Category: Opini & Analisis

Berbagai Opini dan Analysis dari berbagai pihak, khususnya menyangkut kampanye dan perjuangan Papua Merdeka

  • Gubernur Menegaskan Tak Ada Rakyat yang Minta Papua Merdeka

    Gubernur Papua, Lukas Enembe usai Rapat Koordinasi Presiden RI dengan Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, hari Kamis (20/10). (Foto: Melki Pangaribuan)
    Gubernur Papua, Lukas Enembe usai Rapat Koordinasi Presiden RI dengan Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, hari Kamis (20/10). (Foto: Melki Pangaribuan)

    Penulis: Melki Pangaribuan 19:06 WIB | Kamis, 20 Oktober 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur Papua, Lukas Enembe, mengklaim bahwa masyarakat Papua tidak ada yang meminta Papua merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Lukas menegaskan, Papua sudah merdeka bersama dengan Indonesia yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945. Jadi, kata dia, tidak ada yang namanya rakyat Papua meminta merdeka dari Indonesia.

    “Sudah pastilah (rakyat Papua tidak ingin merdeka). Kita sudah merdeka, Indonesia sudah merdeka. Tidak ada yang minta Papua merdeka,” kata Lukas Enembe kepada satuharapan.com usai Rapat Koordinasi Presiden RI dengan Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, hari Kamis (20/10).

    Sementara mengenai persoalan gerakan diplomasi internasional ULMWP, Lukas mengaku itu bukan menjadi urusan Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua.

    Lukas mengatakan, tugasnya sebagai gubernur hanyalah untuk mengupayakan kesejahteraan rakyat Papua.

    “Itu (ULMWP) bukan urusan kita (Pemda). Itu soal urusannya diplomasi internasional dan ini kan perkaranya ke luar negeri. Jadi kita tidak punya kapasitas atau kewenangan untuk mengurus itu,” kata dia.

    Lukas menilai Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) itu telah masuk dalam kewenangan diplomasi internasional.

    “Kami punya kapasitas mengurus bagaimana menyejahterakan rakyat Papua. Karena ULMWP kan urusannya sudah kewenangan diplomasi internasional,” dia menambahkan.

    Terhadap rakyat Papua yang terlibat gerakan ULMWP, Lukas mengatakan, hal itu juga bukan menjadi urusannya Pemda Provinsi Papua. Dia menilai, rakyat Papua yang tergabung dalam perjuangan Papua Merdeka di luar negeri itu merupakan gerakan yang berada di luar kendalinya sebagai Gubernur Papua.

    “Itu kan orang-orang yang berjuang di luar. Itu tidak ada urusan dengan kita,” lanjutnya.

    Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja

  • Legislator: Tak Ada Jalan Lain Bagi Pemerintah RI Untuk Bendung Gerakan OP Pro Papua Merdeka

    Laurenzus Kadepa, Anggota DPRP, Komisi I. (Foto: Dok KM)
    Laurenzus Kadepa, Anggota DPRP, Komisi I. (Foto: Dok KM)

    Jayapura, (KM) – Laurenzus Kadepa, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP), Komisi I, menegaskan bahwa pergerakan yang selama ini dilakukan orang Papua untuk tanah Papua di sisi politik telah meyakinkan dunai Internasional secara Universal.

    “Tidak ada jalan lain bagi pemerintah Republik Indonesia untuk membendung gerakan orang Papua pro Papua Merdeka yang sudah meyakinkan dunia internasional mendapat dukungannya lewat pintu HAM,”kata Kadepa, kepada kabarmapegaa.com, Senin, (03/10/16) Melalui Via Inbox FB.

    Menurutnya, pemerintah RI harus berani mengizinkan Team internasional (PIF atau PBB) untuk melakukan investigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua selama 50 tahun lebih sesuai sorotan dan keprihatinan 7 negara Pasific di sidang umum PBB yang ke 71 di New York.

    “Tidak boleh merasa cukup dengan sikap dan pernyataan diplomat Indonesia di UN yang membantah semua tudingan 7 Negara Pasific tentang persoalan Papua. Semua harus dibuka luas agar selain soal HAM kemajuan Papua di segala bidang bisa dilihat dunia,”tegasnya.

  • LIMA: Indonesia Hanya Beretorika Jawab Isu Papua

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan perwakilan Indonesia di sidang PBB hanya beretorika dalam pidato balasan terhadap tudingan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang disampaikan tujuh negara pasifik.

    “Pemerintah Indonesia tidak menjelaskan secara terperinci karena Indonesia hanya menyampaikan bahwa telah terjadi perbaikan aturan dan konvensi HAM secara heroik,” kata dia di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10).

    Menurut dia, pemerintah Indonesia harusnya menjelaskan sejauh apa kebenaraan atau ungkapan dari tujuh pimpinan negara Pasifik mengenai persoalaan di Papua.

    “Kalau di Papua dikatakan 50 tahun belakangan melakukan pelanggaran HAM maka perwakilan Indonesia harus menjelaskan dengan menjawab pertanyaan dari tujuh negara tersebut artinya data harus dijawab dengan data,” kata dia

    Sebelumnya, Anggota delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa, Nara Masista Rakhmatia, mendapat perhatian dan simpati di dalam negeri atas langkahnya memberikan respons terhadap diangkatnya isu Papua oleh enam negara anggota PBB di Sidang Umum ke-71 PBB di New York, pekan lalu.

    Diplomat muda jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008 itu menyampaikan sikap Indonesia yang membantah secara kategoris tuduhan-tuduhan yang dialamatkan oleh enam kepala pemerintahan dari enam negara Pasifik, yaitu Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga.

    Editor : Eben E. Siadari

  • KTT MSG di Vanuatu Bahas Isu Papua Ditunda Tanpa Penjelasan

    PORT VILA, SATUHARAPAN.COMRadionz.co.nz, hari Jumat (30/9) lalu melaporkan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) yang direncanakan awal bulan Oktober 2016 di Vanuatu telah ditunda sampai bulan Desember 2016.

    Penundaan KTT tersebut disampaikan oleh Sekretariat MSG kepada kantor berita radio 96 Buzz FM tanpa memberikan alasan lengkap.

    KTT MSG bulan Oktober ini seharusnya akan membahas tawaran keanggotaan penuh bagi Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) yang ditentang oleh Indonesia.

    Status ULMWP saat ini masih sebagai observer (pengamat) MSG, sementara Indonesia merupakan anggota asosiasi.

    Di Port Vila, Asosiasi Papua Barat di Vanuatu menjadi tuan rumah KTT Wantok pada minggu ini, yang menyatukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil pendukung Papua Barat Merdeka masuk dalam Melanesia.

    Status ULMWP Ditunda

    Sebelumnya, kelompok ULMWP mengatakan pihaknya menerima keputusan organisasi sub-regional MSG, yang menunda pemberian status anggota penuh kepada mereka pada KTT MSG pada bulan Juli lalu.

    Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, mengatakan, kendati ada pihak yang menganggap ini merupakan taktik mengulur-ulur waktu,  pihaknya mengakui para pemimpin dan pejabat MSG lebih menyoroti isu-isu teknis.

    Pada KTT MSG bulan Juli, para pemimpin MSG telah sepakat untuk menunda  menyetujui aplikasi ULMWP untuk mendapatkan keanggotaan penuh, sampai kriteria dan pedoman keanggotaan MSG dikembangkan lebih lanjut.

    “Kami ingin berterima kasih kepada para pemimpin Melanesia dan kepada ketua serta Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang telah membahas dan memfasilitasi aplikasi bagi keanggotaan penuh. Walaupun kecewa, kami tetap optimistis aplikasi kami akan dibahas lagi pada bulan September di Port Vila, Vanuatu,” kata dia, sebagaimana diberitakan oleh solomonstarsnews.com.

    Ia mengatakan masalah yang disorot oleh para pemimpin MSG bersifat teknis, dan ULMWP berharap aplikasi itu dibahas pada bulan September.

    “Kami menyerukan kepada rakyat kami di Papua, keluarga Melanesia dan Pasifik kami, dan pendukung global untuk melihat keputusan ini bukan kekalahan tetapi sebagai kemajuan untuk peningkatan proses di dalam MSG,” kata dia.

    Wenda mengucapkan terima kasih kepada rakyat Papua dan Pasifik atas dukungan yang besar, dan menekankan perlunya dukungan lainnya menuju KTT khusus pemimpin MSG September mendatang.

    “Kami, ULMWP, tidak akan melangkah sampai sejauh ini jika bukan untuk rakyat akar rumput dan dukungan pemimpin Pasifik dan kami menyerukan dukungan lebih karena kami bekerja menuju pembentukan suara politik bagi rakyat kami dari Papua,” kata dia.

    Sementara itu Ketua MSG, Manasseh Sogavare, mengatakan proses untuk pemberian status anggota penuh kepada ULMWP belum usai.

    Menurut dia, tertundanya pemberian status keanggotaan itu terkait dengan isu legal.

    Oleh karena itu, Sub Komite Hukum dan Institusi MSG bekerja keras untuk meninjau dan mengubah persyaratan keanggotaan MSG.

    Menurut dia, KTT khusus MSG di Vanuatu pada bulan Desember akan kembali membahas permohonan ULMWP.

    “Ini belum selesai,” kata dia, sebagaimana disiarkan oleh Solomon Islands Broadcastiong Corporation.

    Ia berharap Sub Komite MSG sudah menyelesaikan kriteria itu pada bulan September mendatang.

    Beberapa hal yang akan ditinjau dan dirumuskan lagi oleh Sub Komite itu adalah mengenai prinsip-prinsip dasar, aspirasi politik dan prinsip-prinsip hukum internasional.

    Namun, Indonesia yang selama ini menolak keberadaan ULMWP sebagai perwakilan rakyat Papua, dengan tegas mengatakan tidak ada tempat bagi ULMWP di MSG.

    “Tidak ada tempat bagi ULMWP di masa mendatang di MSG,” kata ketua delegasi RI ke KTT Honiara, Desra Percaya.

    Namun dia mengakui bahwa KTT  bersepakat untuk membahas lebih lanjut pedoman keanggotaan yang akan diselesaikan pada September 2016 di Port Vila, Vanuatu. Namun sekarang KTT itu ditunda lagi.

     

    Editor : Eben E. Siadari

  • Listening to the Pacific beat on Papua

    Budi Hernawan, Jakarta | Thu, September 29 2016 | 08:07 am

    In an unprecedented move, seven UN member states from the Pacific raised their concerted voices on Papua during the prestigious 71st session of the UN General Assembly in New York this week.

    Nauru started the intervention by highlighting the issue of human rights violations in Papua, followed by a newcomer in the discourse of Papua: the Marshall Islands.

    Vanuatu, Tuvalu and the Solomon Islands followed suit and went one step further by specifically highlighting the issue of the right to self-determination for Papuans. Tonga emphasised the gravity of the problem and Palau, another novice, called for constructive dialogue with Indonesia to solve the Papua issue.

    This was a historic moment for us as we have never had such unified high-profile intervention when it comes to the issue of Papua at the UN. Perhaps the only lone ranger used to be Vanuatu, which tried to break the silence of the UN fora.

    This week’s debate at the UN General Assembly might remind us of a similar but much more colorful debate on Papua at the assembly in 1969, when the forum decided to close the chapter on Papua by accepting the result of the Act of Free Choice.

    If in 1969 some African countries expressed opposition to the assembly’s decision to adopt the result of the 1969 Act of Free Choice for Papuans, today the Pacific nations are taking the lead.

    Indonesia’s response, however, was highly predictable. Repeating the slogan of territorial integrity and sovereignty, the government’s response unfortunately does not provide us with facts and evidence of the improvement in the human rights situation in Papua.

    It may be remembered that President Joko “Jokowi” Widodo promised to solve the killing of four high-school students in Paniai on Dec. 8, 2014. The investigation into the case has been delayed for almost two years and we have not seen much progress.

    The families of the victims recall that at least eight government institutions sent their respective fact-finding team to interview victims on the ground and personnel of the Army, the Papua Police, the National Police, the Air Force, the Papua Legislative Council, the Witness and Victim Protection Agency (LPSK), the Office of Coordinating Security, Political and Legal Affairs Minister, the National Commission on Human Rights (Komnas HAM). None of these teams, however, has ever published their report for public consumption.

    Similarly, the dossiers on the Wasior killings of 2001 and the Wamena case of 2003 have been pending for more than a decade at the Attorney General once Komnas HAM finished its investigation. These were not ordinary crimes but crimes against humanity, one of the most serious crimes punishable by Indonesian and international law. Unfortunately, both Komnas HAM and the Attorney General’s Office have argued over evidence and procedure for years.

    Komnas HAM insists that it has provided conclusive evidence and has followed proper procedure. On the other hand, the Attorney General’s Office has argued that Komnas HAM has not met the requirement of a pro-justice investigation as investigators did not take an oath as required by the Criminal Law Procedures Code. Both institutions have overlooked the fact that victims continue to suffer.

    Memories are still fresh on the surge in the arrests of Papuan youth when they took to the streets to express their opinions in public despite a constitutional guarantee of the right to do so.

    The Jakarta Legal Aid Institute (LBH Jakarta) documented that at least 4,587 individuals, men and women, were arrested by the police for expressing their political views in 13 cities, namely Dekai, Fakfak, Jakarta, Jayapura, Kaimana, Makassar, Malang, Manado Manokwari, Merauke, Sentani, Wamena and Yogyakarta.

    While most of the arrestees were released within 24 hours, the deployment of police in 13 jurisdictions across the country would not have been possible without the blessing of the National Police top brass.

    While we were grappling with human rights conditions in Papua, we were shocked by the President’s decision to appoint Gen. (ret) Wiranto as the coordinating political, legal and security affairs minister.

    In February 2003, the UN-sponsored Special Panels for Serious Crimes of the Dili District Court, Timor Leste, indicted Gen. Wiranto, then the Indonesian defense and security minister and Indonesian Armed Forces (ABRI) commander for crimes against humanity in connection with the events in Timor Leste in 1999.

    As we were yet to recover from the President’s unfathomable choice, we were presented with another unprecedented decision when the Indonesian Military TNI chief named Maj. Gen. Hartomo to lead the military’s Strategic Intelligence Agency (BAIS).

    Hartomo was the commander of the Army’s Special Forces (Kopassus) Tribuana X unit assigned to Papua when Theys Eluay was murdered. Hartomo and six other Kopassus officers were charged with Theys’ murder on National Heroes Day in 2001. He and his team were found guilty and sentenced to three years in prison by the Surabaya Military Court and discharged from the Army.

    These all are simple facts that tell us the way our government commits to human rights in Papua and elsewhere, which the Indonesian delegation to the UN General Assembly describes as “robust and active”.
    ______________________________

    The writer, who obtained his PhD from the Australian National University, lectures in international relations at the Paramadina Graduate School of Diplomacy, Jakarta.

  • LP3BH: Desakan pemimpin Pasifik terkait Papua di PBB punya landasan kuat

    Jayapura, Jubi – Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menegaskan bahwa pernyataan pemimpin negara dari kawasan Pasifik di Majelis Umum PBB terkait Papua bukan pernyataan kosong.

    Yan menegaskan bahwa negara-negara Pasifik seperti Nauru, Solomon, Tonga maupun Vanuatu bisa dengan tegas menekan pemerintah Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua, atas dasar laporan rutin dari berbagai lembaga HAM lokal di tanah Papua.

    “Kami menyampaikan, bahwa segenap pernyataan para pemimpin dunia dari kawasan Melanesia dan Pasifik tersebut bukan suatu pernyataan kosong, tapi didasari berbagai laporan dari berbagai lembaga HAM lokal di Tanah Papua maupun luar negeri yang telah memenuhi standar hukum dan HAM universal serta dapat dipertanggung-jawabkan,” katanya kepada Jubi, Minggu (25/9/2016).

    Oleh karena itu, lanjutnya, LP3BH sebagai salah satu Lembaga Advokasi HAM di Tanah Papua mendesak pimpinan Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal PBB di New York-AS dan Pimpinan Dewan HAM PBB di New York, untuk mempertimbangkan dan menerima segenap usulan dan desakan dari pemimpin negara-negara Pasifik dan Melanesia.

    Warinussy juga menekankan bahwa situasi pelanggaran HAM di Papua semakin mengkhawatirkan. “Situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua saat ini sudah sangat mengkhawatirkan bahkan telah mengarah kepada sebuah gerakan genosida secara sistematis dan terstruktur oleh Pemerintah Indonesia,” tuturnya.

    Ditegaskannya PBB maupun Dewan HAM PBB seharusnya mempertimbangkan untuk mengambil sikap tegas mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka dan memberi akses seluas-luasnya bagi kedatangan Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi, maupun Pelapor Khusus Anti-Penyiksaan, untuk melakukan investigasi independen atas situasi tersebut.

    Sehari sebelumnya dalam hak jawab di sesi debat Majelis Umum PBB, Sabtu (24/9/2016), delegasi Indonesia berang atas pernyataan keenam negara Pasifik yang meminta PBB mengambil tindakan terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua serta hak penentuan nasib sendiri West Papua. Delegasi Indonesia menganggap Nauru, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga sudah melanggar kedaulatan Indonesia dan integritas teritorial.

    Indonesia juga menganggap keenam negara tersebut berlandaskan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah dan situasi Indonesia.

    “Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka. Sikap negara-negara ini yang meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas Majelis ini,” ujar delegasi tersebut.

    Pihak Indonesia juga menegaskan, “iklim demokrasi Indonesia yang dinamis serta komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.”(*)

  • Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

    Arie Ruhyanto, CNN Indonesia

    Birmingham, CNN Indonesia — Lima puluh tahun lebih upaya menjadikan Papua sebagai bagian seutuhnya dari bangsa ini terus memperoleh tantangan dari sebagian masyarakat Papua.

    Pemberian status otonomi khusus, transfer triliunan dana pembangunan, pembentukan puluhan daerah otonom baru di berbagai penjuru Papua, hingga perhatian khusus yang ditunjukkan Presiden Jokowi dalam berkali-kali kunjungannya ke provinsi itu, masih belum mampu mengambil hati seluruh masyarakat Papua.

    Sebaliknya, resistensi cenderung menguat, baik di dalam maupun luar negeri.

    Di samping persoalan pembangunan, problem mendasar yang dihadapi adalah semakin rapuhnya relasi kebangsaan yang menjadi landasan bagi legitimasi negara di mata masyarakat Papua. Legitimasi dalam hal ini dimaknai sebagai pengakuan dan penerimaan warga atas kekuasaan negara untuk mengatur warganya.

    Berbeda dengan kedaulatan yang bersifat statis, legitimasi adalah unsur yang dinamis –naik turunnya sangat ditentukan oleh bagaimana relasi di antara institusi negara dengan masyarakat maupun di antara sesama warga masyarakat.

    Rapuhnya Legitimasi

    Cara pandang paling dominan saat ini mengaitkan dinamika legitimasi dengan kinerja negara (state performance). Kuat atau lemahnya legitimasi masyarakat terhadap negara tergantung pada kinerja negara dalam memproduksi dan mendistribusikan political goods seperti keamanan, infrastruktur, dan pelayanan publik dasar semacam pendidikan dan kesehatan (Rotberg, 2004).

    Dengan kata lain, keberhasilan negara menyediakan infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menyediakan layanan publik yang lebih baik, diyakini akan berbanding lurus dengan peningkatan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah.

    Namun berbagai fakta lain menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik  tidak serta-merta memengaruhi legitimasi negara di mata warganya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena gerakan separatisme yang tidak hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga di negara-negara maju.

    Di beberapa negara maju seperti Inggris, Spanyol, Perancis, dan Kanada, hingga kini sebagian rakyatnya masih terus bermimpi membentuk negara sendiri.

    Pada referendum di Skotlandia tahun 2014 misalnya, 44,7 persen warganya tetap menginginkan hidup terpisah dari Inggris setelah lebih dari tiga abad bersama-sama menikmati kejayaan Inggris sebagai salah satu negara terkuat di dunia.

    Demikian pula dengan masyarakat Basque dan Catalonia di Spanyol, keduanya dari aspek ekonomi merupakan daerah yang relatif lebih maju dan sejahtera dibandingkan daerah lainnya. Namun sejak akhir abad 19 hingga saat ini, masyarakat di kedua daerah tersebut terus menyerukan keinginan untuk memisahkan diri dari Spanyol.

    Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa upaya membingkai imajinasi kolektif kebangsaan dalam satu kesatuan entitas politik sama sekali bukan hal yang mudah, terlebih dalam masyarakat yang multikultur.

    Rekatnya keutuhan negara tidak cukup terjalin hanya dengan menghadirkan dan memastikan bekerjanya perangkat-perangkat negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Lebih dari itu, keutuhan negara ditentukan oleh seberapa kuat sekelompok masyarakat merasa menjadi bagian dari proyek kolektif yang bernama negara bangsa.

    Dalam hal ini, isu identitas, relasi, solidaritas, kesetaraan, dan kohesivitas sosial menjadi mantra utama yang boleh jadi lebih penting ketimbang pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

    Dalam konteks Papua, sulit membayangkan masyarakat Papua dapat merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia ketika anak-anak mereka tidak diterima kehadirannya oleh masyarakat di daerah lain.

    Kita juga sulit mengharapkan masyarakat Papua dapat meredam kecewa ketika kebutuhan sehari-hari tak terbeli sementara para pejabat sibuk memikirkan diri sendiri meski mereka adalah orang Papua asli.

    Upaya memulihkan kepercayaan masyarakat Papua juga ibarat menegakkan benang basah ketika hak-hak mereka tak terpenuhi dan janji penegakan hak asasi manusia tak kunjung ditepati.

    Menata Ulang Relasi Kebangsaan

    Dengan menyadari pentingnya ikatan kebangsaan yang dibangun di atas fondasi solidaritas dan kesetaraan sebagai sesama warga bangsa, kita bisa mendudukkan persoalan Papua dalam bingkai yang lebih cair. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa penataan relasi kebangsaan merupakan faktor penting bagi penyelesaian masalah Papua secara lebih humanis.

    Upaya perbaikan relasi mutlak diperlukan, setidaknya pada empat ranah relasi, yakni relasi antara pemerintah pusat dengan daerah, relasi antarpemerintah daerah, relasi antara pemerintah dengan masyarakat, serta relasi antaranggota masyarakat.

    Pertama, relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah se-Papua. Pada ranah ini, relasi yang kuat ditandai dengan konsistensi antara kebijakan pusat dengan kebutuhan daerah yang disertai komitmen, kerja nyata, dan pernyataan-pernyataan konstruktif dari kedua belah pihak. Sayangnya, pada ranah ini, relasi yang ada sekarang tidak bisa dikatakan baik, terutama antara Jakarta-Jayapura.

    Beberapa kali Gubernur Papua mengekspresikan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah pusat, misalnya terkait penundaan pembahasan revisi UU Otonomi Khusus Papua. Sebaliknya, pejabat pemerintah pusat juga kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial terkait Papua, misalnya pernyataan Menkopolhukam terkait upaya sekelompok masyarakat Papua menggalang dukungan dengan kelompok negara Pasifik (Kompas, 19/02/2016).

    Kedua, relasi antara pemerintah daerah lain dengan pemerintah daerah se-Papua. Relasi pada ranah ini terwujud antara lain dari kerja sama antarpemerintah daerah. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Merauke dengan Pemerintah Kota Bandung baru-baru ini terkait pengembangan teknologi, pendidikan, pangan, serta kerja sama budaya.

    Namun, hingga saat ini persinggungan antara pemerintah daerah se-Papua dengan pemerintah daerah lain di Indonesia masih sangat jarang. Hal ini menyebabkan ranah kerja sama antardaerah belum dapat menjadi perekat kebhinekaan.

    Ketiga, relasi antara pemerintah (baik pusat maupun daerah) dengan masyarakat. Relasi antara pemerintah dengan masyarakat di Papua tidak mudah diuraikan sebagaimana tampaknya. Hal ini karena masyarakat seringkali tidak dapat membedakan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

    Meskipun dari sisi aturan terdapat pemilahan otoritas dan tanggung jawab, namun kenyataannya setiap kekurangan cenderung dialamatkan pada pemerintah pusat. Sebaliknya, persepsi yang baik terhadap pemerintah lokal belum tentu berdampak pada persepsi masyarakat terhadap pemerintah nasional karena kuatnya relasi patron-klien.

    Keempat, relasi antar masyarakat. Dinamika relasi pada ranah ini tercermin dalam hubungan keseharian antarwarga yang termanifestasi pada kerukunan, toleransi, solidaritas sosial, serta kepedulian sebagai sesama warga bangsa.

    Ranah keempat itu merupakan arena yang sangat fundamental dan menentukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sayangnya, justru pada ranah inilah kerusakan paling parah terjadi. Segregasi sosial di antara penduduk di Papua semakin tajam, baik antara masyarakat asli dengan pendatang, maupun di antara masyarakat Papua pegunungan dengan masyarakat Papua yang tinggal di pesisir.

    Stereotip dan stigma negatif terhadap warga Papua belakangan menguat. Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan menghancurkan kohesivitas sosial yang bermuara pada perpecahan.

    Keseluruhan arena relasi di atas merupakan pilar-pilar utama penopang legitimasi negara di mata masyarakat Papua.

    Dengan kata lain, solusi terhadap krisis legitimasi negara bukan hanya ada di tangan pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh warga negara.

    Upaya ini proses panjang yang memerlukan komitmen dan peran berbagai lapisan, karena di samping kehadiran nyata negara melalui pembangunan dan pelayanan, interaksi keseharian seluruh warga bangsa dengan masyarakat Papualah yang menentukan sejauh mana mereka merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

    Dalam proses tersebut, media massa dapat memainkan peran sangat krusial sebagai katalis bagi kohesivitas sosial, dan bukan sebaliknya.

  • Merdeka Politik, Pintu Merdeka Ekonomi

    Oleh, Sanimala B., Kabar Mapegaa 12.37.00

    Kehidupan dua bangsa, Indonesia dan bangsa Papua hasil aneksasi (integrasi) melalui proses sejarah kontraversial yang hingga kini diperdebatkan keabsahan dan jadi pemantik konflik politik sejak 1 Mei 1963 hingga mayoritas rakyat Papua dipaksa bergabung dengan RI melalui Pepera 1969, diwarnai benturan-benturan sistem ekonomi, sosial, budaya dan ideologi (politik). Aneksasi juga menandai dimulainya babak pembunuhan sistem ekonomi lokal dan proses pemaksaan sistem/ideologi, meminjam istilah Louis Althusser (1918-1990), ‘aparatus ideologis negara’ yang dalam prakteknya di Tanah Papua terlihat lebih ‘aparatus represif negara’, dimana perangkat penyebarluasan ideologi dan sistem ekonomi-politik yang dipaksakan dan tak jarang berpendekatan represif.

    Awalnya, hidup rakyat Papua adalah komunal. Mengenal difersifikasi kerja, kepengurusan pemerintahan masyarakat adat, dengan teritori kekuasaan yang jelas, dengan nilai dan normanya sendiri, yang harmonis dengan komunitas masyarakat adat lainnya di atas tanah Papua dengan sistem mereka yang berbeda. Salah satu yang sama dari sistem-sistem yang mengikat hidup masyarakat adat adalah penghargaan atas alam, persaudaraan dan kebersamaan dalam hidup, dan penghormatan pada Dia yang menjaga, melindungi, dan memelihara tanah, alam dan hidup mereka. Semua hancur sejak aneksasi dan sistem ekonomi neoliberal dan politik kolonialistik Indonesia datang.

    Penegasan sistem ekonomi neoliberal di Tanah Papua adalah dampak dari proses panjang perjuangan kaum kapitalis dunia mengambil kendali ekonomi negara Indonesia merdeka hingga tercapai melalui skenario Gerakan 30 September 1965, dimana penanaman modal menjadi gambaran nyata implementasi sistem ekonomi neoliberal sebagai perwujudan sistem libertarianisme dan liberalisme klasik dalam praktik kebijakan liberal Indonesia usai menguburkan implementasi pemerintahan “berdikari” ala Soekarno bersama rezim orde lama.

    Sistem ekonomi neoliberal yang kapitalistik ini walau tak kasat mata, tersirat dari sepak terjangnya. Dari Tanah Papua, kita melihat upaya supremasi modal dan pasar dimana negara memegang mayoritas kendali dan diabaikannya rakyat asli Papua pemilik tanah, air dan udara bahkan dengan represif melibatkan aparat keamanan negara (TNI/Polri dan jajarannya). Sejarah kelamnya ekonomi Papua menelanjangi, bagaimana negara tak berdaya terhadap fenomena fleksibilitas modal, dimana penanaman modal lintas negara makin terbuka, akibat ditetapkannya undang-undang Penanaman Modal Asing kala itu. Washinton-Jakarta jadi poros ekonomi berbalut berbagai kepentingan, termasuk kepentingan penguasaan teritori West Papua.

    Dalam perjalanannya, rakyat asli Papua tidak dididik untuk turut berpartisipasi dalam membangun sendiri kehidupan ekonominya dengan apa yang ada padanya, memanfaatkan semua yang ada padanya. Rakyat Papua tidak dirangsang untuk turut berpartisipasi dalam percaturan perekonomian Papua, misalnya melalui koperasi-koperasi dan komunitas usaha berbasis wilayah, geografis, bahkan tidak untuk pendekatan budaya dengan mengangkat sistem ekonomi lokal yang (bila ditelisik, ternyata) selaras dengan sistem ekonomi kerakyatan seperti tersirat dan tersurat dalam UUD 1945. Nyatanya, Indonesia cenderung membiarkan sistem ekonomi lokal berkembang dalam lingkup komunitas internal orang Papua sementara sistem ekonomi neoliberal semakin mengakar dalam hidup di luar komunitas rakyat Papua, padahal nilai-nilai, sistem dan semangatnya sangat berbeda dengan sistem ekonomi lokal yang dimiliki suku-suku bangsa di Papua. Transmigrasi dan dominasi ekonomi dengan semua produk kapitalisme melengkapi dominasi kendali ekonomi yang memarginalkan dan membunuh kearifan sistem-sistem ekonomi lokal yang beraroma budaya yang masih kontekstual dalam membangun perekonomian lebih baik untuk kesejahteraan rakyat Papua.

    Berkuasanya sistem ekonomi neoliberal di Tanah Papua juga dapat kita lihat dari bagaimana sistem kepemilikan tanah adat dan tanah kepemilikan klan, suku, dan wilayah secara komunal dalam tatanan silsilah keluarga dihapus paksa dengan pencaplokan tanah adat demi eksploitasi mineral, eksploitasi hutan, eksploitasi minyak, termasuk di dalamnya eksploitasi manusia Papua sebagai buruh kasar yang diperlakukan tak manusiawi. Anak adat Papua pemilik tanah-air-udara itu, ia dipandang seolah-olah mesin pekerja tanpa jiwa hingga pengabaian terhadap sisi sosial dan kemanusiaan seolah-olah itu biasa.

    Indonesia mengabaikan pemetaan adat oleh Belanda di Papua dalam 7 wilayah adat dan data-data kebudayaan lainnya.

    Bahkan kini di era otonomi khusus, setelah jutaan hektar tanah adat dikuasai ratusan perusahaan yang mencaplok dan mengklaim tanah adat kita sebagai tanah dalam kekuasaannya dan mengeksploitasi, kita diperhadapkan lagi dengan pengabaian/penghapusan tanggung jawab pemerintah atas pengembangan ekonomi kerakyatan, pinjaman modal murah dan produk hukum protektif, subsidi pendidikan, kesehatan dan kemudahan layanan sosial dan kontrol atas harga yang mestinya kita nikmati. Semua seakan-akan tidak menjadi tanggungjawab bukan negara, sementara negara semakin rakus dan rajin mengeksploitasi semua kekayaan alam kita bersama para pemodal dalam perlindungan sistem ekonomi-politik (demokrasi) neoliberal.

    Sistem kapitalisme dalam sistem ekonomi neoliberal dan politik demokrasi neoliberal di tanah Papua kini telah memengaruhi mainstrem, cara pandang dan pola pikir, melalui instrumen-instrumen/saluran-saluran. Proses penyebaran (doktrin) ideologi dengan cara halus telah melibatkan instrumen pendidikan mulai dari penididkan dasar hingga perguruan tinggi, sehingga sistem pendidikan Papua tak lebih dari mesin produksi kelas pekerja untuk kebutuhan pasar dalam tatanan kehidupan ekonomi-politik neoliberal. Sementara dengan cara represif, pembungkaman ruang demokrasi, menutup Tanah Papua dari akses jurnalis asing, pembunuhan terhadap para pimpinan perlawanan kemerdekaan, hingga penyebaran teror dan ketakutan dalam kehidupan rakyat Papua akan bayangan kematian bila bersuara dan melawan adalah pembuktian diri sistem ekonomi politik (demokrasi) neoliberal yang kolonialistik, eksploitatif, yang sudah nyata tak peduli pada hidup orang Papuanya, yang abai pada kemanusiaan-keadilan dan HAM.

    Di Papua saat ini, capaian sistem ekonomi-politik neoliberal yang kapitalistik telah mencapai tingkat setiap kita menganggap cara-cara liciknya demi proteksi atas usaha untuk capaiannya yang lebih tinggi lagi akan penguasaan atas tanah, air dan udara Papua dalam produk regulasi dan kebijakan ekonomi yang menyelubung dalam setiap instrumen hukum-politiknya kita anggap normal, sesuai dengan hukum, wajar, sudah seharusnya begitu. Sikap kita untuk menolak dan melawanlah yang kini justru terlihat aneh dan seakan-akan tak wajar.

    Kita tak boleh terpenjara oleh pikiran seperti ini! Mari keluar dari sistem ekonomi-politik neoliberal yang kapitalistik, ekploitatif, kapitalistik dalam tatanan sistem ekonomi yang diterapkan Indonesia yang berlaku juga atas kita. Kita mesti menolak sistem ekonomi politik neoliberal karena ia tidak memberi masa depan yang cetah bagi bangsa Papua. Tidak ada satu bangsa pun yang akan bertahan dalam sistem ekonomi yang sifat dan karakternya eksploitatif dan menguras, memiskinkan rakyat, memberi masa depan kematian. Ada sistem lain di luar sistem ini yang lebih baik, yang dapat kita kolaborasikan dan kontekskan dengan sistem-sistem kehidupan kita dalam tata budaya dan kehidupan Melanesia.

    Bila Indonesia tidak memberi ruang bagi tata kelola sistem ekonomi yang cukup buat bangsa Papua menjadi diri sendiri dalam mengatur segala sumber-sumber penghidupannya karena telah takluk kedaulatan ekonominya pada hegemoni kapitalisme global, maka jalan kebenaran bangsa Papua demi kehidupannya hari ini dan masa depan anak cucunya yang lebih baik hanya ada dalam satu jalan: penentuan nasib sendiri dan memilih merdeka politik bagi bangsa Papua Barat. Kemerdekaan politik Bangsa Papua sajalah yang di dalamnya memberi kebebasan agar orang Papua dapat menentukan sistem ekonomi yang dapat melepaskan bangsanya dari ketergantungan mekanisme pasar global. Sistem ekonomi yang bebas dari intervensi neo-liberalisme yang merupakan wajah baru kolonialisme. Penentuan nasib sendiri adalah soal bagaimana anak-anak Papua mengambil tanggungjawab untuk menata sistem perekonomian yang sesuai dengan corak produksi rakyat Papua sendiri.

    Penulis adalah mahasiswa Papua. Kuliah di Yogyakarta.

  • Aktivis Kritik Jaksa Agung Australia Tak Diberi Akses Penuh di Papua

    MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM – Advokat dan Pembela hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Cristian Warinussy, memandang kunjungan Jaksa Agung Australia, George Brandis, ke Tanah Papua bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada hari Kamis (11/8) merupakan kunjungan yang tidak proporsional.

    Menurut Yan, kunjungan Brandis ke perbatasan Indonesia-PNG dan pasar tradisional tidak sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting kunjungannya tersebut.

    “Menjadi pertanyaan saya sebagai sesama abdi hukum di dunia, apa yang sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting dari kunjungannya tersebut?” kata Yan dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, hari Jumat (12/8).

    Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)
    Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)

    Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari itu, mempertanyakan kenapa seorang Jaksa Agung tidak diberi kesempatan untuk bertemu langsung dengan para abdi hukum di Tanah Papua, misalnya Ketua Pengadilan Negeri Jayapura atau Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura.

    “Sehingga dia (Brandis) bisa memperoleh gambaran tentang bagimana situasi penegakan hukum dan juga soal perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua,” kata Yan.

    Peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Kanada itu menilai dengan bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura dan juga Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Brandis bisa mendapat gambaran lengkap tentang sudah berapa banyak kasus-kasus pidana makar yang “menyeret” puluhan bahkan ratusan orang Papua yang menuntut kemerdekaan Papua Barat sebagai bagian dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dan eksepresi hingga dipidana di pengadilan.

    Yan mengatakan seharusnya juga Jaksa Agung Brandis diberi akses yang seluas-luasnya untuk dapat bertemu dengan pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua, seperti Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil dan Gereja Baptis Papua.

    “Sehingga dia (Brandis) dapat memperoleh gambaran utuh mengenali situasi perlindungan HAM di Tanah Papua yang senantiasa bersentuhan langsung dan memberi pengaruh pada aspek penegakan hukum di Bumi Cenderawasih ini senantiasa,” kata Yan.

    “Mengapa juga Jaksa Agung Brandis tidak diberikan akses untuk bertemu dengan para advokat dan pembela HAM di Tanah Papua atau sekurang-kurangnya bertemu Ketua KOMNAS HAM di Jakarta atau Kepala Perwakilan KOMNAS HAM Papua?” tanya dia.

    Menurut Yan, jika akses itu diberikan, Jaksa Agung di Australia bakal mendapatkan informasi yang up to date tentang situasi politik, hukum dan keamanan di Tanah Papua dari pihak lain, di luar Pemerintah Indonesia sebagai mitra kerjanya.

    “Sehingga dia (Brandis) dapat merumuskan laporan yang valid dan kredibel kepada pimpinan negaranya mengenai apa yang sudah dilihatnya sendiri di Tanah Papua dalam kunjungannya yang sangat singkat tersebut,” katanya.

    Yan menyayangkan kedatangan George Brandis dalam kapasitas sebagai Jaksa Agung Australia terjadi atas undangan mantan Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, yang disampaikan dalam kunjungannya ke Benua Kanguru belum lama ini.

    Yan menduga kunjungan Jaksa Agung Australia – sekalipun memang jadwalnya serta agenda selama keberadaannya di Tanah Papua – telah diatur oleh Kemenkopolhukam di Jakarta.

    “Berkenaan dengan itu, memang tidak lucu lagi, kalau seorang pejabat negara sahabat seperti Australia tidak bisa menjalankan tugas utamanya dalam mengamati bagaimana aspek penegakan hukum di Tanah Papua yang terkait erat dengan isu pelanggaran HAM yang sudah membumi di Benua Kanguru selama ini,” kata Yan.

    “Hanya dalam hitungan detik dan menit bahkan jam dan hari “dihapus” dengan kunjungannya yang justru melihat aspek pengelolaan fasiltias perbatasan yang sangat teknis keamanan dan keimigrasian serta soal pasar tradisonal yang tidak jelas proporsionalitasnya dengan tugas-tugas pokok seorang Jaksa Agung dari sebuah Negara Merdeka seperti Australia,” kata Advokat itu.

    Menkopolhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bersama Jaksa Agung Australia George Brandis dan Duta Besar Australia Paul Grigson untuk Indonesia kunjungi perbatasan Skouw-Wutung, RI-PNG, hari Kamis (11/8). Kunjungan ini sekaligus melihat pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Skouw, Kota Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG. (Foto: Antara/Indrayadi)

    Jaksa Agung Australia, George Brandis, pada hari Kamis (11/8) ke Provinsi Papua bersama Menteri Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Pandjaitan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang baru Wiranto.

    Dalam sebuah pernyataan, George Brandis mengatakan ini adalah kunjungan lanjutan setelah kunjungan yang ia nilai sangat berhasil ke Bali, di mana Brandis bertemu dengan para mitra utama Indonesia, dan ambil bagian dalam Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme untuk membicarakan ancaman global terorisme dengan para pakar dari 20 negara.

    Sebelumnya pada Juni 2016, Brandis menerima kunjungan Menteri Luhut Pandjaitan, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan delegasinya di Sydney untuk menghadiri pertemuan kedua Dewan Menteri Hukum dan Keamanan Australia-Indonesia.

    “Kami menyambut baik fokus Indonesia pada peningkatan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi Papua,” kata Brandis.

    Australia tetap berkomitmen untuk bermitra dengan Indonesia guna menghadapi tantangan-tantangan sosial dan ekonomi di provinsi-provinsi Papua.

    Bicarakan HAM Papua

    Sementara itu, Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak Jaksa Agung Australia, George Brandis, membicarakan pelanggaran HAM di Papua dengan Menko Polhukam, Wiranto, dalam kunjungan mereka ke Papua hari Kamis (11/8).

    Andreas juga mengharapkan Menko Polhukam, Wiranto, bertanya kepada Jaksa Agung Australia, bagaimana negara itu dapat membantu Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

    “Saya kira mereka pasti membicarakan isu HAM. Australia pasti membicarakan hal itu. Jaksa Agung itu adalah pengacara tertinggi suatu negara. Dia tidak bisa datang ujug-ujug tanpa mendapat izin dari perdana menterinya. Jadi saya yakin dia akan membicarakan hal itu,” kata Andreas kepada satuharapan.com, hari Kamis (11/8).

    Editor : Eben E. Siadari

  • Gubernur Papua: Belum Ada Orang Papua Berjiwa Indonesia

    TEMPO.CO, Jayapura- Di halaman kompleks rumah dinas Gubernur Lukas Enembe di kawasan Angkasa, kawasan elit di Jayapura, Papua berdiri dua pohon Natal setinggi sekitar 3 meter dengan dihiasi berbagai asesoris. Dari balkon di depan halaman rumah terhampar pemandangan laut dan pebukitan yang tertutup kabut karena hujan deras pada 15 Desember 2015.

    Setelah menunggu sekitar lima jam, Tempo diizinkan masuk.Berpakaian batik Papua didominasi warna oranye dan krem, Lukas mengaku dalam kondisi kurang sehat setelah 1 Desember lalu meninjau terowongan tambang milik PT Freeport di Timika.

    “Saya tidak pakai oksigen waktu itu, jadi nafas saya sesak. Dokter saran saya diinfus, sebentar lagi saya akan infus,” kata Lukas kepada Maria Rita Hasugian, jurnalis Tempo dalam satu wawancara di ruang tamu, rumah dinasnya.

    Sekitar 2 jam, Lukas menjawab pertanyaan Tempo seputar menguatnya peran generasi muda Papua menyuarakan kemerdekaan Papua, kondisi mengenaskan di beberapa kabupaten, otonomi khusus, dan kepemilikan saham PT Freeport Indonesia. Ia berbicara pelan dan beberapa kali tertawa lepas. Mantan Bupati Puncak Jaya __ di sini wilayah kekuasan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka pimpinan Goliath Tabuni__ mengatakan dirinya masih seperti saat jadi bupati Puncak Jaya yang berbicara keras, berterus terang, tidak terkontaminasi dengan kepentingan orang lain. Berikut petikan wawancaranya.

    Bagaimana situasi politik di Papua saat ini dengan semakin menguatnya generasi muda Papua menyuarakan Papua merdeka?
    Dari awal secara politik orang Papua sudah berbeda dengan daerah lain. Kontrak karya Freeport di Papua sudah ada tahun 1967. Papua belum berintegrasi dengan Indonesia. Integrasi tahun 1969. Orang Papua terutama di pesisir dijanjikan membentuk negara sendiri.Itu sebenarnya cikal bakal orang Papua berjuang terus sampai hari ini. Itu membuat sekat-sekat politik yang luar biasa dan tidak pernah membentuk orang Papua dalam jiwa murni bahwa kami adalah warga Indonesia.Sampai hari ini belum ada. Jakarta mengangap orang Papua bodoh, sewenang-wenang padahal yang mereka pimpin ini manusia. Mereka (orang Papua) paham sekali, mengerti sejarah dan seterusnya. Mereka pintar sekali.

    Jakarta sebaiknya melakukan apa?
    Jakarta memaksakan cara-caranya. Itu tidak pas. Segala persoalan bisa diselesaikan kalau orang Papua menentukan sendiri yang terbaik bagi mereka. Tapi kalau itu dipaksakan, maka itu tidak akan terjadi, dari generasi ke generasi akan begini terus.Kita lihat sejarah Papua dari awal sudah dibuat sekat-sekat politik. Jadi Papua butuh regulasi yang tepat untuk mengatur dirinya sendiri agar mereka merasa memiliki Indonesia. Harus diatur oleh dirinya sendiri. Kalau diatur oleh Jakarta, wah kami ini manusia. Seperti Undang-undang nomor 21 (UU Otonomi Khusus) tidak dilaksanakan sungguh-sungguh, maka orang Papua semakin tidak percaya. Kita minta Jakarta percaya pada orang Papua. Kalau tidak percaya orang Papua, pasti cara pandang mengenai Jakarta dan keindonesiaannya akan semakin luntur.

    Ada perubahan dalam kebijakan Jakarta terhadap Papua sekarang?
    Dulu di zaman presiden Soeharto, sangat arogan. Di Orde Baru ada DOM (Daerah Operasi Militer) dan seterusnya.Sekarang, Indonesia sedang berubah dari waktu ke waktu.Bukan zamannya lagi seperti dulu. Tidak bisa dengan cara kekerasan. Sekarang informasi sudah terbuka. Hari ini kita buat sesuatu di Tolikar, hari ini juga diketahui seluruh dunia. Jadi, ada akar-akar persoalan yang tidak sempat diselesaikan. Itu membuat generasi yang baru lahir, generasi 70-an adalah generasi yang merasakan penindasan, generasi yang merasakan operasi militer. Dia lahir pada sistem Orde Baru yang sentralistik dan represif seperti Benny Wenda, mamanya dibunuh.

    Banyak pendekatan dilakukan pemerintah agar warga Papua bisa percaya,tapi belum ada titik temu. Apa saran konkrit?
    Saya berpandangan seperti ini banyak kelompok di Papua, ada yang hidup hanya untuk kepentingan pribadinya sesaat, dia mengaku hebat, dia bisa akses, dan ada kelompok memperjuangkan kepentingan Papua. Jadi agar trust ke Indonesia,perlu membuat regulasi untuk memperbaiki Undang-undang Otsus lewat undang-undang baru. Yang kurang kita perbaiki lewat undang-undang baru. Yang terjadi selama ini hampir semua tidak dilaksanakan.

    Pernah ada evaluasi?
    Evaluasi tidak dilaksanakan. Anda menawarkan otonomi khusus plus? Kita sedang dorong jadi Prolegnas 2016. Mudah-mudahan pemerintah menyetujui,membahas masalah ini. Hak-hak afirmasi orang Papua ditampung semua disitu terlebih pembangunan Papua. dalam kondisi Papua yang kaya,orang Papua miskin. Jakarta jangan jadikan Papua sebagai objek untuk mengambil kekayaan alam saja. Tapi kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemajuan dan kemakmuran rakyat. Itu yang harus diperjuangkan. Kita sudah memahami orang datang ke Papua kamuflase.Buktinya Freeport.Ternyata semua orang ingin mendekati Freeport. Jadi kalau ada orang yang datang untuk kepentingan bisnis, kepentingan pribadi, mengambil kekayaan alam, rakyat Papua akan menonton saja, rakyat Papua berdoa saja:Tuhan, cara kerja Mu sendiri yang menentukan mereka. Orang Papua bukan tidak tahu bagaimana rakusnya orang-orang untuk memperebutkan tanah Papua.

    Ada organisasi orang Papua yang sistematis untuk kemerdekaan Papua seperti KNPB dan ULMWP. Bagaimana penjelasan Anda dengan fenomena ini?
    Saudara-saudara kita itu memandang Jakarta tidak bisa lagi diharapkan. Itu yang saya lihat. Sehingga mereka bersuara terus sampai ke tingkat internasional. Mudah-mudahan Jakarta memahami bahwa berarti ada yang tidak beres di Papua, harus diselesaikan. Harus ada sesuatu yang besar dibuat di Papua supaya orang Papua tunduk pada negara dan memiliki kapasitas Indonesia , berkarakter sebagai orang Indonesia, berkemampuan sama dengan yang lain, tidak merasa miskin, tidak merasa bodoh.

    Dari mana pemerintah harus mengurai benang kusut ini?
    Biayanya memang tinggi kalau melakukan rekonsiliasi, ada agenda-agenda politik yang harus diselesaikan secara menyeluruh dari Jakarta. Misalnya kalau mau selesaikan Papua panggil mereka, bicarakan. Maksud Anda dialog? Dialog dalam pengertian membangun kebersamaan Indonesia. Dialog dalam pengertian membangun Papua. Itu harus dilakukan oleh semua komponen termasuk yang berseberangan dengan kita. Bukan berarti dianggap kita memisahkan diri. Tapi orang Papua memandang dialog dalam arti memisahkan diri dari Indonesia, itu yang salah.

    Menurut Anda, mereka yang berseberangan dengan Indonesia mau berdialog?
    Saya pikir mereka masih mau. Seperti Jaringan Damai Papua yang sudah jalan, kalau bisa libatkan semua komponen termasuk yang berseberangan dengan kita. Apa kekhawatiran dari dialog ini sehingga belum juga dilaksanakan? Kemungkinan dialog akan mengarah pada referendum dan merdeka. Karena dialog bagi orang Papua berarti merdeka.

    Keberadaan TPN-OPM cukup mengkhawatirkan saat ini?
    Setiap orang yang terbunuh dianggap TPN-OPM (pelakunya). Itu stigmatisasi yang tidak bagus bagi orang Papua. Tidak semua orang di Papua sebagai TPN-OPM. Tapi setiap ada pembunuhan dituduh kelompok itu. Tidak bisa digeneralisir. Salah satu tindakan aparat negara kita di sini, berdampak pada situasi nasional. Saya minta kepada teman-teman, hati-hati dalam menempatkan diri sebagai aparat keamanan di Papua. Bikin masalah terus, Jakarta yang pusing.

    Anda merasa tidak dihargai sebagai pemimpin di Papua?
    Peristiwa Tolikara diciptakan. Mungkin ada tujuan tertentu yang mereka buat. Jangan dikira orang papua disini bodoh, tidak. Mereka tahu.

    Sampai sekarang uji balistik kasus penembakan di Tolikara tidak diungkap ke publik. Mengapa?
    Seluruh kejadian di Papua tidak pernah mereka ungkap. Uji balistik itu omong kosong semua.

    Kalau begitu bagaimana mengungkap kebenaran?
    Kebenaran, keadilan utk menemukan kasus-kasus di Papua tidak pernah terjadi. Dibunuh saja begitu. Dikatakan sedang diburu, diburu di mana? Setiap peristiwa penembakan tidak pernah diakhiri secara tuntas. Tidak ada yang tuntas, seluruhnya.

    Menurut Anda, apa sebenarnya dibalik peristiwa-peristiwa ini?
    Ini rencana besar jakartakah untuk kontrol Papua untuk mengambil potensi kekayaan alam kita. Bayangkan dari tahun 1969 sampai sekarang, seluruh potensi dicaplok, illegal logging masih terjadi, illegal fishing masih terjadi. Illegal mining karena dimiliki orang-orang tertentu saja, atau mengambil saja dan di sini dianggap tidak ada manusianya.

    Seberapa besar toleransi masyarakat Papua terhadap situasi yang ada sekarang? Jangan Jakarta lupa, Papua dihuni oleh orang-orang asli di sini. Dihabiskan pun, tetap kembali hidup, histori dari zaman ke zaman ada. Orang Papua dihabisi, imigran semakin banyak datang, itu tidak jadi persoalan karena alam Papua hidup. Jangan cara Jakarta untuk habiskan Papua. Dampaknya persoalan ini akan menjadi bom waktu ke depan.

    Anda bertemu Pak Menkopolhukman terkait dengan saham Freeport pada awal Desember lalu. Apa yang Anda sampaikan?
    Sikap Papua jelas, ini momen tepat bagi perpanjangan kontrak karya tahap 2021. Kita sudah menyampaikan keinginan pemerintah provinsi. Ada 17 item yang ktia sudah kasih. Item ini sudah kita sudah bahas dalam era akhir Presiden SBY. Sikap yang sama kita sampaikan kepada Pak Jokowi. Salah satu item yang penting adalah pemegang saham.Harus carikan regulasi yang cepat untuk dapatkan saham. Keikusertaan Papua sebagai pemilik saham harus ditentukan kali ini. kita mungkin cari pola yang tepat, mungkin seperti Blok Mahakam. Pemerintah dan orang asli Papua harus memiliki deviden tetap setiap tahun. Itu yang masih kita diskusikan.

    Papua terkesan tidak aman, jurnalis asing saja tidak bisa masuk Paua sampai sekarang.
    Siapa yang larang? Papua sesungguhnya aman. Pernah protes ke Kemlu karena jurnalis asing tidak boleh ke Papua? Kita di sini deklarasikan ke wartawan apapun, silakan masuk. Akses sudah terbuka. Tidak ada yang tersembunyi sekarang. Wartawan asing bisa ke daerah lain, kenapa tidak bisa ke sini.

    Ada informasi status DOM di Papua belum dicabut secara resmi?
    Saya belum tahu sudah dicabut atau belum. Kelihatannya masih ada.Kapan dicabut, kita belum tahu.

    Anda membuat kebijakan penggunaan dana otsus 80 persen untuk daerah dan 20 persen untuk pemerintah provinsi. Namun di Wamena, rumah sakit kondisinya memprihatinkan, di Tolikara ada info ketersediaan guru minim bahkan hanya hadir menjelang ujian. Apa Anda mengetahui masalah ini?
    egini, dana otsus 80 : 20 baru satu tahun. Besarnya sekitar Rp 4 triliun lari ke kabupaten. Ini baru satu kali jalan. Belum ada evaluasi menyeluruh. Ini memang tergantung bupatinya. Kalau dia sungguh-sungguh memajukan visi misi, dia mengalokasikan dana sesuai perdasus (peraturan daerah khusus), yakni pendidikan 20-30 persen, kesehatan 30 persen, ekonomi 20 persen. Pegang perdasus sehingga dia fokus pada visi misi, penanganan, dan targetnya. Saya yakin waktu per waktu kita akan perbaiki.Kalau bupati tidak fokus, tidak punya pandangan visi ke depan untuk target yang akan dicapai, kabupaten itu akan mati dan rakyatnya akan menderita luar biasa.

    Apakah Anda menemukan kejanggalan dalam penggunaan anggaran Otsus?
    Bappeda lapor,ini satu tahun jalan, jadi kita belum evaluasi. Tahun kedua kita akan bentuk tim lebih besar untuk evaluasi pelaksanaan 80 persen. Timnya gabungan.

    Ada informasi tentang pencatutan beras untuk rakyat miskin (raskin). Anda sudah mendapat laporan soal pencatutan?
    Kita sudah tahu. Terjadi dari sini atau dari pergudangan di Wamena. Bagaimana alur penyaluran beras raskin? Harusnya dari sini (Jayapura) ke Dolog di Wamena. Jadi apakah terjadi di Wamena atau disini, kita akan lihat secara baik. kalau terjadi di wamena, kelemahan ada di Dolog atau pejabatnya. Sudah pernah diperiksa? Belum ada pemeriksaan.Tim harus kita bentuk. Ini pelanggaran luar biasa. Wamena harus diperiksa, apa pemda Jayawijaya tahu atau tidak, atau dimainkan oleh petugas Bulog.

    Belum pernah terima laporan?
    Belum pernah. Saya baru dengar. Ini berarti kelemahan ada di Wamena.Harus cari tahu jangan- jangan pemda Jayawijaya ambil-ambil ini. Mereka pemain.Sudah dipersoalkan banyak sekali, tapi masih main.

    Bagaimana mengatasi harga kebutuhan yang mahal di pegunungan tengah?
    Ah itu sudah biasa lah. Selama industri tidak dibangun di Papua harga mahal. Kegiatan ekonomi seperti apa untuk mengatasi mahalnya harga kebutuhan masyarakat? Harus ada industri di Papua. Kita bicara pembangunan smelter, itu berdampak pada pembangunan industri lain. Sehingga tidak ada lagi kemahalan.Selama tidak ada industri, barang-barang mahal sekali.Tidak ada yang murah di pegunungan.

    Tidak ada intervensi untuk menurunkan harga?
    Kita bicara bangun industri. Karena semua naik pesawat, maka intervensi kita buka akses jalan. Mudah-mudahan tahun 2018 akses jalan semua kita buka. Tinggal peningkatan pengaspalan. Akses jalan dibuka, akan membuka kegiatan perekonomian sekitar pegunungan tengah.

    Apa yang ingin Anda sampaikan mengenai situasi Papua?
    Kita mau orang Papua harus merasa diri sebagai orang Indonesia, harus dimulai dari kita orang Papua sendiri. Diikuti dengan tindakan pemerintah tentang bagaimana pemerintah menyediakan waktu, kesempatan kepada orang Papua. Jangan cara-cara Jakarta dibawa ke sini. Cara-cara Jakarta itu apa? Contohnya, memakskan kehendak tanpa mendengar dari orang Papua. Tidak boleh ada kebijakan dari Jakarta tanpa melibatkan semua institusi yang dibentuk oleh negara di sini.Kepada saudara- saudara kita yang berseberangan, harus kita yakinkan mereka dengan cara yang soft, yang bisa dipercaya orang Papua, dengan pendekatan mufakat.

    Kalau dibelah hati orang-orang Papua sekarang, kira-kira berapa persentase mereka dukung NKRI?
    Kalau dibelah sekarang hatinya, mereka akan bilang: saya mau merdeka (tertawa). itu pasti akan bicara seperti itu.

    Tentu tidak mudah bentuk negara…
    Makanya kita harap pemerintah JakarTa memberikan afirmasi dengan perhatian penuh pada masyarakat Papua. Dari aspek regulasi, jangan buat undang-undang untuk mencelakakan orang Papua Pada tahun 2020, Papua jadi tuan rumah PON (Pekan Olahraga Nasional).Kita dorong orang lebih berpikir olahraga daripada politik terus. Kita harus dorong dengan menggairahkan orang muda untuk bertarung di PON. Sehingga daerah ini tidak bicara isu politik terus, kita disandera. masyarakat Papua juga harus mandiri, tidak tergantung pada pemerintah pusat. Jadi ada kebangkitan, kemandirian dan kesejahteraan.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?