipimpin langsung advokasinya oleh pemerintah Kepulauan Solomon.

    Hal itu ditegaskan Joseph Ma’ahanua, Sekretaris Permanen untuk Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kepulauan Solomon, yang mengatakan pada SIBC news Kamis lalu (18/8/2016), bahwa negaranya merasa senang dan terhormat karena mandat sebagai peran kunci tersebut akan memelihara ruang bagi isu-isu Papua Barat menjadi lebih luas dan bermomentum panjang.

    “Kami merasa senang karena faktanya isu-isu Papua Barat akan terus berlanjut dan dikelola dalam agenda-agenda yang dihasilkan dari laporan-laporan komite resmi Forum Menteri-Menteri tersebut dan akan dipresentasikan kepada para pemimpin,” ujarnya.

    Hal ini akan membuat Kepulauan Solomon berada di posisi memimpin untuk memastikan isu-isu Papua Barat terus diadvokasi secara aktif di kalangan para pemimpin forum.

    Sebelumnya, Emele Duituturaga, Direktur Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO), juga menyatakan optimismenya terkait tekanan masyarakat sipil di Pasifik yang terus meningkat dalam mengadvokasi isu-isu terkait HAM dan dekolonisasi Papua Barat.

    “Jadi ini membesarkan hati kami setelah melihat Papua Barat berada dalam daftar inisiatif untuk pertimbangan para pemimpin dalam ringkasan rekomendasi yang disusun oleh Forum Spesialis Sub-Komite Regonal,” kata Duituturaga.(*)

  • Logika NKRI: ULMWP, ILWP, IPWP, PNWP Apakah ini Semua Kebohongan Publik?

    Logika NKRI memang tidak logis, karena logika NKRI selalu emosional, militeristik, berbasiskan fasis dan rasis. Fondasi fascis dan rasis membuat apa saja yang dikatakannya dipaksakan.

    Orang Papua dipaksa menerima Pepera 1969 di West Irian sebagai sebuah fakta sejarah yang disetujui oleh PBB, oleh karena itu orang Papua terima saja.

    Orang Papua dipaksa menerima kekejaman Soeharto sebagai sebuah sejarah kelam, tetapi tidak perlu diutak-atik, semuanya sudah lewat, kini Jokowi sudah, jangan ungkit-ungkit masa lalu.

    Orang Papua dipaksa melupakan berbagai kasus pembunuhan yang telah terjadi di Tanah Papua sejak NKRI menginvasi secara militer sejak 1 Januari 1962 dan disetujui PBB sejak 1 Mei 1963.

    Orang Papua dipaksa untuk mengikuti logika NKRI bahwa laporan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM RI, oleh Komisi HAM PBB, oleh Pelapor Khusus Komisi HAM PBB, oleh Perdana Menteri Vanuatu, oleh Perdana Menteri Solomon Islands sebagai “orang-orang yant tidak tahu tentang Papua”. Alasannya karena Jokowi sekarang sudah mengunjungi Papua delapan kali. Tidak menyebutkan dampaknya, karena orang Papua masih dibunuh terus. Jokowi punya kekuatan apa di dalam tubuh militer dan polisi Indonesia?

    Kini orang Papua dipaksa untuk menerima logika sesat, bahwa ULMWP, IPWP< ILWP, PNWP, TRWP, dan semua keputusan PIF, MSG dan Westminster Declaration, Deklarasi Port Vila, semuanya dikatakan oleh NKRI sebagai “bohong”, “memprovokasi”, “tipu-tipu cari makan”.

    KNPB tidak perlu bicara, NKRI tidak perlu bicara, “Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang: Apakah MSG itu real? Apakah PIF itu bohong? Apakah dukungan parlemen Inggris itu mimpi?” Apa artinya real, apa artinya mimpi, apa artinya bohong, apa artinya realitas.

    Mohon maaf sekali, pertanyaan sangat tolol ini harus kita ajukan, dalam rangka meluruskan logika kita tentang logika sesat yang dikebangkan oleh NKRI bahwa apa yang dilakukan oleh KNPB, PNWP, ULMWP, TRWP, dan FWPC adalah bohong. Kita tidak usah saling menyalahkan, fakta, realitas, sejarah menunjukkan benar-tidaknya semuanya ini. Boleh-boleh saja NKRI sebagia penjajah menganggap semua ini kebohongan, tetapi manusia di muka Bumi tidak sebodoh orang Indonesia. Manusia selain orang Indonesia di dunia ini sangat mutalhir dalam pengetahuan mereka, Mereka tidak perlu diajar, tidak perlu disangkal atau di-approve, secara real-nya mereka membuktikan dirinya sendiri.

    Hai NKRI, jangan buang-buang waktu dan tenaga mengatakan sebuah fakta sebagai kebohongan, supaya kita tidak usah malu nantinya menelan ludah sendiri.

  • Wow! Bendera Bintang Fajar Dibawah Dalam Piala Eropa 2016

    Wow! Bendera Bintang Fajar Dibawah Dalam Piala Eropa 2016

    WENE-PAPUA –  Dalam Piala Eropa (Euro) 2016 di Prancis antara Irlandia Utara vs Ukraina 16 juni 2016 lalu, bendera Bintang Fajar yang adalah simbol perjuangan bangsa Papua dibawah oleh beberapa fans tim Irlandia Utara yang juga peduli dengan nasib bangsa Papua.
    Aku cukup beruntung untuk menghadiri euro  Soccer Championships 2016 beberapa minggu yang lalu untuk mendukung Irlandia Utara. Salah satu yang terbesar dalam agenda, kami memastikan Bintang Fajar dipertemukan di sekitar Paris. Kami berbagi pesan dan berbicara kepada orang-orang dari seluruh dunia tentang nasib Papua Barat dan orang-orang disana (Papua). Jika anda memiliki foto diri dengan bendera di setiap acara olahraga, silahkan berbagi. Pesanya salah satu Fans Irlandia Utara yang peduli terhadap nasib bangsa Papua.
    Berikut foto-foto selengkapnya
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
    Bintang Kejora di Euro 2016 Paris
  • Dewan Gereja Dunia Mendoakan Situasi Papua

    Penulis: Prasasta Widiadi 11:03 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

    TRONDHEIM, SATUHARAPAN.COM – Di tengah laporan buruknya situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, Dewan Gereja Dunia mengajak peserta penutupan Pertemuan Komite Sentral di Trondheim, Norwegia untuk mengheningkan cipta bagi situasi Papua.

    Saat upacara penutupan, seperti diberitakan oikoumene.org, hari Selasa (28/6) di Trondheim, Norwegia, doa khusus bagi Papua merupakan salah satu bentuk dukungan bagi provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia tersebut.

    Dewan Gereja Dunia telah mengikuti proses yang terjadi di Papua sejak 1969 atau setelah Provinsi Papua menjadi bagian Indonesia.

    Dalam catatan Dewan Gereja Dunia, pada sekian banyak protes terhadap pemerintah pada bulan Mei dan awal Juni tahun ini, lebih dari 3.000 orang Papua berada dalam tahanan pemerintah Indonesia. Pada 15 Juni, 1.400 orang lagi ditangkap,

    Konflik di Provinsi Papua yang saat awal berdiri masih bernama Irian Jaya menelan korban ribuan orang sejak akhir 1960-an.

    Pada Februari 2012, komite eksekutif Dewan Gereja Dunia membahas situasi di Provinsi Papua dalam sebuah pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan tentang militerisasi dan eksploitasi dalam skala besar terhadap sumber daya alam provinsi yang berbentuk kepala burung cenderawasih tersebut.

    Selain itu Dewan Gereja Dunia mengamati bahwa di provinsi tersebut tampak berbagai masalah sosial seperti transmigrasi yang belum merata, kurangnya lapangan kerja, dan kesempatan ekonomi bagi penduduk asli Papua. Di sisi lain, Dewan Gereja Dunia mendapati laporan dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) masih sering terjadi pelanggaran HAM secara sistematis seperti penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan, penindasan, kekerasan, pengekangan aspirasi penduduk asli Papua untuk menentukan nasib di tanah mereka sendiri.

    Presiden Joko Widodo sering berjanji menghentikan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua oleh aparat keamanan Indonesia, sekaligus mengejar dialog, rekonsiliasi dan pembangunan di Provinsi Papua. Tetapi langkah tersebut belum cukup.

    Pelanggaran kebebasan berekspresi di Provinsi Papua dan pelanggaran HAM untuk berkumpul secara damai dilaporkan laporan setiap hari.

    Dalam pertemuan Komite Sentral Dewan Gereja Dunia di Trondheim, Norwegia 22-28 Juni 2016, Dewan mengusulkan beberapa hal terhadap Papua yakni menyerukan kepada semua gereja anggota untuk berdoa dan bertindak dalam mendukung kesaksian dari gereja – khususnya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, dan melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Pasifik Gereja (PCC), dan Konferensi Kristen Asia (CCA) – untuk terwujudnya keadilan dan perdamaian di kawasan itu.

    Usulan lainnya yakni komite sentral Dewan Gereja Dunia harus mewujudkan satu kontingen delegasi ekumenis internasional sebagai bentuk solidaritas untuk Papua.

    Permintaan kunjungan solidaritas tersebut penting dalam rangka melaksanakan ziarah keadilan dan perdamaian yang setiap hari digumuli dalam pokok-pokok doa Dewan Gereja Dunia. (oikoumene.org).

    Editor : Eben E. Siadari

  • Pepera 1969 di West Irian Sudah Final Karena Disahkan oleh PBB?

    Retorika NKRI bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Irian Tahun 1969 adalah Final, terbantahkan secara otomatis dan tegas setelah fenomena internasional, terutama di wilayah kerajaan Inggris muncul isu-isu referendum dari politisi Scottish Natioanl Party di Skotlandia dan Irish Republican Party di Irlandia Utara, yang para politisinya mengatakan akan menyelenggarakan referendum untuk meminta pendapat rakyat di wilayah mereka, apakah keluar dari Inggris Raya ataukah tetap tinggal dengan Inggris Raya yang telah keluar dari Uni Eropa.

    Selain keluarnya Inggris (Britain Exit – disingkat BREXIT) yang jelas-jelas merupakan referendum separatis dari Uni Eropa juga menunjukkan dengan gamplang dan tidak harus dijelaskan kepada siapapun bahwa referendum ialah sebuah proses demokratis di negara demokrasi untuk menentukan pendapat rakyat.

    Referendum bukan barang haram, referendum adalah wajah dari demokrasi. Semua negara yang mengaku demokratis harus menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib masing-masing bangsa.

    Politisi NKRI di Tanah Papua, Gubernur, para Bupati, DPRP dan para DPRD di Tanah Papua seharusnya sudah sejak awal-awal ini, menyambung gelombang referendum-referendum ini, mempersiapkan agenda-agenda seperti referendum untuk menentukan sikap rakyat Papua, secara khusus Orang Asli Papua terkait dengan berbagai isu, misalnya

    1. Sikap dukungan atau penolakan Orang Asli Papua terhadap UU Otsus Plus yang diajukan oleh Gubernur Lukas Enembe, Ketua DPRP dan Ketua MRP;
    2. Keberhasilan Otonomi Khusus di Tanah Papua sejak tahun 2001 hingga tahun 2016;
    3. Menerima/ Menolak Pendudukan NKRI di Tanah Papua.

    Negara demokrasi, yang mengaku menjunjung tinggi HAM, yang mengaku menuju proses demokratisasi, secara otomatis, dan secara naluri pasti sadar bahwa referendum ialah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi dalam menentukan pilihan rakyat.

    Referendum bukan barang haram, referendum bukan agenda separatis, referendum ialah agenda demokrasi, agenda modernisasi, agenda peradaban, cara bermartabat dan beradab untuk mementukan nasib, bukan dengan saling membunuh, bukan dengan saling meneror dan mengintimidasi, tetapi dengan saling mempengaruhi opini rakyat sehingga rakyat menentukan nasib mereka sendiri.

    Inggris telah disahkan oleh Uni Eropa sebagai Anggotanya, diakui oleh PBB sebagai anggota Uni Eropa. Skotlandia diakui sebagai anggota Kerajaan Inggris oleh PBB. PBB juga mengakui Irlandia Utara sebagai bagian dari Kerajaan Inggris. Tetapi pengakuan PBB, pengakuan Uni Eropa itu bukanlah “Suara Tuhan”.

    “Suara Rakyat, Suara Tuhan”, dalam minggu lalu Suara Tuhan katakan Inggris keluar dari Uni Eropa, maka itu telah terjadi. Minggu lalu Suara Tuhan memunculkan wacana Irlandia Utara dan Skotlandia akan menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib sendiri, yaitu merdeka dari Kerajaan Britania Raya atau bergabung ke Uni Eropa, yang artinya memisahkan diri dari negara Induk Inggris.

    Tuntutan referendum di Tanah Papua tidak dapat ditolak dengan alasan pengakuan PBB dan salah fatal kalau dikatakan separatis. Malahan sikap semacam itu menunjukkan dengan terang-benderak betapa ketidak-tahuan, dan kalau boleh lebih jelas, kebodohan kita, tentang hakikat demokrasi. Kkalau kita katakan “Pepera Sudah Final”, maka kita membodohi makna demokrasi bagi diri kita sendiri. Pepera tidak Final dengan alasan demokratis yang jelas bahwa rakyat West Papua tidak pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan kalaupun sudah pernah, tidak harus berarti bahwa NKRI harga mati, karena setiap bangsa, setiap pulau, setiap rumpun yang ada di dalam NKRI berhak penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. Pengakuan PBB tidak memaksa, tidak mengikat, tidak mematikan konsep Jawa NKRI sebagai sesuatu kodrat dari Tuhan yang diwahyukan yang harus ditaati mati-matian oleh semua wilayah jajahan NKRI.

  • UN and Jakarta focus on Papua rights abuses

    4:57 pm on 23 June 2016, radionz.co.nz

    Solomon Islands’ diplomat in Geneva has told the UN Human Rights Council’s 32nd session about an eroding human rights situation in Indonesia’s Papua region.

    West Papuan demonstrators
    West Papuan demonstrators tightly monitored by Indonesian police. Photo: Whens Tebay

    Barrett Salato told the session that whilst his country welcomes increased attention on West Papua from Indonesia’s president Joko Widodo, violations of Papuans’ rights remain unresolved.

    Mr Salato said his government received regular reports from Papua of arbitrary arrests, summary execution, torture, restriction of freedom of expression, assembly and association, committed mainly by Indonesian police.

    After the session, he said it was important to raise the issue globally.

    “It will give the international commmunity some awareness about what’s going on (in Papua),” he said.

    “Not much information goes out to the international commmunity about what’s happening so we take it here to the right body of the UN to raise the voices of our fellow human beings that does not have a voice in the human rights council.”

    West Papua was singled out for attention at the session by the UN Special Rapporteur on the right to freedom of peaceful assembly and association, Maina Kiai.

    He said what is occurring in Papua was a phenomenon connected with cultural fundamentalism and nationalism seen in other parts of the world.

    “In each case, the superiority has triggered the process of dehumanization or delegitimizing of particular groups,” said Mr Kiai in his report.
    A large peaceful demonstration in Jayapura in support of the United Liberation Movement for West Papua.

    Tabloid Jubi
    Since April, a series of large demonstrations in West Papua in support of Papuan self-determination rights have resulted in an estimated four thousand Papuans being arrested. Photo: Tabloid Jubi

    Since April, a series of large demonstrations in West Papua in support of Papuan self-determination rights have resulted in an estimated four thousand Papuans being arrested. Photo: Tabloid Jubi

    Barrett Salato pointed out to the Council session that on 2 May 2016 alone, over 2000 West Papuans were arrested for participating in peaceful demonstrations in several cities in Papua and eastern Indonesian cities.

    “We would encourage the government of Indonesia to find peaceful and sustainable solution of the on-going conflict in West Papua through constructive engagement with the representatives of the West Papuans and respect their right as a people,” he said.

     

    MSG focus on Papuan rights

    Solomon Islands is currently occupying the chair of the Melanesian Spearhead Group. In this capacity it has been pushing for increased engagement with Indonesia’s government over the situation in West Papua.

    The United Liberation Movement for West Papua was granted observer status at the MSG last year and is seeking full membership in the group, with a decision to be made at an upcoming MSG leaders summit in Honiara next month.

    Solomons PM Manaseh Sogavare and leaders of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

    Solomons PM Manaseh Sogavare and leaders of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Photo: Facebook

    Indonesia, which has associate member status in the MSG, has been opposed to greater representation within the group by the ULMWP.

    Indonesia’s delegate at last week’s MSG Foreign Ministers meeting in Fiji was reportedly unhappy about having to sit alonside the Liberation Movement representative for discussions.

    The Solomons government, however, was upbeat about the impact of getting Indonesians and West Papuans together at the same table.

    The MSG Foreign Ministers meeting concluded with agreement to establish a Committee of High Level Representatives of MSG members to facilitate constructive engagement between Jakarta and West Papuans as concernd parties on the issues of rights abuses against Papuans.
    Jakarta establishes team to address Papuan rights abuses

    Indonesia’s government has been making efforts to respond to the ongoing international concern about rights abuses in West Papua.

    While the UN Human Rights Council was discussing Papua in Geneva, Jakarta has been pushing ahead with the establishment of a team tasked with addressing a number of cases of human rights abuses in Papua region.
    Indonesia’s Co-ordinating Minister for Political, Legal and Security, Luhut Pandjaitan.

    Indonesia's Co-ordinating Minister for Political, Legal and Security, Luhut Pandjaitan. Photo: AFP
    Indonesia’s Co-ordinating Minister for Political, Legal and Security, Luhut Pandjaitan. Photo: AFP

    The team is being created under the watch of the Coordinating Minister of Political, Legal and Security Affairs, Luhut Pandjaitan, who has invited regional monitoring for the team’s inception.

    Mr Luhut told media the team would consist of the chairmen of both National and Provincial Human Rights Commissions and several human rights commissionaires.

    But Papua’s Governor Lucas Enembe and various Papuan civil society figures have voiced concern that the team would not be independent and would be restricted in its scope.
    RNZI’s Johnny Blades and Koroi Hawkins finally get to interview the extremely elusive Governor of Papua Province Lukas Enembe.

    Papua’s Governor Lucas Enembe (left) says human rights abuses in Papua should be resolved according to Papuan custom. Photo: RNZI/Koroi Hawkins

    Jakarta is under increasing pressure to be transparent about its efforts in Papua.

    According to Barrett Salato, the Solomons would continue to urge Jakarta to accept MSG and Pacific Islands Forum fact-finding missions to Papua, and open up Papua to international access.

    “Journalists working on human rights are still prevented to have free and full access to do their work in West Papua,” he said.

    “Our delegation is convinced that access of international community to West Papua, particularly to UN Special Procedure, will provide an opportunity to improve the human rights situation.”

  • Di Indonesia, Paus Fransiskus Akan Kunjungi 4 Provinsi

    KOMODONEWS.INFO – Paus Fransiskus direncanakan akan datang ke Indonesia pada 2017 dalam rangka menghadiri Hari Pemuda Asia ke-7 (7th Asian Youth Day) yang akan digelar di Kota Yogyakarta, Provinsi DIY. Paus juga akan bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo dan setidaknya berkunjung ke tiga provinsi lainnya yaitu Kalimantan Barat, Papua, dan Sulawesi Utara (Manado).

    Hal itu dikatakan oleh Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Vatikan yang baru bertugas, Antonius Agus Sriyono, saat berkunjung ke kantor Berita Satu Media Holdings, di Jakarta, Senin (1/2). Dubes yang biasa disapa Agus itu merupakan dubes RI untuk Vatikan kedua yang beragama Katolik, sedangkan dubes-dubes sebelumnya beragama Islam.

    “Pak Presiden Jokowi rencananya akan berkunjung ke Vatikan pada September-Oktober, lalu diikuti kunjungan Paus tahun depan ke sini untuk Asian Youth Day,” kata Agus.

    Agus mengaku, dirinya berharap kunjungan Presiden Jokowi benar-benar terlaksana, sehingga terjadi asas resiprositas (saling memberi dan menerima). Apalagi, Paus Fransiskus juga berkunjung ke forum yang sama di Korea Selatan saat Hari Pemuda Asia ke-6.

    “Hitung-hitungan kami, kalau Pak Jokowi karena kesibukan bulan September dan Oktober tidak hadir. Saya agak khawatir biasanya kan asas resiprositas, Paus sulit hadir karena presiden tidak hadir,” ujar Agus yang sebelumnya menjabat Dubes RI untuk New Zealand dan Wakil Dubes RI untuk Moskow.

    Meski demikian, Agus merasa optimistis Presiden Jokowi akan datang ke Vatikan, mengingat respons positif presiden saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Vatikan, Kardinal Pietro Parolin, awal Agustus 2015.

    “Pak Jokowi sangat ingin datang, dan secara simbolik ini suatu yang positif terkait misi saya untuk merawat kemajemukan bangsa terutama dari aspek kemajemukan agama,” kata Agus.

    Agus mengaku, memiliki misi khusus sebagai dubes baru RI untuk Vatikan, yaitu menyebarkan diplomasi kebudayaan terutama melakukan dialog antaragama. Menurutnya, Vatikan masih menjadikan Indonesia sebagai model dalam kehidupan pluralisme antar umat beragama. Agus akan bertolak ke Vatikan untuk memulai tugasnya pada 14 Februari 2016.

    Sumber: beritasatu.com/bersatulahdalamgerejakatolik.com/moral-politik.com

  • Tolak Tim Pencari Fakta HAM Jakarta, Ini Lima Pernyataan ULMWP

    Jayapura, Jubii – United Liberation Movement for West Papua, wadah politik Papua Merdeka yang berstatus observer di Melanesian Spearhead Group (MSG) mengatakan menolak tim Hak Asasi Manusia yang dibentuk Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia. ULMWP anggap tim itu hanyalah upaya Jakarta menghalangi diplomasi ULMWP di Pacific dan dunia Internasional.

    Penolakan itu disampaikan anggota Tim kerja UMLWP dalam negeri, Sem Awom, dalam jumpa pers di Elsham Jayapura, didampingi sejumlah pejuang yang tergabung dalam ULMWP. ULMWP menyampaikan lima pernyataan sikap penolakan.

    Pertama, menolak dengan tegas tim pencari fakta buatan kolonial Indonesia yang melibatkan orang Papua seperti Marinus Yaung, Matius Murib, Lien Maloali. Orang-orang yang terlibat ini mempunyai kapasitas dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM.

    Kedua, mendesak segera mengirim tim atau pengawasan Internasional terhadap suara West Papua (Refrendum) untuk menentukan nasib sendiri.

    Ketiga, mendesak tim pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF) segera ke Papua.

    Keempat, mendesak semua aktivis HAM, Agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat dan menolak tim pencari Fakta Pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam Republik Indonesia.

    Kelima, menyerukan kepada seluruh komponen rakyat Papua itu terlibat dalam aksi demo damai menolak tim pencari fakta buatan Jakarta yang akan dilaksanakan pada Rabu 15 Juni 2016 yang di mediasi oleh Komite Nasional Papua Barat.

    Koordinator aksi, KNPB, Bazoka Logo mengatakan pihaknya sudah siap mengiring Indonesia menyelesaikan masalah Papua dengan cara-cara menghargai martabat manusia. Karena itu, siapapun yang bersimpati dengan dengan kemanusiaan dapat terlibat dalam demonstrasi damai nanti.

    “KNPB mediasi rakyat tidak main-main. Kita mengorbankan perjuangan damai. Kami mengundang simpati kemanusiaan,”tegas pria yang juga juru bicara KNPB pusat ini dalam jumpa pers itu.

    Kata dia, alasan apapun KNPB tetap maju membawa agenda rakyat. Kalau Indonesia mau membatasi, pihaknya mempersilakan Indonesia membatasinya. Karena, pembatasan ruang demokrasi itu yang diinginkan KNPB dalam perjuangan.

    “KNPB sudah siap giring Indonesia melakukan pelanggaran HAM,”tegasnya.(*)

  • Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?

    Ada artikel yang sangat menarik ditulis oleh Silmi Kafhah, silmi09021992@gmail.com dalam https://www.islampos.com/ Judul artikelnya ialah “Waspadai Upaya Asing Memisahkan Papua dari Indonesia” tanggal 11 Maret 2016.  Artikel ini sebenarnya tidak punya alasan-alasan yang rasional dan empirik. Isinya penuh dengan kecurigaan dan kebencian terhadap kapitalisme dan dunia barat. Maklum saja karena penganut Negara Islam Indonesia lewat situs-situs mereka di satu sisi selalu memojokkan yang non-Muslim, padahal di sisi lain sebenarnya apa yang mereka katakan punya dampak sangat fatal bari NKRI, yaitu penerapan syariah Islam.

    Artikel ini membahas keterlibatan, tangan-tangan asing dalam meniup api kemerdekaan, memberi ruang dan bahkan mendanai perjuangan kemerdekaan West Papua dan menyatakan solusi terbaik ialah dengan meninggalakn proses demokratisasi yang sudah terlewati di Indonesia dan kembali kepada Syariah Islam.

    Pada satu sisi menyalahkan perusahaan asing dan LSM asing karena mereka dipandang membantu perjuangan Papua Merdeka. Terlihat jelas, penulis menunjukkan betapa dirinya sangat nasionalis Indonesia. Di sisi lain, sangat bertentangan dan malahan bertentangan dengan konstitusi yang dia sebut dibelanya, yaitu NKRI. Dia mengusulkan Negara yang disebutnya Indonesia itu kembali kepada Syariat Islam. Arti sebenarnya dari tulisan ini seratus persen mengandung tulisan separatis, tulisan mendukung makar, yaitu membubarkan negara bernama Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan negara Islam Indonesia, yaitu negara Indonesia berdasarkan Syaariah Islam.

    Lebih lucu lagi, tulisan ini mengatakan kemerdekaan West Papua tidak menguntungkan bagi orang Papua sendiri. Berikut dalam kalimatnya sendiri:

    Penting untuk disadari oleh semua pihak Papua, pemisahan Papua di Indonesia tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua. Meminta bantuan dari negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bentuk bunuh diri politik. Pemisahan Papua dari Indonesia hanya akan membuat Papua lemah. Sebenarnya warga Papua sedang diperdaya demi segelintir elit politik agar mereka mendapat keuntungan.

    Satu kalimat ini saja kalau kita bedah mengandung banyak kesalahan fatal secara konsep berpikirnya. Perama, uangkapan “semua pihak Papua” maksudnya apa atau siapa? Kedua, kalimat “pemisahan Papua di Indonesia“, apa artinya pemisahaan Papua di Indonesia? Tidak benar dan tidak logis. Ketiga, “tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua.” Keuntungan apa yang dikehendaki oleh penulis artikel ini? Apakah keuntungan ekonomi? Apakah tujuan kemerdekaan Papua untuk keuntungan ekonomi?

    Memang tujuan kemerdekaan Indonesia ialah “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Itu tujuan kemerdekaan Indonesia. Apakah tujuan kemerdekaan West Papua sama?

    Rupanya penulis ini melihat tujuan kemerdekaan West Papua sama dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Masa dua negara yang berbeda harus punya tujuan kemerdekaan yang sama? Mengapa kalau tujuannya sama, ya Papua tinggal saja di Indonesia?

    Penulis perlu ketahui, bahwa tujuan kemerdekaan West Papua BUKANLAH kepentingan ekonomi, bukan adil dan makmur. Sama sekali tidak! Kami tidak mencari keuntugnan ekonomi dari kemerdekaan West Papua.

    SecGen. Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi pernah katakan kepada PMNews dalam sebuah Upacara Bendera di Markas Pusat Pertahanan TRWP bahwa

    tujuan kemerdekaan West Papua, pertama dan terutama ialah “mengusir penjajah keluar dari Tanah Papua”, dan setelah itu “membiarkan Papua memimpin dirinya sendiri dalam kehidupan peri-kehidupan yang penuh sukacita, tenteram dan harmoni dengan berbagai unsur kehidupan.” Kami tidak berjuang untuk jadi kaya, kami tidak mencari adil-makmur seperti Indonesia. Yang kami cari ialah Indonesia angkat kaki dari Tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanseia.

    Alasannya jelas, mana perusahaan asing yang pernah bantu Papua Merdeka sampai hari ini seperti dikleim dalam artikel tulisan www.islampos.com ini? Mana LSM luarnegeri yang membantu Papua Merdeka?

    Gen. Tabi katakan,

    Perjuangan Papua Merdeka bukan mencari kekayaan untuk kemakmuran. West Papua yang merdeka dan berdaulat tidak ambil pusing dengan emas dan perak dibawa keluar oleh Amerika Serikat atau Indonesia. Papua Merdeka akan pertama-tama akan menghentikan total teror, intimidasi, marginalisasi dan pemusnahan bangsa Papua ras Melanesia. Papua Merdeka artinya menghentikan total pemusnahan manusia Papua. Itu dulu, jangan bicara kaya-miskin. Itu urusan setelah merdeka. Jangan bicara sebelum merdeka sama seperti Negara penjajah Indonesia sudah punya cita-cita adil makmur sebelum merdeka tetapi tidak pernah akan terwujud sampai kiamat tidak akan pernah.

    Setelah PMNews membacakan isi artilkel IslamPos.com ini, Amunggut Tabi kembali bertutur,

    Masing-masing bangsa hadir ke muka Bumi dengan hak asasi yang tidak dapat dikurangi, apalagi dilanggar oleh bangsa lain. Orang Indonesia lebih bagus bicara tentang wanita sundal di pusat lokalisasi dan pengemis di jalan-jalan seluruh Indonsia karena miskin melarat, daripada menyinggung West Papua, yang jelas-jelas bangsa lain, dan jelas-jelas memperjuangkan negara lain.

    Saat ditanya, “Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?” Gen. TRWP Tabi kembali menjawab:

    Maaf saja, yang mencari kekayaan itu NKRI. Kalau penulis artikel ini mau agar rakyatnya menjadi adil dan makmur, kami akan berikan kepada NKRI semua tambang emas, tembaga, gas, apa saja yang ada di Tanah Papua, dengan syarat satu-satunya:, NKRI harus angkat kaki dari seluruh wilayah kedaulatan Negara West Papua. Maaf, West Papua tidak punya cita-cita kemerdekaan adil dan mamkur, kami punya cita-cita NKRI keluar dari Tanah Papua dan mewujudkan Tanah Papua yang penuh sukacita dan hidup selaras dengan semua makhluk berdasarkan filsafat dan budaya Melanesia yang kami warisi dari nenek-moyang kami.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?