Tag: Canberra

  • Apakah Papua Merdeka Ditentukan Oleh PBB, Eropa, Indonesia atau Melanesia ?

    Apakah Papua Merdeka Ditentukan Oleh PBB, Eropa, Indonesia atau Melanesia ?

    Ada cerita satu orang Papua, tokoh Papua Merdeka, yang tidak perlu disebutkan namanya, karena belia masih ada sebagai tokoh Papua Merdeka hari ini, pergi ke politisi pendukung Papua Merdeka di Australia dan bertanya kepada mereka

    Apakah Papua bisa/ atau akan merdeka atau tidak?

    Mendengar pertanyaan ini, para politisi tentu saja tidak menertawakan dia, tetapi mereka memberika penjelasan panjang-lebar tentang bagaimana Timor Leste bisa merdeka dan berdaulat di luar NKRI, walaupun perjuangan Kemercdekaan Timor Leste dimulai 10 tahun belakangan daripada perjuangan Papua Merdeka.

    Sama halnya dengan itu, NKRI juga selalu, bukan sering tetapi selalu pulang-balik London, Canberra, New York, tiga negara ini, dengan pertanyaan yang sama,

    Apakah West Papua masih diakui sebagai bagiand ari NKRI?

    Jawaban mereka lebih to-the-point, mereka katakan secara terbuka dan lewat media internasional

    Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

    Pada saat disinggung tentang pelanggaran HAM yang tertjadi di Tanah Papua, memang mereka menyatakan “prihatin”, tetapi pada saat yang sama, dalam kalimat yang sama pula, mereka tetap menyatakan “mendukung West Papua di dalam NKRI”.

    Jadi ada dua jawaban yang berbeda. Pertama di atas jawabannya diberikan dengan penjelasan tentang perjuangan lain menentang NKRI dan telah sukses. Pertanyaan kedua dijawab langsung, “Yes!” atau “No!” tanpa penjelasan dan contoh cerita.

    • Apa yang dilakukan pemimpin kemerdekaan Negara West Papua saat ini apakah sama dengan Diplomasi NKRI ataukah sama dengan diplomasi tokoh Papua Merdeka dia tas tadi?
    • Apakah kita merasa bahwa solusi Papua Merdeka ada di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), London, New York dan Canberra?
    • Apakah solusi Papua Merdeka ada di Jakarta?
    • Apakah solusi Papua Merdeka ada di Tanah Papua, kawasan Melanesia, dan di rumpun MSG?

    Kita punya pilihan sekarang, dari pengalaman perjuangan yang lebih panjang daripada Timor Leste yang sudah ke garis final.

    • Apakah kita belajar dari keberhasilan teman-teman yang dulunya sama-sama berjuang?
    • Atau kita mem-photo-copy pendekatan penjajah sendiri, lalu-lalang di Eropa, Australia, Amerika Serikat dan PBB untuk meminta pendapat dan dukungan mereka?

    Parah memang kalau pemimpin kita malah masih lalu-lalang di Eropa, PBB, Australia, Amerika Serikat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pantas dan tidak patut ditanyakan.

    Mereka menunggu jawaban kita, mereka menunggu penjelasan kita, mereka menunggu rencana jangka panjang kita dalam konteks Asia Tenggara, Asia-Pasifik, Oceania, Pasifik Selatan dan MSG.

    Mereka adalah pelaku pelanggaran HAM, mereka pelaku New York Agreement, mereka pelaku Pepera 1969, mereka pelaku penjajahan di Tanah Papua.

    Yang perlu mereka ketehui hari ini bukan cerita-cerita tentang perilaku mereka sendiri terhadap kita lewat NKRI.

    Yang mereka butuh hari ini ialah

    “Apa artinya Papua Merdeka bagi orang Melanesia di West Papua sendiri?”

    Dengan memahami gambaran dan arti Papua Merdeka itu-lah, mereka akan mendapatkan gambagaran yang jelas tentang keuntunga-keuntungan yang nyata, jelas dan dapat diukur dari kemerdekaan West Papua buat negara mereka masing-masing, buat Uni Eropa dan buat PBB.

    Pahit tapi harus diakui, PBB hadir bukan untuk memecahkan persoalan dunia, tetapi untuk menghitung berapa besar porsi dari masing-masing anggotanya pada saat mereka menjadi anggota PBB. Dan menurut hukum alam, yang terkuat di dalam PBB mendapatkan keuntungan terbanyak. Dan yang terlemah tidak mendapatkan apa-apa.

    Papua Merdeka memberikan sumabangan apa kepada anggota paling kuat itu?

    Jawabanya bukan ada di PBB, bukan di Eropa, bukan di Australia, bukan di Amerika Serikat. Dia ada di ULMWP saat ini, waktu ini, hari ini, detik ini.Dan ULMWP secara hukum internasional dan politik internasional diakui dan resmi di kawasan Melanesia dan Pasifik Selatan saat ini. Statusnya dan politiknya tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun di dunia saat ini.

    Maka itu ULMWP bertanggung-jawab menjelaskan “Wajah Papua Merdeka!”, bukan bertanya-tanya kepada orang-orang non-Melanesia dan melobi-lobi yang tidak-tidak kepada negara-negara non-Melanesia.

  • Protester arrested outside Indonesian Embassy held in custody overnight for fine-only offences

    A protester arrested outside the Indonesian Embassy has been fined and released from police custody after being held for almost 24 hours, under what his defence lawyer has described as unusual circumstances.

    Adrian ‘AJ’ Van Tonder, 25, was arrested on Friday morning at the rally in Canberra, where he and his fellow protesters lay in the embassy driveway covered in sheets and fake blood.

    Van Tonder, a Melbourne student, was with about 30 people protesting alleged human rights abuses by the Indonesian Government in West Papua.

    The group blocked vehicles from entering and exiting by lying across the driveway.

    This morning Van Tonder pleaded guilty in the ACT Magistrates Court to obstructing the embassy, refusing to provide a name and address and failing to comply with an order to move on.

    He was fined $750 and released.

    The combined offences carry a maximum penalty of up to $3,800.

    The court heard the other protesters gave their details when asked by police to move on, but Van Tonder remained silent.

    Van Tonder’s defence said being held in custody overnight on offences that carry fine-only punishments was “not something that would normally happen” and it was not clear why it had.

    Magistrate Robert Cook told Van Tonder the right to protest peacefully should be protected.

    “You should engage in it and that’s your right,” he said.

    But he warned against ignoring police instructions.

    “Ultimately then you leave police with no choice than to remove you physically,” he said.

    Claims police trying to appease Indonesian Government

    A group of fellow protesters supported Van Tonder in court.

    Outside, they said his time in custody was unfair and stressful.

    “The last 24 hours have been horrible,” Kiah Dennersterin said.

    The protesters claim police are being pressured by Indonesia to arrest activists like themselves.

    “Police are trying to appease the Indonesian Government and show they’re being strong against West Papuan activists,” another protester Rebecca Langley said.

    “Recently there’s been a bit of tension between Indonesia and Australia regarding their military cooperation and it means eyes are on.”

    Member of the West Papuan community Ronny Kareni said the arrest would not silence their message to free West Papua.

    “It’s evident that the Australian Government is bowing down to Indonesia’s pressure,” he said.

    “[The arrest] will only create more fire and fuel more support from people in the streets.”

    The group said they travelled to Canberra from Melbourne to take part in this protest and Invasion Day protests.

    ACT Policing was contacted for comment.

  • Indonesia criticises Australia for not arresting trespassers at its Melbourne Consulate-General

    Indonesia has questioned why Australia is yet to arrest people who “trespassed” on the Indonesian Consulate-General in Melbourne and waved a West Papuan separatist flag when their faces were clearly visible in video footage of the event.

    Tensions remain inflamed between the two countries after a defence fracas earlier this month following the discovery of “offensive material” – including an assignment related to West Papuan independence – at a Perth army base.

    Within days of the furore a Caucasian man was filmed provocatively holding up the separatist West Papuan “Morning Star” flag, which is banned in Indonesia, on the roof of the Indonesian Consulate-General in Melbourne. Another person filmed the event.

    Foreign Minister Retno Marsudi described the alleged trespass on January 6 as  a “criminal act that is completely intolerable”.

    Source: http://www.smh.com.au/ 

     

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?