Category: Politik & Diplomasi

Kegiatan politik dan diplomasi oleh pejuang Papua Merdeka di berbagai tempat di dunia.

  • Parlemen Selandia Baru Ingin Tim Pencari Fakta Versi PIF Segera ke Papua

    Jayapura, Jubi – Politisi Selandia Baru ingin pemerintahnya memberikan tekanan pada level pemimpin tingkat tinggi untuk melakukan kemajuan-kemajuan yang bertujuan mendorong misi pencari fakta independen dari Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum (PIF) segera ke tanah Papua (Papua dan Papua Barat).

    Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Papua Nugini tahun lalu, para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum (PIF) telah menyepakati untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia terkait bagaimana tim pencari fakta dari forum negara-negara Melanesia itu dapat melakukan tugas-tugasnya untuk memantau dan menyelidiki kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terajadi di tanah Papua.

    Pada beberapa kesempatan, pemerintah Selandia Baru mennggambarkan bahwa pemerintah Indonesia menentang kesepakatan tersebut.

    Kendati demikian, anggota parlemen dari Partai Hijau, Catherine Delahunty, yang saat ini memimpin sebuah kelompok kuat yang terdiri dari 20 anggota parlemen di Selandia Baru, menyatakan untuk mendesak negara agar harus berbuat lebih banyak untuk mendapatkan kemajuan yang baik.

    “Kami akan menulis surat kolektif untuk Murray McCully sebagai Menteri Luar Negeri untuk meminta dia memberikan komentar atas kurangnya kemajuan yang dilakukan,” kata Catherine Delahunty, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (15/6/2016).

    “Karena itu sudah disepakati. Hal ini jelas sejak tahun lalu terus ada sejumlah besar pelanggaran hak asasi manusia dan ada kebutuhan untuk misi pencari fakta. Jadi kita akan mendorong pemerintah kita karena mereka mendaftarkan ini, mereka harus bersikap untuk itu,” katanya lagi.

    Ditengah-tengah penolakan itu, pemerintah Indonesai melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Luhut B. Panjaitan pada April lalu telah membentuk sebuah tim pencari fakta kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dengan melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.

    Namun, tim pencari fakta versi Jakarta itu benyak menuai penolakan dari para aktivis HAM dan aktivis gerakan perjuangan Pembebasan Papua. (*)

  • Menteri Luhut Binsar Panjaitan dan Polda Papua Harus Tahu Persoalan Papua Bukan Pelanggaran HAM Saja

    Bandung 08 Juni 2016. Cheko Papua. Biro organisasi AMP (Aliansi Mahasiswa papua ) Komite Kota Bandung Jawa Barat mengatakan negara repubik indonesia harus tau persoalan papua bukan pelangaran ham saja tapi satatus poliktik papua barat , rakyat papua saat ini menuntut hak menentukan nasib sendiri diatas tanah leluhur kami , saya mau sampaikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dan juga kepada Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw bahwa pelangaran Hak orang papua itu bukan dari satu sisi saja tapi ada beberapa sisi yaitu pembunuhan manusia papua ,perampasan tanah adat, perampasan sumberdaya alam dan perampasan hak politik bagi papua barat yang sudah pernah merdeka pada tgl 1 desember kalau mau selesaikan kasus kemanusian di papua hasus semua kasus yang pernah terja mulai dari.

    Tanggal 15 Agustus 1962 samapi sekarang tahun 2016 karena di tahun 1962 adalah dimana hari awal mula terburuk bagi rakyat papua barat atau tahun pertama kalinya terjadi pelanggaran HAM di pulau cendrawasih.

    Negara NKRI harus tau thn 1962 tagal 15 agustus adalah hari yang amat penting dalam sejarah perkembangan politik dan demokrasi, serta hak asasi manusia di Tanah Papua, sebab pada tanggal tersebut telah terjadi penandatanganan sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat.

    Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia yang kala itu diwakili oleh Dr. Subandrio dan Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Mr. J.H.Van Roijen dan Mr.C.Schurmann. Oleh sebab itulah, perjanjian ini kemudian disebut dengan nama Perjanjian New York (New York Agreement).

    Dokumen Perjanjian New York ini, selanjutnya berisi antara lain dan terutama mengenai prosedur dan mekanisme pengalihan kekuasaan administratif pemerintahan atas tanah Papua dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kala itu diwakili oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) atau Pemerintahan Sementara PBB.

    Dimana proses pengalihan kekuasaan dari UNTEA kepada Republik Indonesia yang ditandai dengan pengibaran Bendera Merah Putih di Tanah Papua pada tanggal 1 Mei 1963, menandai periode dimulainya Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

    Selain itu, di dalam dokumen perjanjian tersebut juga berisi tentang cara-cara penyelenggaraan tindakan pilihan bebas atau act of free choice yaitu suatu proses untuk mewujudkan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) dari orang-orang asli Papua ketika itu.

    Sebagaimana diatur di dalam pasal 16, 17 dan 18 dari perjanjian tersebut, diantaranya dinyatakan bahwa tindakan pilihan bebas tersebut dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi standar internasional, yaitu satu orang satu suara (one man one vote).

    Kendatipun demikian, di dalam kenyataannya, justru diterapkan model yang oleh Pemerintah Indonesia kala itu (Tahun 1969) disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menurut data yang diperoleh LP3BH Manokwari, bahwa semua peserta tindakan pilihan bebas sebenarnya sudah di“steril”kan selama lebih kurang 2 bulan sebelum hari H di sejumlah markas TNI yang ada di Merauke, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, Nabire, Wamena, dan Jayapura.

    Selama masa steril, para peserta tersebut mengaku bahwa mereka diindoktrinasi agar harus memilih bersatu dengan Republik Indonesia agar jiwa mereka selamat.

    Selain itu, upaya pemenangan atas hasil PEPERA tersebut juga sudah dilakukan oleh TNI melalui operasi intelijen dan operasi keamanan, dimana sejumlah pemuda dan mahasiswa orang asli Papua saat itu ditangkap dan dianiaya, bahkan dibunuh dan atau dihilangkan secara keji.

    Contoh kasus, di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969 atau satu hari sebelum tanggal 29 Juli 1969 saat akan diselenggarakannya PEPERA, mengapa TNI melakukan penangkapan dan penganiayaan hingga eksekusi kilat yang menewaskan sekitar 50 orang warga sipil?

    Kenapa mahasiswa atau pemuda yang datang dan menyampaikan aspirasi politiknya ke sekitar area Gedung PEPERA (Kini Kantor Gubernur Papua Barat) saat itu, harus dihadapi dengan bedil, dianiaya hingga babak belur lalu diangkut dengan cara dilempar ke dalam truk-truk polisi dan TNI, kemudian dibawa ke Markas TNI di Arfay, lalu dianiaya lagi bahkan hingga ada yang mati.

    Perjanjian New York adalah sebuah dokumen perjanjian yang senantiasa membuat kita bersama harus ingat bahwa hasil dari New York Agreement itu telah membawa akibat adanya perumusan hingga penandatanganan Kontrak Karya Pertama antara Freeport Indonesia Company dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967.

    Kemudian, dari New York Agreement itu juga menjadi dasar dimulainya operasi militer oleh TNI dan POLRI di Tanah Papua yang sejak tahun 1962, 1963, 1965 dan 1969 hingga 1970 sampai hari ini terus-menerus terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang memenuhi standar menurut pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.

    Dengan demikian, menurut pandangan saya bahwa New York Agreement bisa disebut sebagai sebuah sumber malapetaka yang semestinya dikaji dan diperdebatkan kembali keberadaannya secara hukum.

    Sekaligus perlu direkomendasikan kepada PBB untuk dikaji guna ditinjau kembali keberadaan dokumen 15 Agustus 1962 tersebut. Apakah New York Agreement tersebut merupakan sumber kesejahteraan bagi Orang Asli Papua dan tanah airnya, ataukah sebagai awal bencana terjadinya Pelanggaran HAM yang terus terjadi dan bersifat sistematis sejak awal hingga hari ini?

    Dari sisi hukum internasional, saya melihat bahwa sangat dimungkinkan untuk dokumen Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ini dapat diuji secara materil baik secara hukum maupun melalui mekanisme dan prosedur internal PBB.

    Maka itu kami para pejuang rakyat papua dan seluruh rakyat papua menuntut semua Hak-Hak Orang papua harus di selesaikan secara bertahap antara beberapa negara yang pernah terlibat dalam status politik papua barat , saat ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berkata akan selesaikan HAM papua akhir tahun 2016 ini , menurut saya sangat tidak munking karena kasus papua tidak dapat membalik telapak tangan .

    Luhut juga berkata setip kasus kemanusian kami akan bayar perkepala , saya tegaskan kami rakyat papua bukan meminta uang tapi kami minta pennyelesaian HAM Papua dan hak politik rakyat papua secara hukum Internasional yaitu Hukum PBB .

    Kami mahasiswa papua Yang ada di pulau sejawa dan bali menolak dengan tegas atas kedatangan Tim khusus NKRI dalam pimpinan kementian Luhut atas pennyelesaian kasus-kasus HAM papua ,Dan kami juga sangat mendukung Aksi Rakyat Papua Barat yang nanti akan di mediasi oleh KNPB pada tangal 15 hari rabu besok

    Dengan agenda 1]. Dukung Penuh ULMWP jadi anggota Penuh di Keluarga MSG. 2]. Mendesak tim investigasi pelanggaran HAM dr PIF & Deklarasi 3 mei 2016 di London. Demo damai Nasional akan diselenggarakan pd : Hari Rabu, tgl 15/06/2016, tempat di Kantor DPR Prov. Papua & Papua Barat, DPRD Kota & Kabupaten Setanah Papua. Terima Kasih. [Korlap Umum Bazoka Logo, Jubir Nasional KNPB] di ungkapkan oleh Kordinator Biro Organi Sasi Aliansi Mahasiswa Komite Kota bandung Jawa Barat Tuan Ferry cheko alvandi kogoya .ketika di tannya CHEKO PAPUA

  • Indonesia Tolak Pernyataan PM Kepulauan Solomon

    23,May 2016 0 15, bintangpapua.com

    Jakarta – Pemerintah Indonesia menolak pernyataan yang disampaikan Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare yang mengatakan bahwa Indonesia berpartisipasi dalam “Melanesian Spearhead Group” (MSG) hanya untuk melindungi kepentingan sendiri.

    “Kami tegas menolak pernyataan Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare yang muncul di situs Kantor Sekretariat Pers Perdana Menteri (Solomon) pada 17 Mei 2016,” kata Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Desra Percaya dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu.

    PM Kepulauan Solomon pada situs tersebut mengatakan, “Pemberian status keanggotaan penuh untuk Gerakan Serikat Pembebasan Papua Barat (ULMWP) di Melanesian Spearhead Group (MSG) dapat dibenarkan karena Indonesia pun telah berusaha mendapat status keanggotaan dalam kelompok regional ini hanya untuk melindungi kepentingan sendiri, daripada terlibat dalam dialog tentang isu-isu serius hak asasi manusia di Papua Barat”.

    Menanggapi pernyataan PM Sogavare, Duta Besar Desra Percaya menilai bahwa pernyataan itu jelas melanggar prinsip-prinsip dasar kedaulatan dan non-interferensi, sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Pembentukan MSG pada 2007.

    Desra mengatakan, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, menghormati hak asasi manusia merupakan prinsip penting bagi Indonesia.

    Justru untuk alasan itu, menurut dia, Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama hak asasi manusia PBB dan bekerja sama dalam berbagai mekanisme HAM.

    “Dalam hal ini, Indonesia menyambut baik dan siap untuk berbagi pengalaman tentang promosi dan perlindungan HAM dengan banyak negara, termasuk Kepulauan Solomon. Dengan demikian, Indonesia selalu menyambut partisipasi Kepulauan Solomon di Forum Demokrasi Bali,” ujar dia.

    Selain itu, Desra mengatakan, Indonesia telah lama berkomitmen untuk mengatasi masalah HAM, antara lain dengan mendirikan kantor perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Papua. Komnas HAM, baik di tingkat nasional dan regional, sekarang ini terus bekerja untuk mengatasi kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua.

    Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa sebagai bagian dari kawasan Pasifik, Indonesia mengembangkan kemitraan dengan beberapa negara kunci di kawasan itu untuk memastikan hubungan bilateral yang kuat dan produktif.

    Selain itu, Indonesia telah ikut aktif dalam berbagai kelompok regional, seperti Dewan Kerjasama Ekonomi Pasifik (PECC) sejak 1980; Kelompok Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) sejak 1989. Sama halnya dengan Indonesia juga aktif di Forum Kepulauan Pasifik (PIF) sejak 2001 dan Forum Pengembangan Kepulauan Pasifik (PIDF) sejak 2014.

    “Dengan demikian, suatu hal yang ‘lamur’ (tidak melihat dengan jelas) bagi Perdana Menteri Sogavare untuk berspekulasi bahwa agenda Indonesia di Pasifik, apalagi dalam MSG, semata-mata didorong isu Papua,” kata Desra menegaskan.

    Dia menambahkan, Indonesia tetap berkomitmen untuk berkontribusi dalam MSG, memperluas hubungan antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat di kawasan tersebut.

    Indonesia juga berkomitmen memperkuat kerja sama dan mengatasi tantangan-tantangan bersama, memperdalam hubungan ekonomi dan kerja sama pembangunan untuk kesejahteraan masa depan bangsa di wilayah MSG.

    “Fakta-fakta ini memang harus membangunkan Perdana Menteri Sogavare untuk memahami dengan jelas realitas dan kebenaran,” ujar Duta Besar Desra.(ant/don)

  • ULMWP Bicara: Fokus Pada Pembangunan Bangsa

    Kabar Mapegaa – Yogyakarta (KM)—Pemerintah Kepulauan Solomon mengatakan ULMWP ingin menjauhkan dari advokasi dan melangka ke pembangunan bangsa.

    Sekjen ULMWP, Octo Mote, mengatakan Papua Barat mendapatkan dukungan internasional untuk mendorong pemerintahan sendiri,maka mereka perlu dilibatkan dalam pembangunan bangsa.

    Tuan Mote, sekarang ada di Honiara untuk menghadiri KTT MSG. Dia mengatakan, Organisasi harus mengambil bagian dalam pembangunan ekonomi, pelatihan perawatan yang profesional pada kesehatan dan membantu orang mempersiapkan, menghadapi dampak-dampak pada perubahan iklim.

    Lanjut lagi, Mote, kami akan mencari bantuan, dalam hal ini dari negara-negara pulau kecil khsusnya dari ACP.

    Perdana Menteri Salomon, Manasye Sogavare, mengatakan ini langkah positif karena bisa meyakinkan Jakarta bahwa West Papua serius menjaga diri-sendiri dan mengembangkan sumber daya alam mereka.

    Sebagai bagian dari kepercayaan pada MSG solidaritas, Papua Barat tidak bisa salah jika menyelaraskan politik dan ekonomi, tutup Sogavare.

    Sumber: Radio NZ

  • Status ULMWP Jadi Anggota Penuh Agenda Utama KTT MSG

    Penulis: Melki Pangaribuan 19:13 WIB | Sabtu, 14 Mei 2016

    PORT VILA, SATUHARAPAN.COM – Salah satu agenda utama konferensi tingkat tinggi pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) mendatang di ibu kota Papua Nugini, Port Moresby, adalah membagas peningkatan status keanggotaan United Liberation of West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh di MSG.

    Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Hon Manasye Sogavare selaku Ketua MSG saat ini, memberikan jaminan akan hal itu ketika bertemu dengan delegasi pemimpin ULMWP di Port Vila, ibukota negara Kepulauan Solomon, hari Kamis (12/5). Mereka meminta dia untuk mempertimbangkan dua isu utama untuk diputuskan oleh MSG.

    Isu-isu itu di antaranya MSG memberikan keanggotaan penuh kepada ULMWP, yang saat ini memegang status peninjau (observer) dan mendesak MSG untuk meminta intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua untuk segera menetralisir apa yang mereka klaim sebagai genosida terhadap kemanusiaan di Papua.

    Delegasi menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri Sogavare karena MSG memberikan Status Observer untuk ULMWP pada saat mengambil posisi kepemimpinan MSG pada bulan Juni 2015.

    Namun mereka mengatakan sejak ULMWP diberikan status observer dari MSG, situasi di Papua Barat menjadi tegang, meninggalkan orang-orang pribumi yang sekarang di ambang kepunahan.

    Dikatakan situasi ini telah mendorong mereka membawa dua poin petisi untuk dipertimbangkan oleh Perdana Menteri Sogavare sebagai Ketua MSG agar menjadi prioritas MSG untuk segera diatasi.

    Perdana Menteri Sogavare mengatakan jumlah genosida yang semakin meningkat di Papua Barat disampaikan kepadanya oleh delegasi dalam pertemuan itu. Dia juga menegaskan sebagai Ketua MSG, ia akan mengizinkan rekannya PM Vanuatu, Menteri Charlot Salwai, untuk mengusulkan dinaikkannya status ULMWP menjadi anggota penuh dan Sogavare akan mendukungnya dalam KTT itu.

    Perdana Menteri Vanuatu mengatakan kepada Perdana Menteri Sogavare bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Kaledonia Baru minggu depan untuk bertemu dengan Juru Bicara FLNKS, Victor Tutugoro, dalam upaya memperoleh dukungan menjadikan ULMWP sebagai anggota penuh MSG.

    Dia mengatakan Indonesia mendapatkan keanggotaan Associate MSG untuk memungkinkan dialog antara Jakarta dan Pemimpin MSG membahas masalah Papua Barat. Namun penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan untuk bertemu dengan dia mengenai posisi MSG terhadap Papua Barat merupakan indikasi yang jelas bahwa itu memiliki alasan lain untuk bergabung dengan MSG.

    Perdana Menteri Sogavare mengatakan penolakan Indonesia terhadap permintaannya untuk dialog memberinya semua alasan untuk membawa masalah ini kembali ke MSG. Dia menambahkan bahwa “Indonesia telah melewati batas sehingga kita perlu mengambil beberapa sikap keras.”

    Delegasi pemimpin ULMWP yang bertemu dengan Perdana Menteri Sogavare termasuk Jacob Rumbiak, Andy Ayamiseba dan Edison Waromi, Mama Yosepha Alomang. Delegasi didampingi oleh anggota Asosiasi Free West Papua di Port Vila.

    Rombongan datang ke Port Vila – tempat awal direncanakan untuk KTT Pemimpin MSG tahun ini – dengan niat menghadirkan dua poin petisi dengan pemimpin MSG. (pmpresssecretariat.com)

    Editor : Eben E. Siadari

  • Ketua Partai Buruh Inggris Dukung Isu Papua Dibawa ke PBB

    Jeremy Corbyn, MP
    Jeremy Corbyn, MP

    LONDON, SATUHARAPAN.COM – Pemimpin Oposisi Inggris,Jeremy Corbyn, hadir dalam pertemuan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di gedung parlemen Inggris, yang berlangsung mulai 3 Mei 2016. Pada forum itu, ia berbicara tentang penderitaan rakyat Papua  dan mendukung didorongnya reformasi demokrasi di salah satu propinsi RI itu.

    Media Australia, abc.net.au, melaporkan Corbyn mengatakan sudah saatnya rakyat Papua mampu membuat pilihan mereka sendiri tentang masa depan politik mereka.

    “Ini tentang strategi politik untuk membawa penderitaan rakyat Papua diketahui oleh dunia, untuk menjadikannya agenda politik, membawanya ke PBB, dan akhirnya memungkinkan rakyat Papua Barat untuk membuat pilihan tentang jenis pemerintah yang mereka inginkan dan jenis masyarakat yang ingin mereka hidupi, “kata dia dalam pertemuan itu.

    Corbyn mengatakan forum itu merupakan sebuah pertemuan bersejarah. Para pembicara dalam forum  datang dari berbagai belahan dunia, termasuk anggota parlemen dan politisi dari negara-negara seperti Inggris, Tonga, Banuatu, Papua Nugini dan Solomon Islands. Di antara tokoh yang hadir, adalah Perdana Menteri Tonga, Samuela ‘Akilisi Pohiva; Menteri Luar Negeri Vanuatu, Bruno Leingkone; Utusan Khusus (Special Envoy) Solomon Islands untuk West Papua di MSG, Rex Horoi; Menteri Pertanahan Vanuatu, Ralph Regenvanu; Gubernur Provinsi Oro, PNG, Gary Jufa; Tuan Harries dari Pentregarth, Kerajaan Inggris, house of lords, RT. Hon Jeremy Corbyn MP, pemimpin oposisi Inggris yang juga pemimpin Partai Buruh di Inggris; Benny Wenda, juru bicara internasional dari United Liberation Movement for West Papua (ULWMP), Octovianus Mote, Sekjen ULMWP, dan beberapa lainnya anggota parlemen Inggris.

    Dalam pidatonya, Corbyn juga mendukung laporan yang diterbitkan oleh University of Warwick yang menyerukan pemulihan hak-hak LSM di Papua, pembebasan tahanan politik, dan diizinkannya delegasi parlemen dunia ke wilayah tersebut. Dalam laporan yang dilansir oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, kemarin, disebutkan bahwa terjadi pelecehan dan kekerasan terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan di Papua. Mereka bahkan ada yang diusir karena membela HAM di wilayah tempat mereka bekerja di Papua.

    Bagi gerakan rakyat Papua yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri, terutama yang dimotori oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kehadiran Corbyn menambah bobot pertemuan itu. Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, dalam pertemuan itu mengatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus membuat resolusi bagi dilakukannya penentuan pendapat rakyat yang diawasi secara internasional. Sebagaimana dikutip oleh The Guardian, Benny Wenda mengatakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 adalah penghianatan karena ketimbang sebagai act of free choiche, itu adalah act of no choice.

    “PBB melakukan kesalahan ketika itu, mereka melanggar peraturan mereka sendiri. Itu sebabnya PBB harus mengoreksinya sekarang,” kata Benny Wenda.

    Namun, Peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, mengatakan, jika rakyat Papua  menuntut merdeka, pemerintah Indonesia tidak akan mengabulkannya. Namun hal itu bukan menutup adanya dialog. Dalam Road Map yang disusun oleh LIPI, penyelesaian konflik di Papua yang dianggap ideal adalah dialog nasional antara Jakarta dengan para pemangku kepentingan di Papua, termasuk ULMWP. Oleh karena itu, Adriana menyarankan agar pemerintah RI mengakui keberadaan ULMWP.

    Adriana Elisabeth mengatakan dialog itu mungkin akan memakan waktu lama, bahkan dapat menyita waktu lebih dari satu dekade. Namun itu adalah merupakan salah satu alternatif terbaik.

    Editor : Eben E. Siadari

  • IPWP: PBB Harus Awasi Referendum di Papua

    Jayapura, Jubi – PBB harus membuat resolusi pemungutan suara dibawah pengawasan internasional untuk kemerdekaan Papua, demikian dinyatakan anggota parlemen internasional dan pengacara pro kemerdekaan Papua.

    Dalam pertemuan di London Selasa, (3/5/2016), pemimpin pro kemerdekaan Papua, Benny Wenda, bersama anggota-anggota parlemen, pengacara dan para aktivis kemanusiaan dari Inggris dan wilayah Pasifik menuntut PBB membuat resolusi untuk referendum independen, dalam rangka memperbaiki “kesalahan”nya mengizinkan Indonesia mengambil kontrol selama hampir 50 tahun lalu

    Indonesia memegang kontrol sementara atas wilayah Papua dari penjajahan Belanda atas persetujuan PBB di tahun 1963.

    Pada tahun 1969 Indonesia berkuasa penuh melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang disepakati PBB, namun tidak kredibel karena hanya diikuti 1000 orang perwakilan pemimpin Papua, yang memilih dibawah ancaman kekerasan.

    Menurut Wenda, Pepera tersebut, yang dianggap “tindakan pilihan bebas”,  adalah pengkhianatan kepada rakyat Papua dan sekaranglah saatnya bagi PBB untuk memperbaiki kesalahan itu.

    “Rakyat Papua menyebutnya sebagai tindakan tanpa pilihan,” ujar Wenda kepada Guardian, Rabu (3/5) yang dipantau Jubi Kamis pagi (4/5/2016). “PBB sudah membuat kesalahan, mereka melanggar aturan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka mesti memperbaikinya sekarang.”

    Gerakan Free West Papua berharap PBB akan mengeluarkan resolusi ini dalam dua tahun serta mengirimkan penjaga keamanan internasional untuk melindungi rakyat Papua ketika pemungutan suara untuk kemerdekaan berlangsung.

    “Selama 50 tahun Indonesia melakukan pembantaian terhadap rakyat kami, 500.000 orang. Kami membutuhkan pasukan penjaha perdamaian internasional di Papua,” ujarnya.

    “Mungkin dalam 10 atau 20 atau 50 tahun yang akan datang saya piker rakyat saya akan menjadi minoritas. Kami membutuhkan ini segera.”

    Hadir bersama Wenda Akilisi Pōhiva, Perdana Menteri Tonga dan kepala pemerintahan dalam pertemuan Free West Papua, gubernur Papua New Guinea Powes Parkop dan Garry Juffa, serta Menteri Pertanahan dan Sumber Daya Alam Vanuatu, Ralph Regenvanu.

    Regenvanu kepada Guardian mengatakan bangsanya selalu mendukung kemerdekaan Papua.

    Ia menyerukan wilayah-wilayah lain di kawasan itu, khususnya Australia dan New Zealand, yang saat ini mendukung kedaulatan Indonesia, agar bergabung ikut mendukungnya.

    “Mereka harus melangkah maju dan mengakui apa yang sedang terjadi di depan pintu rumah mereka sendiri,” ujarnya pada Guardian. “Saya pikir sikap pemerintah New Zealand dan Australia memalukan terkait Papua.”

    Pengacara HAM, Jennifer Robinson, mencatat kedua bangsa juga mendukung kedaulatan Indonesia terhadap Timor Leste hingga “detik-detik terakhir”.

    “Penting sekali kita terus membangun kampanye masyarakat sipil yang kuat di Australia dan New Zealand untuk menekan pemerintah melakukan hal yang benar,” kata Robinson.

    “Adalah pelanggaran atas nama hukum internasional karena membiarkan situasi yang melanggar hukum, dan pendudukan Indonesia atas Papua adalah pelanggaran hukum karena mereka tidak menghormati hukum internasional dalam proses integrasi Papua,” ujarnya lagi.

    Inilah puncak tuntutan dari puluhan tahun kampanye, dan dorongan yang makin menguat dari akar rumput belakangan ini terhadap gerakan Free West Papua, serta peningkatan keanggotaan dalam International Parliamentarians for West Papua (IPWP), dimana pimpinan Partai Buruh Jeremy Corbyn menjadi pendirinya.

    “Konferensi ini menyambut baik dukungan internasional yang terus bertumbuh, khususnya di Pasifik, bagi rakyat Papua agar diakui hak penentuan nasibnya sendiri yang telah lama diabaikan,” kata Andrew Smith, anggota Parlemen Oxford East, Ketua dan pendiri IPWP.

    “Pengabaian ini adalah noda dalam sejarah PBB, yang harus terus kita kampanyekan agar komunitas internasional memperbaikinya.”

    Lord Harries of Pentregarth, mantan Uskup Oxford, juga pendiri IPWP, menggambarkan Papua sebagai  “salah satu skandal pembiaran terbesar abad ini”

    “Setidaknya parlemen di beberapa negara di dunia semakin terbuka matanya pada persoalan ini, dan kunjungan pimpinan politik dari Pasifik adalah langkah baik menuju pengakuan PBB atas perjuangan orang Papua dan kehendak mereka atas penentuan nasib sendiri.”

    Meskipun secara verbal tampak melunak terkait otonomi dan kebebasan di Papua, Presiden Jokowi secara umum masih gagal menindaklanjuti perkembangan ini. Dibawah kepempimpinannya, pelanggaran dan kekerasan oleh militer dan polisi, termasuk penangkapan massal dan represi terhadap protes-protes damai, terus berlanjut.

    “Inilah kenyataan hidup sehari-hari di Papua. Secara fisik, mental, intimidasi terjadi terus,” ujar Wenda.

    “Rakyat saya yang akan putuskan siapa yang mereka inginkan untuk memimpin perjuangan kemerdekaan, tetapi kewajiban saya sekarang adalah membebaskan Papua,” ujarnya.(*)

  • Deklarasi London Seruan Kepada Internasional Awasi Penentuan Nasib Sendiri di Papua Barat

    Jayapura, Jubi – Sejumlah anggota parlemen dari beberapa negara Pasifik dan Inggris telah membuat deklarasi di London yang menyerukan kepada dunia internasional untuk mengawasi pemilihan pada kemerdekaan Papua Barat.

    Kelompok Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International Parliamentarians for West Papua) menyelenggarakan pertemuannya di Gedung Parlemen di London untuk membahas masa depan masyarakat dan Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang sedang berada dibawah pemerintahan Indonesia.

    Menurut kelompok Pembebasan Papua Barat, pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn, yang kembali memberikan dukungannya untuk perjuangan Papua Barat untuk pembebasan dan mengatakan bahwa ia ingin menuliskannya menjadi bagian dari kebijakan Partai Buruh, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (4/5/2016).

    Deklarasi tersebut mengatakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua Barat tidak dapat diterima. Deklarasi itu memperingatkan bahwa tanpa ada tindakan dari dunia internasional (situasi ini) mempertaruhkan kepunahan masyarakat Papua dan menegaskan kembali untuk hak masyarakat asli untuk menentukan nasib sendiri.

    Deklarasi tersebut juga mengatakan ‘Act of Free Choice’ 1969, sanksi-referendum PBB yang memasukan Belanda Papua (Dutch New Guinea) ke Indonesia, adalah pelanggaran berat dari prinsip itu.

    Deklarasi ini menyerukan kepada dunia internasional untuk mengawasi penentuan nasib sendiri sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB.

    Pertemuan tersebut turut dihadiri Menteri Luar Negeri Vanuatu Bruno Leingkone, Utusan MSG Khusus Papua Barat, Rex Horoi, Menteri Pertanahan dan Sumber Daya Alam Vanuatu Ralph Regenvanu, Gubernur Oro District PNG, Gary Juffa, Lord Harries dari Pentregarth dari Inggris House of Lords dan Benny Wenda dari Gerakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Staf Khusus Presiden soal Papua ‘Tidak Tahu’ Pertemuan Bahas Papua Merdeka

    Staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku tidak tahu soal pertemuan internasional tentang kemerdekaan Papua yang diselenggarakan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di London, Selasa (3/5/2016).

    “Aku baru tahu informasi hari ini jadi berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti dulu,” kata Lenis seperti dikutip dari BBC Indonesia, di Jakarta.

    Dalam sebuah pernyataan, beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa kampanye yang diadakan di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia bukan langkah berarti. “Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak,” katanya.

    IPWP didirikan aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen dari Vanuatu, Inggris dan Papua Nugini pada 2008. Kelompok ini terinspirasi oleh keberhasilan Parlemen Internasional untuk Timor Timur.

    Pertemuan IPWP kembali mengangkat persoalan hak warga Papua untuk menentukan nasib sendiri ke dunia internasional.

    Catherine Delahunty, Anggota Parlemen dari Green Party NZ (kedua dari kiri) saat melakukan protes kecil terkait West Papua di luar parlemen Selandia Baru, Selasa – RNZI / Johnny Blades

    Papua Barat masih dalam ‘jajahan’ Belanda ketika Republik Indonesia benar-benar merdeka pada 1949. Pada akhir 1961, Papua Barat mengadakan kongres yang menyatakaan kemerdekaan Papua Barat dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.

    Tak lama kemudian, tentara Indonesia menginvasi Papua Barat. Terjadi konflik antara pemerintah Belanda, Indonesia, dan penduduk asli Papua tentang siapa yang berhak memerintah wilayah itu. Pada 1962, Amerika Serikat mensponsori perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang memberikan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia diwajibkan mengadakan pemilihan umum yang diawasi PBB mengenai hak warga Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri pada 1969.

    Alih-alih menyelenggarakan pemilu yang terbuka bagi seluruh warga Papua, pemerintah Indonesia memilih 1022 ‘perwakilan’ dari populasi sekitar 800.000. Mereka memilih dengan suara bulat untuk bergabung ke NKRI, kendati telegram dari kedutaan besar AS di Indonesia ke Gedung Putih menunjukkan bahwa hasil pemilihan tersebut telah ditetapkan sebelumnya.

    “The Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat bagaikan tragedi Yunani, akhirnya sudah ditentukan. Protagonis utama, Pemerintah Indonesia, tidak bisa dan tidak akan mengizinkan penyelesaian selain keberlanjutan penyertaan Papua Barat ke Indonesia. Aktivitas pemberontakan amat mungkin meningkat tapi angkatan bersenjata Indonesia akan dapat menahannya, dan kalau perlu, menindasnya,” tercantum dalam dokumen rahasia yang dibuka ke publik pada tahun 2004.

    Meski demikian, PBB merestui pemilihan tersebut dan Papua Barat berada dalam pemerintahan Indonesia sejak saat itu. The Act of Free Choice sering dikritik sebagai “Act of No Choice”.

    Kekerasan Aparat

    Mahasiswa Papua yanga tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua Semarang ketika menggelar demo dan dikawal personil polisi Polrestabes Semarang, Senin (2/5/2016) – Jubi/IST

    Sementara itu di Papua, pada Selasa tidak ada aksi yang menyuarakan dukungan untuk pertemuan IPWP; setelah lebih dari 1.000 aktivis yang menggelar aksi demikian pada Senin 2 Mei diangkat dan ditahan Polda Papua sampai Senin (2/5/2016) malam. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan mengalami luka-luka akibat pukulan popor senapan dan tendangan sepatu aparat. Begitu juga awak media yang dihalangi untuk meliput penahanan tersebut.

    Salah seorang pengunjuk rasa, Leah, kepada BBC Indonesia mengaku menerima pelecehan dari aparat polisi.

    “Di saat kami di TKP, mereka tarik dan berusaha lepas pakaian yang saya pakai sehingga Sali (pakaian tradisional Papua) yang saya pakai itu sudah terputus-putus… Dan saya ditarik sehingga saya tergores di bagian kaki karena kena aspal,” kata Leah kepada BBC Indonesia.

    Selain pelecehan, Leah juga mengaku ditendang dengan sepatu laras di bahu kanannya ketika diangkut dengan mobil Brimob.

    Penahanan aparat terhadap aktivis yang berunjuk rasa sering terjadi di Papua. Pada 13 April 2016, demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyuarakan kemerdekaan Papua Barat dilaporkan terhenti karena karena dihadang barikade anggota TNI/Polri. Juru bicara KNPB, Bazoka Logo mengatakan bahwa aparat menangkap 31 pengunjuk rasa.

    Secara terpisah, mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, menyebut penahanan itu sebagai intimidasi aparat Indonesia.

    “Itu yang selama ini terjadi di tanah Papua… Jadi dengan kemarin mereka mempertontonkan kekerasan, kekuasaan, dan apapun yang mereka buat, itu menjadi tontonan internasional – bahwa itulah yang selama ini dipraktekkan di atas tanah Papua sejak ’63 sampai dengan hari ini,” ujarnya. (Yuliana Lantipo)

  • Partai Buruh Inggris Tegaskan Pembebasan Papua Barat Bagian dari Kebijakannya

    Jayapura, Jubi – Jeremy Bernard Corbyn mengatakan sudah saatnya rakyat Papua Barat membuat pilihan mereka sendiri tentang masa depan politik mereka.

    Dikutip ABC, Corbyn berbicara tentang penderitaan rakyat Papua Barat dan mendukung dilaksanakannya reformasi demokrasi di Papua, Indonesia. Ia menyampaikan hal ini dalam pertemuan International Parliamentarian for West Papua (IPWP) di London, Inggris, Selasa 3 Mei 2016.

    Corbyn adalah politikus Inggris Pemimpin Partai Buruh dan Pemimpin Oposisi. Dia telah menjadi anggota parlemen untuk Islington Utara sejak tahun 1983 dan terpilih sebagai Pemimpin Partai Buruh pada tahun 2015.

    Jeremy Corbyn menegaskan dukungannya bagi perjuangan pembebasan Papua Barat. Ia mengatakan ini menjadi bagian dari kebijakan Partai Buruh.

    “Ini tentang strategi politik yang membawa penderitaan rakyat Papua Barat kepada pengakuan dunia, memaksanya ke agenda politik, sehingga harus dibawa ke PBB, dan akhirnya memungkinkan rakyat Papua Barat untuk membuat pilihan tentang pemerintah yang mereka inginkan dan masyarakat seperti apa di mana mereka ingin hidup,”

    katanya dalam pertemuan.

    Pemimpin Partai Buruh ini mengakui bahwa pertemuan kali ini adalah pertemuan yang bersejarah.

    Deklarasi London IPWP

    Dalam pertemuan ini, anggota parlemen dari beberapa negara Pasifik dan Inggris menyetujui deklarasi di London yang menyerukan pemungutan suara yang diawasi oleh komunitas internasional pada isu kemerdekaan Papua Barat.

    Benny Wenda, Menteri Luar Negeri Vanuatu Bruno Leingkone, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva dan Menteri Pertanahan Vanuatu Ralph Regenvanu dan beberapa anggota parlemen Pasifik dan Ingggris lainnya adalah penandatangan deklarasi tersebut.

    Kelompok ini bertemu di Gedung Parlemen Inggris untuk membahas masa depan provinsi di bagian paling timur Indonesia.

    Deklarasi tersebut mengatakan pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi di Papua Barat yang tidak dapat diterima. Disampaikan oleh Benny Wenda, deklarasi ini memperingatkan dunia bahwa tanpa tindakan internasional masyarakat Papua mempertaruhkan kepunahannya dan menegaskan hak masyarakat asli Papua untuk menentukan nasib sendiri.

    Deklarasi tersebut juga menegaskan ‘Act of Free Choice’pada tahun 1969 yang dikenal sebagai Pepera, dilakukan melalui proses yang melanggar prinsip-prinsip kebebasan memilih. (*)

  • Gerakan kemerdekaan Papua Barat galang dukungan

    BBC Indonesia – Pimpinan gerakan Papua Barat, Benny Wenda, menyampaikan kembali tuntutan untuk pemungutan suara bagi masa depan politik Papua.

    Kali ini dia menyampaikannya lewat konferensi pers di sebuah hotel berbintang empat di pusat kota London, menjelang pertemuan dengan beberapa anggota parlemen Inggris, Selasa (03/05).

    Lewat pernyataan persnya, Wenda mengatakan selain penegakan hak asasi manusia di Papua Barat, Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP) juga menuntut penentuan nasib sendiri untuk masa depan politik.

    “Gerakan kami yakin satu-satunya cara untuk mencapainya dengan damai adalah melalui proses penentuan nasib sendiri yang melibatkan pemungutan suara yang diawasi secara internasional.”

    “Hal itu harus dilakukan sesuai resolusi Majelis Keamanan PBB 1514 dan 1541, yaitu dalam kasus Timor Timur, yang sekarang harus menjadi kasus di Papua Barat,” tambahnya.

    Walau upaya untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan, agaknya kali ini mereka ‘mengemasnya’ dengan dukungan internasional, paling tidak dari Melanesian Spearhead Group (MSG), yang terdiri dari Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu.

    Hadir dalam konferensi pers di London, antara lain Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pohiva, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Bruno Leingkone, Utusan Khusus Kepulauan Solomon untuk Papua Barat, Rex Horoi, serta Gubernur Distrik Oro di Papua Nugini, Gary Juffa.

    Dalam kesempatan itu, PM Pohiva mengaku tidak tahu persis rincian situasi di Papua namun terjadi pelanggaran hak asasi dan menegaskan dukungan atas setiap perjuangan penentuan nasib sendiri.

    Sementara Menteri Luar Negeri Vanuatu, Bruno Leingkone, menegaskan rasa persatuan dengan Papua Barat.

    “Vanuatu sudah membuat jelas posisinya mendukung rakyat Papua Barat. Kami semua adalah satu. Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi dan menyatakan tidak ada kekerasan kepada saudara-saudara kami di Papua Barat.”

    Sedangkan Kepulauan Solomon sudah menyetujui anggaran untuk utusan khusus yang akan dibantu oleh seorang penasehat strategis.

    “Jadi keduanya akan membentuk tim untuk membangun koalisi di Pasifik dan di dunia untuk mengambil tindakan karena perjuangan Papua Barat sudah terlalu lama,” jelas Rex Horoi.

    Usai menyampaikan tuntutan dengan dukungan dari MSG, Benny Wenda -yang dulu pernah ditangkap di Indonesia dan kini tinggal di Oxford Inggris- bertemu dengan beberapa anggota parlemen Inggris untuk meminta dukungan.
    Masalah Papua ‘sudah final’

    Pemerintah Indonesia sendiri menegaskan tidak menerima gagasan penentuan nasib sendiri di Papua.

    Hari Senin (02/05), lebih dari 1.000 orang di Papua ditangkap ketika menggelar aksi dukungan atas gerakan kemerdekaan Papua, yang menurut polisi bertentangan dengan kedaulatan negara. Mereka kini sudah dibebaskan.

    Di London, Koordinator Fungsi Penerangan KBRI, Dino R Kusnadi, menegaskan kembali posisi pemerintah Indonesia.

    “Sudah jelas sikap dan posisi Indonesia bahwa masalah Paua sudah final. Papua sebagai kesatuan NKRI (Negara Kesaturan Republik Indonesia) kembali ke pangkuan Indonesia melalui act of free choice. Ini juga sudah disahkan oleh PBB, sehingga bagi kami sudah final.”

    Dino juga mempertanyakan kedatangan para pejabat pemerintah beberapa negara MSG dalam pertemuan dan konferensi pers di London karena belum tentu mewakili MSG tapi sebagai individu.

    “Kedua mereka ingin membesarkan suport kepada mereka (lebih) dari kenyataannya. Itu adalah bagian supaya mereka nendapat kredibilitas tapi selama ini bisa kita katakan seluruh dunia sudah mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.
    ‘Menurunnya’ proporsi warga Papua

    Sekjen ULMWP, Octovianus Mote, mengatakan bahwa dukungan dari negara-negara MSG amat berperan dalam pergerakan Papua Barat.

    “Anda bisa melihat sekarang ini, bukan hanya saya dan Benny (Wenda), tapi juga para pemimpin negara-negara Melanesia menyatakan dukungannya sebagai kekuatan kami,” jelasnya.

    Pelapor khusus PBB untuk Penyiksaan pada tahun 2010, sudah menempatkan Papua Barat dalam 10 bangsa di dunia yang akan punah jika tidak ada campur tangan internasional.”
    Octovianus Mote

    Dia juga mengungkapkan sebuah perkiraan bahwa pada tahun 2020 nanti maka proporsi warga asli Papua di wilayah itu hanya sekitar 25% dari total penduduk.

    “Pelapor khusus PBB untuk Penyiksaan pada tahun 2010, sudah menempatkan Papua Barat dalam 10 bangsa di dunia yang akan punah jika tidak ada campur tangan internasional,” tambahnya.

    Berdasarkan data sekitar tiga tahun lalu, menurut Mote, terdapat warga asli Papua sekitar 48% sedangkan pendatang mencapai 52% dari total penduduk di Papua.

    Mote -yang pernah menjadi wartawan Kompas sebelum mengungsi ke Amerika Serikat- meminta perlu diakhirinya hal yang disebutnya sebagai ‘genosida yang bergerak pelan’ yang dilakukan Indonesia di Papua.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?