Category: Post Roundups

You can add some category description here.

  • Walau tertunda, pemimpin Guam tetap ingin referendum dekolonisasi

    Gubernur Guam, Eddie Calvo - Office of the Governor of Guam
    Gubernur Guam, Eddie Calvo – Office of the Governor of Guam

    Nabire, Jubi – Gubernur Guam dalam pidato resmi tahunannya Senin (6/3) lalu menyatakan disamping dukungannya untuk memercepat proyek-proyek pembangunan, namun mengaku masih berhutang atas pelaksanaan pemungutan suara dekolonisasi Guam yang tertunda hingga 2018 mendatang.

    Eddie Calvo, Gubernur Guam dua periode memaparkan rencana akhir tahunnya di dalam pernyataan tersebut. Proyek modernisasi rumah sakit wilayah itu senilai US$100 juta dan rencana membangun kembali Hagåtña, distrik ibukota pulau itu.

    Calvo juga menyatakan kembali komitmennya terhadap satu janji utama di masa kekuasaannya, yaitu menyelenggarakan plebisit atas masa depan politik teritori itu.

    Namun, Calvo mengakui penundaan pemungutan suara terjadi karena beberapa hal menyangkut ketidakpastian hukum, seperti persyaratan pendaftaran dan pemungutan suara, dan tantangan dihadapan pengadilan federal.

    Meskipun pelebisit (referendum) tahun lalu gagal, Calvo berusaha menyakinkan keinginannya untuk menyelenggarakan pemungutan suara di akhir masa jabatan gubernurnya.

    Guam, sebuah pulau berbentuk pisang sepanjang 50km, adalah wilayah koloni Amerika Serikat sebagai rampasan perang setelah Perang Spanyol-Amerika 1898 dan, terlepas dari pendudukan brutal Jepang selama Perang Dunia II, Guam masih menjadi bagian Washington sejak saat itu.

    Status resmi Guam adalah ‘wilayah tak-berbadan (hukum)’ bersama dengan wilayah-wilayah seperti Northern Marianas, American Samoa, Puerto Rico dan US Virgin Islands. Walaupun menjadi warga negara Amerika Serikat, rakyatnya tidak boleh memilih Presiden, hal-hak dalam Konstitusi AS tidak berlaku, dan satu-satunya delegasi mereka di Kongres AS tidak punya hak suara.

    Secara teknis Guam dimiliki AS, yang oleh Calvo dalam pidato tahunannya awal 2016 lalu menyebutnya sebagai “sebuah bentuk kolonialisme yang tidak dapat dibiarkan.”

    “Inilah saatnya kita mengonfrontasi fakta bahwa hampir 400 tahun kita berada di bawah kolonial,” tegas Calvo. “Sekarang kepercayaan diri mungkin dapat menjadi pemicu yang mengubah negara kolonial sekali dan selamanya.”

    Pendidikan politik atas tiga skenario masa depan Guam

    Plebisit dekolonisasi Guam yang tertunda kemungkinan akan dilakukan pada 2018 mendatang.

    Kontroversi terkait siapa yang berhak memberikan suara dan kekhawatiran bahwa para pemilih tidak memahami opsi-opsi di hadapan mereka dituding sebagai penyebab penundaan.

    Guam telah disiapkan untuk menyelenggarakan plebisit tidak-mengikat sejak tahun 1980, yang akan mengajukan tiga opsi kepada pemilih atas masa depan pulau Mikronesia mereka itu.

    Opsi-opsi tersebut adalah menjadi negara bagian AS, merdeka, atau menjadi asosiasi bebas bersama AS.

    Guna memberi pendidikan politik pada pemilih terkait masing-masing opsi itu, tiga satuan tugas telah dibentuk sejak tahun 1997.

    Satuan tugas Merdeka dituduh menunda-nunda plebisit tahun ini, namun ketuaa satgas Victoria-Lola Leon Guerrero membantah bahwa hukum Guam lah yang mensyaratkan agar plebisit diselenggarakan bersamaan dengan pemilu gubernur.

    “Jadi apa yang ditawarkan gubernur itu ilegal karena melanggar hukum plebisit Guam sendiri,” ujar Leon Guerrero.

    Menurut dia atas alasan itulah mereka menolaknya, dan mereka juga tidak setuju masyarakat didorong-dorong dengan terburu-buru untuk memilih sesuatu.

    Masyarakat asli Chamorro, Guamanians dan para turunannya yang ‘dinaturalisasi’ oleh UU Organik 1950 mendapatkan hak memilih, namun, saat ini sedang dijegal di pengadilan AS oleh penduduk lama Amerika di Guam yang menganggap Guam tidak dapat masuk dalam daftar dekolonisasi.

    Sebanyak 13,192 rakyat mendaftar hingga pertengahan Desember tahun lalu, sementara 52 ribu orang sudah lebih dulu teregistrasi pada pemilihan umum November.

    Ketua Satgas Asosiasi Bebas Adrian Cruz mengatakan ketiga kelompok satgas sedang bekerja bersama untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya plebisit.

    “Jadi itulah tugas pertama. Hingga sekitar enam atau tujuh bulan sebelum pemilu sebenarnya berlangsung saat itulah kami menyatakan opsi kami masing-masing dengan lebih jelas (termasuk perbedaan-perbedaannya),” ujarnya sambil menambahkan bahwa yang terpenting saat ini adalah masyarakat mengerti alasan kenapa mereka mesti memilih.

    Ketua Satgas Negara Bagian Eloy P. Hara mengatakan menjadi negara (bagian) AS akan memberikan kemungkinan bagi militer AS melindungi perikanan Guam dari pengaruh Cina yang makin besar di kawasan itu.

    “Cina sudah menyatakan akan bergerak untuk ‘ambil alih’ Federated States of Micronesia (FSM). Mereka sudah menggelontorkan uang ke pemerintah FSM,” ujar Hara.

    “Sebagai negara bagian kita bisa meminta militer untuk menjaga zona ekonomi. Sekarang Cina, Korea sedang masuk dan kita tidak bisa melindungi diri.”

    Dengan jumlah personil militer AS di Guam dari 6000 menjadi 11 ribu yang direlokasi dari Jepang, Cruz mengatakan Asosiasi Bebas akan menjadikan Guam bangsa berdaulat dengan hak suara untuk meminta kehadiran militer Amerika.

    Namun ancaman sepihak militer AS saat ini yang merencanakan wilayah Guam jadi tempat pelatihan militer membuat Cruz meragukan pernyataannya sendiri. “Itu menunjukkan lagi bagaimana militer bisa lakukan apapun semau mereka,” katra Cruz.

    Sementara Guam yang merdeka, kata Leon Guerrero, akan memiliki kekuatan lebih besar untuk bernegosiasi dengan posisi-posisi yang lebih setara dengan militer AS, termasuk pengembalian tanah pertanian mereka yang paling subur (yang diduduki militer AS).

    Untuk diketahui Federated States of Micronesia bergabung sebagai Asosiasi Bebas dengan AS, demikian pula Kepulauan Marshall di tahun 1986 dan Palau di tahun 1994.(*)

     

  • Papua Nugini Tak Masalah ULMWP Jadi Anggota MSG

    Ketua MSG, Manasseh Sogavare (kanan) dan PM Papua Nugini, Peter O’Neill. (Foto: Sekretariat Pers PM Solomon Islands)
    Ketua MSG, Manasseh Sogavare (kanan) dan PM Papua Nugini, Peter O’Neill. (Foto: Sekretariat Pers PM Solomon Islands)

    PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O Neill, mengatakan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam organisasi regional Melanesian Spearhead Group (MSG) tidak masalah bagi negara itu.

    Yang penting menurut dia adalah ULMWP harus membuktikan bahwa organisasi itu merupakan sebuah badan yang bersatu mewakili pandangan kolektif rakyat Papua, sebagaimana halnya Front de Liberation Nationale Kanak et Sosial (FLNKS) terbukti sebagai badan yang bersatu mewakili pandangan kolektif bangsa Kanak di Kaledonia Baru.

    Sikap Papua Nugini ini disampaikan kepada Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, selaku ketua MSG, dalam pertemuan mereka di Port Moresby Rabu (15/03).

    Siaran pers kantor PM Sogavare mengatakan pertemuan tersebut merupakan putaran akhir dari konsultasi Sogavare dengan para pemimpin MSG, sejak Solomon Islands memegang posisi keketuaan pada Juni 2015. Sebelumnya, ia sudah bertemu dengan para pemimpin MSG lainnya, seperti PM Vanuatu, PM Fiji dan Juru Bicara FLNKS.

    “Saya sekarang senang bahwa saya akhirnya bertemu dengan Perdana Menteri O’Neill kemarin dan pertemuan saya dengan PM Papua Nugini, seperti pertemuan sebelumnya dengan para pemimpin MSG lainya, sangat bermanfaat,” kata dia, dikutip dari siaran persnya hari ini (16/03).

    Sogavare mengatakan pada pertemuan tersebut, mereka antara lain membicarakan hasil dari pertemuan Sub Committee on Legal and Institutional Issues (SCLII) MSG di Port Villa pada September lalu. Sogavare menginformasikan kepada PM Papua Nugini bahwa pertemuan itu telah menghasilkan pedoman keanggotaan MSG yang direvisi.

    Pedoman itu telah dibawa ke Senior Official Meeting (SOM) dan Foreign Minister Meeting (FMM). Hasilnya pun telah dibahas kembali pada SCLII dan kemudian disetujui oleh lembaga-lembaga di bawah MSG pada Desember 2016.

    Sogavare mengatakan ia menginformasikan kepada PM Papua Nugini bahwa PM Salwai dari Vanuatu dan juru bicara FLNKS, Tutugoro serta PM Fiji, Bainimarama sudah menyetujui prinsip-prinsip pedoman keanggotaan MSG. Menurut dia, pedoman keanggotaan yang direvisi tersebut memberikan proses yang sangat transparan untuk para pemimpin MSG memusyawarahkan aplikasi keanggotaan MSG.

    Atas hal itu, menurut Sogavare, PM Papua Nugini mendukung revisi tersebut dan para pemimpin MSG akan bertemu secara resmi menyetujuinya pada pertemuan pemimpin MSG mendatang.

    Sogavare mengatakan ia juga menginformasikan kepada PM Papua Nugini bahwa aplikasi keanggotaan ULMWP akan ditangani berdasarkan kriteria keanggotaan yang telah direvisi tersebut.

    Menanggapi hal itu, O’Neill mengatakan keanggotaan ULMWP di MSG tidak masalah bagi Papua Nugini. Namun, ia menambahkan, yang penting adalah ULMWP harus membuktikan bahwa ia adalah sebuah organisasi yang bersatu yang mewakili pandangan kolektif rakyat Papua seperti halnya FLNKS yang jelas bersatu  mewakili pandangan kolektif bangsa Kanaks di Kaledonia Baru.

    Lebih jauh, Sogavare mengatakan dalam pertemuan itu PM Papua Nugini menegaskan  bahwa setiap pembicaraan tentang isu kedaulatan (Papua) harus dilakukan secara sepatutnya dengan Komite Dekolonisasi PBB di New York dan Komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa.

    Sebagai catatan, MSG adalah organisasi sub-regional di Pasifik. Anggota penuh terdiri dari Solomon Islands, Vanuatu, Papua Nugini, Fiji dan FLNKS. Sedangkan Indonesia adalah anggota associate.

    Sementara itu ULMWP sampai saat ini berstatus sebagai peninjau dan berupaya untuk menjadi anggota.

    Selain membicarakan isu Papua, dalam pertemuan itu Sogavare mengatakan mereka berdua membicarakan berbagai isu lain terkait kepentingan MSG. Di antaranya adalah:

    • MSG Special Leaders’ Summit;
    • Hasil dari pertemuan sub-committee on Legal and Institutional Issues {SCLII) di Port Vila in December 2016.
    • Masalah Papua
    • MSG Free Trade Agreement;
    • MSG Labour Mobility,
    • Tinjauan independen tentang sekretariat MSG
    • Penyerahan keketuaan MSG dari Solomon Islands kepada Papua Nugini.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Aboriginal elder determined to keep advocating for West Papua

    RadioNZ–  An Aboriginal artist says she will continue advocating for West Papua’s independence despite a mural she created being destroyed without explanation.

    Larrakia elder June Mills painted the mural onto a large wall in Darwin in 2015 and says it represented the solidarity between indigenous Australians and West Papuan people.

    However the mural, which depicted both the Aboriginal and West Papuan flags and two hands reaching out, was painted over on Sunday.

    June Mills says it’s not clear who is responsible and she’s upset and surprised by what she describes as skulduggery and a clandestine approach.

    However she told Amelia Langford that she’s determined to continue advocating for indigenous West Papuans and their battle for independence from Indonesia.

    An Aboriginal artist says she will continue advocating for West Papua’s independence despite a mural she created being destroyed without explanation.

    Larrakia elder June Mills painted the mural onto a large wall in Darwin in 2015 and says it represented the solidarity between indigenous Australians and West Papuan people.

    However the mural, which depicted both the Aboriginal and West Papuan flags and two hands reaching out, was painted over on Sunday.

    June Mills says it’s not clear who is responsible and she’s upset and surprised by what she describes as skulduggery and a clandestine approach.

    However she told Amelia Langford that she’s determined to continue advocating for indigenous West Papuans and their battle for independence from Indonesia.

    June Mills surrounded by supporters in front of her mural that was later painted over.
    June Mills surrounded by supporters in front of her mural that was later painted over. Photo: June Mills

    Transcript

    JUNE MILLS: We want to help in whatever way we can. To me it’s just a simple friendship mural, but the way that it’s created such controversy within the community was not expected, put it that way.

    AMELIA LANGFORD: How did it feel to see the mural painted over like that?

    JM: Oh very upsetting. It was a beautiful, beautiful mural. it took a lot of hard work. People actually loved the mural. I don’t know if you had an image of it, but people would come specifically to take a photo. Id joke about it with my mates, I’d say ‘listen we really have to get a really good photo of this and turn it into a postcard saying ‘greetings from Darwin’,’ you know. And that didn’t actually eventuate, but this was a well-loved mural, but there was an element in Darwin that hated it and wanted it gone. And that’s been going from the first day really, and they got their way.

    AL: What would you like to see happen from here in this situation?

    JM: Put up another mural! Repaint it.

    AL: So you’d like to get the opportunity to repaint it?

    JM: I don’t believe that’s going to happen, however, we certainly have plans to paint other murals. But the amazing thing is the incredible skulduggery that’s come to the fore throughout this. i must admit I was caught by surprise a bit to the extent of it. But, you know, I suppose if we really pulled it to pieces the thing is that our community  and myself are very concerned about the plight of the West Papuan people – that will never go away until something happens and they get their referendum and the call for independence or the violence stops in West Papua. There is incredible violence as we speak. Until that’s resolved we are not going to stop bringing to the attention to the world community about the plight of the West Papuan people. And whether that’s posters, whether that’s murals, whether it’s talks, whether it’s forums we are going to continue.

    That’s Aboriginal elder and artist, June Mills, from Darwin in Australia’s Northern Territory.

  • Disappearance of controversial West Papua friendship mural creates a stir in Darwin

    RadioNZ – Updated

    A wall in Darwin that was adorned with a controversial street art mural promoting solidarity with the Free West Papua movement is now blank after it was painted over by contractors.

    There’s been no official confirmation yet of who made the decision to blot out the work of Larrakia aboriginal elder June Mills, which showed hands from the Morning Star and the Aboriginal flags reaching out to one another.

    The mural has drawn criticism from the Indonesian consulate in Darwin, and its loss has members of the Free West Papua movement and the Indigenous community asking plenty of questions on social media.

    But the artist herself says she certainly wasn’t consulted about the mural’s removal.

  • MSG Chair Dubs Meeting With PNG Prime Minister As ‘Very Fruitful’

    The MSG Chair, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare and the PNG Prime Minister, Hon Peter O’Neill.
    The MSG Chair, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare and the PNG Prime Minister, Hon Peter O’Neill.

    The Melanesian Spearhead Group (MSG) Chair, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare of Solomon Islands has described his dialogue with the Papua New Guinea (PNG) Prime Minister, Hon Peter O’Neill as ‘very fruitful.’

    The MSG Chair met with Hon O’Neill in the PNG Capital, Port Moresby yesterday, concluding his second and final round of consultations with MSG leaders since taking up the chairmanship of the Melanesian sub-regional grouping in June 2015.

    The key issues of discussion included the following:

    • MSG Special Leaders’ Summit;
    • Outcome of the Meeting of the MSG sub-committee on Legal and Institutional Issues {SCLII) in Port Vila in December 2016. SCLII is the MSG sub-committee that makes recommendations to the MSG Governing Bodies- Senior Officials Meeting, Foreign Ministers’ Meeting and Leaders’ Summit;
    • West Papua;
    • MSG Free Trade Agreement;
    • MSG Labour Mobility, Independent Review of the MSG Secretariat; and
    • MSG Chairmanship Handover from Solomon Islands to Papua New Guinea.

    Speaking after his meeting with Prime Minister O’Neill, the MSG Chair said “I had a very fruitful meeting with the PNG Prime Minister on the agendas of discussion as I also had with Prime Minister Charlot Salwai of Vanuatu, Victor Tutugoro of the FLNKS and Prime Minister Frank Bainimarama of Fiji earlier on in February.”

    On the issue of Special Leaders’ Summit, the MSG Chair said he expressed regret over his inability to convene any Special Leaders’ Summit in December 2016 due to the non-availability of colleague leaders.

    He said a Special Leaders’ Summit was supposed to be held to approve the recommendations from various bodies of MSG including SCLII.

    However, the MSG Chair said the various bodies of the MSG- SCLII and Senior Officials Meeting (SOM)- did meet and made a number of recommendations to the Foreign Ministers Meeting (FMM) for submission to the Leaders’ Summit for final approval.

    He said the MSG Capitals’ visit was therefore important to consult with colleague leaders on various recommendations from the various MSG Bodies for final approval

    “I have met with both Prime Minister Charlot Salwai of Vanuatu and Victor Tutugoro of the FLNKS in Port Vila and Prime Minister Frank Bainimarama of Fiji in Suva as part of this second and final round of consultations earlier in February this year. I was supposed to travel on to Port Moresby to meet with Prime Minister Peter O’Neill but had to postpone the Port Moresby leg of the trip because the PNG Parliament was in session.

    “I am now pleased that I finally met with Prime Minister O’Neill yesterday and my meeting with the PNG Prime Minister like my previous meetings with my other colleague leaders was very fruitful.”

    On the Outcome of the Meeting of SCLII in Port Vila in September last year, the MSG Chair said he informed Prime Minister O’Neill that the meeting endorsed the proposed Revised MSG Membership Guidelines and was brought to the attention of the SOM and FMM in their meeting which immediately followed the SCLII meeting and were endorsed by the Governing Bodies in December 2016.

    He said he informed the PNG Prime Minister that Prime Minister Salwai, FLNKS Spokesman, Mr Tutugoro and Prime Minister Bainimarama have all agreed in principle to the Revised MSG Membership Guidelines and during his consultations with them.

    The revised guidelines provide a very transparent process for Leaders to deliberate on an application for membership whereby they enhance and protect the decision-making process and respect the reporting structure of the MSG at the Summit level as stipulated under Articles 7 (1) and (2) of the MSG Agreement.

    The MSG Chair said Prime Minister O’Neill in turn expressed support for the Revised MSG Membership Guidelines and as such, Leaders will meet and formally approve them at the next MSG Leaders’ Summit.

    On the issue of West Papua, the MSG Chair said he told Prime Minister O’Neill that the United Liberation Movement of West Papua’s (ULMWP’s) application for membership of the MSG will be dealt with under the Revised MSG Membership Criteria.

    He said Prime Minister O’Neill expressed the ULMWP’s membership of the MSG is not an issue to PNG but rather the ULMWP proving that it is a united body that represents the collective views of the people of West Papua just as the FLNKS is evidently a united body representing the collective views of the Kanaks of New Caledonia.

    The MSG Chair said the PNG Prime Minister further stated that any discussion on the issue of sovereignty should be taken up appropriately with the United Nations Decolonisation Committee (C24) in New York and the Human Rights Commission in Geneva.

    On the issue of MSG Free Trade Agreement, the MSG Chair said Prime Minister O’Neill stated that PNG will be signing up the agreement after sorting out some issues of concern with Fiji.

    On the issue of MSG Labour Mobility, the MSG Chair said Prime Minister O’Neill has expressed desire to see this opened up so that Melanesians from other Melanesian countries do not have to apply for work permit to work in PNG and vice versa.

    On the issue of Independent Review of the MSG Secretariat, the MSG Chair told Prime Minister O’Neill that the purpose of the review, which started since January pursuant to the Governing Body decision in December for the review to be undertaken. Its bold objective is to ensure a wholly functional, resilient and robust secretariat that delivers on the mandates of leaders.

    He said the PNG Prime Minister conveyed PNG’s firm support for the review and offered assistance to the secretariat to ensure the reform is undertaken smoothly and swiftly.

    On the issue of MSG Chairmanship Handover, the MSG Chair said he had sought the view of Prime Minister O’Neill as to when should Solomon Islands hand over the chairmanship to PNG this year and the PNG Prime Minister said Solomon Islands should hold on to the position until after the PNG General Elections in June.

    The MSG Chair and his delegation will return to Honiara tomorrow, Friday 17th March.

  • PM Sogavare On Final Leg of Second MSG Tour

    MSG Chair, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare of Solomon Islands.
    MSG Chair, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare of Solomon Islands.

    Chairman of the Melanesian Spearhead Group (MSG), Solomon Islands Prime Minister, Manasseh Sogavare, has arrived in the Papua New Guinea Capital this evening to complete his second visit of the MSG Capitals.

    Hon Sogavare already visited two other M-S-G capitals of Port Vila, Vanuatu, and Suva, Fiji in January this year.

    He did not travel to Port Moresby because his counterpart, Peter O’Neil was unavailable at the time.

    Hon Sogavare did meet New Caledonia’s FLNKs representative in his January visit to Port Vila.

    The MSG Chair uses his MSG Capital visits to discuss issues affecting and of concern to MSG Members.

    His meeting with his PNG Counterpart is scheduled for Wednesday March 15th.

    Tomorrow, Hon Sogavare will pay a courtesy call on Governor General, His Excellency Bob Dadae.

    Hon Sogavare is accompanied by Madame Sogavare, the Secretary to the MSG Chair, Mr Rence Sore and two other officers from the Prime Minister’s Office and two Close-Protection Police officers.

  • Aborigin Pertama Jadi Menteri Australia Minta Referendum

    Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)
    Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)

    CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Untuk pertama kalinya seorang warga negara Australia berlatar belakang suku asli, Aborigin, dilantik menjadi menteri pemerintah federal  bulan lalu. Namanya Ken Wyatt. Ia menjadi menteri federal untuk urusan usia lanjut dan kesehatan penduduk pribumi.

    Dia seorang pendukung diadakannya referendum nasional untuk mengakui keberadaan rakyat Aborigin dalam konstitusi Australia,  sebagai bagian dari upaya mengubah salah kelola yang telah menjadi sejarah panjang.

    Para pendukung referendum yang dimotori sejumlah partai politik dan kelompok pribumi, berupaya untuk melenyapkan satu bagian dari pasal yang memperbolehkan negara-negara bagian mendiskriminasi penduduk asli berdasarkan ras. Namun, proses ini berjalan lambat karena adanya perbedaan tentang seberapa luas cakupan perubahan hukum yang akan dilaksanakan. Sebagian kelompok pribumi Australia bahkan mulai mundur dari tuntutan mengamandemen konstitusi dan memilih bentuk perjanjian dengan pemerintah saja.

    Wyatt termasuk tokoh yang tetap menuntut referendum lewat pendekatan konstitusi.

    “Kesepakatan hanyalah perjanjian formal yang bisa dilanggar, dikesampingkan atau dihormati dengan cara yang minimalis,” kata pria berusia 64 tahun ini kepada Financial Times.

    “Saya percaya bahwa  memasukkan pengakuan (akan hak Aborigin) di dalam konstitusi seperti memahat kata-kata ke dalam  pondasi batu. Ini akan membentuk dasar yang dengannya keputusan Pengadilan Tinggi akan dicapai di tengah tantangan hukum di masa depan. ”

    Hanya saja rencana menggelar referendum yang diusulkan dilaksanakan pada bulan Mei — tepat pada ulang tahun ke-50 dari  referendum tahun 1967 yang memberi masyarakat asli hak-hak yang lebih besar tampaknya akan batal.  Wyatt mengatakan pelaksanaan referendum pada tahun 2018 adalah yang paling mungkin saat ini.

    Dia memperingatkan hasil “No” pada referendum akan berisiko merusak yang telah dicapai pada referendum 1967 dan permintaan maaf pemerintah atas generasi yang hilang pada tahun 2008.

    “Itu akan memundurkan kembali hubungan harmonis yang terjalin antara kita semua dan berdampak pada bagaimana Australia dipandang di seluruh dunia,” kata dia.

     

    Siapa Ken Wyatt

    Ken Wyatt, yang ketika dilantik jadi menteri bulan lalu mengenakan jubah Kanguru, lahir di rumah misi di Roelands, bekas rumah untuk anak-anak pribumi yang dipaksa dipisahkan dari orang tua mereka selama era “generasi yang dicuri” di Australia.

    “Ibu saya dan semua saudara-saudaranya  dimasukkan ke dalam rumah misi dan mereka dipisahkan – sehingga kontak mereka dengan kakek dan nenek saya terbatas,” kata  Wyatt.

    “Saya punya file Departemen Kesejahteraan Penduduk Asli nenek saya dan ada suratnya yang dia tulis sendiri yang mengatakan ia ingin bertemu dengan anak-anaknya.”

    Dalam wawancara dengan Financial Times, ia mengatakan bertekad menangani kalangan berkebutuhan khusus dan melawan rasisme institusional yang mempengaruhi masyarakat asli, yang jumlahnya 3 persen dari penduduk Australia yang 24 juta.

    Wyatt berpendapat bahwa pemerintah sebelumnya  tidak bekerja dengan masyarakat Aborigin sebagai mitra sejajar. Rekaman video yang dirilis pada bulan Desember menunjukkan penganiayaan dalam tahanan polisi atas seorang wanita Aborigin berusia 22 tahun, yang kemudian meninggal. Ini, menurut Wyatt,  adalah pengaruh rasisme institusional yang berlangsung di hampir seluruh layanan negara.

    Dia kemudian mendirikan sebuah kelompok kerja untuk melihat determinan sosial dalam kesehatan masyarakat, termasuk rasisme institusional.

    Ketika ditanya mengapa  begitu lama bagi pemerintah federal untuk menunjuk seorang menteri urusan penduduk asli, Wyatt menjawab bahwa “orang-orang non-pribumi selama bertahun-tahun telah meragukan orang pribumi untuk bisa melakukan pekerjaan ini.”

    “Saya pikir adalah fakta bahwa telah terjadi pola pikir bahwa kita [orang Aborigin] memiliki tempat,” katanya. “Saya mendasarkan ini pada seorang guru yang pernah berkata kepada saya: ‘Anda adalah anak Aborigin. Anda harus meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan, karena Anda tidak akan pergi jauh.”

    Editor : Eben E. Siadari

  • Jadi Dubes Selandia Baru, Tantowi Diminta Jernihkan Isu soal Papua

    Jakarta – Politikus Partai Golkar Tantowi Yahya siang tadi dilantik sebagai Duta Besar RI untuk Selandia Baru. Komisi I DPR berharap Tantowi bisa menjernihkan isu soal Papua di negara-negara sekitar Selandia Baru atau di kawasan Pasifik.

    “Untuk Mas Tantowi, senior sekaligus sahabat saya, jujur, melepasnya agak berat. Beliau banyak memberi warna di Komisi I. Sehingga harapan saya juga cukup tinggi, agar keberangkatan beliau ke Selandia Baru dapat membawa manfaat luas bagi hubungan RI-Selandia Baru,” ungkap Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafid dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (13/3/2017).

    Kepada kolega satu partainya itu, Meutya memiliki harapan khusus terkait dengan missed information soal Papua dari negara-negara Pasifik yang merugikan nama Indonesia. Sebelum menjadi dubes, Tantowi memang merupakan anggota DPR yang bertugas di Komisi I.

    “Agar beliau dapat menjadi duta yang baik, terutama dalam isu Papua. Untuk menjelaskan dan meluruskan missed information mengenai Papua yang sering ditangkap salah, terutama di negara-negara Pasifik,” ujar Meutya.

    “Ini terutama menanggapi beberapa negara Pasifik yang hampir selalu bicara keras namun salah tentang Papua di forum-forum internasional, termasuk PBB,” imbuhnya.

    Meski negara-negara yang kerap mempermasalahkan isu Papua, disebut Meutya, hanya negara kecil dan hanya sedikit, itu dapat mencoreng nama besar Indonesia. Tantowi diminta berperan agar missed information tersebut dibenahi.

    “Meskipun mereka negara kecil dan jumlahnya sedikit, jika dibiarkan terus juga mengganggu nama Indonesia di kancah internasional. Saya harap Pak Dubes Tantowi Yahya dapat melakukan pembicaraan khusus dengan negara tersebut yang tidak jauh letaknya dari Selandia Baru,” papar Meutya.

    Dia pun menyarankan Tantowi mengajak pemerintah Selandia Baru membantu Indonesia terkait masalah ini. “Atau lebih baik lagi jika dapat mengajak pemerintah Selandia Baru juga menggaungkan ke negara-negara di kawasan mengenai pentingnya komitmen untuk menghargai kedaulatan Indonesia,” Meutya menambahkan.

    Hari ini Presiden Joko Widodo melantik 17 duta besar dari 23 yang diajukan ke DPR. Menurut Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari, bukan berarti sisanya tidak mendapat rekomendasi dari Dewan.

    “Lolos semua, yang dilantik sementara baru 17, karena yang sudah selesai administrasi di negara tujuan dan sudah siap diberangkatkan mungkin baru 17. Sisanya menunggu penyelesaian administrasi di negara penempatan,” ucap Kharis saat dihubungi terpisah, Senin (13/3).

    “Hal ini bisa terjadi karena masing-masing negara tujuan berbeda-beda, ada yang cepat selesai, ada yang agak lambat. Sesuai dengan mekanisme di negara tujuan penempatan,” sambungnya.

    Sebelumnya, setelah dilantik, Tantowi mengaku mendapat pesan khusus dari Presiden Jokowi. Ia juga menyebut ada tiga tantangan yang harus dihadapi pada tugas barunya, yakni di bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Secara politik, dia diakreditasikan juga ke dua negara di Pasifik, yaitu Samoa dan Kerajaan Tonga.

    “Saya diminta Presiden menjalin komunikasi yang baik dengan negara-negara tersebut karena kita punya kepentingan politik yang besar di kawasan Pasifik. Bukan hanya soal Papua, tapi juga isu-isu lainnya,” kata Tantowi, Senin (13/3).
    (ear/rna)

  • Uskup Agung di Oceania prihatin masalah HAM Papua

    Para Uskup Agung Anglican di Oceania yang
    Para Uskup Agung Anglican di Oceania yang

    Jayapura, Jubi – Para Uskup Agung Anglikan se Oceania berkumpul di Australia pékan ini. Mereka kemudian mengeluarkan pernyataan bersama terkait persoalan di kawasan Pasifik, diantaranya masalah Hak Asasi Manusia di West Papua, perubahan iklim dan kebudayaan.

    Dalam pernyatan bersama yang diterima Jubi (Kamis, 9/3/2017), lima Uskup Agung, masing-masing Uskup Agung Philip Freier dari Australia, Uskup Agung Clyde Igara dari Papua New Guinea, Uskup Agung Winston Halapua dan Uskup Agung Philip Richardson dari Aotearoa, Selandia Baru dan Polinesia, dan Uskup Agung George Takeli dari Melanesia menyebutkan telah mendengar cerita pelanggaran HAM ”mengerikan” di West Papua.

    “Seperti terjadi kesewenang-wenangan negara dan cejara telah terjadi pada mereka (rakyat West Papua),” kata Uskup Agung Clyde Igara usai bertemu di Tweed Heads, New South Wales.

    Lanjutnya, para pemimpin agama suatu saat bisa saja dihakimi atas kelemahan mereka dalam mendukung keadilan di dunia ini.

    “Pada kenyataannya, kita membiarkan apa yang dunia lihat sebagai kelemahan dalam kekuatan sebenarnya, yakni kebodohan,” lanjut Uskup Agung Clyde Igara.

    Selain masalah di West Papua, pernyataan bersama lima Uskup Agung Oceania ini memperingatkan ancaman terhadap wilayah Oceania dari perubahan iklim. Secara keseluruhan bangsa Oceania akan kehilangan pulau tempt mereka tinggal beberapa tahun ke depan.

    “Advokasi keadilan iklim dan tindakan harus menjadi prioritas yang paling mendesak untuk Anglikan Oceanic,” sebut Uskup Agung Philip Richardson.

    Mereka mencatat bahwa ada empat wilayah di Oceania yang meliputi beberapa negara, lebih dari 1000 bahasa, dengan budaya yang kaya dan beragam, terancam karena perubahan iklim. Empat wilayah ini telah lama bersatu melalui jalinan sejarah dan persahabatan panjang, tapi saat ini mereka menghadapi masalah dengan latar belakang ketidakharmonisan.

    Pernyataan bersama para Uskup Agung ini juga membahas tantangan pekerja musiman dan mobilitas tenaga kerja di Oceania dan bagaimana mereka kita bisa merespon dengan baik aktivitas pastoral dan perkembangan politik.

    “Hubungan kami yang berkembang dengan komunitas Anglikan di seluruh Asia bisa diperdalam dan melihat ke depan untuk pertemuan dari Uskup Agung dari Komuni Anglikan di bulan Oktober 2017,“ ujar Uskup Agung Philip Richardson. (*)

    Reporter :Victor Mambor
    victor_mambor@tabloidjubi.com
  • Calls for resignation of Fiji’s UN Ambassador

    RadioNZ – Fiji’s opposition SODELPA party has called for the resignation of the Fijian ambassador to the United Nations, Nazhat Shameem, after she described the past protections of the rights of indigenous Fijians as institutionalised racism.

    Ambassador Shameem’s comments were part of an address to the UN Human Rights Council in Geneva on the 1st of March.

    In her comments she said, “Racism was institutionalised in Fiji to such an extent that it instilled a ‘privileged caste’.”

    “Rights of the majority in a democracy whether indigenous or not must not be used to suppress the rights of the minority and vulnerable communities,” she also said.

    The SODELPA vice president, MP Ro Kiniviliame Kiliraki says Ambassador Shameem’s comments were misguided and smacked of prejudice.

    He said they amounted to a deliberate misunderstanding of the grievances of the indigenous community in Fiji and were contrary to international law on the rights of indigenous peoples.

    “She should retract that statement. In fact we are calling for her resignation. It is out of line as far as Fiji is concerned. It is an insult to the indigenous people. And at that level, she shouldn’t be there.”

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?