Tag: dukungan

  • Tekanan internasional terhadap Indonesia untuk memberikan akses kepada Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia meningkat

    Kata-kata keras dari Komisi UE [Uni—Eropa]

    Senin ini, dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh MEP dan Wakil Ketua IPWP, Presiden Carles Puigdemont, Wakil Presiden dan Perwakilan Tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrell, menyatakan bahwa “Uni Eropa mendorong Indonesia untuk mengizinkan PBB Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia untuk mengunjungi West Papua dan telah mendesak Indonesia untuk menyampaikan undangan tetap kepada semua Pelapor Khusus dan pemegang Mandat.”

    Pernyataan dukungan yang tegas untuk kunjungan tersebut, yang dibuat atas nama Komisi UE [Uni-Eropa]🇪🇺, menambah semakin banyak negara bagian dan badan regional yang telah menyuarakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia di West Papua dan penolakan akses berkelanjutan Indonesia untuk kunjungan dari Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Ini termasuk Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan Organisasi Negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik (OACPS – yang sebelumnya ACP).

    Borrell juga menanggapi pertanyaan yang diajukan mengenai perjanjian perdagangan UE dengan Indonesia, yang memasuki putaran ke—11 yang negosiasi pada November lalu, dan apakah catatan hak asasi manusia Indonesia (dalam konteks West Papua) akan dipertimbangkan atau tidak. Dia mencatat keprihatinan berkelanjutan berkaitan dengan ‘pengamanan kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai di West Papua’ dan bahwa akan ada kebutuhan untuk menghormati hak asasi manusia untuk ‘ditanamkan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas apa pun’.

    Mengenai jumlah dana yang telah dialokasikan Komisi [Uni-Eropa] untuk West Papua sejak 2001, pertanyaan yang juga diajukan oleh Puigdemont, Borrell menyatakan dana EUR 4,7 juta telah dikirim, meliputi bidang ‘demokrasi, masyarakat sipil, proses perdamaian, perawatan kesehatan, pendidikan, dan perencanaan penggunaan lahan’. Dia menambahkan bahwa UE juga telah menghabiskan dana EUR 112 juta pendanaan proyek di Indonesia terkait dengan perubahan iklim, deforestasi, pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia, yang mencakup operasi di West Papua.

    UE sendiri baru-baru ini mengadopsi kerangka kerja bisnis dan hak asasi manusia baru, yang menguraikan uji tuntas wajib hak asasi manusia dan lingkungan sehubungan dengan bagaimana dana dibelanjakan. Dalam kasus West Papua, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana uang ini sebenarnya telah dibelanjakan oleh Indonesia dan kewajiban UE dalam menyediakannya.

    Dukungan dari masing-masing negara anggota UE [Uni-Eropa]

    Dalam intervensi penting dari bekas kekuasaan kolonial, Dewan Perwakilan Rakyat Belanda juga mengadopsi mosi mereka sendiri yang menyerukan UNHCHR untuk mengunjungi West Papua, pada 1 Februari kemarin.

    Ini mengikuti komentar yang dibuat Januari lalu oleh Menteri Luar Negeri Belanda, yang menyatakan bahwa, ‘penting untuk mendapatkan kunjungan seperti itu’ oleh Komisaris Tinggi ‘sesegera mungkin’.

    Pada 18 Maret 2021, Komite Urusan Luar Negeri Senat Spanyol juga mengeluarkan mosi yang meminta Pemerintah Spanyol untuk mengungkapkan keprihatinannya tentang situasi hak asasi manusia di West Papua dan mendesak Pemerintah untuk juga mendukung kunjungan Komisaris Tinggi. Dalam hal kunjungan semacam itu terus diblokir, Senat mendorong Pemerintah Spanyol🇪🇸 untuk mendukung mosi tentang West Papua di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

    Menanggapi pertanyaan lanjutan yang dilontarkan Senator Basque dan Wakil Ketua IPWP, Gorka Elejabarrieta, pada tanggal 2 Desember lalu , pemerintah Spanyol menegaskan dukungannya agar kunjungan tersebut dapat dilanjutkan. Mengacu pada akses yang telah lama ditolak, tanggapan tersebut juga mencatat bahwa ‘dukungan untuk OHCHR memerlukan penolakan umum terhadap tindakan pencegahan apa pun yang diadopsi oleh otoritas nasional untuk menghalangi kunjungan dan inspeksi di lapangan’.

    Ini merupakan tambahan dari mosi dukungan yang diucapkan dengan suara keras, yang disahkan dengan suara bulat oleh Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Basque, Pada 8 Oktober 2021. Resolusi tersebut mencatat bahwa, ‘lebih dari 500.000 orang telah tewas dalam genosida terhadap penduduk asli,’ mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang West Papua, dan menyerukan kunjungan PBB ke wilayah tersebut.

    Komentar mendukung juga telah dibuat oleh pemerintah Inggris🇬🇧.

    Kantor Komisaris Tinggi telah mengatakan bahwa mereka masih bertujuan untuk mengamankan akses ke West Papua, tetapi hambatan sedang dihalangi oleh negara Indonesia. Pada tanggal 30 November tahun lalu kantor Komisaris Tinggi mengeluarkan pernyataan dengan kata-kata keras yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di West Papua.

    Juga pada 1 Februari, Perdana Menteri Pemerintahan Sementara ULMWP, Edison Waromi, menyatakan bahwa mereka siap dan menunggu untuk menyambut Komisaris Tinggi dan inilah yang dibutuhkan orang West Papua dari komunitas internasional.

    Ketika pengawasan internasional semakin intensif, Indonesia kehabisan alasan untuk tidak mengizinkan akses ke Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
    ________________
    Sumber: (https://www.ipwp.org/ipwp-news/international-pressure-on-indonesia-to-allow-access-for-the-human-rights-high-commissioner-intensifies/)

    #UE #UniEropa #UK #NL #Netherlands #Basque #Catalunya #Spain #Spanyol #SenatSpanyol #UN #UnitedNation #UNHC #UNHCR #UNHCHR #OHCHR #WestPapua #Referendum #FreeWestPapua

  • RAKYAT PAPUA MENDUKUNG BENNY WENDA SEBAGAI PRESIDEN SEMENTARA DAN PIMPIN PEMERINTAHAN SEMENTARA WEST PAPUA

    Dukungan Rakyat Papua yang di Organisir oleh Komite Aksi ULMWP pada Selasa 22 Desember 2020 di Tabi West Papua. Rakyat Papua mengucap Syukur dan berterimakasih Kepada ALLAH Pencipta Semesta Alam, Leluhur Moyang Bangsa Papua.
    Kami juga berterimakasih juga kepada ULMWP yang telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa dan meng_upgreat Status Politik dan Hukum ULMWP menjadi Pemerintahan Sementara dan memberlakukan Konstitusi Sementara.

    Rakyat Papua mendukung penuh di umumkannya Pemerintahan Sementara di Oxford Inggris pada 1 Desember 2020. Oleh Tuan Benny Wenda sebagai President Sementara.

    Semua perjuangan, upaya, usaha untuk Papua Merdeka. Pemberlakuan Konstitusi Sementara dan Pemerintahan Sementara adalah Proses paling maju dalam sejarah perjuangan panjang Rakyat Papua untuk Merdeka, memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia. Untuk itu Rakyat Papua mendukung Penuh Kemajuan Politik dan Organisasi ULWWP untuk terus memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri.

    Untuk menyelesaikan Persoalan Sejarah status Politik Bangsa Papua, Kejahatan Kemanusiaan oleh Militer indonesia yang mengakibatkan Pelanggaran HAM, Diskriminasi, Marginalisasi, Rasisme, Kegagalan Pembangunan dan Otonomi Khusus di West Papua maka;

    1. Rakyat Papua mendesak kepada PBB untuk mengeluarkan resolusi untuk melaksanak REFERENDUM / SELF DETERMINATION di West Papua.

    2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuka akses untuk Dewan HAM PBB ke West Papua sesuai dengan Resolusi 18 Negara Pasifik Island Forum (PIF) dan 79 Negara Asia Pasifik dan Carebian (ACP). Dan telah menjadi Seruan dari 82 Negara.

    Akhirnya Kepada seluruh Makhluk di West Papua, Pejuang Kemerdekaan Papua, Mahasiswa/i generasi penerus bahwa di Era Moderen ini kita mengunakan seluruh keahlian, ilmu, pengetahuan, tehnologi untuk perjuangan Kemerdekaan bangsa West Papua

  • Karya Tulis tentang Papua Merdeka Raih Penghargaan di California

    Pelajar dari Pasadena College City, Tatiana Overly tampak sedang menjelaskan karya tulisnya yang disajikan dalam bentuk poster, yang menggambarkan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri pada HTTC Student Research Conference pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 (Foto: Katja Liebing/Courier)
    Pelajar dari Pasadena College City, Tatiana Overly tampak sedang menjelaskan karya tulisnya yang disajikan dalam bentuk poster, yang menggambarkan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri pada HTTC Student Research Conference pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 (Foto: Katja Liebing/Courier)

    PASADENA, SATUHARAPAN.COM – Internasionalisasi isu perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk opsi merdeka, tampaknya semakin kuat. Walaupun pemerintah RI berusaha membendung hal ini, upaya itu kelihatannya belum berhasil.

    Internasionalisasi isu Papua tak hanya menjalar lewat panggung diplomasi internasional seperti yang dikhawatirkan, tetapi juga lewat panggung akademis. Dan bukan tak mungkin gaungnya lebih luas, karena sasarannya adalah anak-anak muda berwawasan global yang memiliki idealisme tinggi.

    Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Tatiana Overly, siswa Pasadena College City (PCC) di California. Ia terpilih menjadi salah satu siswa berprestasi yang diminta untuk menampilkan karya tulis dalam mata pelajaran Antropologi Budaya pada KonferensiTahunan ke-17 yang diselenggarkan oleh Honor Transfer Council of California (HTTC).

    Atas saran gurunya, Dr Derek Milne, Overly memilih topik tentang perjuangan rakyat Papua dalam memperjuangkan penentuan nasib sendiri. Karya tulis tersebut ia presentasikan dalam  bentuk poster, salah satu kategori yang dilombakan pada konferensi itu. Hasilnya, Overly memenangi penghargaan peringkat ketiga. Dia menyajikan karyanya di konferensi itu dan terlibat dalam diskusi dengan puluhan siswa lainnya di Ballroom Pacific,  University of  Irvine. California, pada Sabtu, 26 Maret lalu.

    “Banyak orang tidak tahu tentang yang terjadi (di Papua) karena pemerintah telah melarang liputan jurnalis, mereka  melarang antropolog, nyaris menutupnya dari dunia luar untuk dapat menyebarkan berita tentang  apa yang terjadi di sana,” kata  Overly, sebagaimana diberitakan oleh Pasadena City College Courier.

    “Kita bisa melihat sebuah kebudayaan menuju kematian dengan apa yang terjadi  di sana,” kata Overly.

    Overly adalah satu dari siswa terpilih dari  seluruh negara bagian California  yang ikut mengajukan diri untuk turut dalam konferensi ini. Dari sekolahnya sendiri, PCC, ada 44 aplikasi yang diterima panitia. Mereka yang mengajukan diri diminta mempresentasikan hasil  penelitian mereka, baik  secara oral maupun dalam bentuk poster.

    HTTC sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba dan merupakan forum bagi direktur dan konselor program-program unggulan untuk berbagi pengalaman dan kesuksesan dalam menangani siswa-siswa bertalenta.

    Dalam konferensi ini siswa-siswa dari community college — setingkat Sekolah Menengah Atas — diberi kesempatan untuk mempresentasikan penelitian mereka, meliputi apa yang mereka telah pelajari di kelas, termasuk mata pelajaran Antropologi, Sejarah, Kimia, Ekonomi, Teknik dan banyak lagi.

    Sebelum konferensi, mereka diharuskan memasukkan ringkasan karya tulis  sepanjang 250 kata. Mereka yang terpilih diundang untuk mengikuti pelatihan yang dipimpin oleh Koordinator Program Honors Transfer PCC, Dr. Derek Milne, untuk memperbaiki lagi makalah mereka.

    Penghargaan tertinggi dalam konferensi kali ini jatuh ke Roseanne Rivera, yang memenangi Juan Lara Memorial Scolarship. Beasiswa ini diberikan kepada siswa yang tidak mampu, yang  berhasil mengatasi berbagai kesulitan hidup.

    Penghargaan kedua diberikan kepada Hannah Stewart, President dari Honors Club, yang menerima Exemplary Achievement Scholarship. Ia diganjar apresiasi itu bukan saja karena penelitiannya tetapi juga atas kepemimpinannya dalam menghidupkan organisasi.

    “Konferensi ini merupakan hari terbaik dalam hidup saya,” kata Milne. “Saya sangat bangga mendengar para siswa dan selalu menyenangkan bertemu dengan orang tua serta anggota keluarga mereka. Siswa PCC sangat pintar dan mengahumkan. Mereka hanya perlu kesempatan mengembangkan kemampuan riset mereka,” kata Milne.

    Pro-Kontra Internasionalisasi  Isu Papua

    Diangkatnya isu Papua oleh seorang generasi muda AS patut mendapat perhatian pemerintah Indonesia karena ini menunjukkan isu ini mempunyai daya tarik tersendiri.  Citra rakyat Papua sebagai rakyat yang tertindas tampaknya telah tersebar melintas waktu dan benua.

    Pro-kontra internasionalisasi isu Papua sendiri sudah cukup lama. Ada sementara kalangan menganggap internasionalisasi itu tidak akan laku di dunia internasional. Salah satu yang beranggapan demikian adalah Toni Sudibyo, peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.

    Menurut dia, internasionalisasi isu Papua di Parlemen Eropa dan Uni Eropa tidak bergaung karena dinilai berpotensi merusak Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa.

    Ia menambahkan PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur kerjasama dan kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas termasuk bidang politik, keamanan, counter terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.

    Menurut dia, PCA RI-UE juga mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. “Dukungan penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga,” tulis dia dalam sebuah kolom berjudul Internasionalisasi Masalah Papua Tidak akan Laku yang disiarkan oleh Detik.

    Sedangkan di pihak lain, cukup banyak yang berpendapat internasionalisasi isu Papua tidak bisa dibendung. Oleh karena itu, Jakarta harus sungguh-sungguh untuk mengadakan dialog dengan elemen-elemen masyarakat Papua agar internasionalisasi isu ini tidak menjadi liar.

    Salah seorang yang berpendapat demikian adalah Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas.

    “Internasionalisasi masalah Papua sudah ada sejak dahulu bahkan persoalaan Papua bukan persoalaan nasional tetapi persoalaan internasional,” kata Cahyo, kepada satuharapan.com belum lama ini.

    Menurut dia, masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Status Papua dilaksankan sesuai dengan perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda. Hal itu sudah menunjukkan adanya dimensi internasional masalah Papua.

    Lalu peristiwa Trikora, yang kemudian memicu konflik Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh Amerika Serikat,  juga menunjukkan dimensi internasional masalah Papua.

    “Ketika beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) melarikan diri ke luar negeri, ke Belanda, Papua Nugini dan Australia, itu sudah mulai menciptakan benih-benih proses internasionalisasi mengenai Papua yang kemudian bermuara pada pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International Parliementarians for West Papua) di Inggris pada tahun 2008. Kemudian KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 2015, itu juga merupakan bagian dari internasionalisasi masalah Papua,” kata Cahyo.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Model Cantik Yahudi Dedikasikan Karier Ungkap Genosida Papua

    SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Upaya Indonesia untuk meredam internasionalisasi masalah Papua, tampaknya semakin hari semakin menemukan tantangan berat. Setelah tujuh negara Pasifik belum lama ini mengangkat isu Papua di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), berbagai jalur lain untuk mengangkat isu itu bermunculan.

    Tak lagi hanya lewat jalur diplomasi formal, kini lewat saluran diplomasi lain, termasuk diplomasi budaya, pun tantangan akan berkembangnya internasionalisasi isu Papua seakan tak terbendung.

    Yang terbaru adalah munculnya sosok Sabine Jamieson, yang profilnya ditampilkan oleh sebuah media online komunitas Yahudi Australia, Jewish News, Selasa (18/10). Jamieson adalah seorang model rupawan berdarah Yahudi berusia 18 tahun. Tetapi bukan hanya wajah rupawannya yang bisa menarik perhatian. Cita-citanya yang unik dan lebih dari sekadar memperagakan pakaian, perlu mendapat perhatian.

    Ketika diwawancarai dalam audisi menjadi Australia’s Next Top Model, dengan gamblang ia mengatakan bahwa ia tidak ingin sekadar menjadi model. Dia ingin mendedikasikan karier modelnya untuk menyuarakan permasalahan Papua ke dunia internasional.

    Sebagaimana dilaporkan oleh jewishnews.net.au, Jamieson mengatakan ketimbang sekadar sekadar berwajah rupawan, ia berharap karier modelnya dapat menjadi platform baginya untuk berbicara tentang isu-isu sosial, “terutama genosida di Papua (Barat) dan krisis pengungsi Australia.”

    Jamieson tidak sekadar membual dalam soal ini. Ia sudah melakukannya. Menurut Jamieson, dia dan adik kembarnya saat ini
    tengah terlibat dalam penggalangan dana untuk masyarakat Papua (Barat) melalui produksi T-shirt. Produk itu mereka jual dan hasilnya disumbangkan kepada gerakan pembebasan Papua lewat wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    “Ketika Anda menjadi model, Anda memiliki banyak kekuasaan dengan media dan kekuatan untuk menempatkan sorotan pada berbagai isu yang berbeda,” kata Jamieson, sebagaimana dikutip oleh Jewish News.

    Ia mengatakan saat ini belum banyak sorotan yang diarahkan kepada isu Papua. “Masyarakat internasional menutup mata. Kita memiliki kekuatan teknologi untuk menunjukkan apa yang terjadi di sana, sehingga benar-benar penting bahwa kita melakukan itu,” kata dia.

    Di bagian lain pendapatnya, mengenai krisis pengungsi saat ini ia berkisah tentang kakeknya. “Kakek saya dan keluarganya adalah pengungsi setelah perang. Sekarang ada masalah imigran. Sejarah telah berulang. Keluarga saya menjadi sukses dan mereka dibantu oleh masyarakat Australia, dan saya akan senang bila dapat melakukan hal yang sama kepada orang-orang (imigran) di generasi ini. ”

    Menangi Australia’s Next Top Model

    Pada tahun 2014, Jamieson masih tinggal bersama keluarga dan saudara kembarnya, Nakisha di Byron Bay, Australia, ketika mimpinya untuk bekerja terwujud. Ia bekerja di majalah Real Living.

    Bekerja di majalah itu ternyata membuka matanya terhadap industri fesyen. Dari sana pula ia jatuh cinta pada dunia itu.

    Lalu pengalaman itu menginspirasinya pindah ke Sydney dan tinggal bersama nenek dan kakeknya, Sandra dan Yoram Gross. Almarhum Yoram terkenal dengan produksi dan animasi Blinky Bill. Ia adalah korban Holocaust yang tiba di Australia dari Polandia setelah perang.

    Kedatangan Jamieson ke Sydney menggembirakan Yoram. Yoram pun memperkenalkan cucunya kepada komunitas Yahudi setempat dan dilanjutkan dengan kecintaanya kepada industri hiburan.

    “Semuanya tampak sangat menarik pada saat itu,” kenang Jamieson. “Pindah ke Sydney, tinggal bersama kakek yang memanjakan saya,” kata dia.

    Namun duka kemudian datang. Pada tanggal 20 September 2015, Yoram meninggal. “Keluarga saya semua datang ke Sydney untuk pemakaman dan mereka semua berkabung,” Jamieson mengenang.

    Lalu ia memutuskan akan pulang ke kampung halamannya, ketika sebuah momen yang menentukan hidupnya terjadi. “Saya siap untuk terbang kembali ke Byron Bay dengan mereka ketika saya melihat sebuah iklan untuk musim ke-10 program televisi Australia’s Next Top Model. Dan saya punya perasaan bahwa saya harus ikut. Saya merasa ‘saya harus melakukan itu’. Saya mengatakan kepada rumah produksi, bahwa saya hanya punya waktu satu setengah- jam, karena saya harus mengejar pesawat.”

    Jamieson, siswa kelas 11 di Emanuel School saat itu, mengatakan bahwa dia tidak punya harapan akan lolos audisi. Namun betapa terkejutnya dirinya ketika ia menerima email yang memberitahukan bahwa dia telah lolos, dan benar-benar menjadi peserta Australia’s Next Top Model.

    Kemenangan itu, menurutnya, memberi kesempatan baginya mengenang dan berterimakasih kepada kakeknya yang telah memperkenalkannya kepada industri hiburan.

    Pada 20 September lalu, tepat setahun setelah kakeknya berpulang, episode pertama Australia’s Next Top Model disiarkan di Fox8. Jamieson menontonnya bersama neneknya.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Babak Baru Persoalan Papua di PBB

    13 October 2016, Cypri Jehan Paju Dale, Harian Indoprogress

    PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada tujuh negara sebagai subjek hukum internasional telah membawanya ke Sidang Majelis Umum sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib sendiri (self-determinasi) dan pemerdekaan dari kolonialisme (dekolonisasi).

    Apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi di dan terkait Papua? Mengapa orang Papua mengatakan Indonesia sebagai kolonial dan berjuang untuk memerdekakan diri? Dan bagaimana dampak solidaritas bangsa-bangsa terhadap perjuangan orang Papua pada dinamika baru di Papua dan Indonesia pada umumnya?

    Papua dan PBB

    Walaupun Papua sudah lama menjadi perhatian PBB, namun fokus selama ini hanya sebatas pada kerangka pembangunan dan HAM, dan bukan hak self-determinasi dan dekoloniasi.

    Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai lembaga PBB hadir di Papua untuk bermacam-macam proyek terkait dengan agenda Millenium Development Goals (MDGs). Mereka mengurus masalah seperti kemiskinan, good-governance, HIV/AIDS, kekerasan gender, dan masalah surplus kependudukan. Agenda MDGs itu cenderung steril dan terisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung melihat orang Papua semata-mata sebagai orang miskin yang harus ditolong dengan proyek-proyek. Mereka mengidap penyakit laten yang oleh Antropolog James Ferguson (1997) disebut ‘mesin-mesin anti politik’ (anti-politics machine) karena berkutat pada proyek-proyek teknis dan teknikalisasi kebijakan, tanpa mempedulikan aspek ekonomi politik dari masalah yang ada. Mereka juga abaikan sudut pandang masyarakat setempat dalam melihat masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah itu.

    Pada era Orde Baru, PBB juga aktif mendukung agenda pembangunan Indonesia di Papua, baik pada level intervensi kebijakan maupun proyek-proyek. Misalnya, PBB dan Bank Dunia mendukung program transmigrasi rezim Soeharto, yang mengakibatkan transisi demografi yang massif di mana jumlah penduduk non-Papua sekarang melampaui jumlah penduduk asli. Yang paling kontroversial adalah bahwa UNDP sudah menyusun “Desain Pembangunan untuk Irian Barat” dan menyerahkannya kepada Pemerintahan Soeharto pada tahun 1967-1968, setahun sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat proses Penentuan Pendapat Rakyat (atau the Act of Free Choice) yang kontroversial itu pada tahun 1969.[1] Hal ini merupakan salah satu bukti tak terbantahkan bahwa PBB (atau setidaknya sejumlah negara yang dominan dalam PBB) sudah memiliki sikap berpihak pada Indonesia sebelum penduduk Papua diberi kesempatan untuk menentukan pendapatnya lewat Pepera.

    Berbagai studi sejarah (Saltford 2006, Droglever 2010)[2] telah mengungkap dengan terang benderang bagaimana manipulasi Pepera oleh Indonesia terjadi di depan mata, dibiarkan, dan kemudian disahkan oleh PBB sendiri. Konstelasi kuasa negara-negara besar dalam konteks Perang Dingin membuat PBB menyangkal prinsip ‘hak penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia’ yang ada dalam Piagam PBB. Kendati kontroversial dan menuai banyak protes dari Orang Papua, serta dipertanyakan oleh 30 negara yang memilih ‘abstain’, PBB akhirnya mengesahkan hasil Perjanjian antara Belanda dan Indonesia tentang status Papua Resolusi No. 2504 dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969. Resolusi yang sama juga menegaskan dukungan lembaga-lembaga PBB, serta pemerintahan Belanda, bagi pemerintah Indonesia untuk apa yang disebut ‘pembangunan ekonomi dan sosial di Papua Barat’.[3] Studi Saltford dan Drooglever mengarah kepada kesimpulan bahwa apa yang semula dimaksudkan sebagai ‘the Act of Free Choice’ bagi orang Papua dalam kenyataannya menjadi ‘the Act of No Choice’, dan bahwa dalam hal ini PBB telah melakukan sebuah pengkianatan (betrayal), bukan saja terhadap orang Papua tetapi juga kepada prinsip universal PBB sendiri akan self-determinasi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.

    Menariknya, berbagai elemen kritis dan kelompok perjuangan emansipasi rakyat Papua tidak menaruh minat pada agenda-agenda pembangunan lembaga PBB dan terus mempersoalkan manipulasi Pepera itu sebagai salah satu akar utama kompleksitas persoalan Papua dalam konstelasi politik internasional sekarang ini.

    Pada saat yang bersamaan, berbagai kelompok advokasi hak asasi manusia, baik pada tingkat lokal, regional, maupun trans-nasional, terus melaporkan kondisi HAM di Papua dalam berbagai forum PBB. Mereka melakukan dokumentasi dan distribusi informasi, serta menunjukkan kepada publik dalam negeri dan internasional bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak hanya sebatas pada manipulasi proses referendum pada tahun 1969, tetapi tetap terjadi hingga hari ini. Dimensinya pun luas, yaitu kegagalan dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, serta pelanggaran hak-hak sipil dan politik.

    Dalam dua kali Universal Periodic Review (UPR) atas Indonesia (2008 dan 2012) Indonesia mendapat sorotan tajam. UPR adalah mekanisme PBB untuk mengevaluasi negara-negara anggota akan kinerja mereka dalam pelaksanaan berbagai standar HAM internasional. Selain dukungan dari negara-negara di Pasifik, dalam UPR 2012, setidaknya ada 12 negara yang menyoroti kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua. Yaitu, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, Australia dan Norwegia. Kendati ditangkis delegasi Indonesia dengan pembelaan diri dan janji-janji perbaikan, Indonesia tidak dapat menghindar dari sorotan bangsa-bangsa ini di forum PBB.[4]

    Solidaritas Melanesia

    Tidak membaiknya kondisi HAM di Papua, serta praktik impunitas yang semakin menjadi-jadi dalam hukum dan politik Indonesia dewasa ini, membuat rakyat Papua kehilangan harapan pada kemungkinan perbaikan situasi HAM oleh pemerintah Indonesia. Mereka lantas mencari solidaritas di masyarakat dan negara serumpun Melanesia di Pasifik Selatan.

    Ikatan dengan masyarakat Pasifik bukan hanya ikatan diplomatik dan ekonomi. Papua dan negara-negara Pasifik adalah satu rumpun kebudayaan Melanesia. Selain itu bangsa-bangsa Pasifiklah yang menerima ribuan pengungsi dari Papua yang harus melarikan diri karena alasan politik pada masa-masa pasca-Pepera. Ikatan solidaritas itu begitu kuat, melampaui ikatan ekonomi (sumbangan finansial) dan hubungan diplomatik yang hendak dibangun Pemerintah Jakarta untuk meredam solidaritas itu.[5]

    Pada sayap diplomatik, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) telah diterima menjadi bagian dari Melanesian Spearhead Group (MSG), kendati belum menjadi anggota penuh. MSG merupakan organisasi politik regional yang menempatkan Indonesia dan ULMWP atau bangsa Papua Barat dalam posisi sama secara politik. Selain itu, melalui koalisi Pasifik untuk West Papua (Pacific Coalition for West Papua), negara-negara Pasifik menggalang solidaritas untuk agenda HAM dan Self-determinasi di Papua Barat.

    Buah dari solidaritas itulah yang kita saksikan pada sidang Umum PBB sesi ke-71 tahun ini. Tujuh negara di Pasifik Selatan, masing-masing lewat Perdana Menteri dan Presidennya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi HAM di Papua selama lebih dari lima puluh tahun menjadi bagian dari Indonesia.[6]

    Secara terus-terang tanpa bahasa diplomasi yang terbelit-belit, mereka mengecam keengganan Indonesia memenuhi kewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi orang Papua sebagaimana diatur oleh hukum internasional. Mereka juga menegaskan kembali permintaan untuk mengirim Tim Pencari Fakta dari Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan meminta PBB untuk melakukan intervensi dengan memaksa Indonesia menerima kehadiran para Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) PBB yang selama ini ditolak kehadirannya di Papua oleh Indonesia.

     

    Kembalinya Agenda Penentuan Nasib Sendiri

    Lebih progresif lagi, para pemimpin negara-negara Pasifik itu menyoroti akan sejarah dan politik dari masalah HAM di Papua, yaitu manipulasi proses penentuan nasib sendiri rakyat Papua lewat proses Pepera (The Act of Free Choice) yang kontroversial pada tahun 1969.

    Dalam bahasa PM Kepulauan Salomon, “Pelanggaran HAM di Papua dan usaha untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari satu koin yang sama”. Dan bahwa pelanggaran HAM itu merupakan akibat dari upaya Indonesia untuk menekan gerakan penentuan nasib sendiri orang Papua.[7]

    Gelombang solidaritas Pasifik ini sekaligus menyasar manipulasi yang turut difasilitasi oleh PBB sendiri dalam proses dekolonisasi pada tahun 1960-an. Sekali lagi, menurut PM Kepulauan Salomon, “Prinsip kedaulatan adalah hal terpenting dalam semua institusi yang alasan keberadaannya adalah penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara. Jika alasan pembenaran kedaulatan itu berdasar pada rangkaian keputusan yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya, maka ada alasan untuk menantang keabsahaan argumen kedaulatan, dalam hal ini terkait dengan Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.”

    Kita ketahui, tujuh negara Pasifik tidak hadir dalam pengesahan itu, karena mereka sendiri belum merdeka. Besar kemungkinan, 30 negara yang abstain dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969 akan ikut serta mendukung suara negara-negara Pasifik untuk peninjauan kembali status dekolonisasi Papua Barat.

    Titik Lemah Indonesia

    Bagi publik Indonesia, terutama kaum ultra-nasionalis, diangkatnya persoalan Papua oleh negara-negara Pasifik dalam Sidang Umum PBB dilihat semata-mata sebagai sebuah ganggunan kedaulatan. Mereka mengganggap bahwa integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI, betapa pun terjadi lewat proses-proses yang tidak sesuai standar hukum internasional, sudah tidak dapat diganggu-gugat lagi. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa Papua sudah merdeka dengan menjadi bagian dari Indonesia. Dekolonisasi bangsa Papua dianggap sudah rampung dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.

    Pada babak baru persoalan Papua ini, Kelompok “NKRI harga mati” ini berhadap-hadapan dengan kelompok masyarakat Papua yang justru melihat integrasi dengan Indonesia sebagai aneksasi (penggabungan paksa), dan bahwa penguasaan Indonesia atas Papua adalah kelanjutan dari kolonialisme.

    Gerakan emansipasi Papua ini menaruh harapan pada gelombang dekolonisasi yang belum berlalu. Setelah Timor Leste pada 1999 dan Sudan Selatan pada 2011, pada tahun 2018 Kaledonia Baru akan menjalani referendum di bawah pengawasan PBB untuk memilih apakah mereka akan tetap berada di bawah koloni Prancis atau merdeka.[8]

    Negara-negara yang bersolidaritas dengan Papua di Pasifik tampaknya menaruh harapan, sama seperti orang Papua, bahwa Papua akan turut serta dalam gelombang dekolonisasi itu. Langkah awalnya adalah dengan meninjau kembali proses-proses Pepera yang kontroversial itu dan membicarakan Papua masuk kembali ke dalam daftar PBB untuk wilayah dekolonisasi.

    Jelaslah di sini bahwa agenda penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi kembali menjadi fokus persoalan Papua di PBB. Dan bahwa solidaritas negara-negara di Pasifik, bukan lagi sekadar solidaritas untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa. Melainkan solidaritas dekolonial yang diperjuangkan lewat mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan oleh kesepakatan PBB. Selain pelanggaran hak asasi yang umum, solidaritas ini menyasar juga akar historis dan politik dari situasi di Papua, yaitu pelanggaran hak penentuan nasib sendiri yang menyebabkan kolonialisme terus bercokol di Papua.

    Dalam hak jawabnya terhadap pernyataan negara-negara Pasifik pada Sidang Umum PBB, Indonesia menuduh negara-negara Pasifik memakai forum PBB untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia dan mengklaim diri telah memenuhi semua standar HAM dan melakukan pembangunan di Papua.

    Indonesia menyangkal adanya pelanggaran HAM di Papua dengan menegaskan agenda-agenda pembangunan yang sudah sedang dilakukan.

    Namun, sayangnya, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kenyataan buruknya situasi hak asasi manusia di Papua. Hingga hari ini tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang diproses tuntas termasuk yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti kasus Biak (1998), Abepura (2000), Wamena, Wasior (2001), Abepura (2006), dan Paniai (2014).[9]

    Penghilangan hidup di Papua bukan saja peristiwa masa lalu, tetapi terus terjadi hingga hari ini. Sejak insiden penembakan di Paniai pada 9 Desember 2014 saja, ada setidaknya 18 remaja Papua yang diterjang peluru aparat keamanan Indonesia.[10]

    Indonesia juga sulit memakai argumen pembangunan, bahwa oleh Indonesia Papua sudah dibangun dengan baik. Dan bahwa oleh pemerintahan Joko Widodo sekarang ini, pembangunan itu sudah sedang dipercepat dan diperluas. Sebab penderitaan yang dialami oleh orang Papua, bukan saja karena kurangnya pembangunan (misalnya pendidikan dan kesehatan di pedalaman), tetapi juga terjadi dalam dan melalui pembangunan itu sendiri.

    Sudah seringkali disingkap bahwa cara pembangunan dijalankan di Papua itu lebih merupakan bagian dari masalah daripada solusi.[11] Pembangunan hanya menjadi semacam kedok untuk eksploitasi sumber daya alam, pencaplokan tanah dari masyarakat, dan perngrusakan lingkungan. Pembangunan itu juga disertai dengan program transmigrasi dan migrasi sukarela yang menyebabkan transisi demografis yang spektakuler yang mengakibatkan orang Papua kini menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.[12] Alih-alih mensejahterakan orang Papua seperti yang dijanjikan, pembangunan itu juga berorientasi pada investasi dan dikuasai oleh elit ekonomi, militer, dan politik yang memburu untung dari kekayaan alam Papua yang berlimpah.

    Pencaplokan sumber daya dan invasi penduduk ke wilayah orang asli mengakibatkan apa yang disebut settler colonialism, kolonialisme dengan menguasai tanah dan jumlah penduduk (koloni).

    Akibat settler colonialism itu, Indonesia akan kesulitan untuk menjadikan kemajuan kota-kota di Papua sebagai bukti keberhasilan Jakarta membangun Papua. Sebab struktur ekonomi-politik di kota-kota itu justru dikuasasi oleh penduduk Indonesia non-Papua, dan orang Papua hanya terdiri dari 20-40 persen penduduk kota-kota yang bertumbuh pesat itu.

    Kendati pemerintahan Jakarta menunjukkan bahwa saat ini Papua sedang habis-habisan dibangun, antara lain dengan pengembangan kawasan industri, tambang, dan perkebunan, serta infrastuktur jalan, pelabuhan laut, dan bahkan kereta api, Indonesia tidak dapat menjawab gugatan orang Papua, ‘untuk siapa dan untuk apa pembangunan itu?’. Karena bagi mereka pembangunan seperti itu justru merupakan ancaman dan bukan solusi.

    Selain itu, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kompleksitas sejarah masuknya Papua ke Indonesia. Sebelum Pepera pada tahun 1969, Indonesia sudah melakukan invasi militer dan operasi intelijen. Pepera itu sendiri dilakukan di bawah pengawasan aparat keamanan, dan melanggar prinsip referendum yang ditegaskan dalam Perjanjian New York tentang proses referendum itu. Lebih lanjut, berbagai operasi militer telah melahirkan skandal hak asasi manusia yang belum terselesaikan hingga sekarang.

    Semua itu menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Di satu sisi harus menanggapi solidaritas internasional atas nasib rakyat Papua yang menuntut pembicaraan yang terbuka atas apa yang terjadi di Papua. Di sisi lain, harus secara konkret melakukan perubahan kebijakan pembangunan di Papua, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, serta mencegah proses pelanggaran baru baik oleh militer maupun oleh korporasi-korporasi nasional dan trans-nasional di Papua.

    Celakanya baik militer dan oligarki ekonomi-politik inilah yang sedang bercokol dalam lingkaran kekuasan politik seputar Presiden Indonesia. Mereka itu tampaknya tidak rela bahwa penghormatan hak hidup orang Papua mengganggu bisnis mereka di Papua.

    Dalam babak baru persoalan Papua, Indonesia tidak hanya berhadapan dengan emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional terhadap gerakan mereka. Tantangan sama besarnya justru datang dari mafia ekonomi-politik Indonesia yang sudah sekian lama mengambil untung dari sistem kolonial di Papua.

    Dalam babak baru ini, kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti itu berpotensi menentang perubahan kebijakan Indonesia di Papua ke arah yang lebih manusiawi. Bahkan ada kemungkinan bahwa kelompok itu akan memengaruhi Pemerintah untuk kembali melakukan pendekatan militeristik untuk meredam emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional.

    Jika itu terjadi, maka semakin rumitlah posisi Indonesia dalam mengurus dirinya sendiri di Papua.

    Gerakan Emansipasi

    Bagaimanapun, aktor utama dalam babak baru persoalan Papua di PBB ini bukanlah negara-negara Pasifik atau Pemerintah Indonesia di Jakarta. Subjek utama adalah rakyat bangsa Papua sendiri.

    Merekalah yang di ujung kolonialisme Belanda yang masih bercokol di Papua hingga tahun 1961, telah berjuang dan mempersiapkan negara-bangsa mereka sendiri. Merekalah yang menuntut hak penentuan nasib sendiri yang digagalkan dalam proses-proses yang difasilitasi PBB pada tahun 1963-1969. Merekalah yang selama lebih dari lima puluh tahun, kendati ditumpas dengan berbagai operasi kekerasan oleh Pemerintah Indonesia, tetap berjuang mengakhiri kolonialisme. Merekalah yang sekarang menolak model pembangunan kolonial, dan mencari alternatif pembangunan mereka sendiri. Merekalah yang mengalami berbagai persoalan penindasan dan ketidakadilan, diskriminasi dan perampasan sumber daya, dan melakukan usaha-usaha emansipasi.

    Kendati diiming-imingi dengan uang dan jabatan lewat Otonomi Khusus (yang sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari kekayaan negara yang didapat dari Papua), mereka tetap ingin menjadi tuan rumah atas alam dan budaya mereka. Sebagian dari mereka memang memilih memakai peluang Otsus, baik untuk benar-benar memperbaiki situasi ketertindasan dan pemiskinan yang dialami masyarakat, maupun demi mengamankan kehidupan mereka sendiri. Tetapi Otsus ternyata tidak menyurutkan kehendak untuk tetapi menjadi Subjek politik dan ekonomi sendiri.

    Dewasa ini, gerakan-gerakan emansipasi itu mengalami transformasi menjadi gerakan progresif damai berbasis pada mobilisasi massa, produksi pengetahuan, pengorganisasian diri, serta diplomasi.

    Fokus perhatian mereka adalah mengakhiri kolonialisme yang mereka alami baik ketika berhadapan dengan Belanda maupun Indonesia. Pengalaman penderitaan akibat kekerasan, pembangunan, operasi militer, serta marginalisasi melahirkan kesadaran kolektif bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan kebaikan mereka hanya akan dijamin dengan mengurus diri mereka sendiri sebagai bangsa merdeka.

    Dari kalangan muda, lahir kelompok kritis yang dengan terang benderang mengerti kolonialisme lewat pembangunan Indonesia, dan yang menyingkap sejarah mereka, yang sudah dibelokkan Indonesia dan sekutunya di PBB.

    Gerakan Papua Merdeka itu terus meluas dan diungkapkan baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dan kendati organisasi-organisasinya beragam dan tidak sungguh-sungguh solid, mereka bergerak ke arah yang sama: menjadi bangsa merdeka.

    Mereka tidak menampik tuduhan dari Indonesia bahwa mereka adalah separatis, dalam pengertian sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri. Dan dalam argumen mereka, memisahkan diri dari Indonesia itu merupakan jalan memerdekakan diri dari kolonialisme yang terjadi dalam berbagai cara, mulai dari manipulasi proses dekolonisasi pada tahun 1963-1969 dan operasi-operasi militer setelahnya, sampai pada eksploitasi pembangunan kolonial, setter colonialism, rasisme dan stigmatisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia sekarang ini.

    Senjakala Kolonialisme

    Dalam transformasi gerakan emansipasi Papua itu, serta dalam babak baru persoalan Papua di PBB, kita sedang menyaksikan senjakala kolonialisme. Segala hal buruk yang telah terjadi atas nama nasionalisme di Papua hendak diakhiri oleh orang Papua lewat jalan damai dan dalam mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan secara internasional.

    Di hadapan gerakan emansipasi rakyat Papua itu, nasionalisme Indonesia di Papua yang dibangun dengan kekuatan militer dan pembangunanisme selama limah puluh tahun mengalami ujian berat.

    Operasi-operasi militer ternyata tidak berhasil meng-Indonesia-kan Papua. Pembangunan yang terus diperluas dan dipercepat pun, kendati membawa keuntungan berlipat ganda bagi ekonomi Indonesia dan para negara sekutu kapital, tidak dapat menyakinkan orang Papua bahwa mereka dapat hidup sejahtera, adil, dan makmur dalam NKRI. Indonesia yang mendapat kesempatan lebih dari lima puluh tahun membangun kehidupan bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur di Papua justru dialami oleh rakyat Papua sebagai kekuatan kolonial.

    Sebagian orang Indonesia barangkali tersentak bahwa kesatuan yang dikira kokoh ternyata begitu rapuh, persis ketika orang Papua dengan jujur mengakui bahwa mereka tidak merasakan solidaritas senasib-sepenanggungan dengan bangsa Indonesia.

    Solidaritas senasib-sepenanggungan itulah yang sedang mereka bangun untuk mendapatkan jalan keluar atas berbagai persoalan yang mereka alami. Solidaritas itu pula lah yang mereka sedang galang dan dapatkan dari negara-negara Pasifik dan anggota PBB lain, untuk menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat.[13]

    Dalam babak baru persoalan Papua ini, tampaknya solidaritas itu menjadi salah satu kunci.

    Apakah Indonesia akan mampu kembali merekatkan solidaritas dengan rakyat Papua yang sudah terluka raga dan hatinya? Apakah Indonesia akan mengambil langkah konkret mengubah kebijakan di Papua secara total sehingga meyakinkan orang Papua bahwa mereka tetap dapat merdeka, adil, dan makmur, dalam negara-bangsa Indonesia?

    Apakah orang Papua sendiri akan berhasil menggalang solidaritas senasib-sepenanggungan di kalangan mereka sendiri, untuk sama-sama memperjuangkan nasib bersama mereka dalam hubungan dengan Indonesia dan bangsa-bangsa?

    Apakah bangsa-bangsa Pasifik akan tetap bersama orang Papua di saat-saat sulit atau akan lebih tergoda dengan kerjasama politik dan ekonomi dengan Indonesia dan sekutu-sekutunya? Apakah solidaritas itu akan meluas ke negara-negara anti-kolonial di Afrika dan Latin Amerika; ataukah mereka tidak peduli?

    Dan apakah bangsa-bangsa yang bergabung dalam PBB akan mendengarkan perjuangan orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, atau akan sekali lagi mengkhianati mereka seperti pada tahun 1963-1969?

    Di hadapan solidaritas itu, Indonesia sedang diuji. Yang jelas pendekatan militeristik akan memperburuk situasi HAM dan memicu solidaritas atas Papua. Percepatan dan perluasan pembangunan yang eksploitatif dan kolonial pun sudah ditentang oleh orang Papua, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersilat-lidah dalam forum diplomatis, seperti yang dilakukan pada Sidang Umum PBB ke-71, September 2016, jelas tidak menolong siapapun dan tidak memperbaiki situasi riil di Papua.

    Tidak ada pilihan rasional dan etis lain bagi Indonesia, selain memperbaiki diri secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di Papua.

    Pada babak baru Papua di PBB, kita sedang menyaksikan rangkaian peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme. Apakah kolonialisme di Papua akan berakhir dengan perubahan radikal dalam cara Indonesia bernegara di Papua atau akan berujung dengan lahirnya sebuah negara-bangsa baru, Papua Barat.?

    Penulis adalah peneliti pada Insitute of Social Anthropology, Bern University, Switzerland; Menulis-Mengedit buku Paradoks Papua (2011) dan Papua Bercerita (2015).

    —————

    [1] http://papuaweb.org/dlib/pbb/fundwi/fundwi-1968-design-development.pdf

    [2] http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&view=body&content-type=pdf_1&handle=seap.indo/1106943310#;

    http://resources.huygens.knaw.nl/indonesischebetrekkingen1945-1969/DekolonisatieVanIndonesieEnHetZelfbeschikkingsrechtVanDePapoea/papers_pdf/drooglever

    [3] http://daccess-ods.un.org/access.nsf/Get?Open&DS=A/RES/2504(XXIV)&Lang=E&Area=RESOLUTION.

    [4] http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/idsession1.aspx

    [5] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160330192051-20-120642/tiba-di-fiji-rombongan-luhut-bawa-bantuan-senilai-us-5-juta/

    [6] https://www.youtube.com/watch?v=16-zBTz06G4

    [7] https://www.youtube.com/watch?v=W6mL5RikDfs

    [8] http://www.un.org/press/en/2015/gacol3284.doc.htm

    [9] https://m.tempo.co/read/news/2016/09/30/120808604/pasifik-tantang-indonesia-bongkar-pelanggaran-ham-di-papua

    [10] http://tabloidjubi.com/artikel-340-sejak-insiden-paniai-berdarah-18-remaja-papua-telah-ditembak-aparat-keamanan.html

    [11] http://www.sastrapapua.com/2016/06/penjajahan-lewat-pembangunan-di-papua.html

    [12] http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/02/demographic-tensions-papua-a-time-bomb.html

    [13] http://tabloidjubi.com/16/2016/05/14/the-journey-of-our-nation/

  • Rockin for West Papua diluncurkan di beberapa negara

    Jayapura, Jubi – Rize of the Morning Star menyelenggarakan parade musik global bertajuk Rockin for West Papua dari 30 September 2016 sampai setidaknya 30 Oktober 2016.

    Festival musik, seni, dan kebudayaan global itu ditujukan untuk membangkitkan kesadaran terhadap genosida dan pelanggaran HAM masyarakat asli West Papua.

    Di Australia, rangkaian acara ‘Rockin’ For West Papua’ (R4WP) diselenggarakan di Sydney , Melbourne, Brisbane, Darwin, Hobart, Perth, Gold Coast, Lismore & Newcastle. Sementara di beberapa negara lainnya seperti Inggris, Afrika Selatan, Selandia Baru, dan Belanda juga menyelenggarakan acara serupa.

    Menurut Ronny Kareni, salah seorang musisi dan aktivis asal Papua yang menjadi motor Rize of the Morning Star, Rockin for West Papua bersolidaritas untuk Perdamaian, Kebebasan, dan Penentuan Nasib Sendiri di West Papua.

    “Kami percaya musik dapat bangkit melawan tirani, kami percaya dapat berperang dengan bersenjatakan musik, dan kami juga percaya dapat menggunakan musik untuk bersatu dan melawan penindasan,”

    ujarnya ketika dihubungi Jubi Senin (10/10/2016).

    Sabtu (8/10) lalu salah satu rangkaian acara digelar di pelataran Sydney Opera House, Sydney Australia, berlangsung meriah. “Ratusan orang menyaksikan dan antusias terhadap pagelaran musik dan budaya Papua,” kata Ronny lagi.

    R4WP dan Rize Of The Morning Star mengajak para musisi, artis-artis dan siapapun yang mau terlibat mendukung kampanye kemanusiaan West Papua.

    “Kita mengorganisir dukungan agar pemerintah Indonesia, AS, Asutralia dan Inggris tahu bahwa kita berdiri bersolidaritas untuk West Papua. Kami beri hormat pada para musisi dan artis yang menggunakan hak independen mereka untuk jadi suara bagi orang-orang tak bersuara di West Papua”

    ujar Ronny.

    R4WP menyatakan solidaritasnya pada rakyat West Papua, rakyat bangsa-bangsa pertama (masyarakat asli di dunia), dan musik sebagai ‘senjata’ penyampaian pesan.(*)

  • Federasi Uskup Pasifik Minta Papua Tidak Dihambat Masuk MSG

    Para Uskup Pendukung Papua Merdeka
    Dari kiri ke kanan, Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta,Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowombia, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Vila, John Bosco Baremes SM, (Foto: Chatolic Outlook)

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Enam uskup yang tergabung dalam Komite Eksekutif Federasi Konferensi Uskup Katolik se-Oseania menyerukan agar pemerintah mana pun tidak menghambat keinginan rakyat Papua untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Menghambat keinginan itu, menurut mereka, akan melukai hati semua rakyat Melanesia. MSG, demikian pernyataan itu, adalah tempat alami kolaborasi dan potensi saling memahami yang lebih dalam di antara sesama rakyat Melanesia.

    Keenam uskup tersebut bertemu di Port Moresby, Papua Nugini, dan mengeluarkan pernyataan tersebut pada 22 Agustus, sebagaimana dilansir dari catholicoutlook.org. Keenam uksup itu adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta, Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowoomba, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Billa, John Bosco Baremes SM. Keenamnya datang dari negara-negara Australia, Selandia Baru, Papua Nugini,Kepulauan Solomon dan CEPAC.

    Menurut Wikipedia, Oseania (Oceania) adalah istilah yang mengacu kepada suatu wilayah geografis atau geopolitis yang terdiri dari sejumlah kepulauan yang terletak di Samudra Pasifik dan sekitarnya.

    Dalam artian sempit Oseania meliputi Polinesia (termasuk Selandia Baru), Melanesia (termasuk dari Maluku sampai Nugini) dan Mikronesia. Sedangkan dalam artian luas Oseania juga meliputi Australia dan Indonesia bagian timur; namun terkadang Jepang dan Kepulauan Aleut dianggap masuk dalam kelompok Oseania.

    Sebagian besar wilayah Oseania terdiri dari negara-negara kepulauan yang kecil. Australia adalah satu-satunya negara kontinental, sedangkan Papua Nugini dan Timor Leste adalah negara yang memiliki perbatasan darat, di mana keduanya berbatasan dengan Indonesia.

    Oleh karena itu, tidak terlalu salah apabila para uskup yang bertemu ini dikatakan merupakan wakil dari umat Katolik di Pasifik.

    “Kami datang dari banyak negara bangsa kepulauan yang tersebar di seluruh Pasifik,” demikian pernyataan mereka.

    “Kami sangat senang berada di sini di PNG dan telah menikmati keramahan yang sangat indah dari bangsa yang hidup ini. Adalah suatu kehormatan bagi kami untuk bertemu dengan Yang Terhormat Powes Parkop, gubernur Port Moresby, dan kami semua mengucapkan selamat kepadanya dan dorongan bagi pengembangan kota ini dan komitmennya untuk keadilan, integritas dan layanan dalam kepemimpinan sipil,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

    “Meskipun kami datang dari beragam budaya dan daerah, sebagai rohaniawan dan gembala hati kami bersatu dalam keinginan untuk mencari apa yang terbaik bagi manusia dan kebaikan bersama bagi masyarakat apapun. Lebih jauh, kami mengikuti contoh dari Paus Fransiskus, imam kita, yang mendorong kita untuk melihat dunia bukan sebagai pasar global, tetapi sebagai rumah universal.”

    Menurut pernyataan itu, tahun lalu para uskup telah mendesak pemerintah dan kalangan bisnis untuk mendukung inisiatif Paris COP21 menangani isu-isu perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Mereka mengatakan berbesar hati melihat bahwa Pemerintah PNG telah mengesahkan UU yang baru dan setuju untuk menerapkan strategi inisiatif itu.

    Pada pertemuan kali ini, keenam uskup itu mengatakan mereka memfokuskan diri pada isu tentang Papua. Dalam hemat mereka, rakyat Papua mencari apa yang dicari oleh setiap keluarga dan kebudayaan, yaitu penghormatan terhadap martabat pribadi dan komunal, kebebasan berekspresi bagi aspirasi individu serta hubungan bertetangga yang baik.

    “Batas politik tidak pernah dapat membatasi atau mengontrol hubungan etnis dan kami mendesak pemerintah untuk mendukung keinginan rakyat Papua (Barat) untuk berpartisipasi penuh dalam Melanesian Spearhead Group (MSG),” demikian pernyataan tersebut.

    Oleh karena itu, keenam uskup mengatakan mendukung deklarasi lintas iman pada tahun 2003 Papua Tanah Damai.

    “Menghalangi partisipasi rakyat Papua di MSG adalah luka di sisi semua rakyat Melanesia. Untuk Papua (Barat), MSG adalah tempat alami kolaborasi dan potensi sumber pemahaman yang lebih dalam,” kata pernyataan itu.

    Keenam uskup juga mengucapkan terimakasih atas bantuan pemerintah Indonesia dalam membuat kemungkinan kunjungan uskup dari Papua Nugini dan Kepulauan Solomon ke Jayapura belum lama ini, untuk bertemu dengan kolega sesama uskup di Papua Barat.

    “Kunjungan tersebut selalu untuk menciptakan perdamaian,” kata mereka.

    Sejak tahun 2014, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) telah berupaya untuk diterima di MSG, sebagai perwakilan dari rakyat Melanesia di Papua. Pada tahun 2015, ULMWP mendapat status sebagai peninjau.

    Pada saat yang sama, Indonesia juga mengklaim mewakili rakyat Melanesia yang menjadi warga negara Indonesia, yang tersebar di pulau-pulua Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Indonesia telah memperoleh status associate member di MSG pada tahun 2015.

    Pertengahan Juli lalu, aplikasi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG ditunda, dengan alasan masih perlu adanya penyempurnaan kriteria keanggotaan MSG. Keputusan atas aplikasi itu dijadwalkan akan diambil pada pertemuan pemimpin MSG pada September ini Vanuatu.

    Menurut Amena Yauvoli, direktur jenderal MSG, kepada tabloidjubi.com, pengajuan aplikasi untuk menjadi anggota penuh sejauh ini hanya dilakukan oleh ULMWP, sementara Indonesia tidak mengajukan aplikasi kepada Sekretariat MSG.

    Indonesia selama ini menganggap ULMWP merupakan kelompok separatis.

    Penulis: Eben E. Siadari 09:15 WIB | Rabu, 24 Agustus 2016

  • Pemerintah Diminta Bentuk Organisasi Tandingan MSG

    Jakarta, Tabloid-Wani — Pemerintah Indonesia disarankan membentuk organisasi Melanesia tandingan, untuk melawan organisasi Melanesia di Pasifik Selatan. Menurut Pakar Hubungan Internasional Teuku Rezasyah, dukungan anggota Melanesia kepada Gerakan Pembebasan Papuan Barat (ULMWP) mengganggu kedaulatan Indonesia. Pemerintah, kata dia harus berani mengambil tindakan tegas terkait hal tersebut. Salah satunya, dengan membuka dialog dengan kepala negara Pasifik Selatan soal status ULMWP. “Kita harus berani ngadu. Mereka bikin Melanesia Brotherhood, kita bikin Melanesia Society. Kita gabungkan yang di Papua, Maluku, Halmahera, stoknya Melanesia, dan lebih banyak dibandingkan Pasifik Selatan. Perang organisasi harus dilawan dengan perang organisasi oleh Indonesia,” kata Rezasyah kepada KBR, Kamis (14/7/2016).

    Reza menilai status ULMWP sebagai Observer di MSG memalukan Indonesia. Hal itu merusak kedaulatan. “Yang dikuatirkan sekarang, apa Indonesia sadar, ini kan langkah mendiskreditkan Indonesia. Jadi nanti bukan hanya observer tapi jangan-jangan bisa memberikan input,” tutur Reza. Reza juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati jika kasus ini dibawa menjadi isu internasional. “Jangan sampai ini jadi isu internasional, karena mempermalukan Indonesia. Sebelum jadi api, kita cegah baranya dulu,” ujarnya.

    Sumber: http://www.tabloid-wani.com/

  • Parlemen Australia: Masyarakat Australia Aktif Dukung Papua Lepas Dari Indonesia

    Salah satu anggota Parlemen Australia mengatakan secara kenegaraan, pemerintah negeri kanguru itu tidak mendukung gerakan yang mengarah pada pemisahaan dari negara kesatuan republik Indonesia, namun diakuinya bahwa banyak masyarakat sipil di negaranya itu yang aktif mendukung Papua lepas dari Indonesia.

    “Kami tidak pernah mendukung kelompok itu, namun banyak kelompok masyarakat di Australia yang aktif mendukung lepasnya Papua dari Indonesia,” kata salah seorang perwakilan Parlemen Australia, dalam pertemuan bilateral dengan perwakilan Parlemen Australia sela-sela kegiatan Asia-Europe Parliamentary Partnership (ASEP) ke-9 di Ulan Bator, Mongolia, Sabtu (23/4/2016).

    Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menegaskan, pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan teritorial yang ada di Indonesia. Salah satunya terkait persoalan Papua.

    “Dalam beberapa kesempatan, saya kira Presiden Joko Widodo telah beberapa kali mengunjungi Papua untuk melihat persoalan infrastruktur di sana,” kata Fadli.

    Fadli pun berharap agar Australia dapat membantu Indonesia dalam menjaga keutuhan wilayahnya.

     

    Tingkatkan komunikasi

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR Tantowi Yahya meminta agar komunikasi antara Parlemen Indonesia dan Parlemen Australia dapat ditingkatkan. Sebab, seringkali terjadi ketegangan antara kedua belah negara. “Tapi itu hanya terjadi di tataran pemerintah, bukan di parlemen. Saya harap kita bisa menjadi pendamai ketika ekskalasi ketegangan meningkat,” ujarnya.

    Ia menegaskan, baik Parlemen Indonesia maupun Parlemen Australia harus mampu membantu pemerintah masing-masing untuk meningkatkan hubungan bilateral di antara kedua belah pihak. (Yuliana Lantipo) tabloidjubi.com

  • Jelang Putusan ULMWP, Kemenlu: Harus ada Kesepakatan dari Indonesia

    Senin, 11/07/2016 20:50 WIB

    KBR, Jakarta- Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menekankan, keputusan Melanesian Spearhead Group (MSG) harus mempertimbangkan kesepakatan anggotanya. Ini menanggapi jelang putusan diterima atau tidaknya Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) menjadi anggota MSG pada 13-14 Juli mendatang.

    Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir mengatakan, posisi Indonesia saat ini sebagai associate member atau anggota rekanan MSG.

    “Seperti yang kita ketahui Indonesia sebagai associate member di MSG. Di situlah kehadiran kita di sana. Tentunya semua pembahasan kita berusaha akan terus terlibat di dalam situ. Apapun nanti yang diputuskan di MSG tentunya harus mendapat kesepakatan dari seluruh anggota yang ada di sana,” kata Arrmanatha di Gedung Kemenlu Jakarta, Senin (11/07/2016).

    Sebelumnya, Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap optimistis ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh MSG. Ini lantaran persyaratan menjadi sebagai anggota sudah dipenuhi ULMWP. Di antaranya membentuk wadah persatuan dan menjadi anggota observer organisasi ras Melanesia lintas negara itu selama setahun.

    Apabila diterima sebagai anggota penuh MSG, ULMWP akan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri di luar Indonesia atau referendum. Kata Ones, KNPB akan menggelar aksi damai jelang keputusan 13 Juli mendatang di Papua.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?