Category: Demo & Aksi

Berbagai aksi dan demonstrasi dalam rangka penegakkan HAM, keadilan, kebenaran dan tuntutan Papua Merdeka

  • KNPB Sorong, Bendera Bintang Kejora Bukan Layang-Layang

    Ilustrasi

    Sorong , ( Jubi) – Komite Nasional Papua Barat ( KNPB ) Wilayah Kepala Burung se Sorong Raya menghimbau agar tidak ada pengibaran bendera Bintang Kejora jelang HUT Kemerdekaan Papua 1 Desember Senin, (1/12 ). Karena bendera adalah harga diri bangsa Papua dan bendera bukan layang-layang.

    Juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Jack Badi menegaskan, menjelang HUT Kemerdekaan Bangsa Papua pada 1 Desember mendatang tidak ada pengibaran bendera Bintang Kejora. Tanggal 1 Desember 1961 sebagai hari bersejarah bagi perjuangan segenap Bangsa Papua akan diperingati dengan ibadah syukur internal di sekretariat KNPB Malanu, Sorong, Senin, (1/12) nanti.

    “Kami dari KNPB tidak ada agenda untuk penaikan bendera. Karena kami sudah merdeka tahun 1961 dan bendera sudah berkibar saat itu,”

    kata Jack saat di temui Jubi di sekretariat KNPB Sorong Raya, kompleks UKIP Sorong Jumat, (28/11) sore.

    Jack menegaskan apabila pada tanggal 1 Desember ada orang yang mengibarkan Bintang Kejora maka pihaknya akan memerintahkan pihak keamanan untuk menangkap orang tersebut.

    “Bendera kami bukan layang-layang yang dinaikan dan diturunkan. Bendera kami sekali berkibar tetap berkibar.”

    ujarnya.

    Sementara Wakil Ketua I, Kamtius Heselo sepakat tidak ada pengibaran bendera. Menurutnya , yang menjadi focus mereka saat ini adalah dukungan terhadap pertemuan di Vanuatu pada 1 Desember untuk menyatukan aspirasi semua organisasi. Pertemuan Vanuatu jelasnya bukanlah pertemuan untuk membahas kemerdekaan, melainkan untuk melakukan konfrensi penyatuan seluruh elemen organisasi di Papua.

    “ Pertemuan ini akan dihadiri oleh beberapa diplomat, seperti Benny Wenda, Herman Wanggai dan Jack Rumbiak untuk menyampaikan  agenda kerjanya. Itu yang kami dukung. Kalau masalah pengibaran bendera kami tidak bertanggung jawab,”

    kata Kamtius. (Nees Makuba)

    November 29, 2014 at 20:07:59 WP,TJ

  • Jubir KNPB: Rakyat Papua Wajib Peringati 1 Desember!

    Massa aksi KNPB (Foto: Ist)

    JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP-KNPB) menyerukan wajib libur nasional untuk dapat merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Bangsa Papua Barat yang ke-53, pada 1 Desember 2014 mendatang.

    Hal tersebut ditegaskan Juru Bicara Nasional KNPB, Bazoka Logo, saat menggelar jumpa pers, Kamis (27/11/2014) siang, di komplek Museum Expo, Waena, Papua.

    “1 Desember adalah lahirnya embrio Negara West Papua. Maka, terlepas dari semua kepentingan dan latar belakang sejarah perjuangan bangsa, kita wajib memperingatinya,”

    kata Bazoka.

    Menurut Bazoka, Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan KNBP Pusat mengajak seluruh komponen bangsa untuk merayakan 1 Desember 2014 sebagai hari bersejarah bangsa Papua.

    “Sejarah bangsa Papua tidak boleh dilupakan oleh generasi muda, sebab hanya sejarah yang akan mampu memerdekakan bangsa Papua,”

    ujarnya.

    Bazoka juga meminta kepada Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Pangdam XVII/Cenderawasih untuk tidak melarang rakyat Papua memperingati hari bersejarah tersebut melalui ibadah doa bersama di seluruh wilayah Papua Barat.

    “KNPB Pusat melarang keras pengibaran bendera Bintang Kejora, karena bendera adalah simbol dan harga diri rakyat Papua. Bendera bukan barang mainan yang seenaknya dikibarkan di sembarang tempat,”

    ujarnya dengan tegas.

    Ia juga berharap, perayaan 1 Desember dapat dilakukan dengan gelar dukungan doa bagi agenda pertemuan pemimpin-pemimpin perjuangan West Papua yang akan berlangsung di Vanuatu, pada 1 Desember hingga 4 Desember 2014 nanti.

    “Kita perlu memberikan dukungan kepada tokoh-tokoh Papua yang akan bertemu di Vanuatu, mereka akan bicarakan persatuan dan kesatuan kita,”

    ujarnya.

    AGUS PABIKA, Kamis, 27 November 2014 – 21.43 WIB, SP

  • KNPB Tuntut Polda Tanggung Jawab

    Jubir Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP-KNPB) Bazoka Logo didampingi Ketua I BPP KNPB Agus Kosay, ketika memberikan keterangan pers terkait kasus penembakan di Dogiyai di Expo, Waena, Jumat (21/11). JAYAPURA – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menuntut Polda Papua bertanggungjawab atas aksi penembakan terhadap 3 aktivis KNPB, ketika berlangsung ibadah syukur HUT ke-6 KNPB sekaligus mendukung pertemuan ILWP di Belanda di Moanemani, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, Kamis (20/11) lalu.

    Tuntutan ini disampaikan Jubir BPP-KNPB Bazoka Logo didampingi Ketua I BPP KNPB Agus Kosay, ketika keterangan pers di Expo, Waena, Kota Jayapura, Jumat (21/11).

    Bazoka Logo mengatakan, ke-3 aktivis KNPB yang tertembak, masing-masing David Pigai kena tembak di betis kaki kiri, peluru masih bersarang di kaki, Arsel Pigai kena tembak di kaki kanan dan Okto Tebay kena tembak di kaki kanan, peluru masih bersarang di kaki.

    Selain itu, kata Bazoka Logo, pihaknya juga minta agar Polda Papua segera membebaskan 25 aktivis KNPB yang ditangkap dan ditahan di Ruang Tahanan Polres Nabire. Masing-masing 13 aktivis KNPB ditangkap, ketika berlangsung ibadah syukur HUT ke-6 KNPB di Kali Bobo Deoan Kampus USWIM, Nabire, Rabu (19/11) pukul 08.30 WIT. Sedangkan di Dogiyai 12 aktivis KNPB ditangkap aparat.

    Menurut Bazoka Logo, tindakan Polda Papua melakukan pembubaran paksa dan menembaki aktivis KNPB merupakan tindakan kriminal, padahal kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat itu berdasarkan UUD 1945.

    Lanjut Bazoka Logo, pihaknya bersedia membuktikan tindakan kriminal yang dilakukan Polda Papua terhadap aktivis KNPB di Pengadilan dimanapun.

    Sementara itu, Agus Kosay menuding Polda Papua telah melakukan pembohongan publik, karena menuding sejumlah aktivis KNPB membawa senjata tajam seperti bom molotov dan menyerang aparat ketika itu. Padahal kata mereka aparat menyerang aktivis KNPB menggunakan senjata.

    “Kami hanya punya Megafon dan spanduk. Itu kekuatan kami. KNPB adalah organiasi sipil yang berjuang tanpa kekerasan. Tra mungkin orang pergi ibadah bawa bom molotov dan menyerang aparat,”

    terang Agus Kosay.

    Dikatakan Agus Kosay, pihaknya juga menyampaikan prihatin atas sikap aparat yang menutup akses bagi keluarganya untuk menjenguk aktivis KNPB yang ditahan di Polres Nabire. (mdc/don/lo1)

    Sabtu, 22 November 2014 03:01, bintangpapua.com

  • Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum

    Ratusan Mahasiswa Papua dari berbagai Universitas di Kota Jayapura, menggelar aksi demo damai di Kantor DPR Papua, Senin (17/11) kemarin.JAYAPURA – Ratusan mahasiswa Papua yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua, Senin (17/11) siang, untuk menolak secara tegas program transmigrasi dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

    Kedatangan mahasiswa yang dikoordinator Pontius Mogodoman membawa sejumlah spanduk dan pamflet, bertujuan untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR Papua terkait penolakan program Jokowi untuk Papua.

    “Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk dan pejabat baru, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi dari Jawa didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru. Sebab akan mengkriminalisasi orang Papua di Tanahnya sendiri. Jadi kami tegas menolak transmigrasi,”

    kata Pontius Mogodoman selaku Koordinator aksi demo.

    Dalam aksi demo damai mereka melakukan longmarch dari Ekspo, Waena, Abepura menuju gedung DPRP dengan membawa sejumlah sejumlah pamflet, dan spanduk diantaranya bertuliskan “Transmigrasi Adalah Pelanggaran HAM”. Ada juga tulisan “Orang Papua Tolak Trans” dan “Stop Transmigrasi dan DOB di Papua”.

    Pimpinan fakultas teknik, Arius Yahuli menyatakan, kebijakan diatas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap orang Papua dalam hal ini otsus plus yang sudah ditolak, maka kebijakan pemerintah pusat mendatangkan transmigrasi ke Papua juga ditolak secara tegas.

    “Apakah Papua merupakan daerah transmigrasi?. Hari ini mahasiswa bersama rakyat Papua datang semua menolak kebijakan pemerintah pusat di Papua. Solusinya kami hanya meminta referendum,”

    katanya disambut meriah para pendukung demo.

    Arius menandaskan, hari ini (kemarin-red) sudah jelas kenapa ditolak otsus plus, tanpa permintaan dari Papua memasukkan transmigrasi di tanah Papua juga ditolak. “Hari ini Papua secara tegas menolak transmigrasi dan solusi lainya hanya referendum,” katanya lagi.

    Untuk itu, mahasiswa Papua datang dihadapan anggota DPR Papua untuk meminta dan memohon kepada anggota dewan yang dipilih rakyat untuk mengeluarkan surat kebijakan program transmigrasi di tanah Papua sehingga orang Papua bebas berkarya di tanah ini bukan dikuasai oleh orang luar Papua.

    “Kami tidak mau ada perang, kami juga minta kepada aparat keamanan sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat menolak Otsus Plus dan kali ini Papua menolak Transmigrasi dan meminta untuk referendum,”

    tukas Arius.

    Arius kembali menegaskan, Gubernur Provinsi Papua secara tegas telah menolak transmigrasi di tanah Papua dan kali meminta penjelasan dan sikap dari anggota DPR Papua. Ditempat yang sama, Presiden Mahasiswa Umel Mandiri Yohanes Magai dalam orasinya mengatakan, pihaknya menolak program transmigrasi karena akan semakin membuat orang asli Papua tersisih sehingga meminta meminta kepada anggota DPR Papua agar dalam sidang paripurna perdana periode 2014-2019 hal pertama yang harus dibahas mengenai kependudukan.

    “Dalam Perdasus nomor satu tahun 2008 disitu dibahas masalah kependudukan tapi itu tidak dijalankan. Yang perlu dibahas dalam sidang pertama ada harus ada Perdasus kependudukan yang membatasi orang dari luar masuk ke Papua,”

    kata Yohanes Magai.

    Yohanes menyatakan, mahasiswa mempertanyakan kinerja DPR Papua selama ini terkait banyaknya transmigrasi di tanah Papua dengan menggunakan jasa Kapal Putih dan Pesawat terbang.

    “Harusnya hal seperti ini diperjuangkan oleh anggota parlemen Papua periode lalu. Perlu ada regulasi. Orang-orang yang dikirim ke Papua bukan orang-orang bodoh. Tapi orang-orang pintar. Kami minta DPR Papua ikut menolak ini. Kalian ini adalah putra/putri asli Papua terbaik. Harapan kami ada di lembaga terhormat ini,”

    harap dia.

    Hal yang sama disampaikan salah satu Koordinator Mahasiwa Umel Mandiri menyatakan, transmirgasi salah membuat virus di Papua. Pemerintah pusat sengaja mendatangkan orang luar Papua hanya membawa virus dan membunuh orang Papua sehingga secara sistematis orang Papua mati secara pelan-pelan di tanah ini.

    “Kami minta kepada DPRP Papua selaku perwakilan rakyat melihat secara jeli terkait program Transmigrasi di tanah Papua. DPRP merupakan lembaga tertinggi. Bagaimana bisa mengamankan daerah ini. Kita akan disingkirkan di tanah ini kalau dibiarkan. Nanti kami yang melayani dan kami yang jadi pesuruh, sehingga kami minta hentikan pembahasan transmigrasi di tanah papua ini,”

    tegasnya disambutnya meriah para pendemo.

    Usai orasi, salah satu dari mahasiswa perempuan membacakan pernyataan aspirasi dihadapan sejumlah anggota DPR Papua yang intinya, pertama, mahasiswa Papua dengan tegas menolak transimigrasi karena orang Papua belum siap.

    Kedua, transmigrasi hanya akan membuat orang Papua terpinggirkan dan meminta pemerintah atau DPR Papua agar menghentikan pemekaran, jangan mengatasnamakan rakyat. Selanjutnya, pernyataan sikap diserahkan ke perwakilan DPR Papua antara lain, Yunus Wonda, Eduard Kaiz, Emus Gwijangge, Yanni, Nason Utti dan Yakoba Lokbere.

    Wakil Ketua sementara DPR Papua, Eduar Kaize di hadapan mahasiswa berjanji akan menindaklanjuti aspirasi itu. “Kami akan sampaikan prosesnya secara resmi sampai dimana nanti proses itu. Saya juga pernah seperti kalian, turun jalan demo,” kata Eduar.

    Eduar juga meminta kepada mahasiswa untuk selalu mengingatkan atas aspirasi ini. “Kami akan perjuangkan terus dan kalau sudah ada hasil kami akan panggil untuk menyampaikan aspirasi ini,” ungkapnya.

    Pada kesempatan itu, juga anggota DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, pergumulan rakyat Papua adalah pergumulan DPR Papua sehingga tahu betul masalah di Papua. “Kebenaran tidak akan pernah ditutupi. Kami juga dengan tegas menolak transmigrasi. Kami akan surati pemerintah pusat agar tidak ada proses transmigrasi dan kami menolak semua kebijakan yang tidak menguntungkan orang Papua,” ungkapnya.

    Selain itu, pihaknya akan memperjuangkan agar tidak ada transmigrasi di atas tanah Papua. “Kami butuh dukungan dari semua rakyat Papua karena kami dipilih untuk mewakili rakyat Papua,” kata tegas Yunus Wonda.

    Yunus menandaskan, aspirasi mahasiswa yang disampaikan pada hari ini pihaknya menangis karena suatu saat Papua hilang di tanah ini.

    “Kami terus perjuangkan dan tidak ada cerita adanya Transmigrasi trans di tanah Papua. Kami akan mempertaruhkan segalanya. Semua sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan diatas tanah ini. Apa yang kami banggakan lagi,”

    katanya. Untuk itu, Yunus menyarankan kepada mahasiswa jika kembali ke daerah agar menjelaskan hal ini kepada masyarakat dan kepada orang tua tentang masalah transmigrasi dan masalah pemekaran supaya di mengerti.

    Sambung Yunus, semua kebijakan untuk Papua harus bisa mensejahterakan orang Papua. Kami sudah miskin jangan lagi kami tampung beban. Masa depan bukan ada di kami tapi di generasi Papua berikutnya. Senada disampaikan Anggota DPR Papua, Yakoba Lokbere menyampaikan, rasa bangga kepada mahasiswa karena perjuangan ini yang dilakukan sama apa yang diperjuangkan pemerintah dan teman-teman di DPR Papua. “Kami akan bawa aspirasi ini kepada Pemerintah RI untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi masyarakat,” singkatnya. (Loy/don)

    Selasa, 18 November 2014 03:16, BinPa

  • Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum

    Ratusan Mahasiswa Papua dari berbagai Universitas di Kota Jayapura, menggelar aksi demo damai di Kantor DPR Papua, Senin (17/11) kemarin.JAYAPURA – Ratusan mahasiswa Papua yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua, Senin (17/11) siang, untuk menolak secara tegas program transmigrasi dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

    Kedatangan mahasiswa yang dikoordinator Pontius Mogodoman membawa sejumlah spanduk dan pamflet, bertujuan untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR Papua terkait penolakan program Jokowi untuk Papua.

    “Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk dan pejabat baru, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi dari Jawa didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru. Sebab akan mengkriminalisasi orang Papua di Tanahnya sendiri. Jadi kami tegas menolak transmigrasi,”

    kata Pontius Mogodoman selaku Koordinator aksi demo.

    Dalam aksi demo damai mereka melakukan longmarch dari Ekspo, Waena, Abepura menuju gedung DPRP dengan membawa sejumlah sejumlah pamflet, dan spanduk diantaranya bertuliskan “Transmigrasi Adalah Pelanggaran HAM”. Ada juga tulisan “Orang Papua Tolak Trans” dan “Stop Transmigrasi dan DOB di Papua”.

    Pimpinan fakultas teknik, Arius Yahuli menyatakan, kebijakan diatas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap orang Papua dalam hal ini otsus plus yang sudah ditolak, maka kebijakan pemerintah pusat mendatangkan transmigrasi ke Papua juga ditolak secara tegas.

    “Apakah Papua merupakan daerah transmigrasi?. Hari ini mahasiswa bersama rakyat Papua datang semua menolak kebijakan pemerintah pusat di Papua. Solusinya kami hanya meminta referendum,”

    katanya disambut meriah para pendukung demo.

    Arius menandaskan, hari ini (kemarin-red) sudah jelas kenapa ditolak otsus plus, tanpa permintaan dari Papua memasukkan transmigrasi di tanah Papua juga ditolak. “Hari ini Papua secara tegas menolak transmigrasi dan solusi lainya hanya referendum,” katanya lagi.

    Untuk itu, mahasiswa Papua datang dihadapan anggota DPR Papua untuk meminta dan memohon kepada anggota dewan yang dipilih rakyat untuk mengeluarkan surat kebijakan program transmigrasi di tanah Papua sehingga orang Papua bebas berkarya di tanah ini bukan dikuasai oleh orang luar Papua.

    “Kami tidak mau ada perang, kami juga minta kepada aparat keamanan sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat menolak Otsus Plus dan kali ini Papua menolak Transmigrasi dan meminta untuk referendum,”

    tukas Arius.

    Arius kembali menegaskan, Gubernur Provinsi Papua secara tegas telah menolak transmigrasi di tanah Papua dan kali meminta penjelasan dan sikap dari anggota DPR Papua. Ditempat yang sama, Presiden Mahasiswa Umel Mandiri Yohanes Magai dalam orasinya mengatakan, pihaknya menolak program transmigrasi karena akan semakin membuat orang asli Papua tersisih sehingga meminta meminta kepada anggota DPR Papua agar dalam sidang paripurna perdana periode 2014-2019 hal pertama yang harus dibahas mengenai kependudukan.

    “Dalam Perdasus nomor satu tahun 2008 disitu dibahas masalah kependudukan tapi itu tidak dijalankan. Yang perlu dibahas dalam sidang pertama ada harus ada Perdasus kependudukan yang membatasi orang dari luar masuk ke Papua,”

    kata Yohanes Magai.

    Yohanes menyatakan, mahasiswa mempertanyakan kinerja DPR Papua selama ini terkait banyaknya transmigrasi di tanah Papua dengan menggunakan jasa Kapal Putih dan Pesawat terbang.

    “Harusnya hal seperti ini diperjuangkan oleh anggota parlemen Papua periode lalu. Perlu ada regulasi. Orang-orang yang dikirim ke Papua bukan orang-orang bodoh. Tapi orang-orang pintar. Kami minta DPR Papua ikut menolak ini. Kalian ini adalah putra/putri asli Papua terbaik. Harapan kami ada di lembaga terhormat ini,”

    harap dia.

    Hal yang sama disampaikan salah satu Koordinator Mahasiwa Umel Mandiri menyatakan, transmirgasi salah membuat virus di Papua. Pemerintah pusat sengaja mendatangkan orang luar Papua hanya membawa virus dan membunuh orang Papua sehingga secara sistematis orang Papua mati secara pelan-pelan di tanah ini.

    “Kami minta kepada DPRP Papua selaku perwakilan rakyat melihat secara jeli terkait program Transmigrasi di tanah Papua. DPRP merupakan lembaga tertinggi. Bagaimana bisa mengamankan daerah ini. Kita akan disingkirkan di tanah ini kalau dibiarkan. Nanti kami yang melayani dan kami yang jadi pesuruh, sehingga kami minta hentikan pembahasan transmigrasi di tanah papua ini,”

    tegasnya disambutnya meriah para pendemo.

    Usai orasi, salah satu dari mahasiswa perempuan membacakan pernyataan aspirasi dihadapan sejumlah anggota DPR Papua yang intinya, pertama, mahasiswa Papua dengan tegas menolak transimigrasi karena orang Papua belum siap.

    Kedua, transmigrasi hanya akan membuat orang Papua terpinggirkan dan meminta pemerintah atau DPR Papua agar menghentikan pemekaran, jangan mengatasnamakan rakyat. Selanjutnya, pernyataan sikap diserahkan ke perwakilan DPR Papua antara lain, Yunus Wonda, Eduard Kaiz, Emus Gwijangge, Yanni, Nason Utti dan Yakoba Lokbere.

    Wakil Ketua sementara DPR Papua, Eduar Kaize di hadapan mahasiswa berjanji akan menindaklanjuti aspirasi itu. “Kami akan sampaikan prosesnya secara resmi sampai dimana nanti proses itu. Saya juga pernah seperti kalian, turun jalan demo,” kata Eduar.

    Eduar juga meminta kepada mahasiswa untuk selalu mengingatkan atas aspirasi ini. “Kami akan perjuangkan terus dan kalau sudah ada hasil kami akan panggil untuk menyampaikan aspirasi ini,” ungkapnya.

    Pada kesempatan itu, juga anggota DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, pergumulan rakyat Papua adalah pergumulan DPR Papua sehingga tahu betul masalah di Papua. “Kebenaran tidak akan pernah ditutupi. Kami juga dengan tegas menolak transmigrasi. Kami akan surati pemerintah pusat agar tidak ada proses transmigrasi dan kami menolak semua kebijakan yang tidak menguntungkan orang Papua,” ungkapnya.

    Selain itu, pihaknya akan memperjuangkan agar tidak ada transmigrasi di atas tanah Papua. “Kami butuh dukungan dari semua rakyat Papua karena kami dipilih untuk mewakili rakyat Papua,” kata tegas Yunus Wonda.

    Yunus menandaskan, aspirasi mahasiswa yang disampaikan pada hari ini pihaknya menangis karena suatu saat Papua hilang di tanah ini.

    “Kami terus perjuangkan dan tidak ada cerita adanya Transmigrasi trans di tanah Papua. Kami akan mempertaruhkan segalanya. Semua sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan diatas tanah ini. Apa yang kami banggakan lagi,”

    katanya. Untuk itu, Yunus menyarankan kepada mahasiswa jika kembali ke daerah agar menjelaskan hal ini kepada masyarakat dan kepada orang tua tentang masalah transmigrasi dan masalah pemekaran supaya di mengerti.

    Sambung Yunus, semua kebijakan untuk Papua harus bisa mensejahterakan orang Papua. Kami sudah miskin jangan lagi kami tampung beban. Masa depan bukan ada di kami tapi di generasi Papua berikutnya. Senada disampaikan Anggota DPR Papua, Yakoba Lokbere menyampaikan, rasa bangga kepada mahasiswa karena perjuangan ini yang dilakukan sama apa yang diperjuangkan pemerintah dan teman-teman di DPR Papua. “Kami akan bawa aspirasi ini kepada Pemerintah RI untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi masyarakat,” singkatnya. (Loy/don)

    Selasa, 18 November 2014 03:16, BinPa

    Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum was originally published on PAPUA MERDEKA! News

  • Pemerintah Indonesia Terapkan Standar Ganda untuk Warga Negaranya Sendiri

    Demonstrasi pro Papua merdeka
    Demonstrasi pro Papua merdeka dan kelompok pendukung negara Islam Indonesia. Foto: Ist.

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Pemerintah Indonesia dinilai menerapkan standar ganda kepada warga Negara. Ada perbedaan perlakuan antara orang Papua yang berideologi Merdeka dan kelompok beridelogi Negara Islam Indonesia di provinsi lain di Indonesia. Standar ganda ini berlaku juga dalam hal kebebasan pers.

    Dalam wawancara elektronik, malam ini, Rabu (06/08/14), Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono mengatakan, di Papua, selama puluhan tahun, aktivis Papua biasa ditangkap, sering disiksa dan dihukum penjara, dari hanya beberapa tahun sampai 15 tahun, hanya karena mereka bicara soal merdeka. Mereka dikenai pasal-pasal makar.

    Tetapi, jika dibandingkan, cita-cita dari ISIS maupun Jamaah Islamiyah, bahkan Hizbut Tahrir, adalah mendirikan negara Islam di Indonesia, pemerintah melakukan advokasi berbeda. ISIS dan Jamaah Islamiyah memakai kekerasan. Hizbut Tahrir tak menggunakan kekerasan.

    Selengkapnya di MAJALAHSELANGKAH.com

  • Demonstran Internasional Minta Pembebasan Tahanan Politik Papua

    Protes di London, Inggris. Foto: Helen Saunders/Survival

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Hari ini, 2 April 2014, 100 orang demonstan meminta pembebasan segera terhadap tahanan politik di Papua dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris yang diselenggarakan TAPOL, Survival Internasional dan Amnesty Internasional Inggris.

    Dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com malam ini mengatakan, demonstran meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi pemilihan umum nasional untuk calon legislatif, minggu depan. Demonstrasi serupa juga diselenggarakan di Skotlandia, Belanda, Australia, Selandia Baru, Australia, dan Papua.

    Di Jayapura, sekitar pukul 10:00 pagi hari ini, polisi melepaskan tembakan kepada peserta aksi damai yang meminta pembebasan terhadap tahanan politik Papua. Polisi menyebut mereka “monyet” dan dua orang telah ditangkap. Laporan awal mengindikasikan bahwa dua orang yang ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.

    Di London pukul 13:00 masing-masing demonstran memrepresentasikan 76 orang tahanan politk yang saat ini berada di balik jeruji di Papua yang secara simbolik diborgol dan ditutup mulutnya untuk menunjukkan pembungkaman kebebasan berekspresi di Papua.

    Pendemo dan mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan,

    “Saya menghabiskan enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”

    Meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa demonstran menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua.

    Para demonstran mengangkat plakat yang berisi: “Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?”  dan “Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?”

    Pada surat kepada Duta Besar Indonesia di London, HE Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, yang dikirimkan hari ini, penyelenggara demonstrasi, TAPOL menyatakan bahwa terdapat 537 peristiwa penangkapan politik di Papua pada 2013, dua kali lipat dari jumlah penangkapan di tahun 2012.

    Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, sementara kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012.

    Surat itu menunjukkan bahwa terungkapnya peningkatan besar dalam tindakan penangkapan yang bernuansa politik ‘sangat mengganggu dalam masa menjelang pemilihan umum nasional Indonesia minggu depan. Minimnya ruang demokrasi di Papua berarti bahwa Pemilu hampir tidak relevan untuk banyak orang Papua.’

    Tahanan politik Papua Dominikus Surabut hari ini mengirimkan pesan dari penjara Abepura ke seluruh para demonstran, yang menyatakan: Kebebasan dan demokrasi tidak bisa dibunuh dan dipenjarahkan, sebab rohnya absolut, tak bisa seseorang atau Negara manapun bisa gagalkan. Kepada para pekerja HAM dan Demokrasi dunia, kita tidak bisa berdiam membisu, tetapi kita terus kepalkan tangan dan jiwa kita secara bersama-sama menyelamatkan dan menempatkan berdemokrasi pada tempatnya.

    Surabut ditahan pada 19 Oktober 2011 dan saat ini menjalani tiga tahun hukuman di penjara karena keikutsertaannya dalam pertemuan politik secara damai di Jayapura.

    Berdasarkan perkembangan pemantauan bersama yang dipublikasi oleh Papuan Behind Bars, tahanan politik di Papua sering disiksa dan dipaksa untuk mengakui kesalahan. Banyak dari mereka dipukuli dan menjadi subjek dari tindakan kejam dan merendahkan martabat seperti digunduli, dipaksa untuk saling berkelahi atau tidak diberikan makan atau pengobatan yang layak.

    Pembatasan pada organisasi internasional dan media asing yang bekerja di Papua Barat berarti bahwa banyak pelanggaran terjadi dalam rahasia, dan pelaporan yang independen adalah hampir mustahil. Ini adalah masalah serius di wilayah yang dikenal menjadi tuan rumah dari salah satu konsentrasi tertinggi pasukan keamanan di dunia.

    “Jika Indonesia tidak memiliki hal yang disembunyikan di Papua, mengapa mereka tidak memperbolehkan jurnalis dan organisasi internasional datang ke Papua?,”

    ujar Paul Barber, koordinator TAPOL dalam keterangan itu.

    “Tujuh puluh enam tahanan politik di Papua tidak dapat disembunyikan dari dunia,”

    ujar Paul.

    Organisasi internasional dan mekanisme PBB semakin menanyakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Papua yang tidak dapat diterima. Pada November 2012, Working Grup PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa penahanan terhadap Filep Karma, selama 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.

    Pada Mei 2012, pada sesi Laporan HAM Berkala Universal (Universal Periodic Review) Indonesia pada Dewan HAM PBB di Jenewa, Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi untuk mengundang pelapor khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue.

    Meskipun kunjungan tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013, namun kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. Pada Mei 2013, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay menyampaikan situasi kritis terhadap serangan kebebasan berekspresi yang terus berlanjut di Papua.

    TAPOL menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan tuduhan kepada aktivis politik Papua dengan tuduhan kriminal, meminta pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, memenuhi standar internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan dan memperbolahkan akses terbuka bagi internasional jurnalis, organisasi HAM dan humaniter.

    TAPOL juga meminta para kandidat Presiden untuk membuat agenda setting tentang pelaksanaan HAM, termasuk pembebasan tahanan politik tanpa syarat sebagai pemenuhan hak dasar dan berdemokrasi bagi orang-orang Papua.

    Diketahui, berdasarkan update terbaru yang dipublikasi oleh Papuans Behind Bars, terdapat setidaknya 76 orang tahanan politik di Papua yang dipenjara hingga akhir Februari 2014.

    Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.

    Penangkapan politik didefinisikan oleh Papuan Behind Bars berupa penangkapan-penangkapan yang tampaknya bermotif politik dan dapat mencakup penangkapan yang terjadi dalam konteks politik seperti demonstrasi atau berbagai wadah yang digunakan oleh orang-orang maupun organisasi yang secara aktif berpolitik; penangkapan terhadap orang-orang yang aktif dalam politik atau kerabat mereka, penangkapan terhadap orang-orang karena dugaan keterlibatan politik mereka; penangkapan terhadap kegiatan politik seperti menaikkan bendera atau terlibat dalam kegiatan perlawanan sipil; penangkapan massal, dan penangkapan yang bermotif politik dengan tuduhan kriminal yang direkayasa. (Yermias Degei/MS)

    Yermias Degei | Kamis, 03 April 2014 02:06,MS

    Lihat foto di sini: KLIK

  • Demo Damai Tuntut Bebaskan 76 Tapol Papua, Polisi Tangkap 2 Mahasiswa

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura menangkap 2 mahasiswa Papua, Alfares Kapisa (25) dan Yali Wenda (20) dalam sebuah demonstrasi damai yang digelar Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol (Tahanan Politik) Papua di depan Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen) Waena, Jayapura, Rabu (02/04/14).

    Demonstrasi digelar mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jayapura dalam rangka meminta pembebasan 76 Tapol Papua yang mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di tanah Papua.

    Alfares Kapisa, mahasiswa Kedokteran Uncen dan rekannya Yali Wenda ditangkap dalam pembubaran paksa oleh polisi yang bersenjata lengkap di depan Gapura Uncen sekitar pukul 10:30 waktu setempat.
    Selanjutnya, dua mahasiswa Papua ini dibawa ke Polresta Jayapura untuk diinterogasi.

    “Kami sedang berada di Polresta. Mereka dua (Alfares Kapisa dan Yali Wenda:red) sedang diinterogasi.  Alfares mendapat intimidasi sampai luka-luka di pipi kiri. Kucuran darah membuat jas almamaternya penuh dengan darah. Demikian juga Yali Wenda luka-luka di kepala,”

    kata aktivis HAM Papua, Elias Petege kepada majalahselangkah.com sore tadi melalui telepon selulernya.

    Tidak Ada Akses untuk Bertemu

    Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi dan Pendeta Dora Balubun telah berada di Polresta sekitar pukul 18:30 waktu setempat atas permintaan rekan-rekan dan orang 2 mahasiswa itu. Tetapi, kedatangan mereka sia-sia. Mereka tidak mendapatkan akses untuk menemui 2 mahasiswa itu.

    Kepada majalahselangkah.com, melalui pesan singkatnya, Olga mengatakan,

    “Katanya Kasat tidak ada di tempat. Lalu, saya telepon Kapolres, tapi katanya mereka lagi periksa jadi belum bisa ketemu. Saya jadi heran juga, padahal mereka dua ini tidak di rutan, ada kemungkinan 2 mahasiswa ini dapat pukul.”

    “Kami tidak dberi akses bertemu, jadi kami pulang. Padahal, kami datang ke sini atas permintaan teman-temannya dan orang tua 2 mahasiswa ini,”

    kata Olga.

    Terkait penangkapan dan pembatasan akses ini, majalahselangkah.commenghubungi  Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Pol Drs Sulistyo Pudjo, tetapi telepon tidak aktif. Terpaksa, majalalahselangkah.commengirimkan pesan singkat untuk konfirmasi, tetapi hingga berita ini ditulis belum ada balasan.

    HIngga berita ini ditulis, Alfares Kapisa dan Yali Wenda masih ditahan di Polresta Jayapura. (Yermias Degei/MS)

     Yermias Degei | Rabu, 02 April 2014 23:24,MS

  • AMP “Indonesia, Amerika Serikat dan PBB ” Mengakui Kedaulatan Papua Barat

    Yogyakarta — Puluhan Mahasiswa Papua yang bergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jogyakart, telah gelar demo damai  dengan menuntut kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Amerika Serikat (AS)dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera memberikan Hak Penetuan Nasib Sendiri Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat.Kamis/13/03/2014. Pagi.

    Massa aksi kemudian melakukan longmarch dari Bundaran UGM Jam 09.00 WIB menuju titik nol kilometer di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta.
     
    Kordinator umum aksi Aby Douw,
    “mengatakan kepada www.suarakolaitaga.blogspot.com, bahwa , Negara Indonesia, Amerika Serikat dan PBB untuk mengakui kedaulatan Papua Barat yang di deklarasikan pada 1 Desember 1961 sebagai suatu Negara”.
    Kordinator aksi Paskalena Daby,
    ”Berikan kebebasan untuk menentukan nasif kami. Segerah ! Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari seluruh Tanah Papua, hentikan eksploitasi dan tutup seluruh perusahaan milik kaum imperialis, seperti Freeport, BP, LNG Tangguh, Corindo, Medco. Dinilai, perusahaan-perusahaan itu membawa malapetaka bagi Bangsa Papua Barat”.
    Menurut Roy Karoba salah satu anggota AMP mengatakan,
    “ada pun berbagai operasi militer telah dilancarkan oleh pemerintah kolonial Indonesia untuk membungkam perlawanan Rakyat Papua yang menolak kehadiran Indonesia. Militer menjadi satu-satunya tameng untuk berhadapan dengan Rakyat Papua. Dari masa kepemimpinan Soekarno hingga SBY-Boediono, militer tetap menjadi alat yang paling reaksioner dalam menghadapi gejolak perlawanan Rakyat Papua. Ratusan ribu nyawa Rakyat Papua telah hilang oleh kebiadaban Militer Indonesia”.
    Papua sudah merdeka. Tetapi kemerdekaan orang Papua itu telah direbut dan diperkosa oleh Indonesia,PBB, Amerika dan Belanda pada tanggal 19 desember 1961 disebut TRIKORA, ketika papua merdeka selama 18 hari, ujar Roy.
    Dalam orasi salah satu anggota AMP Boy mengatakan,
    “Kami menilai ketrlibatan PBB dalam status politik rakyat papua barat tidak manusiai dan demkratis, sebab perjanjian New York (New York Agreement) 15 agustus 1962 tidak melibatkan satupun orang papua, selain itu juga aneksasi West Papua kedalam Indonesia 1 mei 1963 adalah awal operasi Militer Indonesia diatas tanah west papua hingga saat ini atau awal penderitaan rakyat papua, dan PEPERA 1969 cacat Hukum dan moral. “
    Lanjut Boy.
     
    Sebelum adalanya pelaksanaan PEPERA 1969 Pemerintan Indonesia telah kontraka karyah perusahan Kapitalisme/Imperialisme Amerika Serikat pada tanggal 7 Apri 1967, sedangkan pelaksanaan PEPERA pada tanggal 14 juli-2 agistus 1969. Ujar, Boy.
    AMP menuntut
    “Indonesia, Amerika Serikat dan PBB Berikan Kebebasan dan Han Menetukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Sebagai Solusi demokratis sesuai hukum yang berlaku”.
    tegas Daby. (K)Wenas Kobogau
    Kamis, 13 Maret 2014|12:33,kbgnews
  • Sikapi Pelanggaran HAM, AMP Akan Gelar Aksi

    Sejumlah Massa Aksi di Yogyakarta Saat Membentangkan Bendera Bintang Kejora, Pada Peringatan Hari Aneksasi ( 1 Mei 2013 )
    Sejumlah Massa Aksi di Yogyakarta Saat Membentangkan Bendera Bintang Kejora, Pada Peringatan Hari Aneksasi ( 1 Mei 2013 )

    Yogyakarta (12/03/2014 – Guna menyikapi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembungkaman ruang demokrasi yang terus menerus dilakukan oleh aparan militer Indonesia (TNI-POLRI) di Papua selama ini, maka Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] berencana menggelar aksi penyikapan yang rencananya akan dilaksanakan pada hari kamis (14/03/2014) di Yogyakarta.

    Selain menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Papua, AMP juga akan menyuarakan

    “Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”,

    sebab menurut AMP Hak Menentukan Nasib Sendiri merupakan satu-satunya jalan terbaik untuk penyelesaian permasalahan Papua.

    Telius selaku Sekertaris AMP Komite Kota Yogyakarta ketika dihubungi menyatakan bahwa

    “kami menggerlar aksi ini untuk menyikapi segalah bentuk penggaran HAM dan pembungkaman terhadap ruang demokrasi di Papua, Indonesia dengan kekuatan militernya selalu melegalkan segalah cara untuk melindungi kepentingan investor asing yang tidak pernah memperhatikan kehidupan orang asli Papua yang memiliki hak atas segalah kekayaan alam yang ada di Papua”,

    tegas Telius.

    Selain itu, menurut Telius

    “aksi kali ini juga sebagai bagian praktek yang akan dilakukan oleh kader-kader/anggota AMP yang baru saja menyelesaikan Pendidikan Politik (DIKPOL) beberapa hari yang lalu”,

    kata telius.[rk]

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?