Category: Opini & Analisis

Berbagai Opini dan Analysis dari berbagai pihak, khususnya menyangkut kampanye dan perjuangan Papua Merdeka

  • Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi: Militer hanya Perlu Koordinasi, Bukan Konsolidasi, Apalagi Penyatuan

    Dalam beberapa kali pertemuan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikemukakan secara lisan maupun tertulis bahwa para pejuang/ gerilyawan di Rimba New Guinea perlu melakukan konsolidasi dan penyatuan struktur militer. Menanggapi hal itu, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi mengatakan “persoalan militer sekarang terutama disebabkan oleh para politisi dan diplomat Papua Merdeka.”

    Tanpa menolak menyebutkan nama-nama oknum Gen. Tabi mengatakan orang-orang yang berpikir enak dan bangga kalau militer di Rimba New Guinea terpecah adalah pertama-tama oknum orang Papua di dalma ULMWP dan organisasi pendukung yang “ego-nya” belum mati, yang ego pribadi maupun kelompoknya belum disalibkan.

    Untuk mengetahuinya lihat saja cara mereka menelepon, cara mereka menyampaikan pendapat di rapat-rapat, cara mereka bicara tentang perjuangan ini. Kalau mereka nampak selalu menonjolkan kelompok mereka dan pribadi mereka, maka mereka itulah sebenarnya yang harus menyatukan egorisme mereka dengan visi dan misi perjuangan Papua Merdeka dan tujuan daripada Organisasi Papua Merdeka versi terbaru yang telah kita namakan ULMWP.

    Kalau ada pemimpin yang mengatakan, “Saya mendapat telepon dari gerilyawan di hutan bahwa mereka tidak mau gabung dengan ULMWP” Atau mereka bilang, “Ada organisasi di Tanah Papua yang menarik diri dari ULMWP”, dan sejenisnya, maka kita harus tahu dengan pasti bahwa oknum seperti ini adalah “iblis” dalam perjuangan Papua Merdeka, yang sudah jelas akan menghancurkan perjuangan Papua Merdeka.

    Pada pemikiran ekxtrim, mereka bisa dikategeroiakn sebagai kaki-tangan NKRI/ BIN di dalam tubuh ULMWP.

    Menurut Gen. Tabi yang harus dilakukan saat ini ialah “koordinasi” di antara para panglima dan perwira yang ada di dalam TPN, TPN/OPM, TPN PB dengan TRWP. Selama ini banyak kegiatan gerilya di rimba terjadi, banyak politisi dan diplomat Papua Merdeka mengeluarkan berita-berita Online, banyak aktivis Papua Merdeka mengkleim kegiatan gerilya di di bawah komando mereka.

    Inilah “iblis” dalam perjuangan Papua Merdeka. Mereka bicara mewakili gerilyawan, tetapi para gerilyawan sendiri tidak mengenal mereka. Pekerjaan mereka terlibat jelas memecah-belah kegiatan gerilya. Apa yang mereka katakan dan mereka lakukan ialah memecah-belah pasukan dan komando yang sudah ada sejak 1960-an. Mereka bukannya mengikuti sejarah tetapi justru mengacaukan sejarah.

    Ditegaskan per email kepada PMNews bahwa yang harus dilakukan oleh para gerilyawan saat ini ialah sebuah rapat koordinasi untuk mengkoordinasikan apa saja yang telah dimiliki masing-masing komando, masing-masing panglima dan apa yang direncanakan untuk dikerjakan, apa dasar hukum, apa disipllin militer, apa program gerilya yang sudah tersedia di masing-masing kelompok sehingga dapat dikoordinasikan di bawah satu komando.

    Entah apapun nama komando itu, TRWP menyerukan lewat kantor Sekretariat-Jenderal untuk para pimpinan dan pasukan gerilyawan melakukan rapat-rapat koordinasi dalam rangka mendukung program dan kegiatan ULMWP sebagai front politik perjuangan Papua Merdeka.

    Gen. Tabi kembali menegaskan, bahwa sejak tahun 2006 TRWP dengan tegas dan jelas mengatakan memisahkan diri dari OPM sebagai organisasi sayap politik agar tidak ada pengacauan nama sayap militer seperti TPN, TEPENAL, TPN/OPM, TPN PB. TRWP sejak awal pembentukannya menyatakan agak membatasi diri pada kegiatan gerilya, tidak akan perpolitik praktis, dan membentuk Sekretariat-Jenderal untuk menjembatani kegiatan gerilya di Rimba New Guinea dengan kegiatan politik di luar militer. Sejak pembentukannya Sekretariat-Jenderal TRWP telah bekerja baik secara terbuka maupun secara undercover, dan saat ini mengatakan ULMWP adalah wujud dari kerja dari berbagai pihak orang Papua, sebagai sayap politik dari perjuangan Papua Merdeka yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat disangkal oleh akal sehat pejuang sejati Papua Merdeka.

    Gen. Tabi kembali menegaskan bahwa mereka, siapa saja yang meragukan, menyangkal dan mencabut diri dari ULMWP ialah oknum dan kelompok pro-NKRI, kelompok Merah-Putih, yang dibiayai BIN/ NKRI, yang berpura-pura bicara Papua Merdeka untuk menghancurkan aspirasi dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

    Oleh karena itu Tabi mengatakan siapa saja yang masih bicara tentang OPM asli dan OPM palsu, masih bicara tentang TPN/OPM dan TRWP, masih sibuk bicara TPN PB dan OPM, masih sibuk dengan agenda-agenda penyatuan dan konsolidasi, mereka itulah agen BIN, mereka itulah titipan NKRI, mereka itulah kaki-tangan penjajah. Jangan ragu, jangan bimbang, jangan kuatir untuk mencap dan memisahkan diri kita dari oknum dan organisasi semacam itu.

    Membersihkan oknum dan kelompok penghalang Papua Merdeka, perusak persatuan dan kesatuan, yang egoisme pribadi dan kelompoknya belum disalibkan sampai sekarang adalah sama dengan membersihkan penjajah dari Tanah leluhur bangsa Papua. Mereka boleh berkulit htam, berambut keritin, bermarga Papua, tetapi kalau cara berpikir, perkataan dan tindakan mereka menghalangi perjuangan untuk West Papua yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI, maka bukankah mereka juga lawan perjuangan ini?

    Untuk ini semua, pertama dan terutama, terpenting dan paling pokok, politisi/ diplomat Papua Merdeka yang ada di dalam ULMWP HARUS KELUAR atau mengundurkan diri dari urusan-urusan militer, berhenti kirim pesan dan menelepon gerilyawan di hutan, hentikan pecah-belah dari meja politik ke medan perang di hutan. Ini cara kerja amatir, aktivis jalanan. Pisahkan politik dan diplomasi dari militer. Kalau ada orang-orang ULMWP masih menelepon dan memberikan perintah kepada gerilyawan dan komandi di hutan, maka perjuangan ini dibunuh oleh orang-orang seperti ini, dan oknum seperti ini mendukung tujuan BIN/NKRI.

  • Penyakit Kedua Papua Merdeka: Selalu Mencurigai Sesama Pejuang Papua Merdeka

    Penyakit kedua setelah “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok sebagai penghalang utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka ialah “mentalitas mencurigai“, dan bukan itu saja, tetapi berlanjut kepada “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Ada dua hal di sini, pertama “mencurigai” dan disusul dengan “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Siapaun bisa bayangkan apa dampaknya kalau penyakit “mencurigai” sesama pejuang ini ada dalam sebuah perjuangan. Masalah egoisme saja berdampak fatal bagi perjuangan ini, ditambah lagi dengan penyakit “mencurigai”.

    PMNews minta kepada para pembaca di mana-pun Anda berada, silahkan saja dengarkan cerita-cerita di mulut para pejuang Papua Merdeka. Pertama anda akan lihat sebelum dan sementara mereka bicara mata mereka akan lari ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Apa artinya ini? Coba cari di google.com, apa artinya gerakan-gerakan ini secara prikologis.

    Dan lucunya lagi, orang Papua yang dari tahun ke tahun selalu ditipu itu masih saja mau ditipu oleh orang Papua yang menamakan dirinya pejuang Papua Merdeka.

    • Apa artinya lihat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah?
    • Artinya ada sesuatu yang mereka mau sembunyikan. Tetapi pertanyaan lanjutan ialah, mereka mau sembunyikan dari siapa: dari NKRI, dari Iblis, dari Tuhan, atau dari sesama pejuang Papua Merdeka juga?
    • Apakah anda tahu perilaku tukang gosip? Gerakannya memang betigu.
    • Apa yang digosipkan?

    Cerita tentang sesama pejuang Papua Merdeka, makanya lihat ke kiri dan kekanan ke atas dan ke bawah. Itu pertama manusia tukang gosip. Itu manusia penyebar virus mematikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

    Kalau saja perjuangan Papua Merdeka punya “Lembaga Etik dan Perilaku Perjuangan Papua Merdeka”, maka kami yakin 99.99% pejuang Papua Merdeka sudah harus dipecat terhormat dan tidak terhormat karena perbuatan dan perilaku menggosip dan mencurigai sesama pejuang tanpa dasar hukum dan etika yang jelas.

    Tetapi itu jelas hanya mengandai-andai. Kenyataanya saling mencurigai dan menggosip tentang sesama pejuang Papua Merdeka itu bukan penyakit baru, tetapi itu sangat melekat dan bertumbuh bersama penyakit utama dan pertama, yaitu “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok.

    Karena ada egoisme, untuk membela egoisme, maka mereka selalu memikirkan alasan untuk menentang, memisahkan diri dan tidak menyatukan diri. Dan alasan yang paling mudah muncul dan dipelihara ialah “kecurigaan” dan “mencurigai” sesama pejuang sebagai oknum dan organisasi yang dipakai oleh lawan politik, entah NKRI ataupun kekuatan barat.

    Kami juga tidak boleh naif, dan menyangkal fakta bahwa kepentingan NKRI, kepentingan Eropa (terutama Inggris), kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan Australia turut bermain di Tanah Papua. Oleh karena itu kewaspadaan itu penting. Kita tidak boleh bermain tanpa kewaspadaan. Akan tetapi “mencurigai sesama pejuang” adalah perbuatan tidak etis. Apalagi menggosipkan serta me-label-kan sesama pejuang adalah perbuatan merendahkan martabat diri sendiri dan martabat perjuangan kita menentang penjajahan.

    Pada saat ini ada gosip beredar di Tanah Papua, tentang para tokoh di dalam tubuh ULMWP. Ada yang mengatakan orang ini titipan CIA Amerika Serikat, ada yang bilang itu titipan BIN NKRI, ada yang sebut ini orang gunung, dan itu orang pantai, ini orang Pemka dan itu orang Marvic, ini orang WPNCL dan itu orang PNWP, ini orang NRFPB dan itu orang TRWP.

    Masih ada orang mengaku diri OPM 1 Juli dan OPM asli, lalu menyebut ULMWP itu sudah tidak berjuang untuk Papua Merdeka lagi.

    Ada juga yang mengatakan OPM harus dihidupkan kembali dan alasannya ialah ULMWP tidak mewakili semua organisasi perjuangan Papua Merdeka.

    Ada yang menyebut Okto Motte itu titipan CIA, ada juga yang menyebut Benny Wenda suruhan MI5. Ada juga yang mengatakan Andy Ayamiseba itu sekarang ini bekerjasama dengan BIN Jakarta untuk mematikan perjuangan Papua Merdeka. Ada lagi yang mengatakan TRWP itu musuh TPN/OPM, ada pula yang bilang TPN PB itu bentukan BIN/NKRI.

    Lebih tidak pintar lagi, ada yang mengatakan TRWP itu milik suku tertentu, TPN / OPM itu milik Papua Merdeka. Ada pula yang sebut OPM 1 Juli itu murni, OPM 1 Desember itu palsu.

    Hai orang Papua, hai pejuang Papua Merdeka! Siapa kau? Kalau retorika-mu, kalau tindakan-mu, tidak kelihatan menentang tetapi nyata-nyata menghambat Papua Merdeka, engkau sudah jelas, dan sudah pasti LAWAN dari Papua Merdeka dan musuh dari aspirasi Bangsa Papua. Dan satu hal lagi, engkau lebih jahat daripada NKRI/ BIN, daripada Amerika CIA, daripada Inggris MI6.

     

     

     

     

    s

    ssd

    Dalam nama Tuhan Pencipta dan Pelindung tanah dan bangsa Papua, kami menyerukan kepada semua orang Papua, terutama para pejuang Papua Merdeka, ” Bertobatlah!” dan “Bertobatlah!”

    • Berhentilah mencurigai sesama pejaung Papua Merdeka
    • Akhiri menggosip dan menyalahkan sesama pejuang Papua Merdeka.

    Mari kita bangun saling percaya kepada sesama kita. Mari kita hentikan kata-kata merusak hubungan kita. Mari kita berpikir positif, dan bertindak positif. Mari kita belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.

    Buanglah ego pribadi dan ego kelompok. Tinggalkan cara kerja lama. Di Tanun yang baru ini, di tahun 2018 dan ke-depan, dalam kepengurusan ULMWP yang baru ini, mari kita berjuang dengan dasar saling menghargai, saling menerima, saling mengakui, dan saling mendukung sebagai sesama bangsa Papua, sesama pejuang kemerdekaan West Papua, dan terutama dan pertama sebagai sesama umat manusia, umat Tuhan di Tanah Papua.

  • Ego-isme dalam Papua Merdeka mewarnai Retorika TPN/OPM, TRWP, OPM dan ULMWP

    Dalam beberapa artikel sebelumnya, Papua Merdeka News (PMNews_ menyoroti betapa “Ego” dan “kemauan pirbadi” telah menjadi penghalang pertama, penyakit akut, dan perusak utama perjuangan Papua Merdeka. Kita sebut ini penyakit perjuangan. Penyakit yang menyebabkan para tokoh Papua Merdeka saling memusuhi, bahkan saling membunuh. Penyakit yang dampaknya ialah kerusakan dan pembusukan hampir stengah abad lamanya.

    Generasi muda saat ini masuk ke dalam skenario ego-isme pribadi dan kelompok dan termakan oleh ego itu sendiri. Pemuda saa tini tidak sadar, bahwa generasi pertama perjuangan Papua Merdeka telah menyebarkan virus mematikan Papua Merdeka yang begitu sulit disembuhkan.

    Untung sekali pada awal tahu 2000, Senior OPM (Marvic) Andy Ayamiseba bersama Rex Rumakiek dan Senior OPM (Pemka) Alm. Dr. OPM John Otto Ondowame memutuskan untuk secara “deliberate” dan langsung mempersatukan perjuangan Papua Merdeka menjadi satu “OPM”, 1 Juli dan 1 tujuan, yaitu West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

    Mereka lakukan hal pertama, mereka semua pindah dan tinggal di Port Vila. Dan kedua mereka membentuk sebuah wadah bernama WPPRO (West Papuan Peoples’ Organisations Office). Begitu dibentuk, Wakil Perdana Menteri Vanuatu waktu itu Serge Voghor langsung mengakui kehadiran WPPRO dan mengakui perjuangan Papua Merdeka.

    Pada tahun 2004, utusan khusus Panglima Tertinggi TPN/OPM Gen. Mathis Wenda, Captain TPN/OPM Amunggut Tabi bersama Perwira Tinggi lainnya menuju ke Port Vila dan melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi.

    Hasil daripada diskusi dan arahan-arahan waktu itu, akhirnya dibentuklah sebuah badan konsolidasi para panglima perjuangan Papua Merdeka sejak tahun 2004, dan mulai bekerja sejak itu juga. Selama 2 tahun, semua panglima di hutan rimba New Guinea memberikan mandat penuh kepada Jend. TPN/OPM Mathias Wenda untuk memimpin rekonsiliasi komando dan mengumumkan kepada dunia tentang penyatuan komando dan struktur organisasi.

    Pada November 2006, terselenggara sebuah Kongres Militer di Wutung, Papua New Guinea, dan memutuskan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) sebagai organisasi sayap militer perjuangan Papua Merdeka. Namun cukup disayangkan, dengan alasan “ego pribadi” para pejuang Papua Merdeka juga, maka ada pemuda Papua Merdeka yang mengatakan “TRWP” tidak sah, dna harus kembali kepada nama TPN/OPM.

    “Ego” itu pula-lah yang menyebabkan dilakukan banyak aksi-aksi tambahan berlanjut. Tujuan penyatuan yang diperjaungkan selama dua tahun, yang juga didukung bersama oleh pasukan, panglima dan para pemuda Papua Merdeka itu dihansurkan oleh “egoisme” mereka sendiri. Hanya oleh “ego” pribad perjuangan ini macet total. Tidak ada urusan dengan NKRI, permainan BIN atau agen lainnya. Ini jelas-jelas “eg6o” dalam operasi melawan Papua Merdeka itu sendiri.

    Sejak tahun 1963 sampai tahun 2014, bangsa Papua mengira perjuangan ini melawan NKRI. Padahal tipu! Itu salah! Faktanya bukan begitu! Sejarah perjuangan kita mengajarkan dengan terang-benderang bahwa kita secara bertahun-tahun lamanya, berturut-turut dan berulang-ulang dihajar babak-belur sampai hancur-berantakan oleh “ego” pribadi dan ego kelompok sendiri. Itu persoalan pertama dan utama dalam perjuangan Papua Merdeka.

    Begitu WPNCL dibentuk dan mengajukan permohonan kepada MSG di Kaledonia Baru, para pemimpin negara-negara MSG menusuk dan mengoperasi persis penyakit akut dan menahun dalam perjuangan Papue Merdeka. Mereka bilang “Satukan semua faksi dulu baru daftar ke MSG”.

    Terpaksa WPNCL harus mundur selangkah, mengundang semua organisasi perjuangan yang belum tergabung untuk menyatukan barisan dan sukses membentuk ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

    Setelah ULMWP dibentuk dan selama kiprahnya tiga tahun terakhir, PMNews mengira “Ego” itu yang sudah dikalahkan. TETAPI rupanya kami salah. Justru “Ego” itu beroperasi liar dan menggila-gila. Di satu sisi kita menganggap sudah bersatu, dalam kenyataannya dan prakteknya persatuan sulit kita temukan.

    Setelah tiga tahun, ULMWP melakukan sidang pergantian pengurus ULMWP. Baru akhir tahun 2017, pengurus ULMWP baru dipilih.

    Pertanyaan sekarang adalah

    • Apakah “ego” pribadi dan ego kelompok itu sudah disalibkan dan mati di atas kayu salib?

    Walaupun sudah ada Kongres Militer (TPN/OPM) November 2006, walaupun sudah ada deklarasi di Port Vila tahun 2000, 2001, 2014 dan sebagainya. Biarpun sudah terbentuk kebersamaan dalam perjuangan ini, kami orang Papua memang memenuhi syarat untuk dijajah sampai kiamat. Alasan pertama, terutama dan mendasar ialah karena

    “Kami orang Papua tidak pernah dan tidak sanggup mengalahkan ego pribadi dan ego kelompok”

    1. Kalau begini kondisinya, apa artinya nasionalisme Papua?
    2. Apa itu perjuangan Papua merdeka? Siapa penyebab pengorbanan terus-menerus dan NKRI tetap ada, menduduki Tanah Papua, menjarah kekayaan alam West Papua dan membunuh manusia Papua?
    3. Apakah para “egois” ini memang benar-benar berjuang untuk Papua Merdeka?
    4. Apakah mereka “titipan” Iblis NKRI untuk membunuh Papua Merdeka?

    Eh, dengar apa tidak?

    Kalau ada orang Papua masih menentang kehadiran ULMWP dan mengaku diri OPM asli, OPM 1 Juli, OPM benar, maka apakah itu utusan malaikat surga untuk Papua Merdeka, atau utusan Iblis untuk menghancurkan perjuangan ini?

  • Setelah Kantor ULMWP Ada Kapan Pejabat ULMWP Pindah dan Menetap di Port Vila?

    Yang menjadi pertanyaan umum di seluruh dunia, dan sekarang ini juga menjadi pertanyaan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas Pusat Pertahanan (MPP), yaitu

    “Kapan para pemimpin politik dan diplomasi Papua Merdka bersatu-padu membangun kebersamaan dan kesatuan secara personal dan pindah bekerja sehari-hari di kantor perjuangan Papua Merdeka?”

    Dulu Seth Jafeth Roemkorem sebagai Ketua OPM/ Presiden Pemerintahan Sementara Republik West Papua tinggal di Belanda, menjalankan kegiatan Papua Merdeka dari Negeri Belanda. Jacob Hendrik Pray juga menjadikan Malmo Swedia sebagai kantor OPM/ Ketua Parlemen Republik West Papua. Di PNG OPM Revolutionary Council di bawah Moses Weror juga menjalankan kampanye Papua Merdeka dari Madang. Demikan juga dengan Clemens Runawery, Otto Ondawame, Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek.

    Belakangan Willy Mandowen, Thom Beanal, Theys Eluay, Sem Karoba, Benny Wenda, Jacob Rumbiak, John Rumbiak, Jonah Wenda, dan banyak lagi, mengkleim diri sebagai pejuang Papua Merdeka, dan mendirikan berbagai macam organisasi, berkampanye untuk satu barang bernama “Papua Merdeka”.

    Semua aktivis Papua Merdeka menjalankan kegiatan Papua Merdeka menurut “gut feeling” dan “instinct” dari masing-masing “hewan politik”, berdasarkan naluri hewani yang dimiliki masing-masing orang. Kita hanya memiliki “roh perjuangan”, tetapi tidak pernah memiliki 3-C menurut Alm. Dr. OPM John Otto Ondawamena (Concern, Commitement and Consistency). Menurut Ondawame, semua orang Papua punya concern dan consistency, dan juga sebagian ‘commitment” tetapi sampai detik ini, ‘commitment untuk menghapus dan melupakan ego-ego kelompok dan pribadi tidak ada sama sekali’.

    Jawaban ini diberikan Alm. Dr. OPM Ondawame saat ditanyakan oleh Maj. Gen. TRWP Amunggut Tabi di tahun 2004, dalam percakapan-percakapan lepas menganalisis persoalan yang dialami perjuangan Papua Merdeka.

    Bukti-bukti tidak ada ‘commitment’ itu yang palin gmenonjol ada dua, yaitu pertama ke-enggan-an public figure dalam perjuangan Papua Merdeka. Dan hal kedua ialah kerelaan para pemimpin Papua Merdeka untuk membentuk satu keluarga pejuang Papua Merdeka, tinggal di satu tempat, bekerja dari satu kantor, bicara satu bahasa, punya satu program, dan saling menghargai.

    Menurut Alm. Dr. OPM Ondawame kepada Maj. TRWP Tabi,

    Jadi adik, saya dengan kakak Andy Ayamiseba putuskan untuk pindah ke Port Vila Vanuatu karena kami mau bikin sendiri lewat perbuatan kami, kami mau tinggal sama-sama, di satu tempat, dan berjuang untuk satu tujuan, sebagai satu keluarga, satu bangsa. Komitmen pribadi ada, tetapi kami punya banyak organisasi dan karena itu kami dua bentuk West Papuan Peoples’ Representative Office (WPPRO) di Port Vila dalam rangka menyatukan kami dua dan mendorong commitment kami menjadi sebuah kekuatan bersama. Kami juga dengan Kak Rex Rumakiek, kami mintak kak Rex di Suva, Fiji karena dia penting untuk ada di sana.

    Jadi, ini contoh budaya politik Papua Merdeka dari tiga tokoh yang patut dicontoh oleh generasi muda pejuang Papua Merdeka.

    Sekarang para pejabat ULMWP tinggal di mana? Setiap hari pekerjaanya apa? Fokus hidup mereka apa? Bahan-bahan sidang dan persoalan internal ULMWP disampaikan kepada siapa? Mereka di-ekspose kepada siapa? Siapa yang memberikan saran dan kritik terhadap mereka kalau mereka jalan masing-masing? Berapa sering para pengurus ULMWP bertemu? Setahun sekali? Tiga tahun sekali? Di mana komitment Papua Merdeka bisa dibanggakan kalau masing-masing pulang ke negeri ke-warga-negara-an mereka tetapi masing-masing bicara Papua Merdeka?

    Memang hal yang logis. Contoh kasus, Joko Widodo berasal dari Solo, Jawa Tengah. Pada saat beliau terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau pindah dan tinggal di Jakarta, di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau juga pindah ke Jakarta, tinggal di Rumah Presiden R.I. Nah sekarang orang-orang pengurus ULMWP tinggal di mana?

    Aneh!

    Kalau kita main drama “aneh” di dunia ini, jangan bermimpin mengharapkan sebuah Papua Merdeka hadir atas mujizat Tuhan di permainan yang serba “Aneh” ini. Harap maklum!

  • Lt. Gen. Amunggut Tabi: Kita Sudah Melanggar Banyak Hukum Adat dalam Perjuangan Papua Merdeka

    Sambungan dari surat tulisan tangan yang telah diterima PMNews, ada satu isu yang ditinggalkan untuk dimuat secara terpisah, yaitu menyangkut penggaran hukum adat yang dilakukan oleh orang Papua dalam perjuangan kemerdekaan West Papua. Amunggut Tabi katakan,

    dari sekian banyak itu, satu yang jelas dan di depan mata, ialah menerima uang, memakanan makanan dan mengawini perempuan dari pihak lawan politik Papua Merdeka. Ini hukum adat pertama dan utama dalam adat Koteka. Di seluruh masyarakta Koteka di manapun mereka berada, itu berlaku sampai kapanpun. Tetapi apa yang terjadi sekarang?

    Maksudnya bahwa pada saat kita melakukan perlawanan terhadpa NKRi, maka sudah hukum adat untuk tidak menerima apa-apapun dari NKRI, diberikan dalam bentuk apapun, kita harus tolak. Apalagi, dan apalagi, mengawini perempuan Indonesia. Itu dikategorikan dalam agama Islam, maka itu termasuk sebuah tindakan haram.

    Tetapi kata generasi muda Papua apa?

    Itu paham lama, itu praktek lama, itu kuno, itu ketinggalan zaman.

    Anak-anak Papua lupa, dan memang tidak tahu, bahwa semua bangsa di dunia ini hadir dan kuat, justru karena adat-nya, justru karena hukum adatnya yang menopang kehidupan mereka. Tidak ada satupun negara di dunia ini, tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang kita anggap sebagai negara yang kuat yang tidak punya adat. Negarea kuatt, superpower, dan kaya-raya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman semua berdiri di atas adat dan tradisi mereka. Mereka menomor-satukan adat.

    Sebaliknya, bangsa yang ada di dunia ini, yang belum atau tidak punya adat, seperti Indonesia dan di dalamnya ada bangsa Papua ialah bangsa yang goncang dalam identitas dan adat-istiadatnya. Tonton saja televisi, baca koran, dan tulisan online, kebanyakan berita diwarnai dengan berita-berita amoral, korupsi, perkelahian, percabulan, terorisme sampai SARA. Sebab utama ini, negara seperti Indonesia TIDAK PUNYA ADAT, yang dia punya ialah “cita-cita”, “angan-angan”, dan “mimpi” untuk mewujudkan sebuah bangsa, bahasa, budaya, dan adat Indonesia. Dan barang yang bernama “Indonesia” itu belum pernah ada, belum terwujud sampai hari ini. Dengan kata lain, Indonesia tidak punya adat.

    Yang punya adat di dalam negara Indonesia ialah Jawa, Sunda, Minang, Toraja, dan sebagainya. Dan Indonesia tidak punya tanah adat, tidak punya bahasa asli, tidak punha hukum adat.

    Orang Papua punya adat, tetapi dipengaruhi oleh negara Indonesia yang tidak ber-adat, sehingga cara berpikir dan berperilaku, cara mengoperasikan Papua Merdeka pun sudah banyak yang melanggar adat. Banyak tokoh Papua Merdeka dengan tidak punya malu bicara Papua Merdeka, padahal mereka sendiri beristerikan oran Melayo-Indonesia, yang sering keluar-masuk Indonesia. Orang Papua berteriak di Port Numbay, berorasi berkoar-koar, terbang bolak-balik Port Numba – Port Moresby – Port Vila menggunakan uang-uang pemberian NKRI, atau pejabat NKRI. Ini semua permainan apa?

    Ini permainan-permainan orang-orang Papua tidak tahu adat. Dan karena itulah, perjuangan ini menjadi tersendat-sendat, tidak menjadi solusi tetapi justru menambah masalah.

  • Church says Papua riot sparked by military burning Bibles

    By STEPHEN WRIGHT Associated Press, June 8, 2017 — 2:45am

    JAKARTA, Indonesia — A major church in Indonesia’s predominantly Christian Papua province said a riot in the provincial capital last month was sparked by the military burning Bibles, contradicting the police account of events.

    A report by the Evangelical Christian Church in Papua said a priest and another man from a local congregation took photos of burnt New Testament Bibles at a military base in Jayapura and took several away as evidence.

    It said the two men and city officials unsuccessfully tried to calm the crowd that gathered outside the base on May 25 after reports of Bible burning spread on social media. Protesters threw rocks, burned tires and blocked a road as they demanded that soldiers be handed over to them for punishment.

    At the time, police said soldiers had burned rubbish and distributed photos of a mass of burned materials that included a book on theology that they annotated with text saying “this is not the Bible.”

    The military’s spokesman in Papua, Teguh Pudji Rahardjo, on Thursday acknowledged that Bibles had been burnt but said it was an accident that was still being investigated.

    He said some bibles and theological books that had been brought from Java for distribution to Christians in Papua were inadvertently mixed in with rubbish that was cleared out of the base’s mess.

    “Like all Indonesians, we as members of the Indonesian Military are religious people, and we respect all religions,” Rahardjo said.

    The incident is indicative of the tensions that simmer in Indonesia’s two easternmost provinces of Papua and West Papua, which are culturally and ethnically distinct from the rest of the sprawling Southeast Asian archipelago, the world’s most populous Muslim nation.

    A low-level insurgency and resentment at Indonesian rule has endured since the 1960s, when Indonesia annexed the region. It restricts foreign journalists from reporting in both provinces.

    Jayapura’s chief of police was bruised in an attack by protesters and his aide was hospitalized with stab wounds and an injured nose and jaw, according to both church and police accounts. Three protesters suffered gunshot wounds when police and troops dispersed the crowd.

    The police statement said a water cannon was used but the church’s report said two armored vehicles from the military base had fired at the crowd.

    The Evangelical Christian Church in Papua has about 600,000 members and dates its origins to German missionaries in the 1850s.

  • Suara HAM Papua di Jenewa, Haluk: Delegasi Indonesia Berbohong!

    Markus Haluk, Tim Kerja ULMWP dalam negeri. (Tabloidjubi.com)
    Markus Haluk, Tim Kerja ULMWP dalam negeri. (Tabloidjubi.com)

    JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Dalam sesi ke-27 Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review/UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 3 Mei 2017, delegasi Indonesia menyampaikan laporan perkembangan situasi HAM Papua dan tanah air umumnya.

    Markus Haluk, salah satu tokoh Papua menilai laporan review HAM Indonesia sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, dan delegasi RI dalam sidang UPR di Jenewa, hal biasa yang tidak cukup berpengaruh dalam tataran diplomasi luar negeri.

    “Bagi bangsa Papua sudah biasa dengan penyangkalan seperti itu. Sebab dimana-mana pelaku kejahatan pada suatu bangsa tertentu tidak pernah akan mengakui perbuatannya,” ujar Haluk.

    Pemajuan di bidang HAM dan demokrasi yang dimaksudkan delegasi Indonesia, menurut dia, tidak sesuai fakta.

    “Demokrasi dan HAM hanya berlaku dari Sabang sampai Amboina dan tidak untuk bangsa Papua. Sebab fakta bahwa hingga saat ini khusus di rezim Jokowi-JK di West Papua masih terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Juga pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan media asing, diplomat, akademisi internasional mengunjungi Papua,” tuturnya.

    Selain itu, sebut Haluk, dalam kepemimpinan Jokowi-JK, lebih dari 6.000 orang Papua ditangkap dan ditahan dan ada diproses hukum. Ratusan warga sipil ditembak dan banyak yang meninggal dunia. Sedangkan, pembangunan yang dijalankan tidak pro-rakyat Papua karena justru terjadi proses marginalisasi.

    “Jadi, apa yang disampaikan oleh delegasi RI dalam UPR di Jenewa merupakan pembohongan publik,” tegasnya.

    Delegasi RI dipimpin Retno L.P. Marsudi, bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, dan beberapa anggota lainnya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara Indonesia hadir di Jenewa. Hal menarik kali ini karena kemungkinan setelah belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika diplomat muda Nara Masista Rakhmatia tampil di Sidang Umum PBB pada September 2016 di New York, seperti mempermalukan Indonesia di hadapan para diplomat selevel pimpinan negara maupun menteri dari negara-negara Pasifik.

    Sesi laporan review HAM Indonesia cukup panjang, delegasi Indonesia memaparkan kondisi riil, juga menjawab sejumlah respon dari negara-negara lain.

    Bagi Papua, kata Haluk, laporan UPR Indonesia berbeda dari fakta. Ini dianggapnya sebagai bagian dari diplomasi yang kurang elegan. “Rakyat bangsa Papua menolak dan mengutuk segala kejahatan dan pembohongan pemerintah RI dalam UPR dan menuntut pemerintah segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi kedaulatan politik bangsa dan negara Papua,” tegas Haluk.

    Dari Jenewa, Wensislaus Fatubun, Human Right Defender, mengabarkan bahwa telah mengamati langsung bahkan mendengar presentasi dan jawaban Pemerintah Indonesia terhadap persoalan HAM di West Papua (Nederland Nieuw Guinea) pada sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB, Rabu (3/5/2017).

    “Kami mendengar langsung sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB bahwa Pemerintah menyampaikan soal Otonomi Khusus dan pendekatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan infrastruktur sebagai upaya yang selama ini dilakukan, adanya akses jurnalis di West Papua serta upaya penyelesaian kasus Wamena, Wasior dan Paniai,” kata Wensi.

    Dari jawaban tersebut, menurutnya, Pemerintah tampaknya masih melihat West Papua dalam pendekatan pembangunan ekonomi saja dan tidak secara substansial menyelesaikan masalah West Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.

    Lanjut Wensi, Pemerintah Indonesia juga tidak transparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Papua terbuka untuk wartawan asing.

    Selain itu, dari pemaparan delegasi Indonesia tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. “Argumentasinya terhadap tiga kasus tersebut hanyalah pencitraan atau diplomatic image saja di forum Internasional UPR sesi ini,” lanjutnya.

    Bahkan tidak menjelaskan tentang masih ada enam orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.

    “Kami berpendapat bahwa penjelasan Pemerintah Indonesia tentang West Papua dalam sesi UPR ini terlihat masih sama dengan argumentasi Pemerintah Indonesia UPR yang lalu. Argumentasi Indonesia terhadap persoalan West Papua masih diskriminatif dan rasis terhadap orang asli Papua, dan sangat tidak menjelaskan tentang bagaimana keterlibatan orang asli Papua dalam upaya-upaya perlindungan dan penegakkan HAM di West Papua,” ungkapnya.

    “Kami menilai bahwa terhadap West Papua, Pemerintah Indonesia masih menerapkan pendekatan sebagai negara kolonial. Sehingga, kami tidak memiliki harapan pada komitment Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua,” bebernya dalam press statement menanggapi Sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB.

    Sembari menyambut baik 105 negara anggota PBB, khususnya 9 negara anggota PBB, yang memberikan pertanyaan, rekomendasi dan catatan terhadap persoalan HAM di West Papua, di bagian akhir, Wensi dan Filep Karma menulis, berdasarkan pada prinsip HAM sebagai tanggungjawab bersama, maka kami menyampaikan kepada komunitas internasional untuk terlibat aktif bersama-sama dengan orang asli Papua dan mendesak Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua.

     

    REDAKSI

  • Survei: 60 Persen Rakyat Papua Tolak Berpisah dari RI

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik menemukan 60 persen Orang Asli Papua (OAP) menolak berpisah dari Indonesia, sementara hanya 18 persen yang mendukung gagasan merdeka.

    “Sebagian besar mereka setia pada negara (Indonesia), sedangkan 22 persen tidak memiliki pendapat,” kata Direktur Riset Indikator Politik, Hendro Prasetyo, Jumat (05/05) dilansir dari The Jakarta Post.

    Survei tersebut dilaksanakan mulai 23 Maret hingga 3 April 2017 di berbagai wilayah di seluruh Papua. Jumlah responden sebanyak 700 orang dan pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode multistage random.

    Lebih jauh, survei ini juga menemukan 77 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo di Papua. Selain itu, survei ini juga mengungkapakan bahwa kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan isu yang paling penting bagi rakyat Papua.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Ini Hal PERTAMA yang NKRI Mau Orang Papua Pikirkan dan Siarkan

    Ada tiga hal yang NKRI berdoa, berharap, upayakan dan bersyukur agar dipikirkan dan  disiarkan, dibesar-besarkan oleh orang Papua dalam rangka memperkuat posisi pendudukan dan penguasaannya atas tanah dan bangsa Papua. PMNews berdoa, dengan memahami hal-hal ini, orang Papua bisa mengatur strategi pemberitaan dan penulisan artikel secara bijaksana sehingga apa yang kita lakukan tidak memberi makan kepada doa dan harapan NKRI dan Malayo-Endos.

    Yang pertama, dan terutama, Melayo-Endos lewat perangkat NKRI memasang jaring dan jerat di sana-sini, lewat lembaga-lembaga seperti DPRP, DPR RI, Pemerintah Provinsi, Komnas HAM, DPD, Partai Politik, dan LSM dan menanamkan bibit “harapan” bahwa ada sesuatu yang baik, yang benar, yang membantu orang Papua, yang menyelamatkan orang Papua datang dari Jakarta.

    Banyak orang Papua, yang tadinya menamakan diri “pejuang Papua Merdeka”, pemuda Papua merdeka, tokoh Papua Merdeka, saat ini sudah tidak bicara Papua Merdeka lagi. Mereka menjabat di dalam struktur pemerintah NKRI. Mereka katakan kepada PMNews dan tokoh Papua Merdeka, “Kami masuk ke dalam sistem dulu, dari dalam baru kita goyang”. Kalimat ini sama persis dengan mengatakan, “Saya tidak sanggup melawan, jadi saya menyerah saja”.

    Baca berita-berita Gubernur di Tanah Papua, baca berita-berita Ketua dan anggota DPR yang ada di Tanah Papua, baca para pejuang apa yang dikatakan LSM dan pejuang HAM di Tanah Papua, baca berita atau tuntutan dari bangsa Papua terhadap NKRI, yang disiarkan berbagai berita. Perhatikanlah, dan akuulah, sampai hari ini, masih kuat di dalam benak dan hati orang Papua, mengharapkan ada “kebaikan datang dari Jakarta”.

    Itulah sebabnya orang Papua selalu menuntut NKRI untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM, itu juga sebabnya para pejabat kolonial NKRI di Tanah Papua selalu meminta pemerintah pusat memperhatikan proyek-proyek, memberikan dana Otsus secara penuh, menyetujui berbagai Perdasus/ Perdasi akan operasional di Tanah Papua, dan sebagainya. Intinya, masih saja ada orang Papua “ditanamkan harapan” di dalam benak dan hati mereka, sehingga mereka “masih memiliki harapan” dan “masih berharap” bahwa NKRI akan mengambil langkah-langkah untuk “membantu” atau “berbuat baik” terhadap bangsa Papua dan Tanah Papua.

    Gen. TRWP Mathias Wenda dalam suatu upacara bendera pada tahun 2006 mengatakan,

    Orang Papua seharusnya bertanya dan menjawab, “Apakah patut orang Papua menaruh harapan kepada NKRI dan Malayo-Endos untuk berbuat baik?” Untuk menjawab pertanyaan itu, orang Papua harus pertama-tama menjawab pertanyaan, “Apa tujuan kedatangan dan keberadaan NKRI di Tanah Papua: membawa bantuan kemanusiaan, ataukah datang sebagai perampok dan pencuri yang menjajah?”

    Selanjutnya kita perlu mencatat bahwa salah satu bukti kuat bangsa yang memenuhi syarat untuk dijajah dan diperbudak tau bangsa yang tidak memenuhi syarat untuk merdeka ialah bangsa menggantungkan harapan dan nasib baik kepada bangsa lain, dan mengharapkan bangsa lian memperbaiki nasibnya.

    • Banyak bukti, bukan?
    • Kalau ada pelanggaran HAM, orang Papua minta Komnas HAM dan Dewan HAM PBB, Presiden NKRI yang turun tangan, bukan?
    • Kalau PEPERA 1969 salah, orang Papua menuntut NKRI dan PBB yang selesaikan kesalahan Pepera, bukan?
    • Kalau orang Papua mau ada pembangunan gedung sekolah atau jalan raya di Tanah Papua, selalu mengeluh kepada Presiden NKRI untuk membangunnya, bukan?
    • Kalau orang Papua mau menjadi kaya, selalu mengharapkan NKRI untuk memberikan modal dan membantu orang Papua menjadi kaya, bukan?
    • Kalau ada orang Papua yang terkena bencana dan musibah kelabaran misalnya, orang Papua berteriak kepada Jakarta untuk mengatasi dan membantu, bukan?

    Singkatnya, semua bangsa di dunia sudah tahu sekarang, bahwa bangsa Papua itu bangsa yang cengeng, bangsa yang selalu berharap nasibnya diperbaiki oleh orang lain, bangsa yang menggantungkan harapan hidupnya kepada bangsa lain, bangsa yang tidak pernah mengakui kesalahannya sendiri di masa lalu, tetapi selalu menunjuk jari kepada pihak lain sebagai yang bersalah, dan selalu menunjukkan diri sebagai bangsa korban, bangsa lemah.

    Bangsa Papua ialah bangsa pengemis. Orang Papua sering memarahi orang Jawa yang mengemis di jalan-jalan. Padahal dia lupa, bahwa secara kolektif, bangsa Papua jelas-jelas adalah “bangsa pengemis”.

  • 3 Hal yang Akan Dihindari Pemberita NKRI tentang Papua

    Artikel sebelumnya kami disebutkan beberapa hal yang sangat disukai dan disenangi disiarkan oleh sumber berita kolonial NKRi (Malayo-Endos) terkait bangsa dan tanah Papua: (1) berita keindahan alam Papua, (2) berita kekayaan alam Papua; (3) berita festival-festival, (4) berita pembangunan yang dilakukan NKRI di West Papua.

    Dalam artikel ini Papua Merdeka News (PMNews) mencatat tiga hal yang akan diusahakan sekuat tenaga untuk dihindari dalam menyiarkan tentang Tanah Papua, bangsa Papua, dan Negara West Papua.

    Yang pertama ialah bahwa penjajah Malay0-Endos tidak akan menyiarkan tentang kemajuan-kemajuan kampanye Papua Merdeka di kawasan Pasifik dan di dunia internasional.

    Apapun yang terjadi di dalam negeri dan di luar negeri, di pentas politik dan diplomasi Papua Merdeka akan sekuat-tenaga dihindari. Memang ada pengamat politik, ada juga tokoh NKRI seperti Amin Rais mengatakan, “Papua Merdeka is a matter of time”. bukan akan jadi atau tidak, tetapi hanya soal waktu. Akan tetapi suara-suara seperti ini dimatikan.

    Sejarah mengajarkan kita bahwa semakin sebuah perjuangan ditekan, semakin perjuangan itu mendapatkan momentum. Kita tunggu saja, apakah NKRI sanggup mematikan aspirasi dan perjuangan Papua Merdeka.

    Hal kedua yang selalu dihindari penjajah Malay0-Endos adalah berita tentang kerusakan alam dan kehancuran yang disebabkan oleh kahadiran NKRI dan aparatnya. Perampokan tanah, intimidasi, teror, pembunuhan terjadi hampir setiap hari di dan terhadap tanah dan bangsa Papua, akan tetapi berita-berita penderitaan dan kerusakan alam selalu dihindari. Malahan yang disiarkan ialah keberhasilan pembangunan, dan pemberontakan Kelompok Sipil Bersenjata (KSP) yang mengganggu pembangunan.

    Mereka menyamakan para pejuang Papua Merdeka sebagai pengganggu, sementara NKRI hadir untuk membangun. Yang sebenarnya terjadi ialah bahwa NKRI hadir untuk menghancurkan alam dan adat Papua, bukan untuk membangun. Menebang pohon, menggali gunung dan gunung menjadi lembah, mengusir masyarakat asli dan membunuh yang melawan, kan sebuah perusakan, sebuah pembasmian, pelanggaran Hak Asasi dari makhluk manusia, tumbuhan, roh dan hewan.

    Hal ketiga yang selalu dihindari NKRI dalam menyiarkan tentang tanah dan bangsa Papua ialah pendapat dan tanggapan orang Papua terhadap keharidan manusia Malay0-Endos dan NKRI. Mereka menganggap kehadiran Malay0-Endos di Tanah Papua adalah sebuah keharusan dan orang Papua wajib menerimanya, tanpa alasan apapun.

    Dengan dasar itu, mereka merasa apapun yang mereka lakukan di atas tanah dan bangsa Papua wajib diterima oleh orang Papua. Singkatnya mereka merasa berhak atas tanah Papua, berhak mengatur bangsa Papua. Apalagi, didasari atas Undang-Undang NKRI, mereka merasa berwenang untuk memaksa bangsa Papua menaati apa yang mereka kehendaki.

    Bangsa Papua selama ini selalu menuntut dilakukan referendum, pemungutan suara kembali di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk memilih apakah bersatu dengan NKRI atau keluar dari NKRI, akan tetapi hal itu dianggap sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Mereka menganggap apapun sejarahnya, benar atau salah, tidak usah dipersoalkan, sejarah sudah berlalu. Sekarang kita memandang ke depan. Apapun yang salah, biarlah kita lupakan. Kita menatap ke depan, kita upayakan perbaiki ke depan. Oleh karena itu, apapun yang dipandang oleh bangsa Papua dalam hubungan dengan NKRI dan Malay0-Endos tidak perlu dipikirkan.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?