Tag: Bintang Kejora

  • West Papua flag mural in Darwin remains intact despite criticism from Indonesian Consul

    Independence activist Piter Elaby
    Photo: West Papua independence activist Piter Elaby touches up a mural in Darwin’s CBD on Australia Day, 2016. (ABC News: Felicity James)

    The Indonesian Consul to Darwin, Andre Siregar, has denied he pressured the owner of a wall to paint over a mural which features the West Papuan flag, but said he had reported its existence to Jakarta.

    “It is something that we respect, we have to respect, but please note that it, itself is offensive to us,” Mr Siregar said.

    Mr Siregar said as the Indonesian Government’s representative in Darwin he had conveyed Indonesia’s position on West Papua.

    “Of course that is a flag of a separatist group — they want West Papua to be their own country,” Mr Siregar said.

    “They ignore the 2.5 million Papuans who have gone to the election and voted, and the 3.9 million Papuans that live there.

    “So as the government representative in Darwin I have conveyed this situation to the NT Government, [and] we don’t want them to be ill-informed.”

    Mr Siregar told the ABC he was the last to find about the “external pressure” and urgency to remove the mural.

    “I guess I found out last, that someone feels pressured, and someone wants their walls clean, someone had to choose someone to blame,” Mr Siregar said.

    Mr Siregar said the building’s owner — Carlo Randazzo, the honorary Vice-Consul to Italy — had contacted him about the issue last week.

    “He just said ‘we’re going to clean it up’, I said ‘it’s your wall, it’s your wall’ — and he just gave me some updates regarding where it’s been with those people who have painted on it,” Mr Siregar said.

    “I’ve also casually spoken to Peter Styles about this, and he as the Minister for Multicultural Affairs, would take note of that. But again I have not really followed up on this discussion.”

    Issue flared after ‘external pressure’

    The issue of the large depiction of the West Papuan flag in the city’s centre flared after the artists who painted it in June 2015, were told to paint over it by an employee of Randazzo Properties.

    The email to the artists cited “external pressures” as the reason for the sudden, urgent removal of the mural.

    The mural itself also depicts the Aboriginal flag, and was painted as a symbol of solidarity between the two groups.

    Mr Siregar said the Indonesian Consulate respected freedom of expression in Australia, and he had explained to visiting Indonesian officials the West Papuan flag mural did not necessarily reflect the position of Australians.

    “Now after eight months there are many Territorians who also came to me and asked me ‘what’s with that flag?’,” Mr Siregar claimed.

    Mr Siregar also said Indonesia was working at improving its human rights record.

    “If there’s some concerns about human rights, as a developing country we’re all striving to make sure there’s no more human rights violations, even if there were violations, we are committed to rectifying those mistakes.”

  • Pemerintah Diminta Desak Australia Tangkap Pelaku Pengibar Bendera OPM

    JAKARTA – Sindonews – Pemerintah Indonesia diminta untuk mendesak pemerintah Australia untuk menemukan dan menangkap pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora di Konsulat Jenderal Indonesa di Melbourne. Permintaan itu disampaikan oleh anggota Komisi I DPR saat melakukan rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan sejumlah Menteri lainnya.

    Ditemui pasca pertemuan tersebut, Retno mengatakan permintaan ini muncul karena pihak Komisi I merasa bingung dengan pemerintah Australia yang masih belum bisa menemukan pelaku penerobos dan pengibaran bendera bintang kejora di KJRI. Padahal, wajah dan nama pelaku sudah diketahui.

    “Pertanyaannya kenapa sampai saat ini belum bisa ditangkap. Waktunya sudah 20 hari. Oleh karena itu Komisi I meminta pemerinah mendesak kembali pemerintah Australia segera selesaikan kasus tersebut dan bawa ke ranah hukum,” kata Retno, Jakarta, (26/1/2017).

    Retno kemudian mengatakan Australia adalah salah satu rekan penting sekaligus negara tetangga Indonesia. Oleh karena itu, ia harap prinsip saling menghormati bisa dipraktikan oleh Australia.

    “Dalam hubungan bilateral, kita bicara mengenai hubungan bulat secara menyeluruh. Kita tahu Australia mitra penting Indonesia. Saya kira sebagai tetangga dekat saling membutuhkan,” ucap Retno.

    “Jadi kita tetangga dekat dengan intensitas hubungan yang sangat tinggi. Sejak dahulu hingga nanti akan muncul permasalahan di dalam hubungan dengan Australia. Maka isu mengenai kehormatan untuk tidak mencampuri dan menghormati teritorial dan integritas kesetaraan dan sebagainya itu jelas harus sudah dilakukan kedua negara. Selain itu kedua negara sudah punya dasar yang kuat (Lombok Treaty) yang seharusnya dijadikan pijakan bagi kedua negara dalam menjalin hubungan ke depan,” tukasnya.

    BACA SUMBER
  • “Bintang Kejora” Berkibar di KJRI Melbourne, Pemerintah Protes Australia

    JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam keras tindakan pengibaran bendera Papua Merdeka, Bintang Kejora, di Kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Melbourne, Australia, Jumat (6/1/2017), sekitar pukul 12.52 waktu setempat.

    Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, Pemerintah Australia memiliki tanggung jawab untuk melindungi perwakilan diplomatik dan konsuler yang ada di Australia.

    Hal itu sesuai dengan Konvensi Wina thn 1961 dan 1963 mengenai hubungan diplomatik dan konsuler.

    “Pemerintah mengingatkan bahwa menjadi tanggung jawab Pemerintah Australia melindungi perwakilan diplomatik. Untuk itu Pemerintah RI meminta kepada.Pemerintah Australia untuk memastikan dan meningkatkan perlindungan terhadap semua properti diplomatik dan konsuler Indonesia,” ujar Arrmanatha saat dihubungi, Jumat (6/1/2017).

    Arrmanatha mengatakan, peristiwa pengibaran tersebut terjadi pada sekitar pukul 12.52 siang, saat sebagian besar staff KJRI sedang melakukan ibadah Sholat Jumat.

    Pelaku menerobos halaman gedung apartemen tetangga KJRI sebelum memanjat pagar tembok KJRI yang tingginya lebih dari 2.5 meter.

    Atas peristiwa itu, Indonesia telah menyampaikan protes ke Pemerintah Australia dan meminta agar pelaku segera ditangkap.

    “Pemerintah RI telah menyampaikan protes ke Pemerintah Australia dan meminta agar pelaku segera ditangkap dan dihukum secara tegas sesuai hukum yang berlaku,” kata dia.

    Penulis: Kristian Erdianto
    Editor: Inggried Dwi Wedhaswary
  • Demonstran Referendum Papua: Kami Dipukuli Aparat

    Demonstran Referendum Papua: Kami Dipukuli Aparat
    Koordinator FRI Surya Anta mengatakan pemukulan diduga dilakukan oleh aparat keamanan dalam aksi demonstrasi pada hari ini. (REUTERS/Beawiharta)

    Jakarta, CNN Indonesia — Front Rakyat Indonesia (FRI) mengecam keras aksi pemukulan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap pedemo warga Papua dalam aksi damai soal referendum Papua Barat pada hari ini.

    Koordinator FRI Surya Anta mengatakan pemukulan diduga dilakukan oleh aparat keamanan dan dirinya pun menerima pukulan di bagian kepala dan leher bagian belakang. Padahal, sambungnya, aksi tersebut dilakukan dengan damai tanpa ada keinginan untuk membuat kerusuhan.

    “Aksi ini damai dan kami juga menyampaikan ke kawan-kawan jangan terjadi pemukulan. Bahkan ketika sepuluh orang kami dipukuli, kami juga berteriak kami tidak melawan,” kata Surya di Polda Metro Jaya, Kamis (1/12).

    Aksi yang dilakukan sekitar pukul 08.00 itu dimulai dari lokasi LBH Jakarta, kawasan Pangeran Diponegoro,  menuju Bundaran Hotel Indonesia dan Istana Negara. Namun, pihak kepolisian mengadang massa saat tiba di Jalan Imam Bonjol sebelum sampai ke Bundaran HI.

    Surya mengatakan keinginan demonstran menuju Bundaran HI menjadi alasan dibubarkannya aksi itu. Padahal, menurutnya, Bundaran HI merupakan fasilitas publik yang dapat digunakan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat.

    Melaporkan Pemukulan

    Hal yang sama juga disampaikan oleh pengacara publik LBH Jakarta Veronica Koman. Menurutnya, peraturan gubernur yang melarang aksi di Bundaran HI tidak sesuai dengan Undang-Undang.

    “Di situ (Pergub) tidak ditulis larangan, jadi hanya tempat yang disediakan, tapi kan bukan berarti tidak boleh. Itu hanya pergub, tidak ada apa-apanya dibanding perangkat UU,” ucapnya.

    Dengan terjadinya aksi pemukulan itu, Veronica berencana akan melaporkan oknum yang telah melakukannya. Sepuluh demonstran yang dipukul itu akan divisum sebagai alat bukti.

    Kuasa Hukum yang akan diperbantukan berasal dari LBH Jakarta, LBH Pers dan LBH Keadilan Bogor Raya.

    Atribut Bintang Kejora

    Selain melakukan aksi di tempat yang dilarang, Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Hendy F Kurniawan mengatakan, demonstan diamankan karena membawa bendera Bintang Kejora. Lambang itu merupakan lambang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    “Diamankan karena membawa atribut berlambang Bintang Kejora. Kami sita karena bukan lambang negara,” ucapnya.

    Meski demikian, Hendy mengatakan, demonstran yang ditahan akan segera dipulangkan.  Mereka, sambungnya, dibawa ke Polda untuk memberikan keterangan.

    Hendy mengatakan, meskipun ditahan untuk beberapa saat namun pihak kepolisian dengan demonstran dapat bekerjasama dengan baik.

    “Pengamanan supaya tidak ricuh, kami juga di sini memberikan makan dan minum. Jadi diperlakukan dengan baik,” tuturnya.
    ​ (asa)

  • Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap

    Kamis, 01/12/2016 13:08, Reporter: Raja Eben Lumbanrau, CNN Indonesia
    Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap
    Seluruh peserta demo dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap dan diproses di Polda Metro Jaya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

    Jakarta, CNN Indonesia — Seluruh peserta demo yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap oleh polisi.

    Tim kuasa hukum Aliansi Mahasiswa Papua dan Free West Papua, Veronika Koman mengatakan, pedemo sekarang berada di Polda Metro Jaya.

    “Semua massa peserta demo, sekitar 150 orang ditangkap. Diangkut ke Metro,” kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (1/12).

    Veronika menambahkan saat ini pedemo sedang menjalani pemeriksaan, berupa pendataan, mungkin dibuat berita acara pemeriksaan (BAP).

    Penangkapan itu, menurut Veronika, merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.

    “Kami sedang mendampingi, kami akan berusaha semaksimal mungkin dilepas semua,” katanya.

    Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI. Ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI terjadi gesekan.

    FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

    Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

    FRI juga mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

    Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang

  • Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon

    Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon
    Aksi demo mahasiswa Papua. ©2016 merdeka.com/arie basuki

    Merdeka.com – Sejumlah massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.

    Pantauan merdeka.com, Kamis (1/12), aksi tersebut dimulai sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka menuntut untuk diberikan kebebasan dan penentuan hak nasib sendiri sebagai solusi demokratis rakyat Papua, serta meminta agar TNI/Polri ditarik dari Papua.

    Aksi ini sedianya digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Istana Negara. Namun, polisi menahan para pendemo di Jalan Imam Bonjol dan hanya boleh menyuarakan aspirasinya di sana.

    Massa yang terdiri dari ratusan orang itu juga membawa atribut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berupa ikat kepala bergambar Bintang Kejora. Hal itu memantik perhatian polisi, sehingga beberapa orang yang mengenakan atribut OPM langsung dibekuk.

    Kejadian itu sempat menimbulkan kericuhan, namun tak ada aksi baku pukul antara demonstran dan polisi. Meski begitu, polisi tetap menyemprotkan water cannon ke arah massa.

    Saat ini, situasi sudah kembali kondusif. Massa tetap berorasi di tengah pengawalan ketat kepolisian. Beberapa pendemo yang sempat ditangkap sudah dilepaskan kembali, tapi tanpa mengenakan atribut OPM.

    Reporter : Arie Basuki | Kamis, 1 Desember 2016 11:22
  • Banned Papua flag raised near Indonesian ship in NZ

    A group demonstrating in front of an Indonesian naval ship in Auckland raised the Morning Star flag in support of West Papuans.

    Indonesia’s KRI Banda Aceh is one of numerous warships from other countries currently in New Zealand participating in the New Zealand Navy’s 75th birthday celebration.

    Demonstrators in Auckland hold up Morning Star flag to Indonesian sailors
    Demonstrators in Auckland hold up Morning Star flag to Indonesian sailors Photo: supplied

    The demonstration against Indonesian military involvement in West Papua was held by the solidarity groups Oceania Interrupted and West Papua Action Auckland.

    Oceania Interrupted spokesperson Leilani Salesa says the demonstrators made sure their presence was felt.

    She says they stood next to the naval ship holding the Papuan Morning Star flag which is banned in Indonesia.

    “And to do an act that we know brothers and sister in West Papua would be punished for was a really powerful for us and it sends a very powerful message that the world is watching and we stand in opposition to the atrocities that they continue to commit.”

    Raising the West Papuan flag is a crime in Indonesia punishable with years in prison.

    Activists in Auckland concerned about Indonesian military
    Activists in Auckland concerned about Indonesian military Photo: supplied

  • Amunggut Tabi: Tinggalan Egoisme Individualis dan Mari Sepenuhnya Dukung ULMWP

    Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyatakan memang “perjuangan dan pengorbanan ialah dua sisi mata uang yang satu“. Setiap perjuangan pasti ada pengorbanannya, tetapi kita harus mengajukan tiga pertanyaan penting:

    1. Pengorbanan apa yang pantas pada waktu kapan?
    2. Berapa banyak dan berapa lama pengorbanan harus kita berikan? dan
    3. Apakah pengorbanan itu dipersembahkan secara berencana ataukah sporadis?

    Amunggut Tabi kembali mengajak semua pejuang dan aktivis, organisasi dan tokoh Papua Merdeka untuk belajar dari Persipura Jayapura dan Persiwa Wamena, dari kesebelasan di dunia seperti Barcelona dan Mancester City.

    Yang harus diperhatikan ialah “irama” dan “momentum”, karena keduanya tidak selalu sama setiap saat. Itulah sebabnya semua pihak harus sadar, bahwa irama saat ini ialah “Irama Melanesia-hood”, dan momentum saat ini ialah “momentum MSG dan ULMWP”. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk TRWP, PNWP, KNPB, AMP, DeMMAK, FNRPB, OPMRC, TPN-PB, TPN/OPM, siapapun, di manapun, semua harus memainkan peran masing-masing sesuai dengan “irama” dam “momentum” ini.

    Dari sini kita tahu “pengorbanan apa yang pantas” untuk waktu ini, bukan? Kita harus berjuang, bukan dengan aksi-aksi militeristik dan premanisme politik, kita harus bermain secara elegan dan presentable kepada pentas diplomasi regional dan global. Kita harus memainkan politik ini menjadi sebuah “fashionable issue” di kawasan dan secara global.

    Untuk membuatnya menjadi “fashionable” dan elegan, maka semua pihak harus “menahan diri” dan “memberikan kepercayaan sepeunuhnya kepada ULMWP untuk memainkan perannya. NRFPB, PNWP, KNPB, TPN-PB, TRWP jangan bawa diri ke sana kemari mengatasnamakan kelompok kecil lagi. Kita harus persembahkan “waktu ini, 2015-2017” untuk ULMWP agar embrio ini terbentuk menjadi telur, dan tahun-tahun berikutnya telur dimaksud menetas dan menjadi anak.

    Mempersembahkan untuk perjuangan bukan hanya harga dan nyawa, dan tenaga kita, ia berarti juga “menghilangkan jejak pribadi dan organisasi kita atas nama kebersamaan untuk tujuan bersama kita”. Persembahan yang mulia, kalau demi kepentingan bersama kita berani dengan sengaja menghilangkan nama-nama, identitas dan slogan-slogan kelompok kecil.

    Terlihat banyak aktivis KNPB, PNWP, TPN-PB, WPNCL dan sebagainya keluyuran melakukan wisata politik ke sana-kemari, mendukung ULMWP tetapi sebenarnya mereka membawa agenda pribadi mengobati egoisme masing-masing adalah sebuah wisata yang konyol, karena itu tidak menyehatkan buat embrio politik kita bersama: ULMWP.

    Justru cara ini membunuh embrio kita, yang kita lahirkan. Kita menjadi kanibal politik, membunuh anak politik yang kita lahirkan sendiri. Itu sejarah hidup dari perjuangan Papua Merdeka, bukan? Itu wajah tokoh Papua Merdeka selama ini, bukan? Pendiri OPM menyerahkan diri, bukan? Tokoh OPM menjadi pelayan NKRI, bukan? Mendirikan OPM, lalu bubar dan mendirikan cabang-cabang OPM, bukan? Kanibalisme Politik dalam sejarah perjuangan West Papua sangat menyedihkan. Oleh karena itu surat ini kami dari TRWP sampaikan sebelum embrio ULWMP ini terlanjur dimakan mati oleh organ-organ dan tokoh-tokoh perjuangan Papua Merdeka sendiri.

    Kita berulang kali melakukan Politik Bunuh Diri (commit suicidal politics) karena kita tidak tahu mengelola egoisme individualisme kita. Kita tidak sanggup mengelola keberagaman organisasi perjuangan dan suku-bangsa kita. Kita belum mampu melihat perbedaan ini sebagai modal dasar. Kita mengatasnamakan perjuangan, kita mengatasnamakan organisasi, tetapi sebenarnya yang kita lakukan ialah memupuk dan mengobati “egoisme individualis” oknum aktivis dan tokoh Papua Merdeka.

    Makanya, kalau berani mengalahkan dan percaya bisa mengalahkan NKRI, maka pertama-tama “harus berani, dan pastikan sudah mengalahkan egoisme individualistik pribadi dan kelompok”. Kalau tidak, jangan coba-coba bermain di air keruh, jangan coba-coba berwisata politik seolah-olah atas nama West Papua. Karena kami dari Rima Raya New Guinea telah menjadi guru-guru perjuangan, dari pengalaman hidup pribadi dan dari pengalaman hidup organisasi perjuangan yang penuh dengan resiko pertumpahan darah dan nyawa orang Papua sendiri.

    Kami berikan catatan ini karena kami sudah melihat fenomna yang menghawatirkan. Kami saksi hidup! Kami sendiri telah menjalani dan telah sanggup melewati babak gelap dan kelam dalam perjuagnan ini.

    Dengan mengelola egoisme individualis yang mengatasnamakan, maka kita bisa memperpendek atau juga memperpanjang rentang waktu perjuangan Papua Merdeka. Mengapa Timor Leste yang mulai berjuang 10 tahun setelah perjuangan kemerdekaan West Papua dimulai saja sudah puluhan tahun duluan merdeka? Bukankah itu karena kita belum sanggup mengalahkan egoisme dan individualisme diri sendiri?

    Untuk mengetahui berapa lama dan berapa sumberdaya, kita haruslah punya “Anggaran Belanja Perjuangan Papua Merdeka”.

    Di dalam negeri kita sudah menang, di dunia maya kita sudah menang, di kawasan Melanesia kita juga sudah menang. Di Pasifik Selatan juga kita pemenang. Yang belum kita kalahkan ialah “individualisme” perseorangan dan individualisme kelompok kecil.

    Seharusnya, setelah ULMWP berdiri, secara teori, begitu ULMWP diterima ke dalam keluarga besar MSG, kita semua harus serta-merta menanggalkan atribut, nama dan embel-embel organisasi kita. Kita harus menyatukan barisan, mengatur nada dan irama, mengoptimalkan momentum ini demi kemerdekaan West Papua.

    Sekarang saatnya ULMWP muncul sebagai sebuah organisasi perjuangan, sebagai sebuah Lembaga Resmi menuju sebuah Pemerintahan West Papua. ULMWP harus berani membuka diri, menerima semua pihak orang Papua, baik pro-NKRI maupun pro-Papua Merdeka. ULMWP ialah wadah orang-orang West Papua, karena itu dalam kepengurusannya harus melihatkan semua orang Papua, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik di kota dan kampung maupun di hutan-rimba.

    Kita harus belajar dari teladan yang telah diberikan oleh teman-teman seperjuangan kita yang kita selama ini sebuat sebagai “Kelompok-14”.  Demi kepentingan bersama, mereka secara stuktural dan sistematis telah meninggalkan atribut Bintang Empatbelas dan mendukung Bintang Satu dalam rangka agenda bersama mengusir penjajah. Tokoh Papua Merdeka dan organisasi Papua Merdeka lain harus belajar dari mereka.

    Perjalanan yang pahit, sungguh pahit antara kelompok gerilyawan Pemka dibawah komado Jacob Hendrick Pray dengan Komando Markas Victoria (Marvic) di bawah komado Seth Jafeth Roemkorem telah berakhir setelah para perwira TRWP yang telah menjelma dari barisan Pemka bersama tokoh politik mereka, Dr. OPM John Otto Ondawame bersatu dan membangun WPPRO bersama barisan OPM Marvic Senior OPM Andy Ayamiseba dan Senior OPM Rex Rumakiek di Port Vila, Republik Vanuatu tahun 2004 dan 2005.

    Terbentuklah WPNCL, sebagai wujud dan bukti persatuan antara OPM Pemka dan OPM Victoria.

    Dengan persatuan kubu gerilyawan, maka telah tiba saatnya untuk bersatu membangun harmonisasi dengan kelompok Bintang-14. Dan ULMWP ialah hasil dari harmonisasi, dan “pengorbanan nyata” dari semua pihak, terutama pengorbanan identias dan organisasi masing-masing untuk kebersamaan. Orang Papua sudah sanggup mengorbankan nyawa, harga, waktu dan identitas organisasi masing-masing demi kepentingan bersama: Papua Merdeka.

    Kami dari Tentara Revolusi West Papua, sejak tahun 2000 telah memberikan mandat penuh agar bergulir sebuah proses politik dengan memberikan Surat Mandat kepada PDP dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), perjuangan lewat Free West Papua Campaign. Lebih-lebih tahun 2006, dengan pemisahan organisasi politik dan militer, maka Tentara Revolusi West Papua memfokuskan diri semata-mata untuk perjuangan dengan mengangkat senjata, menjauhkan diri dari segala bentuk dan kegiatan sipil dan politik, membatasi diri kepada memberikan dukungan moril dan doa.

    Sekarang kita sudah punya ULMWP. Sekarang saatnya untuk kita masing-masing

    • mengorbankan egoisme individualis pribadi masing-masing tokoh
    • mengambil langkah-langkah strategis dan taktis dalam rangka menyelamatkan ULMWP sebagai embrio Pemerintahan Negara West Papua.

    Untuk itu, kami dari rimbaraya New Guinea, atas nama tulang-belulang, leluhur, anak-cucuk Pencipta Langit dan Bumi, menyerukan kepada semua pihak untuk

    menyatukan barisan dan mendukung semua kebijakan ULMWP, mendukung dengan sepenuhnya dalam doa, dana, waktu dan tenaga.

    Dikeluarkan di: Secretariat-General TRWP, MPP

    Pada Tanggal: 18 Juli 2016

    An. Panglima Tertinggi Komando Revolusi,

     

     

    Amunggut Tabi, Lt. Gen. TRWP
    BRN: A.DF 018676

     

     

  • Bintang Kejora Lambang Kultural atau Simbol Kedaulatan

    BIAK [PAPOS] – Ada yang menafsirkan Bendera Bintang Kejora adalah sebagai lambang kultural masyarakat adat Papua, tetapi ada pula yang memposisikannya sebagai symbol dari sebuah kedaulatan. Hal inilah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat adat Papua yang seharusnya sesegera mungkin harus dijawab oleh Pemerintah provinsi Papua melalui sebuah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua.

    Hal itu disampaikan ketua DPRD Kabupaten Biak numfor, Nehemia Wospakrik,SE.Bsc usai menerima aspirasi masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Hak Asazi Manusia Papua yang menyampaikan aspirasinya melalui demo damai yang berlangsung di Kantor DPRD Biak Numfor (11/3) kemarin.

  • Bintang Kejora Berkibar di Serui

    Suasana sidang kasus makar dengan terdakwa Sem Yaru.JAYAPURA-Sidang kasus makar yaitu pengibaran Bintang Kejora di halaman kantor MRP Kotaraja, dengan terdakwa Semuel Yaru dan Luther Wrait, Rabu (12/5) kemarin kembali dilanjutkan dengan menghadirkan tiga orang saksi. Mereka adalah dua orang security Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan satu orang anggota polisi. Para saksi tersebut berada di TKP (halaman kantor MRP) saat Sem Yaru CS mengibarkan Bintang Kejora.

    Namun karena pertimbangan waktu dan masih banyaknya agenda sidang, sehingga saksi yang diperiksa hanya du orang security Kantor MRP masing-masing Daniel O Wanggai dan Frengki. Kedua saksi di depan majelis hakim mengakui saat kedua terdakwa datang dengan massa pada 16 November 2009 sekitar pukul 10.00 WIT sedang melaksanakan tugas pengamanan kantor MRP.

    Salah satu saksi bernama Daniel O Wanggai yang ditemui sebelum sidang menceritakan bahwa saat datang terdakwa Sem Yaru tidak langsung dengan massa dan juga tidak langsung mengibarkan bendera Bintang Kejora. ‘’Saat datang hanya sempat mengungkapkan kata-kata merdeka beberapa kali kemudian pergi. Tidak lama kemudian datang lagi dengan massa dan di tengah halaman Kantor MRP Sem Yaru mengeluarkan bendera yang disimpan di kantongnya kemudian diikatkan pada batang pohon pinang,’’ cerintanya.

    Dikatakan, saat demo tersebut, tidak ada anggota MRP yang menemui ataupun menerima aspirasinya. ‘’Waktu itu yang menemui para pengunjung hanya Ibu Angganita Waly. Bukan anggota MRP,’’ ungkapnya.

    Dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Puji Wijayanto,SH tampak kedua terdakwa didampingi oleh tim kuasa hukum sebanyak delapan orang dari LHB Papua dan sejumlah advokad dari lembaga advokatd lainnya. Sidang pemeriksaan saksi yang berlangsung sekitar dua jam tersebut ditunda hari Kamis (20/5) masih dalam agenda pemeriksaan saksi-saksi.

    Sekedar diketahui, Semuel Yaru (52) dan Luther Wrait (52) bersama satu orang yang masih DPO bernama Alex Mebri adalah secara bersama-sama merencanakan aksi unjuk rasa dan dalam pelaksanaannya, Semuel Yaru adalah penanggungjawab demo sekaligus sebagai juru bicara, Luther Wrait sebagai pengkoordinir dan pengumpul massa dan Alex Mebri bertugas menyiapkan pamflet dan bendera Bintang Kejora.

    Dalam aksi demo tersebut, Sem Yaru dengan membawa bendera Bintang Kejora yang diikat pada batang phon pinang sepanjang 2,5 meter. Dalam orasinya Sem Yaru mengatakan bahwa Otsus gagal dan hanya dirasakan segelintir orang saja.

    Selain itu juga dikatakan bahwa Otsus yang merupakan hasil perjuangan rakyat Papua, sehingga hasilnya harus untuk rakyat Papua dan apabila Otsus gagal maka lebih baik kita merdeka. Orasi tersebut kemudian disambut oleh sekitar 50 orang yang ikut aksi demo dengan teriakan merdeka berulang-ulang.

    Atas perbuatannya Sem Yaru dan Luther Wrait oleh JPU A Harry,SH mendakwanya dengan pasal makar, yakni untuk Sem Yaru Pasal 106 KUHP subsidair pasal 110 ayat (1) ke-2 dan pasal 160 KUHP tentang. Sedangkan untuk Luther Wrait karena perannya hanya membantu sehingga ditambah dengan pasal 56 KUHP.(cr-10)

    bintangpapua.com

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?