Blog

  • Khawatir Sejarah RI Berubah, Sejarawan UI Ini Tolak Riset Belanda

    Khawatir Sejarah RI Berubah, Sejarawan UI Ini Tolak Riset Belanda

    Jakarta – Riset Belanda soal kekerasan dalam perang kemerdekaan di Indonesia memunculkan kontroversi. Mereka bakal menyoroti periode Bersiap yang penuh kekerasan. Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI) ini menolak penelitian yang diinisiasi tiga lembaga Belanda ini.

    Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’, menggunakan dana 4,1 juta Euro. Penelitian dimulai pada September ini.

    “Saya dengan teman-teman angkatan ’45 menolak. Karena, borok itu mestinya dikompres biar adem. Tapi kalau dicutik pakai lidi, bisa bengkak,” kata sejarawan dari UI, Rushdy Hoesein, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/9/2017). 

    Dia telah merintis Yayasan Ermelo beranggotakan para veteran perang divisi Siliwangi. Mereka telah menjalin hubungan baik dengan veteran Belanda yang dulu juga berdinas di Indonesia dan bermusuhan dengan tentara Siliwangi.

    Ketika Indonesia Dalam Agresi Belanda (Foto: Thecreatorsproject)
    Ketika Indonesia Dalam Agresi Belanda (Foto: Thecreatorsproject)

    Terbentuknya yayasan itu diawali tahun 1996, sekitar 50 veteran Siliwangi berkunjung memenuhi undangan Belanda. Kemudian hubungan kedua veteran menjadi baik sebagai sesama mantan ‘wappen broeder’ alias sesama ‘pemanggul senjata’. Maka konflik masa lalu sebaiknya tak dikorek-korek kembali.

    “Forgive but not forget, Bahasa Inggris-nya. Kami mengangagap masalah itu sudah selesai tapi kami tidak akan lupa,” tutur Rushdy.

    Khawatir Soal Kemerdekaan hingga Papua

    Namun penolakan Rushdy terhadap penelitian itu punya alasan yang lebih jauh. Ini menyangkut sejarah kemerdekaan Indonesia yang selama ini dipercayai benar adanya. Sejarah yang mapan ini bisa tergoyang oleh riset Belanda.

    Belanda adalah negara yang punya banyak simpanan bukti-bukti sejarah Indonesia, ini bakal jadi senjata utama saat berhadapan dengan peneliti Indonesia. Bila borok itu terus dikorek, khawatirnya sejarah Indonesia bisa berubah. Soalnya, Indonesia kurang data bila hendak mempertahankan sejarahnya.

    “Kita memiliki data banyak yang amburadul dan banyak hoax-nya. Tentu dalam penggarapan ini ya kita bisa kalah. Dan bisa-bisa kita akan menerima data-data yang mereka (Belanda) miliki. Akibatnya, sejarah Indonesia akan berubah nanti,” tutur Rushdy.

    Pria usia 72 tahun ini mencurigai Belanda ingin kembali menegakkan pendapatnya, bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan 17 Agustus 1945 melainkan 27 Desember 1949. “Maksud mereka, itu yang mereka perjuangkan,” kata Rushdy.

    Terlepas dari pandangan Rushdy ini, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot menerima kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945 lewat kehadiran dia pada upacara kemerdekaan RI pada 2005.

    Kembali ke Rushdy, hubungan Indonesia dengan Belanda memang sarat dengan relasi ‘cinta dan benci’. Dua hal itu ada momentumnya masing-masing dalam catatan sejarah.

    Bila sejarah masa dekolonisasi itu dibahas lagi oleh Belanda, maka hasil risetnya bisa melenceng ke mana-mana. Selain soal tanggal kemerdekaan RI, Belanda juga bakal mengungkit kembali hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diteken Mohammad Hatta pada 2 November 1949.

    “Indonesia itu nakal katanya (Belanda), karena memutuskan hasil KMB secara sepihak dan meminta kembali Irian Barat. Dalam KMB, Irian tidak diputuskan sebagai wilayah Indonesia,” kata dia.

    Indonesia dari tahun 1952 sampai ’60-an juga mengambil alih aset Belanda yang berkaitan dengan Irian Barat, dan semua perusahaan Belanda dijadikan BUMN. Ini bakal diungkit Belanda dalam langkah selanjutnya bila penelitian ini berhasil.

    Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

    Penelitian terhadap masa dekolonisasi ini tak bisa dilepaskan dari karya Rémy Limpach berjudul ‘De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang Terbakar)’, juga karya Gert Oostindie berjudul ‘Soldaat in Indonesië (Serdadu di Indonesia)’. Para peneliti akan meneliti lebih lanjut klaim-klaim sejarah yang diajukan kedua karya tersebut.

    “Sing wis yo wis (yang sudah berlalu biarlah berlalu),” ujar Rushdy.
    (dnu/ams)

  • Gen. TRWP Mathias Wenda: Berduka Cita atas Meninggalnya Penggagas Bendera Bintang Kejora Nicolaas Jouwe

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tenrtara Revolusi West Papua (TRWP), General TRWP Mathias Wenda dengan ini menyatakan

    BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA

    atas wafatnya tokoh penggagas Bendera Bintang Kejora dan penggagas Negara Republik West Papua, Nicolaas Jouwe pada tanggal 16 September 2017

    Segenap perwira, pasukan dan rakyat bangsa Papua, yang berjuang untuk kemerdekaan West Papua di seluruh Tanah Papua, dari Sorong sampai Samarai, dari kepulauan Misol sampai ke kepulauan Fiji menyampaikan

    Salam Hormat dan Salut

     

     

     

     

     

    atas semua yang telah dilakukan Alm. Nicolaas Jouwe selama ini.

    Dengan menundukkan kepala, dengan mengangkat hati sampai ke Tuhan Pencipta Kita, kami segenap pejuang Papua Merdeka berdoa kepada Tuhan, agar perjuangan ini mecapai cita-cita terakhir, sebagaimana yang telah almarhum sampaikan kepada Lt. Gen. Amunggut Tabi pada tanggal 1-10 Mei 2000, menjelang Kongres Rakyat Papua 2000.

    Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini menghimbau kepada semua pejuang Papua Merdeka, mari kita jauhkan diri dari sikap dan mentalitas pecah-belah, saling melapor, saling mencurigai, saling menceritakan.

    Biarkan para mantan pejuang Papua Merdeka seperti Fransalbert Joku, Nick Messet, dan lain-lain berada di Indonesia, karena mereka telah menyelesaikan tugas perjuangan Papua Merdeka. Jangan benci mereka, jangan jauhi mereka, jangan memaki-maki atau menolak mereka.

    Biarkan orang-orang pro NKRI seperti Lukas Enembe, Pater Neles Tebay, Ramses Ohee dan lain-lain untuk hidup di tanah leluhur mereka dengan tenang. Jangan membenci mereka, jangan memusuhi mereka.

    Di dalam setiap hati mereka, mereka menangis, di kamar pribadi mereka, mereka berdoa kepada Tuhan, di dalam lubuk hati mereka, mereka tahu mereka bukan orang Indonesia.

     

  • Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

    Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

    Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
    Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

    Leiden – Tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana Rp 64,8 miliar dan dimulai bulan ini.

    Sebagaimana diberitakan situs resmi Universitas Leiden pada 2 Maret 2017 dan diakses detikcom, Minggu (17/9/2017), penelitian ini bakal berlangsung sampai empat tahun ke depan.

    Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

    Mereka menyebut dana yang dikucurkan sebesar 4,1 juta Euro. Bila dikonversi dengan kurs 17 Maret 2017 (1 Euro = Rp 14.334) maka itu sama dengan Rp 58.769.400.000. Bila dikonversi dengan kurs saat ini (1 Euro = Rp 15.814) maka itu sama dengan Rp 64.840.450.743.

    Penelitian kolaboratif ini tak akan memeriksa sisi militer dari serjarah ini, namun juga bakal memeriksa aksi politik, administratif, serta hukum Belanda dan Indonesia pada masa-masa itu.

    Pada akhir 2016, pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk mempersiapkan penelitian komprehensif dan independen terhadap perang revolusi nasional Indonesia itu. Pada tahun-tahun belakangan, publikasi ilmiah dan karya jurnalistik bermunculan. Karya-karya itu menyebut Belanda menggunakan kekerasan struktural dan berlebihan selama konflik.

    “Kita harus melihat baik-baik cermin masa lalu kita,” kata Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, saat mengumumkan proyek penelitian ini.

    KITLV akan berkolaborasi dengan sejumlah universitas di Indonesia dan mengundang para peneliti Indonesia dalam berbagai sub-proyek penelitian ini. Riset baru ini sudah dimulai sejak 2012, diadakan oleh KITLV sebagai penelitian aksi militer Belanda di Indonesia periode 1945-1950.

    Profesor Universitas Leiden Gert Oostindie telah bertahun-tahun melakukan lobi untuk menyelenggarakan penelitian ini. Dalam bukunya, ‘Soldaat in Indonesië’, dia menunjukkan dasar dokumen personal milik para tentara belanda, menunjukkan adanya kekerasan saat itu.

    “Meski begitu, ada banyak hal yang kita tak pahami sepenuhnya,” kata Oostindie pada tahun lalu. “Misalnya konteks dari kekerasan. Bagaimana para politisi, pejabat, dan penegak hukum bereaksi?” imbuhnya yang puas dengan pengumuman kelanjutan penelitian ini.

    (dnu/fay)

  • Peneliti Belanda Kritik Riset Negaranya Soal Perang Indonesia

    Peneliti Belanda Kritik Riset Negaranya Soal Perang Indonesia

    https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144
    https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144

    Jakarta – Belanda melakukan riset terhadap kekerasan perang 1945-1950 di Indonesia. Namun seorang peneliti Belanda mengkritisi penelitian ini sebagai proyek yang bias kepentingan.

    “Mereka meminta saya untuk bergabung dalam panel diskusi saat penelitian dimulai. Saya membuat catatan kritis, menurut saya ini adalah penelitian yang politis,” kata peneliti sejarah dari yayasaan ‘Histori Bersama’, Marjolein van Pagee, kepada detikcom, Minggu (17/9/2017).

    Marjolein adalah pendiri yayasan Histori Bersama, kelompok yang memberi perhatian kepada sejarah Belanda dan Indonesia dari kedua perspektif. Peneliti yang sedang menempuh pendidikan master Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden ini pernah mewawancarai lebih dari 50 veteran perang Indonesia-Belanda, dilakukan sejak 2010.

    Periode 1945 sampai 1946, ada pula yang menyebutkan 1945 sampai 1949, dikenal Belanda sebagai periode ‘bersiap’, diwarnai dengan kekerasan terhadap banyak orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang dituduh menjadi antek-antek Belanda. Periode bersiap ini dikenang orang-orang Belanda yang jadi korban kekerasan sebagai ‘periode kacau-balau’.

    “Februari lalu, tiga institusi yang melakukan penelitian itu mengirimkan surat ke Pemerintah Belanda, memberitahukan tentang rencana mereka. Dalam surat itu, mereka menyatakan bahwa Bersiap akan menjadi bagian penting dalam penelitian,” tutur Marjolein.

    Marjolein mengkritisi pertanyaan dalam penelitian ini yang hendak mengeksplorasi dampak psikologis para tentara Belanda yang jadi korban dalam periode bersiap. Pelaku kekerasan adalah para pemuda Indonesia.

    “Daripada mempertanyakan bagaimana kekerasan orang Indonesia terhadap tentara Belanda. Kenapa tidak mempertanyakan bagaimana propaganda Belanda masih memengaruhi ide tentang perang di masyarakat (Belanda) masa kini?” gugatnya.

    “Anda tahu, propaganda Belanda selalu mengatakan para pejuang kemerdekaan Indonesia itu cuma gerombolan ekstremis, rampok, dan sejenisnya,” imbuhnya.

    Meski dia tidak menentang penelitian itu, namun dia merasa ada bias cara berpikir kolonial warisan masa lalu dalam masyarakat Belanda ketika memandang isu perang di Indonesia. Membahas periode bersiap mengarah kepada kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia melakukan kejahatan perang kala itu.

    “Kalian (pihak Belanda) bicara bahwa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah pemerintahan yang sah! Mari kita mulai bicarakan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” ujarnya sambil tersenyum.

    Dia juga mempertanyakan kerjasama penelitian ini dengan para peneliti dari Indonesia. Dia mempertanyakan kenapa riset ini tak melibatkan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) bernama Jeffrey Pondaag. KUKB memotori penuntutan pembayaran ganti rugi dari Belanda untuk keluarga korban perang. 2015, Pengadilan Tinggi Den Haag memerintahkan Belanda membayar ganti rugi untuk sejumlah keluarga korban perang kemerdekaan Indonesia tahun ’40-an.

    “Tim riset ini sangat dekat dengan pemerintahan. Pemerintah memberi lampu hijau untuk riset ini juga terkait kasus dengan KUKB,” ujarnya.

    Sebagaimana diketahui, tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana 4,1 juta Euro dan dimulai bulan ini hingga empat tahun mendatang.

    Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) bagian dari Akademi Kerajaan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Belanda, dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

    “Salah satu institusi, yakni NIMH, adalah bagian dari Kementerian Pertahanan (Belanda),” kata Marjolein.

    (dnu/fay)

  • PS Koanapo says issue of West Papua now gone beyond the region

    PS Koanapo says issue of West Papua now gone beyond the region

     

    • By Jonas Cullwick
    PS Koanapo says issue of West Papua now gone beyond the region
    PS Koanapo says issue of West Papua now gone beyond the region

    The issue of West Papua self-determination and violations of human rights has now progressed beyond the South Pacific islands region, says the Parliamentary Secretary (PS) for the Prime Minister’s Office, Johnny Koanapo. He said the issue that had Vanuatu as its lone advocator for many years and then Solomon Islands during the last two years now has the support of six other countries of the region from Micronesia and Polynesia.

    PS Koanapo met the media with the intention of the government is to brief the people on how much work government has undertaken on the issue of West Papua.

    “I wish to say that the government has done a lot of work on the issue of West Papua since the Charlot Salwai government came in in 2016 and the issue remains high on government’s international political agenda.

    “There are a lot of arguments that government has not done enough on the issue of West Papua, but when we look at the events that government through the Prime Minister and the Council of Ministers have endorsed Vanuatu’s participation, there were many.”

    In March this year, the Council of Ministers under the leadership of Prime Minister Salwai, appointed Honorable Ronald Warsal (Minister of Justice and Community Services) to attend the Human Rights Council meeting in Geneva and Koanapo went with him when Vanuatu delivered a statement on behalf of the Pacific Islands Coalition for West Papua.

    “May be, many people who have been dealing with the issue of West Papua, especially our former leaders like Barak Sope, Donald Kalpokas, the late Edward Natapei, Joe Natuman former Prime Minister now Deputy Prime Minister, have been walking with the people of West Papua for a very long time.

    “And when we look at the political backup the people of Vanuatu give to the colonized people of West Papua, there’s only one country in the world that has been standing behind people who living under colonization by Indonesia. That country is Vanuatu. Vanuatu is the only country in the Pacific that is standing behind the people of West Papua.

    “And then at the Melanesian Spearhead Group (MSG) Leaders’ summit held in 2015 in Honiara, at that time Solomon Islands government through Prime Minister Manasseh Sogovareh came on board. And then as PM Sogovareh said to me when I represented government at that time when I was Director General of Foreign and also represented the country at the minister’s level that the position or stand the government of Solomon Islands is taking is inspired by the position and stand the Vanuatu government has taken since day one on the since to West Papua to this day.

    “So, instead of just one I the Pacific, there was two. That’s the Vanuatu government and the Solomon Islands government. Then the Solomon Islands government spearheaded with the support of Vanuatu on the margins of the meeting of June July last year when PM Charlot Salwai attended the establishment of what we call the Pacific Islands of West Papua (PIWP) and then other countries of Micronesia and Polynesia have come on board. Altogether eight countries – Vanuatu, Solomon Islands, Nauru, Marshall Islands, Palau, Tuvalu, Kiribati and Tonga. So, Vanuatu, as the lone fighter, now has seven countries behind it for backup on the issue of West Papua.

    “As a result in March this year, government through the Council of Ministers appropriated for Vanuatu’s participation at the Humans Rights Council meeting this year in Geneva. So, Minister Warsal and I went to the meeting where Honorable Warsal delivered a very strong statement. It was a political statement on behalf of BIGWIP members in the Pacific.

    “I also wish to mention that when we have this coalition, Vanuatu’s strategy is for us to try shift advocacy for the issue of West Papua beyond the region. When we were introducing the issue at MSG, Vanuatu was the only country behind it.

    “I am briefing us today as a former director general of the Ministry of Foreign Affairs, who has been behind much of the speeches and writings, to say that I’ve never seen before a government that has taken the issue of WP so strongly as the government of Charlot Salwai and Joe Natuman is making today.

    “There are reasons for this. In the past governments tended to take different kinds of approaches. Some prefer for us to take a stronger diplomatic approach at the international level to lobby. Some prefer we have more dialogue with the colonizing power, Indonesia since 1962 to today that they continue to colonize the people of West Papua.

    “So, the government of Charlot Salwai also appointed a special envoy. This special envoy was our Ambassador at the European Union, Ambassador Roy Micky Joy, to help lobby at the European Union jurisdiction and he also helped to lobby at the African Union. And he also helped to lobby at the Caribbean. We have divided this task and it is the first time.

    “During my 16 years in office at the Foreign Affairs, I see that this government is very serious about the issue of West Papua.”

    “Maybe the Opposition has some views that government may not be advancing, but I have not seen any opposition in the past with the credentials to advance this issue, except this government today has moved this issue on more than ever. I say this with a lot of confidence that the issue of West Papua today has already moved beyond the region,” the PS for the PM’s Office said.

    “This government when it came in, it took this issue from being a bilateral issue just of Vanuatu, but a regional issue, which we have moved beyond the level of MSG in which we have differences of opinion on how we deal with the issue of West Papua because the diplomatic of Indonesia is strong. This made Vanuatu the only country in MSG to push the issue ahead. But the issue has now moved beyond the jurisdiction of MSG,” he said.

    “It has moved to the level of the Forum and has become a regional issue. And if you see how the issue was listed in the South Pacific Islands Forum meeting last week to deal with out of 14 issues, one of them is West Papua.”

    “I wish to take this opportunity to commend the Secretary General of the Pacific Islands Forum, Dame Meg Taylor, a very proactive SG who understands the situation of the people of West Papua who are colonized and continued to face human rights abuses on the own land. I note too that when we were at the Pacific Islands Forum last year, PM CS made a lot of bi-laterals with many countries and he talked about the issue of West Papua, for it to come before the Forum Leaders retreat. And at the retreat, PM Salwai took the lead on the issue of West Papua. Because the PM of Solomon Islands was not present so PM Salwai had to do the lobby and he continued to put the issue on the table and he continued to advocate for the issue to come before the United Nations.

    “On the level of the work that the government has done, PM Salwai also appointed me as his Special Emissary for me to undertake shuttle diplomacy in the region, starting last month when the Pacific Islands Foreign Ministers meeting was held in Suva, I went there special emissary of the PM to present a case at bi-laterals of member countries to talk about the importance of how PM Salwai and PM Sogovareh see the issue of West Papua.

    “I also wish to mention to the people of Vanuatu to understand that when the government of today says that we are shifting the issue of West Papua beyond MSG and beyond the region, it simply means also the level of work government is making outside of the region. In around June this year, at the ACP Ministerial meeting in Brussels, the government assigned me to attend this ministerial meeting with Minister Ralph Regenvanu, and because Minister Regenvanu was engaged with other assignments, I undertook this assignment on behalf of Vanuatu where I tabled the issue of West Papua for the first time in history as an agenda at the ACP Ministerial in Brussels, Belgium.

    “I also wish to place on record for the people of Vanuatu to know that government also assigned Ambassador Roy Mickey Joy to do this work in his capacity at the Committee of Ambassadors at the process of ACP to table the issue of West Papua at the Committee of Ambassadors level. The Committee of Ambassadors is comprised of Ambassadors and senior officials of countries based in Brussels to continue to discuss the agenda and formulate resolutions to come to the Ministerial level and at the Ministerial they took up this agenda before it reached the leaders’ level.

    “It was the first time too I lobbied with the Secretary General of ACP to continue to maintain this agenda item at the ACP.

    “I believe strongly that the government will continue to participate at upcoming ministerial meetings and this issue continues to feature prominently in the agenda of ACP.

    “At the same too, with the help provided by the Vanuatu government mission in Brussels, we see a website totally dedicated to ACP and European members to access information on what is happening in West Papua. We all know that today West Papua is a flashpoint, an area of conflict between Melanesia and the Asians, but not country is willing to take this up. We all know too that West Papuans today face a reality of genocide including cultural genocide where thousands of Indonesians everyday flock into West Papua with their immigration policy, which means that the Melanesians will find themselves already a minority in their own land. This is the reason why the people at the time of the New Hebrides were afraid of at that time pushed to have our independence because our land was alienated so much that we were afraid of losing it and our identify. This is an opportunity that the West Papuans have today.

    “West Papuans continue to be exposed to human rights abuse and it is sad to see that not every country want to take up this issue.”

    “I wish to assure the people of Vanuatu that PM Salwai is making everything necessary and we work under him, the PM assigns us with the mandate to make sure that the voice of the voiceless is heard around the world. And today for the first time, in the last two months the lobby pushed by Vanuatu has reached the Caribbean and today I also wish to say that seven countries in the Caribbean out of 15 are behind the issue of West Papua today. And we continue to lobby with the African Union and I believe that in the coming months the government of Vanuatu will continue to push in the African Union so the countries of Africa are more aware of the issue of West Papua.

    “Interestingly, when I conducted a bilateral in June with the government of Belgium, they said they were never aware of West Papua. The issue of West Papua is an issue hidden under a carpet because the press was never allowed to go freely to see the people and to hear from them what happened and their views on the destiny they see for themselves. It is a sad reality that is there.

    “The issue now has progress to the international stage and I say this with a lot of confidence that the issue has never taken so much international attention as it is today simple because the government is serious about, there is no second opinion on it as to whether the government will take up the issue or not.

    “The government has taken on this role because it is a global country and we are global citizens with obligations to defend such things as human rights, which are parts of the rights of a human being.

    In addition to all these, the Prime Ministers of Vanuatu and Solomon Islands are organizing a side event at the UN General Assembly in New York next week to continue to lobby for West Papua, so that when leaders make their political statements at the GA these will reflect these efforts.

    Jonas Cullwick, a former General Manager of VBTC is now a Senior Journalist with the Daily Post. Contact: jonas@dailypost.vu. Cell # 678 5460922

     

  • Nicholas Jouwe, Tokoh Fenomenal Papua Tutup Usia

    Jakarta, PAPUANEWS.ID – Nicholas Jouwe, seorang tokoh Papua yang sempat menjadi sorotan meninggal dunia pada Sabtu (16/9) sekitar Pkl. 03.15 WIB di rumah Duka Jl. Kedondong 16 Komp. Kalibata, Jakarta Selatan.

    Sebagian besar pihak keluarga Nikholas Jouwe menginginkan jenazah dimakamkan di Jayapura (tempat kelahirannya).

    Mantan tokoh pro-kemerdekaan papua ini meninggal di usia 94 tahun. Nicholas Jouwe lahir pada 24 November 1923 di Jayapura.

    Nama Nicholas Jouwe tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan papua merdeka. Ia adalah tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM). Nicholas Jouwe oleh Belanda pernah diperintahkan untuk membuat Bendera Kebangsaan Bintang Kejora.

    Sejak tahun 1960 -2008, ia tinggal di Belanda dan selama itu dimanfaatkan oleh elemen Separatis di luar negeri untuk minta Kemerdekaan Papua ke PBB. Nicholas Jouwe dibawa oleh penjajah Belanda dan dijanjikan akan diberikan Kemerdekaan namun tak kunjung terealisasi.

    Setelah beberapa puluh tahun menetap di Belanda, Nicholas Jouwe merasa hanya menjadi kambing hitam dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia serta menghabiskan sisa hidupnya di tanah air.

    Baca juga :   Pemprov Akan Pecat ASN yang Kedapatan Mabuk

    Sekilas Perjalanan Hidup Nicholas Jouwe

    Nicolaas Jouwe adalah pemimpin Papua yang terpilih sebagai wakil presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda. Sementara itu yang bertindak sebagai presiden dari Dewan Nugini adalah seorang pegawai negeri Belanda, Frits Sollewijn Gelpke.

    Jouwe adalah politisi Papua yang mendapat jabatan tertinggi di koloni tersebut. Setelah koloni tersebut diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda, disana ia menetap di kota Delft. Dia bersumpah tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia, namun pada tahun 2010 ia kembali ke Papua Barat dan kembali menjadi WNI. Pada saat itu Jouwe berubah dari seorang yang pro-kemerdekaan Papua menjadi pro-Indonesia.

    Alasannya kepulangan Jouwe ke Indonesia secara lengkap terdapat dalam sebuah buku karya Nicolaas Jouwe bertajuk: Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan.

    Melalui penuturan Jouwe lewat buku ini, terungkap serangkaian fakta-fakta yang membuktikan adanya konspirasi internasional di balik gagasan menginternasionalisasikan Papua sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Buku ini memulai dengan satu pernyataan menarik dari Jouwe, sebagai bentuk rasa bersalah sekaligus pertobatan atas langkah yang diambilnya kala itu.

    “Saya pribadi menilai pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Namun kini, saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI,” begitu tukas Jouwe.

    Pada bulan Oktober 2008, sebuah film dokumenter ditayangkan di televisi Belanda berisi tentang kehidupan Jouwe. Dalam film dokumenter itu, Jouwe menegaskan sikapnya untuk tidak kembali ke Papua Barat yang diduduki Indonesia. Namun pada bulan Januari 2009, ia diundang oleh pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tanah leluhurnya. Jouwe merespon positif, dan ia akhirnya mengunjungi Papua dan Indonesia pada Maret 2009. Tentang kunjungannya itu, sebuah film dokumenter lanjutan dibuat oleh sutradara yang sama. (dw)

  • Journalist Faces Defamation Probe for Comparing Indonesia’s Treatment of West Papua with Myanmar’s Rohingya

    Indonesian police in East Java are investigating a veteran journalist for comparing former President Megawati Sukarnoputri to Myanmar’s Aung San Suu Kyi in a Facebook post.
    On September 3, 2017, journalist and documentary filmmaker Dandhy Dwi Laksono wrote on Facebook that Megawati and Suu Kyi are alike in many ways, noting that both are former opposition leaders who now head the ruling parties in their respective countries. Dandhy added that if Myanmar’s government is being criticized for its treatment of ethnic Rohingya, the Indonesian government should similarly be held liable for suppressing the independence movement on the Indonesian island of West Papua.
    He further compared Suu Kyi’s silence on the persecution of the Rohingya to Megawati’s role as party leader of the government, which has recently intensified the crackdown on West Papuan independence activists.
    Rohingya people born and living in Myanmar are not recognized as citizens by the Myanmar government. In recent weeks, hundreds of thousands of Rohingya civilians have been displaced from their homes due to clearing operations of the Myanmar military in response to attacks by a pro-Rohingya insurgent group in northwest Myanmar. Tens of thousands of Rohingya refugees, who are mostly Muslim, are crossing into Bangladesh to escape the fighting.
    West Papua is a province of Indonesia with a vocal independence movement that has called for the creation of a separate state since the 1960s. Human rights groups have documented many cases of abuse committed by Indonesian state forces against activists, journalists, and other individuals suspected of supporting the independence movement.
    Dandhy posted his comments on Facebook following a big rally was organized by Muslim groups in Indonesia, condemning the Myanmar government for its treatment of Rohingya refugees.
    The youth arm of the ruling Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) filed a defamation complaint against Dandhy on September 6:
    On the whole, (Dandhy’s) opinion was clearly intended to take advantage of the Rohingya incidents in Myanmar in order to insult and spread hatred of Megawati Soekarnoputri as the chairwoman of PDI-P and Joko Widodo as the president who is backed by PDI-P.
    He is now under investigation by the police cyber crime unit. If he is prosecuted for and convicted of defamation, Dandhy could face up to four years in prison.
    Reacting to the complaint, Dandhy wrote that it is a minor issue compared to the injustices suffered by Papuan activists and Rohingya refugees.
    The complaint is the latest case of how the Electronic Information and Transactions (ITE) Law is being used to silence dissent in the country.
    According to Indonesian digital rights group SAFEnet, at least 35 activists have been charged with online defamation since its enactment in 2008. Aside from Dandhy’s case, the group has documented six defamation charges involving activists and journalists in 2017.
    Activists were quick to launch a campaign expressing support to Dandhy. They asserted that Dandhy was simply expressing an opinion which should be considered legitimate criticism and not a criminal act.
    SAFEnet is encouraging Indonesian netizens to submit reports and testimonies about how the ITE Law is being abused to silence activists like Dandhy and suppress online free speech in general.
    Instead of preventing the public from commenting on Megawati, a local investigative portal suggested that Dandhy’s case could in fact trigger greater interest in the former president’s legacy as a leader, including some of the issues that led to her defeat in the polls.
  • Victor Yeimo: Cara Menyikapi Dialog Sektoral

    Begitu mendengar Jokowi setuju Dialog Sektoral yang diusulkan 14 orang Papua di Istana Presiden, Jakarta, KNPB mengambil sikap menolak. Alasannya, bukan karena alergi dan takut pada dialog. Juga bukan karena kedengkian terhadap setiap orang yang berupaya mencari solusi damai. Penolakan KNPB jelas, yakni adanya perspektif, metode dan tujuan yang salah dalam dialog.

    Ketika membaca isi dari dialog sektoral, tidak ada korelasi penyelesaian konflik Papua-Jakarta. Ini justru menjadi kesalahan perspektif para penggagas dan Jakarta. Menghubungkan dialog sektoral sebagai penyelesaian konflik adalah suatu penyesatan. Karena, hanya manusia tersesat yang akan menempuh jalur buntuh.

    Urusan penyelenggaraan pemerintahan di berbagai sektor adalah tanggung jawab negara yang harus diselesaikan melalui peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Menjawab ketimpangan di sektor-sektor tersebut, sejak aneksasi Papua, Indonesia sudah banyak bikin program dan banyak gagal. Artinya, sebagus apapun hasil dialog sektoral tidak akan mewujudkan tujuan damai yang diimpikan.

    Lantas, apakah metode dialog itu salah? Karena perspektif penyelesaian terhadap apa yang disebut “konflik” itu tidak jelas, maka cara penyelesaian pun tidak tepat. Karena metode yang tepat dalam menyelesaikan konflik sektoral sudah sedang terjadi melalui “blusukan” Jokowi 3 kali setahun ke Papua.

    Selain itu, Jokowi pun aktif membangun komunikasi (berdialog) dengan kedua Gubernur di Papua Bupati-Bupati, dan berbagai lapisan masyarakat. Lalu, negara ini punya perangkat hukum dan penegak hukumnya bila ada malpraktek penyelenggaraan pembangunan di berbagai sektor kepemerintahan Indonesia di Papua. Tidak perlu repot-repot gagas dialog Jakarta-Papua.

    Karena Perspektif dan metodenya salah, maka sudah tentu tujuan dari dialog sektoral tidak dapat tercapai, dan hanya menjadi bahan politik pencitraan Jakarta. Bukan saja sebagai bahan kampanye Jokowi menuju Pilpres 2019, tetapi sebagai bahan kounter opini publik Internasional yang sedang mendorong penyelesaian internasional.

    Oleh karena itu, sikap yang diambil KNPB jelas tidak berurusan dengan “dialog sektoral” yang membahas urusan-urusan internal dari kekuasaan pemerintahan kolonial Indonesia di tanah Papua. Mau dialog sampai 1001 kali pun silahkan. KNPB hanya berurusan dengan penyelesaian konflik dua entitas, antara pihak penjajah dan terjajah. Antara orang Papua di teritori West Papua, dan penguasa Indonesia yang merampas dan menduduki wilayah ini. Antara pemilik sah dan pencaplok illegal.

    Itulah yang disebut konflik. Dan konflik seperti ini tidak pantas diselesaikan melalui dialog. Tidak logis, perampok berdialog dengan pemilik rumah mencari win-win solution tentang status kepemilikan. Rakyat Papua yang mengalami kepincangan (penindasan) di segala sektor kehidupannya adalah hasil dari praktek kolonialisme Indonesia. Semua pihak mesti berhenti bersandiwara menyempitkan persoalan pokok menjadi persoalan sektoral?

    Klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua tidak dibenarkan oleh hukum internasional. Sementara, rakyat West Papua di teritori West Papua secara sah belum menentukkan nasib politiknya di bawah hukum internasional. Karena itu, metode penyelesaian harus dikembalikan melalui jalur legal, sesuai hukum internasional yang berlaku. West Papua bukan bagian dari rumah tangga Indonesia yang penyelesaiannya melalui cara-cara internal. West Papua ada urusan internasional yang harus dikembalikan ke PBB.

    West Papua adalah urusan PBB yang belum selesai. Karena belum selesai, PBB mesti mendorong mekanisme referendum sebagai satu-satunya solusi dalam menentukan nasib rakyat West Papua diatas tanah Papua. Solusi damai hanya bisa terwujud bila rakyat West Papua diberi hak untuk menentukan pilihan politik untuk berintegrasi dengan Indonesia atau merdeka sebagai sebuah negara-bangsa melalui Referendum.

    KNPB mendorong referendum sebagai media penyelesaian yang damai, demokratis dan final. Dalam referendum tidak ada win-win solution, karena yang ada hanya solusi tunggal dan final. Dalam referendum, tidak ada istilah perwakilan. Tidak ada rekayasa. Yang ada hanya satu orang satu suara. Memilih untuk menentukan nasib masa depannya.

    Disinilah dialog-dialog tentang penentuan syarat-syarat referendum dibahas bersama-sama dengan penguasa Indonesia. Disinilah saat-saat dimana Indonesia dapat menguji seberapa besar orang Papua yang cinta dan ingin Indonesia tetap menduduki West Papua. Sebaliknya, rakyat West Papua dengan jujur memilih berdiri sendiri, mendirikan sebuah negara yang merdeka. Solusi damai ini sudah terjadi di berbagai konflik yang mengambil penyelesaian lewat referendum.

     

    Victor Yeimo
    Ketua umum KNPB

  • Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi: Yesus Matikan Ego-Nya & Tingalkan Tahta-Nya Dulu Baru Menang Atas Maut!

    Sekretaris-Jenderal Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Lieutenant General TRWP Amunggut Tabi mengirimkan 5 pesan singkat kepada PMNews berisi pesan-pesan kepada pengurus ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) dan semua pejuang kemerdekaan West Papua di manapun kita berada. Terkait kondisi kacau-balau dengan agenda dan kampanye yang terlihat jelas di mata masyarakat internasional belakangan ini, menyusul seruanya beberapa waktu lalu, kini kembali lagi, Amunggut Tabi menyampaikan pesan-pesan Panglima Tertinggi Komando Revolusi West Papua – TRWP, Gen. TRWP Mathias Wenda dengan judul,” Yesus Matikan Ego-Nya dan Tingalkan Tahta-Nya Dulu Baru Menang Atas Maut!”

    “Matikan Ego berdasarkan pribadi, suku, organisasi dan Tahta Pribadi dalam kampanye Papua Merdeka selama ini, dan Menyerah kepada ULMWP dan semua programnya, maka kita akan sanggup kalahkan NKRI!” Itu sama dengan Yesus matikan egoNya dan tinggalkan tahta-Nya di surga, dan merelakan dirinya, turun ke Bumi, menjadi sama dengan manusia, dan bersedia mati. Dari situ, dengan modal dasar kesanggupan-Nya itulah, maka Dia dengan telah dengan mudah mengalahkan maut, dan bangkit dari antara orang mati.”

    Apa yang dilakukan Yesus mengandung makna sangat mendalam, sangat fundamental, dan siapa saja berani dan sanggup mematikan egonya, dan meninggalkan tahtanya, rasa enak-nya, rasa aman-nya, kebiasaan dan statusnya dalam masyarakat dan kelompoknya, dan mengambil langkah untuk kepentingan bersama, mengorbankan apa yang dimiliknya secara pribadi ditinggalkan untuk kepentingan bersama, maka orang-orang itu, pengurus ULMWP dan pejuang Papua Merdeka itulah yang akan sanggup mengalahkan NKRI.

    Pesan selanjutnya mengatakan

    Beritahukan kepada semua pejuang bangsa Papua, siapa saja yang masih tidak sanggup mengalahkan ego-nya, yang masih bicara “saya”, dan “kelompok saya”, “organisasai saya”, “aku”, “me”, “I am”, dan siapa saja yang masih mau tinggal di tempat dia tinggal sebelum pembentukan ULMWP, maka dia tidak layak mengurus Papua Merdeka. Dia cocok urus pribadinya, keluarganya, tinggal di rumahnya, mengurus egonya, memanjakan dirinya dan berbesar hati di dalam tempat kediamannya sendiri, bukan tempat pusat perjuangan Papua Merdeka.

    Bukan karena mengurus ego tidak baik, tetapi karena orang-orang yang tunduk kepada egoisme pribadi adalah orang-orang yang tidak layak mengurus kepentingan umum, apalagi mengorbankan dirinya untuk semua orang. Kita akan melihat sandiwara mengatas-namakan Papua Merdeka, sama seperti yang telah lama terjadi di mana-mana.

    Pesan ini diteruskan lagi sebagai berikut

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) TRWP sudah kami sampaikan semua pengurus ULMWP sekarang pindah dan tinggal di Kantor Pusat ULMWP. Sekarang harus bangun kantor ULMWP. TRWP pada tahun 2004 sudah diberikan sebidang tanah secara resmi dengan sertifikat Tanah di kepulauan Espiritu Santo, Republik Vanuatu, itu tanah negara West Papua pertama di luar negeri, pengurus ULMWP tahu tanah itu, mengapa tidak bangun kantor ULMWP di sana dan semua pengurus tidak pindah ke sana? Mengapa masing-masing tinggal di tahta dan mempertahakan ego-nya tetapi pura-pura bicara atas nama West Papua? Ini perusakan perjuangan

    Pesan ini juga menyerukan semua anggota ULMWP supaya bergabung dengan Sekretaris-Jenderal ULMWP, mendukung apa saja yang diarahkannya, dan tidak bertindak sendiri-sendiri di luar itu.

    Sementara itu juga disampaikan kembali bahwa dalam perjalanan waktu kita sudah ketinggalan jauh dari langkah-langkah NKRI. ULMWP harus memiliki sebuah Undang-Undang Dasar Sementara yang mengatur tata-pemerintahan, organisasi dan menejemen perjuangan kemerdekaan West Papua. Tanya Tabi,

    Ini mau urus negara ka, atau mau kerja kebun di kampung? masing-masing bawa parang, kampak, bagi jalan masing-masing?

    Ini urus negara, ini negara modern, ini politik Papua Merdeka, bukan perang suku, bukan kebun keluarga.

    Kalau urus negara harus ada Undang-Undang jelas, semua orang yang di dalam ULMWP harus diatur oleh Undang-Undang Dasar, bukan “ego”, bukan organisasi buatan sendiri, bukan dari tempat tinggal sendiri tetapi dari Kantor ULMWP.

    Gen. Tabi menutup SMS-nya dan mengatakan, selama ada yang tidak beres, PMNews harus terus memberitakan apa yang benar, tanpa memilih suku, keluarga, marga, apapun. PMNews harus berpihak kepada “kebenaran”, bukan kemauan, bukan penilaian pribadi/ kelompok.

  • Sekjen PIF berjanji isu West Papua akan didengarkan oleh pemimpin PIF

    Sekjen PIF berjanji isu West Papua akan didengarkan oleh pemimpin PIF

    Sekretaris Jenderal PBB kedua, Dag Hammarskjold
    Sekretaris Jenderal PBB kedua, Dag Hammarskjold

    Jayapura, Jubi – Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Dame Meg Taylor, berjanji kepada demonstran yang berdemo dihadapan pemimpin dan delegasi PIF lainnya bahwa suara mereka tentang West Papua akan didengar oleh para pemimpin yang menghadiri Pertemuan Pemimpin PIF ke-48 minggu ini.

    Dame Meg menyampaikan janji itu saat dia secara pribadi menemui para demonstran di depan Hotel Samoa Sheraton Aggie Grey, Senin (6/9/2017) pagi.

    “Papua Barat mungkin tidak memiliki kursi di meja Forum Pemimpin Pasifik minggu ini namun mereka tidak dilupakan oleh orang Samoa,” kata pemimpin demonstrasi tersebut, Unasa Iuni Sapolu, Kamis (7/9/2017).

    Unasa yang merupakan seorang pengacara terkemuka di Samoa mengatakan para demonstran adalah anggota Serikat Pekerja Selandia Baru, Serikat Petani Samoa, Pejuang Iklim Pasifik dan para pendukung Free West Papua, bergabung untuk berdemonstrasi di luar pertemuan PIF.

    “Sekretariat Forum Dame Meg Taylor secara pribadi menemui para demonstran sebelum berangkat ke Sheraton,” kata Unasa.

    Para demonstran meneriakkan “Freedom for West Papua” dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dari Mau.

    Para demonstran menyampaikan pesan mereka dengan keras dan jelas kepada para delegasi, para pemimpin dan delegasi lainnya saat anggota PIF berangkat ke Sheraton untuk memulai hari pertama perundingan resmi setelah pembukaan malam sebelumnya.

    Namun karena para demonstran ini tidak memiliki izin berdemo, polisi setempat meminta mereka mengurus izin terlebih dulu.

    Jerome Mika dari Serikat Pekerja Selandia Baru lalu berbicara dengan Unasa dan setuju untuk meninggalkan daerah tersebut sampai ijin dapat diproses.

    Kelompok demonstran ini datang kembali sore hari untuk melanjutkan aksi mereka setelah izin didapatkan.

    “Jika ada masalah legalitas aksi kami maka kami akan meminta polisi untuk mengkonfirmasi secara tertulis dan menyebutkan apa tindakan kejahatan yang tidak boleh kami protes,” kata Mika. (*)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?