Blog

  • Penyakit Kedua Papua Merdeka: Selalu Mencurigai Sesama Pejuang Papua Merdeka

    Penyakit kedua setelah “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok sebagai penghalang utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka ialah “mentalitas mencurigai“, dan bukan itu saja, tetapi berlanjut kepada “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Ada dua hal di sini, pertama “mencurigai” dan disusul dengan “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Siapaun bisa bayangkan apa dampaknya kalau penyakit “mencurigai” sesama pejuang ini ada dalam sebuah perjuangan. Masalah egoisme saja berdampak fatal bagi perjuangan ini, ditambah lagi dengan penyakit “mencurigai”.

    PMNews minta kepada para pembaca di mana-pun Anda berada, silahkan saja dengarkan cerita-cerita di mulut para pejuang Papua Merdeka. Pertama anda akan lihat sebelum dan sementara mereka bicara mata mereka akan lari ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Apa artinya ini? Coba cari di google.com, apa artinya gerakan-gerakan ini secara prikologis.

    Dan lucunya lagi, orang Papua yang dari tahun ke tahun selalu ditipu itu masih saja mau ditipu oleh orang Papua yang menamakan dirinya pejuang Papua Merdeka.

    • Apa artinya lihat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah?
    • Artinya ada sesuatu yang mereka mau sembunyikan. Tetapi pertanyaan lanjutan ialah, mereka mau sembunyikan dari siapa: dari NKRI, dari Iblis, dari Tuhan, atau dari sesama pejuang Papua Merdeka juga?
    • Apakah anda tahu perilaku tukang gosip? Gerakannya memang betigu.
    • Apa yang digosipkan?

    Cerita tentang sesama pejuang Papua Merdeka, makanya lihat ke kiri dan kekanan ke atas dan ke bawah. Itu pertama manusia tukang gosip. Itu manusia penyebar virus mematikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

    Kalau saja perjuangan Papua Merdeka punya “Lembaga Etik dan Perilaku Perjuangan Papua Merdeka”, maka kami yakin 99.99% pejuang Papua Merdeka sudah harus dipecat terhormat dan tidak terhormat karena perbuatan dan perilaku menggosip dan mencurigai sesama pejuang tanpa dasar hukum dan etika yang jelas.

    Tetapi itu jelas hanya mengandai-andai. Kenyataanya saling mencurigai dan menggosip tentang sesama pejuang Papua Merdeka itu bukan penyakit baru, tetapi itu sangat melekat dan bertumbuh bersama penyakit utama dan pertama, yaitu “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok.

    Karena ada egoisme, untuk membela egoisme, maka mereka selalu memikirkan alasan untuk menentang, memisahkan diri dan tidak menyatukan diri. Dan alasan yang paling mudah muncul dan dipelihara ialah “kecurigaan” dan “mencurigai” sesama pejuang sebagai oknum dan organisasi yang dipakai oleh lawan politik, entah NKRI ataupun kekuatan barat.

    Kami juga tidak boleh naif, dan menyangkal fakta bahwa kepentingan NKRI, kepentingan Eropa (terutama Inggris), kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan Australia turut bermain di Tanah Papua. Oleh karena itu kewaspadaan itu penting. Kita tidak boleh bermain tanpa kewaspadaan. Akan tetapi “mencurigai sesama pejuang” adalah perbuatan tidak etis. Apalagi menggosipkan serta me-label-kan sesama pejuang adalah perbuatan merendahkan martabat diri sendiri dan martabat perjuangan kita menentang penjajahan.

    Pada saat ini ada gosip beredar di Tanah Papua, tentang para tokoh di dalam tubuh ULMWP. Ada yang mengatakan orang ini titipan CIA Amerika Serikat, ada yang bilang itu titipan BIN NKRI, ada yang sebut ini orang gunung, dan itu orang pantai, ini orang Pemka dan itu orang Marvic, ini orang WPNCL dan itu orang PNWP, ini orang NRFPB dan itu orang TRWP.

    Masih ada orang mengaku diri OPM 1 Juli dan OPM asli, lalu menyebut ULMWP itu sudah tidak berjuang untuk Papua Merdeka lagi.

    Ada juga yang mengatakan OPM harus dihidupkan kembali dan alasannya ialah ULMWP tidak mewakili semua organisasi perjuangan Papua Merdeka.

    Ada yang menyebut Okto Motte itu titipan CIA, ada juga yang menyebut Benny Wenda suruhan MI5. Ada juga yang mengatakan Andy Ayamiseba itu sekarang ini bekerjasama dengan BIN Jakarta untuk mematikan perjuangan Papua Merdeka. Ada lagi yang mengatakan TRWP itu musuh TPN/OPM, ada pula yang bilang TPN PB itu bentukan BIN/NKRI.

    Lebih tidak pintar lagi, ada yang mengatakan TRWP itu milik suku tertentu, TPN / OPM itu milik Papua Merdeka. Ada pula yang sebut OPM 1 Juli itu murni, OPM 1 Desember itu palsu.

    Hai orang Papua, hai pejuang Papua Merdeka! Siapa kau? Kalau retorika-mu, kalau tindakan-mu, tidak kelihatan menentang tetapi nyata-nyata menghambat Papua Merdeka, engkau sudah jelas, dan sudah pasti LAWAN dari Papua Merdeka dan musuh dari aspirasi Bangsa Papua. Dan satu hal lagi, engkau lebih jahat daripada NKRI/ BIN, daripada Amerika CIA, daripada Inggris MI6.

     

     

     

     

    s

    ssd

    Dalam nama Tuhan Pencipta dan Pelindung tanah dan bangsa Papua, kami menyerukan kepada semua orang Papua, terutama para pejuang Papua Merdeka, ” Bertobatlah!” dan “Bertobatlah!”

    • Berhentilah mencurigai sesama pejaung Papua Merdeka
    • Akhiri menggosip dan menyalahkan sesama pejuang Papua Merdeka.

    Mari kita bangun saling percaya kepada sesama kita. Mari kita hentikan kata-kata merusak hubungan kita. Mari kita berpikir positif, dan bertindak positif. Mari kita belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.

    Buanglah ego pribadi dan ego kelompok. Tinggalkan cara kerja lama. Di Tanun yang baru ini, di tahun 2018 dan ke-depan, dalam kepengurusan ULMWP yang baru ini, mari kita berjuang dengan dasar saling menghargai, saling menerima, saling mengakui, dan saling mendukung sebagai sesama bangsa Papua, sesama pejuang kemerdekaan West Papua, dan terutama dan pertama sebagai sesama umat manusia, umat Tuhan di Tanah Papua.

  • Ego-isme dalam Papua Merdeka mewarnai Retorika TPN/OPM, TRWP, OPM dan ULMWP

    Dalam beberapa artikel sebelumnya, Papua Merdeka News (PMNews_ menyoroti betapa “Ego” dan “kemauan pirbadi” telah menjadi penghalang pertama, penyakit akut, dan perusak utama perjuangan Papua Merdeka. Kita sebut ini penyakit perjuangan. Penyakit yang menyebabkan para tokoh Papua Merdeka saling memusuhi, bahkan saling membunuh. Penyakit yang dampaknya ialah kerusakan dan pembusukan hampir stengah abad lamanya.

    Generasi muda saat ini masuk ke dalam skenario ego-isme pribadi dan kelompok dan termakan oleh ego itu sendiri. Pemuda saa tini tidak sadar, bahwa generasi pertama perjuangan Papua Merdeka telah menyebarkan virus mematikan Papua Merdeka yang begitu sulit disembuhkan.

    Untung sekali pada awal tahu 2000, Senior OPM (Marvic) Andy Ayamiseba bersama Rex Rumakiek dan Senior OPM (Pemka) Alm. Dr. OPM John Otto Ondowame memutuskan untuk secara “deliberate” dan langsung mempersatukan perjuangan Papua Merdeka menjadi satu “OPM”, 1 Juli dan 1 tujuan, yaitu West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

    Mereka lakukan hal pertama, mereka semua pindah dan tinggal di Port Vila. Dan kedua mereka membentuk sebuah wadah bernama WPPRO (West Papuan Peoples’ Organisations Office). Begitu dibentuk, Wakil Perdana Menteri Vanuatu waktu itu Serge Voghor langsung mengakui kehadiran WPPRO dan mengakui perjuangan Papua Merdeka.

    Pada tahun 2004, utusan khusus Panglima Tertinggi TPN/OPM Gen. Mathis Wenda, Captain TPN/OPM Amunggut Tabi bersama Perwira Tinggi lainnya menuju ke Port Vila dan melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi.

    Hasil daripada diskusi dan arahan-arahan waktu itu, akhirnya dibentuklah sebuah badan konsolidasi para panglima perjuangan Papua Merdeka sejak tahun 2004, dan mulai bekerja sejak itu juga. Selama 2 tahun, semua panglima di hutan rimba New Guinea memberikan mandat penuh kepada Jend. TPN/OPM Mathias Wenda untuk memimpin rekonsiliasi komando dan mengumumkan kepada dunia tentang penyatuan komando dan struktur organisasi.

    Pada November 2006, terselenggara sebuah Kongres Militer di Wutung, Papua New Guinea, dan memutuskan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) sebagai organisasi sayap militer perjuangan Papua Merdeka. Namun cukup disayangkan, dengan alasan “ego pribadi” para pejuang Papua Merdeka juga, maka ada pemuda Papua Merdeka yang mengatakan “TRWP” tidak sah, dna harus kembali kepada nama TPN/OPM.

    “Ego” itu pula-lah yang menyebabkan dilakukan banyak aksi-aksi tambahan berlanjut. Tujuan penyatuan yang diperjaungkan selama dua tahun, yang juga didukung bersama oleh pasukan, panglima dan para pemuda Papua Merdeka itu dihansurkan oleh “egoisme” mereka sendiri. Hanya oleh “ego” pribad perjuangan ini macet total. Tidak ada urusan dengan NKRI, permainan BIN atau agen lainnya. Ini jelas-jelas “eg6o” dalam operasi melawan Papua Merdeka itu sendiri.

    Sejak tahun 1963 sampai tahun 2014, bangsa Papua mengira perjuangan ini melawan NKRI. Padahal tipu! Itu salah! Faktanya bukan begitu! Sejarah perjuangan kita mengajarkan dengan terang-benderang bahwa kita secara bertahun-tahun lamanya, berturut-turut dan berulang-ulang dihajar babak-belur sampai hancur-berantakan oleh “ego” pribadi dan ego kelompok sendiri. Itu persoalan pertama dan utama dalam perjuangan Papua Merdeka.

    Begitu WPNCL dibentuk dan mengajukan permohonan kepada MSG di Kaledonia Baru, para pemimpin negara-negara MSG menusuk dan mengoperasi persis penyakit akut dan menahun dalam perjuangan Papue Merdeka. Mereka bilang “Satukan semua faksi dulu baru daftar ke MSG”.

    Terpaksa WPNCL harus mundur selangkah, mengundang semua organisasi perjuangan yang belum tergabung untuk menyatukan barisan dan sukses membentuk ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

    Setelah ULMWP dibentuk dan selama kiprahnya tiga tahun terakhir, PMNews mengira “Ego” itu yang sudah dikalahkan. TETAPI rupanya kami salah. Justru “Ego” itu beroperasi liar dan menggila-gila. Di satu sisi kita menganggap sudah bersatu, dalam kenyataannya dan prakteknya persatuan sulit kita temukan.

    Setelah tiga tahun, ULMWP melakukan sidang pergantian pengurus ULMWP. Baru akhir tahun 2017, pengurus ULMWP baru dipilih.

    Pertanyaan sekarang adalah

    • Apakah “ego” pribadi dan ego kelompok itu sudah disalibkan dan mati di atas kayu salib?

    Walaupun sudah ada Kongres Militer (TPN/OPM) November 2006, walaupun sudah ada deklarasi di Port Vila tahun 2000, 2001, 2014 dan sebagainya. Biarpun sudah terbentuk kebersamaan dalam perjuangan ini, kami orang Papua memang memenuhi syarat untuk dijajah sampai kiamat. Alasan pertama, terutama dan mendasar ialah karena

    “Kami orang Papua tidak pernah dan tidak sanggup mengalahkan ego pribadi dan ego kelompok”

    1. Kalau begini kondisinya, apa artinya nasionalisme Papua?
    2. Apa itu perjuangan Papua merdeka? Siapa penyebab pengorbanan terus-menerus dan NKRI tetap ada, menduduki Tanah Papua, menjarah kekayaan alam West Papua dan membunuh manusia Papua?
    3. Apakah para “egois” ini memang benar-benar berjuang untuk Papua Merdeka?
    4. Apakah mereka “titipan” Iblis NKRI untuk membunuh Papua Merdeka?

    Eh, dengar apa tidak?

    Kalau ada orang Papua masih menentang kehadiran ULMWP dan mengaku diri OPM asli, OPM 1 Juli, OPM benar, maka apakah itu utusan malaikat surga untuk Papua Merdeka, atau utusan Iblis untuk menghancurkan perjuangan ini?

  • Tenny Kwalik Panglima KODAP III Meninggal Dunia

    Pada hari ini, Kamis 11 Januari 2018, Panglima Kodap III, Tenny Kwalik telah meninggal di Markas Komando Pertahanan Kalikopi, Timika, West Papua. Tenny meninggal pada pagi hari, setelah menderita sakit paru-paru basah selama seminggu.

    Terima kasih atas cinta dan dedikasi tiada undur bagi tanah dan negeri West Papua, wahai pemilik Nemangkawi. Semoga spirit perlawanan melawan Freeport perampok, dan kolonialisme Indonesia, tinggal bertumbu dalam sanubari kami selamanya.

    Sayang!

    ========
    Tenny Kwalik diangkat menjadi PANGLIMA KODAP III, setelah Kakaknya Kelly Kwalik Di Bunuh Oleh DENSUS 88. TENNY Diangkat pada tahun 2012 sampai 2018 Hari ini kamis 11 Januari 2018.

    Berikut sedikit Riwayat Hidup.
    Nama : Theny Kwalik
    T. T. L : Amungsa 19 Mei 1975
    Pangkat : Brigjen TPN- PB
    Jabatan : panglima KODAM III nemangkawi papua barat
    Menjabat: panglima tahun 2012
    Setelah Jenderal Germanus Onawame meningal.

    Riwayat:
    Pendidikan dasar hinga perwira diselesaikan di Tinta maya pusat latihan Kodam III Kalikopi, tahun 1990, saat itu Theny Kwalik umur 15 thn.

    Setelah lulus langsung ditempatkan sebagai komandan di staf kodam III Kalikopi Timika pada thn 1990 – 1995.

    Pada Thn 1996, Theny Kwalik pimpin operasih di mapenduma bersama Kakaknya Kelly Kwalik dan Daniel Kogaya Pimpinan Kodap Mapeduma atau KAB NDUGA Sekarang.

    Pada Thn 1998 Then Kwalik dipercayakan sebagai pimpinan untk mengibarkan bendera di kampung jila. Pada Thn 1999/2000 Theny Kwalik Pimpin kibarkan bendera BINTANG FAJAR di tiga raya timika papua.

    Pada Tahun 2002 Theny Kwalik diangkat menjadi komandan batalion pusat markas pusat kali kopi sampai tahun 2006.

    Pada Tahun 2007-2011 diangkat menjadi komandan operasih kodam III Timika Papua.

    Pada Tahun 2012 Theny Kwalik diangkat menjadi panglima Kodam III Timika Papua, sampai sekarang Kamis 11 Januari 2018, Tenny Kwalik Meninggal Dunia di Markas Pertahanan TPN-OPM Kali Kopi Timika.

    Penyebab Kematian sakit Paru_Paru Basah, Alm. Theny Kwalik mengalami sakit paru-Paru basah selama 6 bulan lebih bertahan di markas kali kopi tanpa pengobatan medis. Dan akhirnya meningal dunia hari ini kamis 11 januari 2018 jam 14.15 wpb di markas pusat TPN-PB di kali kopi papua barat.

    DiLaporkan dari Sekretariat Markas Pertahanan Kali Kopi Timika.

  • Setelah Kantor ULMWP Ada Kapan Pejabat ULMWP Pindah dan Menetap di Port Vila?

    Yang menjadi pertanyaan umum di seluruh dunia, dan sekarang ini juga menjadi pertanyaan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas Pusat Pertahanan (MPP), yaitu

    “Kapan para pemimpin politik dan diplomasi Papua Merdka bersatu-padu membangun kebersamaan dan kesatuan secara personal dan pindah bekerja sehari-hari di kantor perjuangan Papua Merdeka?”

    Dulu Seth Jafeth Roemkorem sebagai Ketua OPM/ Presiden Pemerintahan Sementara Republik West Papua tinggal di Belanda, menjalankan kegiatan Papua Merdeka dari Negeri Belanda. Jacob Hendrik Pray juga menjadikan Malmo Swedia sebagai kantor OPM/ Ketua Parlemen Republik West Papua. Di PNG OPM Revolutionary Council di bawah Moses Weror juga menjalankan kampanye Papua Merdeka dari Madang. Demikan juga dengan Clemens Runawery, Otto Ondawame, Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek.

    Belakangan Willy Mandowen, Thom Beanal, Theys Eluay, Sem Karoba, Benny Wenda, Jacob Rumbiak, John Rumbiak, Jonah Wenda, dan banyak lagi, mengkleim diri sebagai pejuang Papua Merdeka, dan mendirikan berbagai macam organisasi, berkampanye untuk satu barang bernama “Papua Merdeka”.

    Semua aktivis Papua Merdeka menjalankan kegiatan Papua Merdeka menurut “gut feeling” dan “instinct” dari masing-masing “hewan politik”, berdasarkan naluri hewani yang dimiliki masing-masing orang. Kita hanya memiliki “roh perjuangan”, tetapi tidak pernah memiliki 3-C menurut Alm. Dr. OPM John Otto Ondawamena (Concern, Commitement and Consistency). Menurut Ondawame, semua orang Papua punya concern dan consistency, dan juga sebagian ‘commitment” tetapi sampai detik ini, ‘commitment untuk menghapus dan melupakan ego-ego kelompok dan pribadi tidak ada sama sekali’.

    Jawaban ini diberikan Alm. Dr. OPM Ondawame saat ditanyakan oleh Maj. Gen. TRWP Amunggut Tabi di tahun 2004, dalam percakapan-percakapan lepas menganalisis persoalan yang dialami perjuangan Papua Merdeka.

    Bukti-bukti tidak ada ‘commitment’ itu yang palin gmenonjol ada dua, yaitu pertama ke-enggan-an public figure dalam perjuangan Papua Merdeka. Dan hal kedua ialah kerelaan para pemimpin Papua Merdeka untuk membentuk satu keluarga pejuang Papua Merdeka, tinggal di satu tempat, bekerja dari satu kantor, bicara satu bahasa, punya satu program, dan saling menghargai.

    Menurut Alm. Dr. OPM Ondawame kepada Maj. TRWP Tabi,

    Jadi adik, saya dengan kakak Andy Ayamiseba putuskan untuk pindah ke Port Vila Vanuatu karena kami mau bikin sendiri lewat perbuatan kami, kami mau tinggal sama-sama, di satu tempat, dan berjuang untuk satu tujuan, sebagai satu keluarga, satu bangsa. Komitmen pribadi ada, tetapi kami punya banyak organisasi dan karena itu kami dua bentuk West Papuan Peoples’ Representative Office (WPPRO) di Port Vila dalam rangka menyatukan kami dua dan mendorong commitment kami menjadi sebuah kekuatan bersama. Kami juga dengan Kak Rex Rumakiek, kami mintak kak Rex di Suva, Fiji karena dia penting untuk ada di sana.

    Jadi, ini contoh budaya politik Papua Merdeka dari tiga tokoh yang patut dicontoh oleh generasi muda pejuang Papua Merdeka.

    Sekarang para pejabat ULMWP tinggal di mana? Setiap hari pekerjaanya apa? Fokus hidup mereka apa? Bahan-bahan sidang dan persoalan internal ULMWP disampaikan kepada siapa? Mereka di-ekspose kepada siapa? Siapa yang memberikan saran dan kritik terhadap mereka kalau mereka jalan masing-masing? Berapa sering para pengurus ULMWP bertemu? Setahun sekali? Tiga tahun sekali? Di mana komitment Papua Merdeka bisa dibanggakan kalau masing-masing pulang ke negeri ke-warga-negara-an mereka tetapi masing-masing bicara Papua Merdeka?

    Memang hal yang logis. Contoh kasus, Joko Widodo berasal dari Solo, Jawa Tengah. Pada saat beliau terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau pindah dan tinggal di Jakarta, di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau juga pindah ke Jakarta, tinggal di Rumah Presiden R.I. Nah sekarang orang-orang pengurus ULMWP tinggal di mana?

    Aneh!

    Kalau kita main drama “aneh” di dunia ini, jangan bermimpin mengharapkan sebuah Papua Merdeka hadir atas mujizat Tuhan di permainan yang serba “Aneh” ini. Harap maklum!

  • TRWP: Fokus dengan Perjuangan Papua Merdeka, Dinamika Internal Harus Dikesampingkan

    Sejak perjuangan Papua Merdeka, dengan nama “nasionalisme Papua” dimulai, ada satu persoalan utama yang masih menjadi persoalan samapi hari ini, yaitu “ego pribadi” dan “ego kelompok”. Orang Papua dalam perjuangan Papua Merdeka sampai hari ini kebanyakan belum “menyalibkan” ego pribadi dan kelompok. Entah itu kelompok suku/ marga dan kelompok organisasi politik dan militer masih sangat kuat dan punya dampak besar terhadap keputusan dan semangat perjuangan Papua Merdeka daripada “spirit” perjuangan itu sendiri.

    Di samping kedua “ego” dimaksud, ada juga “ego” yang kita bangun sendiri dalam era kegiatan kita dengan teman-teman pendukung entah di Melanesia maupun di balahan Bumi lain. Berangkat dari ego pribadi tadi, kita selalu mempertahankan dan tidak mau memanfaatkan hubungan-hubungan dan pihak-pihak yang telah menjadi teman-teman kita untuk mendukung Papua Merdeka. Kita cenderung menjadikan mereka sebagai “kolega egoisme kita” sehingga mereka tidak hanya mendukung Papua Merdeka, tetapi juga mendukung kita secara pribadi.

    Kita selalu melekatkan diri pribadi (ego pribadi) kita dengan perjuangan Papua Merdeka. Ini sesuatu yang gila, tetapi harus diingatkan khususnya berdasarkan sejarah perjuangan kemerdekaan West Papua bahwa kondisi ini “mematikan” perjuangan Papua Merdeka.

    Terkait kondisi ini, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi mengatakan

    Orang Papua, khususnya pejuang yang menyebut diri diplomat dan politisi Papua Merdeka belum juga matang, belum dewasa, kelihatan tidak ada yang sudah menyalibkan ego-nya demi ego Papua Merdeka, yaitu ego aspirasi, bukan ego individu dan kelompok.

    Giliran TRWP ajukan UUDRWP, kata orang-orang ini, draft ini berbauk ke-suku-an dan ketinggalan zaman, perlu ditolak. Tetapi kelakuan para polisi dan diplomat ini sendiri lebih kuno lagi.

    Kapan Papua Merdeka-nya kalau perilaku politisi-nya kanak-kanak dan kuno seperti ini? “Ego” pribadi dan kelompok lebih kuno daripada Demokrasi Kesukuan.

    Demokrasi Kesukuan adalah sebuah “demokrasi” sistem pemerintahan. Ego adalah milik kita semua sejak manusia hadir ke muka Bumi, yang membedakan mahluk manusia dengan makhluk hewan dan tumbuhan. Kalau tidak sanggup menyalibkan ego, jangan salah sangka Anda politisi/ diplomat hebat. Itu bohong!

    Semua orang Papua yang mendapati politisi/ diplomat ego-is sebenarnya harus meninggalkan mereka.

    Sementara itu Gen. TRWP Mathias Wenda menganjurkan agar pekerjaan Papua Merdeka terus dikampanyekan. Wenda berpendapat bahwa yang diperjuangkan tokoh Papua Merdeka selama ini sama saja dengan yang pernah diperjuangkan oleh Prai, Ondawame, Roemkorem dan dirinya sendiri pada puluhan tahun lalu, yaitu perjuangan membela pendapat sendiri, kelompok sendiri dan kepentingan pribadi sendiri.

    Gen. Wenda mengenang bahwa perjuangan membela logika sendiri adalah penyakit akut dan tidak pernah sembuh dari dalam tubuh perjuangan Papua Merdeka. Nicolaas Jouwe tidak pernah berjabatan-tangan dengan suku dan kelompok tertentu sampai meninggal dunia tahun lalu. Seth Roemkorem tidak pernah berjabatan-tangan, bahkan hadir dalam pertemuan-pertemuan kalau ada orang lain yang dia “musuhi” hadir dalam pertemuan yang sama. Jacob Prai di Swedia tidak pernah bergaul dengan pejuang Papua Merdeka yang senior maupun yang junior.

    Apa yang mereka jaga selain ego pribadi dan kelompok?

    Mereka tidak berbuat banyak untuk Papua Merdeka. Nama mereka tidak kedengaran. Apalagi kegiatan mereka tidak kedengaran. Pekerjaan mereka apa selain menceritakan kelompok lain dan membenarkan diri dan kelompok sendiri.

    Ini sudah menjadi penjakit akut. Harus diobat tahun 2018. Nama penyakit ini “Ego Pribadi” dan “Ego Kelompok”

    Tahun ini saya mau cap, oknum siapa, atau kelompok mana yang membela ego pribadi dan kelompoknya lebih daripada roh dan ego perjuangan Papua Merdeka, maka kita harus tahu pasti bahwa selama ini mereka-mereka itu sebenarnya memperjuangkan ego-ego pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan Papua Merdeka

    Gen. Tabi juga menambahkan

    Selain cekcok ego pribadi Pak Mote dan Pak Benny Wenda, gagasan draft Anggaran Dasar (By-Law) United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) juga sangat egois hanya berpikir untuk WPNCL, NRFPB dan PNWP, tidak ada peluang dan tidak ada pemikiran untuk organisasi lain yang selama ini sudah lebih duluan, sudah lebih mengakar, sudah lebih terbukti memperjuangkan Papua Merdeka selama puluhan tahun di lapangan.

    Ini penyakit ego kelompok sudah merusak ULMWP.

    Kalau PNWP, WPNCL dan NRFPB sendiri yang mau memperjuangkan Papua Merdeka, mematikan misalnya PDP, OPM, TPN PB, TRWP, DeMMAK, AMP, KNPB, dan lain sebagainya, maka sebaiknya mereka harus katakan bahwa dengan AD/ART yang kami buat, kami mau matikan kalian semua. Ini baru gentlemen, tetapi kondisi sekarang sangat menyedihkan.

    Penyusun By-Laws ULMWP juga sangat egois, dan itu pasti merusak perjuangan Papua Merdeka.

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) disampaikan kepada para pejuang dan aktivis Papua Merdeka agar

    “menyalibkan ego pribadi dan ego kelompok ialah prasyarat utama dan pertama sebelum bicara Papua Merdeka. Kalau tidak oknum dan kelompok dimaksud tidak memenuhi syarat berjuang untuk Papua Merdeka, karena toh hasilnya akan NOL”.

    Dikatakan juga bahwa pengalihan kepemimpinan ULMWP itu wajar dan harus terjadi, tetapi tata-cara dan proses yang terjadi tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melakukan gerakan-gerakan tambahan di luar sidang KTT. ULMWP Summit sudah berlangsung dan sudah menghasilkan keputusan-keputusan, dan keputusan ini harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.

    Dinamika saling menyerang, saling memarahi, dan saling menegur yang terjadi di dalam ruang sidang “TIDAK BOLEH” disuarakan/ diceritakan di luar gedung sidang. Persidangan ialah sebuah “ritual” khusus yang diselenggarakan dalam proses pembangunan kesepakatan masyarakat modern, dan oleh karena itu, apa-pun yang terjadi dalam “ritual” itu tidak pernah menjadi konsumsi pulbik di luar ritual dimaksud.

    Hal ini berlaku di seluruh dunia, kecuali di tengah-tengah bangsa Papua. Orang Papua karena masih ketinggalan zaman dalam, maka dinamika dan proses persidangan yang terjadi sering diceritakan keluar, sering menjadi bahan perbincangan di rumah-rumah, sering dijadikan alasan untuk tidak mendukung kepemimpin organisasi politik yang ada pada saat ini.

    Ini yang dimaksud oleh Gen. Tabi sebagai “Konyol!”, karena kita bicara seolah-olah mengerti demokrasi, jadi demokrasi ke-suku-an tidak usah, kita mau demokrasi modern, padahal kelakuan praktek politik sehari-hari saja sudah lebih kuno daripada Demokrasi Kesukuan.  “Memalukan” karena menyebut diri politisi dan diplomat, tetapi tidak mengerti secara konseptual strategis makna, tujuan dan manfaat daripada gagasan-gagasan para pemikir bangsa Papua tetapi menyembah berhala ideologi-ideologi barat. Sudah lama tinggal di dunia barat, tetapi cara kerja dunia barat sama sekali tidak nampak dalam kerja-kerja ULMWP.

    “Memalukan” karena kebiasaan politisi dan diplomat Papua Merdeka selalu bawa keluar masalah dalam ruang sidang, dinamika ruang sidang di mana-mana dibawa keluar dan diceritakan kepada isteri-anak, kepada orang-orang di luar sidang. Ini bukan saja kampungan, tetapi kebodohan kita semua yang kita harus merasa malu besar. Ada ungkapan orang Koteka seperti ini, “What happens in men’s house stays in man’s house”, tetapi para pejuang Papua Merdeka “tidak dilahirkan” dan “tidak dibesarkan” dalam “men’s house” sehingga mulut mereka bocor kiri-kanan, cara gossip mereka sama dengan anak kecil yang baru belajar bicara.

    “Lebih memalukan lagi” karena setelah Summit selesai, sudah ada wacana keluar “Saya orang OPM, saya bukan orang ULMWP”, dan “kami kembali saja kepada OPM”. Ini wacana dari NKRI! Wacana yang mau menghambat perjuangan Papua Merdeka.

    Kalah dalam sebuah proses demokrasi sidang tidak harus berarti keluar dari sidang dan mengkampanyekan hal-hal yang justru menghambat perjuangan Papua Merdeka. Ini konyol.

    Orang Papua sekarang harus bisa mengidentifikasi, oknum siapa, kelompok mana, orang Papua yang tinggal di tanah Papua, di Vanuatu, di Australia, di Belanda, di Inggris, di Skandinavia, di Amerika, yang mana yang sebenarnya tidak buat apa-apa dan tinggal makan-tidur enak di luar negeri, tetapi begitu tiba giliran sidang/ summit, mereka datang dan selalu keluar bawa masalah dan disebarkan masalah yang mereka temukan dalam “ritual sidang”. Kita harus sudah waktunya tahu siapa mereka. Dan kita harus berani hentikan mereka dari perbuatan-perbuatan terkutuk seperti itu. Kalau tidak, pembusukan akan terus terjadi dalam organisasi perjuangan kemerdekaan West Papua, yang berdampak menghambat perjuangan kita semua, memperpanjang penderitaan bangsa Papua, menambah angka kematian orang Papua di tangan NKRI.

  • Pursuing freedom for West Papua

    John Gratton Wilson has taken his message about the plight of the West Papuan people to the world. KATRINA LOVELL reports about his connection to a country he says few people know about.

    Every day Warrnambool’s John Gratton Wilson will put on one of the 10 T-shirts in his drawer that contain slogans calling for freedom for West Papua.

    Even if it is hidden under his jumper in winter, you can be sure he is probably wearing one.

    The message emblazoned on the T-shirt sits right across his chest in a symbolic gesture towards a topic that he holds close to his heart. John is passionate about the issue and he is not afraid to tell anyone who will listen. “Some people call it an obsession,” he said. “I’m a 71-year-old activist.

    “Most of the world wouldn’t have a clue where West Papua is.”

    John will wear one of those T-Shirts, no matter where in the world he might be.

    “I’ll go to other parts of the world to let the Indonesians know that we’re not happy,” he said. “I’ve been to Vanuatu, I’ve been to New Zealand, I’ve been to Washington, been to Prague.

    “I go to the Indonesian embassies in those countries, fly the flag and wear the T-shirt.”

    He said the T-shirts had attracted many positive reactions from the strangers he will pass by while on his travels, whether that be in Spain or Cuba. “I will often get the thumbs up,” he said.

    A flag-rasing ceremony held in Warrnambool on December 1, 2017.

    Just three months ago when he was in Prague, he went to the Indonesian Embassy and stood on the footpath outside with his flag and was very vocal about calling for freedom for West Papua. John said he was just wrapping up his flag and getting ready to leave when the police turned up, followed by an intelligence officer a few minutes later.

    “They speak Czech and I speak English. There was a bit of argy-bargy that went on – I was supposed to get a permit to demonstrate. Nothing came of it and I walked back home,” he said. John said somebody had to make the world aware of what was going on in West Papua.

    In June, while he was visiting his daughter in Canada he took his flag down to the harbour where the cruise ships arrive, and for an hour or so for four days he raised the Morning Star flag on a stick and talked to anyone who would listen.

    On his last day, after being told by security to move on, he stopped an elderly couple in their 90s and discovered the man had been a marine stationed in West Papua during World War II. “He said: ‘Bloody glad someone’s working to help the poor buggers we left behind,” John said.

    “I mean damn it, these people helped our troops in the Second World War. They were also helping the Americans and the Dutch and the English stave off the Japanese invasion of Australia. They made a significant contribution,”

    he said.

    This year for the first time the south-west branch of the Australian West Papua Association marched in Warrnambool’s Anzac Day parade in honour of their efforts, and also participated in Rememberance Day.

    John, who moved to Warrnambool about two years ago after living in Mortlake for 36 years, has the Morning Star flag permanently flying above his house. “I did the same in Mortlake, and it gets a bit tattered,” he said.

    A new flag arrived in the mail late last month just in time to fly on December 1, the anniversary of the day the Dutch declared the country’s independence and its Morning Star Flag was first raised. John said people in West Papua were now not allowed to fly the Morning Star flag in their own country. “If they can’t do it, I’ll do it for them,” he said.

    A gathering on the Civic Green on December 1 included a flag-raising ceremony and a choir sang the West Papua national anthem. He said the flag-raising ceremony had been taking place in Warrnambool for about two decades, and the south-west branch of the the Australian West Papua Association has about a dozen members who raise awareness of the plight of the people in West Papua.

    John said he had written many letters and emails to Australian Foreign Affairs Minister Julie Bishop, but had never received a reply. He said both major parties had ignored the issue.

    Most of the world wouldn’t have a clue where West Papau is.

    John Gratton Wilson

    The group also raises money from selling T-shirts, badges and book stalls to send to West Papuan refugees who are in camps on the border in Papua New Guinea. The money goes towards helping the refugees with their health and education needs.

    John said he only learned about the situation in West Papua after the 2004 Boxing Day tsunami which killed 250,000 people, mainly in Sumatra and Aceh.

    “We put our hand in our pocket, we didn’t have a lot of money. I think we gave $400 to the tsunami relief,” he said.

    John said an Amnesty International report from about five years ago found that at least 100,000 people had been killed in West Papua since the 1960s. “That’s 40 people a week for 50 years,” he said, although he believes locals put that figure as high as 200 a week and consider it a genocide.

    In 2011, John visited West Papua on a bird-watching trip to the Arfak Mountains.

    “It was like Kokoda, it was very tough. On the first day of the trip the bird guide went into the bush, grabbed a stick and whittled this stuff on it with his machette, great big bush knife, and then came over to me and put it in front of me. And while he had his hand on it, I grabbed the stick and I said ‘Papua merdeka stick’ and his face lit up. Somebody else knew what was going on in his country,” he said.

    Merdeka means Papua freedom, and the stick forms part of John’s collection of West Papuan items which also includes a whole shelf in his book case filled with books, DVDs and CDs.

    John is also passionate about conservation and sustainabilty, and while he has an electric car it is also a chance to drive home his message about West Papua. The number plate reads: “WPAPUA”.

    He has only been to West Papua once. “I don’t imagine they would let me in again,” he said, admitting that he didn’t expect to get a visa when he went in 2011 after he’d written so many letters to the embassy.

    His passion for the West Papuan people increased after his visit, and fighting stage four prostate cancer that has metastisised and spread to the lymph sytem and bones hasn’t dampened his enthusiam.

    John Gratton Wilson flies the Morning Star flag out the front of his Warrnambool home. Picture: Rob Gunstone

    John Gratton Wilson flies the Morning Star flag out the front of his Warrnambool home. Picture: Rob Gunstone

    “Sooner or later it’s going to catch up with me. I just keep on. You can’t give up on these people.”

    He said the United Nations was the only one who could fix the situation in West Papua after it gave the approval for Indonesia to take over the region in 1963 .

    “For the locals it’s all been going down hill ever since,” he said. “It’s right on our door step. West Papua is closer to Queensland than we are to Melbourne. Apart from Papua New Guinea it’s our nearest neighbour and we look the other way.”

    John Gratton Wilson flies the Morning Star flag out the front of his Warrnambool home. Picture: Rob GunstoneHe said the country was rich in both copper and gold and was home to the world’s largest gold mine and third largest copper mine.

    John said he has been heartened by the growing support for self-determination for the indigenous rightful owners of the land. He said while he was also concerned about the injustices towards other indigenous populations around the world, his focus was on West Papua because it is Australia’s closest neighbour.

    Source: http://www.standard.net.au/

  • Lt. Gen. Amunggut Tabi: Salam Sukses untuk ULMWP – Sampai Kapan Kita Dititipkan di Sudut Politik Abu-Abu?

    Jawaban langsung dari Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP) lewat mantan Sekretaris-Jenderal TRWP ialah “Sampai Kapan Kita Dititipkan di Sudut Politik Abu-Abu?” PMNews mendalami pernyataan ini dengan sejumlah pertanyaan dan jawabannya disampaikan sbb.

    PMNews: Selamat malam! Kami dengan senang hati sampaikan bahwa KTT ULMWP telah berlangsung dan telah memilih Benny Wenda sebagai Ketua ULMWP, Octovianus Mote sebagai Wakil Ketua, Jacob Rumbiak Sebagai Jurubicara.

    Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi (TRWP): Salam sukses untuk ULMWP. Kami sangat mengharapkan baik Mote maupun Wenda sama-sama terus bekerjasama dalam memperjuangkan aspirasi bangsa Papua yang telah lama kami perjuangkan di rimba New Guinea.

    PMNews: Dengan pembentukan Ketua dan Wakil Ketua ini, kami melihat ada perubahan yang membawa harapan, karena organisasi perjuangan bangsa Papua tidak lagi terorganisir seperti tiga tahun lalu, tetapi ke dalam sebuah organisasi dengan Ketua dan Wakil Ketua, dan Jurubicara, jadi ada tata-organisasi lebih membantu perjuangan Papua Merdeka.

    TRWP: Oh, ya, kalau hal ini, kami harus mengaku secara jujur dan terbuka bahwa kami tidak puas dengan hasil yang dicapai.

    PMNews: Tidak karena pemerintah negara West Papua tidak dibentuk?

    TRWP: TRWP tidak puas pertama-tama karena kita selama setengah abad lebih masih belajar berorganisasi, dan organisasi perjuangan kita masih saja menggunakan moderator, executive director dan sebagainya, seolah-olah kita masih belajar berorganisasi, kita tidak sanggup mempercayai generasi penerus perjuangan ini untuk sepenuhnya menggunakan otoritas dan kemampuan mereka memperjuangkan Papua Merdeka.

    Sudah saatnya kita berjuang sebagai sebuah organisasi modern, yang kredibel, dan yang dapat bersanding dengan pemerintah penjajah untuk berhadapan “head-to-head”. Tetapi kalau kita masih belajar berorganisasi, maka kita tidak layak bermain di lapangan politik Papua Merdeka. ULMWP jadinya sama saja dengan organ perjuangan lain seperti KNPB, AMP, WPLO, WPNCL, OPM dan sebagainya, hanya menjadi sebuah organisasi yang menentang sebuah pemerintahan dan negara-bangsa.

    Kita ini seumpama kesebelasan sepak bola Papua yang diharapkan untuk bertanding melawan kesebalasan NKRI, tetapi kesebelasan Papua ini malah tidak punya pelatih, tidak punya menejer, tidak punya sponsor, tidak punya striker, tidak punya pemain tengah, dan tidak punya official. Kita hanya datang sebagai orang Papua ramai-ramai ke lapangan sepak bola, lalu atas dasar kita orang Papua kita beli costume di jalan, lalu kita ramai-ramai melakukan pemanasan untuk bertanding melawan NKRI. Bisa dikatakan kita melawak di panggung politik.

    PMNews: Dalam artikel sebelumnya PMNews turunkan berita dari MPP TRWP bahwa pemerintahan Negara Repub Papua harus dibentuk, akan tetapi saran itu tidak dipenuhi oleh KTT ULMWP. Apakah itu pemicu utama kekecewaan TRWP?

    TRWP: Kami sudah katakan jelas dalam berita sebelumnya bahwa urusan politik bukanlah urusan kami. Kami cukup memberikan masukan, sementara hasil keputusan politik ialah sepenuhnya kewenangan para diplomat Papua Merdeka.

    Yang terjadi sekarang ULMWP masih mau bangsa Papua tetap menderita, dan ULMWP membawa kita bilik abu-abu dalam sejarah perjuangan kita. Katanya bicara untuk Papua Merdeka, tetapi masih belajar ber-organisasi. Jadi, kita yang bergerilya di hutan menjadi bingung dan bertanya, “Apa maksudnya?”

    Apa maksud ULMWP dengan terus berputar-putar di lingkaran ber-organisasi?

    Kami malah sudah mencurigai, agenda NKRI atau agen-agen NKRI ada dalam tubuh ULMWP.

    PMNews: Dari mana TRWP bisa menuduh ada agen NKRI di dalam tubuh ULMWP?

    TRWP: Orang Indonesia bilang, “Pohon dikenal dari buahnya”, kita kenal ULMWP dari apa yang dia sudah lakukan sejauh ini. Kan NKRI mau ULMWP tetap menjadi organisasi liar di luar negeri, yang tidak mewakili bangsa Papua. Kan itu juga yang dipertahankan dan ditunjukkan oleh ULMWP. Jadi sekarang pertanyaannya, apakah ULMWP memang betul-betul mau membawa perjuangan Papua Merdeka kepada tahapan yang lebih serius, ataukah hanya sekedar menghibur diri dengan dansa-dansa politik di atas penderitaan rakyat jelata yang kian hari kian dihabisi?

    Pertanyaan langsung ialah: “Apa artinya organisasi ULMWP mengkleim diri berjuang untuk Papua Merdeka?” ULMWP harus menjawab dengan daftar jawaban yang bisa memberikan kita petunjuk bahwa memang benar mereka memperjuangkan aspirasi bangsa Papua, dan aspirasi itu ialah membentuk sebuah pemerintahan dan pemerintahan dimaksud adalah pemerintah Negara Republik West Papua.

    PMNews: Kami merasa pernyataan ini cukup serius, dan mungkin menyinggung perasaan para pejuang Papua Merdeka!

    TRWP: Apakah kami harus berbicara memihak kepada perasaan orang ataukah kepada kenyataan apa yang kami rasakan di lapangan di Tanah Papua? Perjuangan ini telah berlangsung selama lebih dari setengah abad. Perjuangan ini dijalankan oleh organisasi. Selama ini perjuangan kita dianggap Indonesia sebagai organisasi liar, pengacau, dan dunia internasional mengganggap sebagai organisasi non-pemerintahan, yang berjuang untuk memisahkan diri dari pemerintahan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sah.

    ULMWP itu organisasi separatis, dan dengan apa yang dihasilkannya kemarin jelas menunjukkan bahwa ULMWP masih senang dipanggil NGO separatis.

    Secara hukum internasional, untuk menentang pemerintahan resmi dari sebuah negara-bangsa yang adalah anggota PBB, maka apa yang harus kita bukankah melawan sebuah negarai dengan organisasi liar. Kita harus tahu siapa yang layak melawan negara-bangsa?

    PMNews: Semakin jelas bagi kami bahwa TRWP kecewa karena ULMWP tidak membentuk pemerintahan.

    TRWP: Kami tahu, para agen NKRI yang dikirim untuk menghadiri KTT ULMWP ini pasti juga ditodong bahwa kalau mereka tidak sanggup menggagalkan ULMWP membentuk pemerintahan, maka nyawa mereka juga terancam. Oleh karena itu, demi keselamatan nyawa dari orang Papua yang saat ini menjadi kaki-tangan NKRI, maka kami terima hasil yang telah dicapai. Tetapi kami harus tetap berketetapan bahwa hasil ini tidak memusakan.

    PMNews: Bagaimana kalau ULMWP nanti bentuk pemerintahan?

    TRWP: Kami harus terus-terang, bahwa selain ada agen NKRI di dalam tubuh ULMWP, para pemain kunci ULMWP juga dimasuki oleh agen-agen rahasia asing, Amerika Serikat dan Australia, yang menghendaki agar West Papua tidak merdeka dan tetap berada di dalam NKRI.

    Dan orang-orang inilah yang mereka jadikan sebagai penasehat mereka. Dan selama ini, baca saja pernyataan mereka, kelihatan jelas, pernyataan yang mereka keluarkan dulu dan sekarang tidak sama. Saat ini mereka terlihat berbicara atas pesan-pesan dari pihak lain, bukan pesan-pesan orang tua mereka di hutan lagi.

    Ini yang sudah terjadi pada para tokoh gerilyawan yang pernah keluar dari Tanah Papua dan tinggal di luar negeri. Lama-kelamaan mereka menjadi orang putih, tidak berpikir seperti orang Papua lagi, menganggap pendapat orang Papua sebagai ketinggalan zaman, tidak tahu, masih harus diajar untuk berjuang, dan sebagainya. Mereka menjadi koknas (kepala), di luar hitam, di dalam putih.

    Ini mentalitas penjajah, dan mentalitas inilah yang sudah dianut oleh orang-orang ULMWP. Kami kaget menyaksikan drama ini.

    PMNews: Kami harap drama ini akan berakhir dengan solusi yang jelas bagi bangsa Papua.

    TRWP: ULMWP masih berputar-putar di lingkaran “ego pribadi” dan “ego kelompok”. Ini adegan utama. Lalu adegan pendukung ialah agen asing yang lalu-lalang secara jarak dekat dan jarak jauh sehingga orang Papua di dalam ULMWP sudah tidak berpikir sebagai orang Papua lagi, tetapi mereka berpikir demi kepentingan pesan-pesan yang mereka sendiri tidak sadari, padahal pesan mereka bertujuan untuk mengulur-ulur waktu kemerdekaan West Papua.

    Siapapun di dunia ini, saat ego menjadi patokan utama dalam hidup kita, maka kepentingan umum pasti akan dikorbankan. Kita akan bertindak tidak tahu diri. Dan semakin kita menganggap orang tua di hutan tidak tahu apa-apa, dan kita yang di luar negeri yang lebih tahu banyak, maka kita sudah ada dalam jerat Lucifer yang menganggap dirinya jagoan dan dilempar Tuhan ke dalam Bumi dan diberi nama Iblis.

    PMNews: Apa saran untuk ULMWP ke depan?

    TRWP: Kami tidak punya saran apa-apa, karena sudah jelas akan percuma dan tidak bermanfaat.

    Pada titik ini kami cukup tiba pada kesimpulan sementara bahwa ULMWP telah diracuni oleh agen-agen asing yang lebih suka melihat bangsa Papua menderita, dibunuh, diteror dan dijajah, sampai selama-lamanya.

    Hanya satu kemungkinan saja yang akan membuat kita membangun kembali kepercayaan kami kepada ULMWP, yaitu kalau ULMWP berhenti berorganisasi, tetapi lebih mengarah kepada berpemerintahan. Kalau tidak, orang Papua siapa yang bisa percaya bahwa ULMWP beigut berguna untuk Papua Merdeka? TRWP jelas tidak pada posisi itu!

  • Kalau ULMWP Tidak Bentuk Pemerintah Republik West Papua, maka Kita pertanyakan, Apa Tujuan Mereka?

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. Amunggut Tabi menyatakan

    “Kalau ULMP tidak sanggup membentuk pemerintahan Republik West Papua, maka kita semua orang Papua harus bertanya kembali kepada ULMWP, apa tujuan pembentukannya? Untuk menghibur diri di atas penderitaan rakyat Papua atau memang benar-benar untuk Papua Merdeka?”

    Menurut perintah dari Gen. TRWP Mathias Wenda, sebagaimana disampaikan berkali-kali tak henti-hentinya lewat PMNews melalui Lt. Gen. Amunggut Tabi, serta degnan membaca perkembangan opini terakhir di tanah Papua, telah tiga tahun lamanya ULMWP didirikan, tetapi kampanya Papua Merdeka sejauh ini telah dilakukan secara sporadis dan amburadul, sama seperti cara bermain politik generasi tua.

    Gen. Wenda memberikan maklumat, bahwa jikalau ULMWP tidak sanggup, atau merasa takut, atau binggung, maka sebaiknya para anggota ULMPW mengundurkan diri. Jangan biarkan nasib bangsa dan penderitaan ini terkatung-katung dengan huru-hara sana-sini seolah-olah bicara Papua Merdeka, padahal masing-masing oknum menghibur diri dengan sensasi dan politik ego piribadi.

    Gen. Wenda memandang percekcokan yang terjadi antara Benny Wenda dan Oktovianus Motte ialah permasalahan ego pribadi oknum kedua orang ini, dan ini tidak boleh dianggap sebagai kepentingan Papua Merdeka. Kedua oknum harus menyerah kepada aspirasi dan pengorbanan bangsa Papua sepanjang setengah abad lebih, dengan mematikan ego pribadi masing-masing. Kalau tidak TRWP tidak akan segan-segan ambil-alih perjuangan ini.

    PMNews menyinggung tetntang berbagai perbedaan yang ada bukan hanya antara Motte dan Wenda, tetapi juga antara para pejuang di hutan, ditanggai Tabi dengan menyatakan bahwa persoalan yang ada di rimba New Guinea tidak perlu mempengaruhi politik Papua Meredka. Menurutnya

    Para pejabat ULMWP harus punya integritas dan ketegasan serta posisi yang jelas. Apa yang mereka mau capai lewat ULMWP? Apakah ULMWP Itu sebuah LSM, atau sebuah pemerintahan, atau apa? Mereka harus memperjelas diri mereka sendiri. Kalau mereka menanggap diri sebagai pemerintahan, maka mereka harus punya undang-undang, tidak bisa pakai Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga tetapi harus pakai UUD Sementara. Untuk mempersiapkan ini perlu didukung oleh kajian ilmiah dan tulisan-tulisan yang lengkap, tidak bisa hanya catatan-catatan seperti yang biasa dilakukan oleh aktivis jalanan. Bicara mengenai negara dan pemerintahan, maka harus ada UUD, yang di-back-up dengan gagasan teoritis yang jelas.

    Menanggapi perbedaan pendapat yang terjadi antara beberapa aktivis Papua Merdeka terkait dengan UUD yang diusulkan oleh Parlemen Nasional West Papua (PNWP) secara resmi lewat Sidang Perlemen yang ditanda-tangani oleh Buchtar Tabuni oleh ketua PNWP, Ge. Tabi menegaskan

    Itu produk hukum PNWP, bukan milik siapa-siapa. Apakah produk hukum itu ditegakkan atau tidak, itu bukan urusan siapa-siapa selain parlemen itu sendiri.  Dalam status sebagai draft, masih bisa kita komentari, tetapi setelah menjadi produk hukum yang sah lewat PNWP maka itu hak PNWP sepenuhnya, mau membuangnya, mau merubahnya, mau menggantikannya dengan gagasan lain, itu semua terserah. Yang penting jangan sampai gagasan yang tidak saha mengganggu pelaksanaan UUD yang sudah disahkan. Itu menjadi memalukan bagi bangsa Papua. Ini permainan memalukan apa lagi?

    Setelah PMNews mengemukakan bahwa ada pihak-pihak dalam perjuangan Papua Merdeka sendiri yang tidak senang dengan gagasan UUD yang telah disahkan dimaksud, Gen. Tabi kembali menegaskan bahwa apapun yang terjadi setelah pengesahannya, itu tidak ada sangkut-paut, dan tidak patut dikomentari oleh sayap militer, itu tergantung sepenuhnya kepada PNWP, apakah itu menjadi tontonan lucu atau mau menjadi tontonan menarik? Itu kembali kepada Pak Tabuni sendiri sebagai Ketua PNWP.

    Ditanyakan apa pendapat TRWP kalau akhirnya ULMWP mengadopsi UUD yang dirancang oleh pihak lain, yang belum disahkan oleh PNWP, Gen. Tabi mengatakan itu semua kembali kepada para anggota ULMWP. Katanya “Toh akhirnyakan akan muncul siapa tidak tahu main tetapi paksa diri main”.

     

  • Publikasi Dokumen Rahasia A.S. dan Langkah Perjuangan Kemerdekaan West Papua

    Publikasi dokumen rahasia Amerika Serikat oleh tiga lembaga resmi negara Paman Sam beberapa hari lalu mendapatkan berbagai macam tanggapan dari sejumlah pihak, baik di Tanah Papua maupun di Indonesia. Tanggapan curiga, tidak ada apa-apa, dan tanggapan menentang muncul dari Indonesia. Dari Tanah Papua, ada kesan seolah-olah kita dapat memanfaatkan dokumen rahasia dimaksud untuk mengkampanyekan Papua Merdeka. Semua fakta dan data yang tersedia bermanfaat, tergantung siapa, kapan dan di mana fakta dan data tersebut dimanfaatkan.

    Bagi bangsa Papua, telah terbuka diketahui dunia sekarang bahwa memang ada rekayasa, ada campur-tangan asing, ada kepentingan di luar aspirasi bangsa Papua yang mendorong dan melindungi, membela dan megizinkan invasi militer, operasi militer, pendudukan dan penjajahan NKRI di atas wilayah kedaulatan Negara Republik West Papua yang berhasil disiapkan tanggal 1 Desember 1961 dan diproklamirkan 10 tahun kemudian: 1 Juli 1971.

    Dalam kondisi bangsa Papua berada di tengah dukungan politik kawasan paling sukses dan dukungan politik internasional yang sudah memasuki tahap awal, maka kita semua harus menyadari bahwa kita tidak larut dalam sejarah masa-lalu, berlama-lama dalam menyesali, memarahi, merenungkan dan mengungkit-ungkit masa lalu yang jelas-jelas sudah berlalu. Kita harus belajar untuk menengok ke belakang dalam waktu sekejap dan dengan dasar itu merancang dan menatap masa depan secara bijak.

    Masa depan perjuangan Papua Merdeka sudah memasuki tahapan yang sangat menentukan, di mana lembaga eksekutif dan legislatif dalam perjuangan Papua Merdeka sudah mengerucut. Kini Tanah Papua memiliki lembaga perjuangan seperti Presidium Deawn Papua (PDP), West Papua National Authoriry (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK), Dewan Adat Papua (DAP) dan organisasi pemuda serta angkatan bersenjata yang menyebar di seluruh Tanah Papua.

    Di saat yang sama, kita telah memiliki United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai calon lembaga pemerintahan, eksekutif yang menjalankan fungsi pemerintahan Negara West Papua. Sejajar dengan itu, kita punya Pemerintahan Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) dengan Presiden Forkorus Jaboisembut. Kita juga sudah punya PNWP dan Dewan Parlemen Nasional yang berfungsi sebagai legislatif dalam organisasi pemerintahan berdasarkan prinsip Trias Politica.

    Kita akan memiliki pilar Judicative, kepolisian dan tentara nasional di waktu tidak lama lagi.

    Yang terjadi di kawasan Pasifik Selatan begitu menarik. Negara-Negara Pasifik Selatan telah siap dan matang untuk menerima negara dan pemerintahan baru dari Tanah Paupa, bernama Negara Republik West Papua, dengan pemerintahan West Papua, berdasarkan Undang-Undang Negara West Papua.

    Dipimpin oleh pemerintahan Republik Vanuatu dan Solomon Islands telah terbangun solidaritas tidak hanya di dalam kawasan Melanesia, tetapi telah menyebar ke seluruh Pasifik Selatan dan sudah merintis kerjasama dukungan di kawasan Melanesia – Afrika dan Melanesia – Eropa.

    Para pemimpin negara-negara kepulauan Pasifik Selatan telah dengan nyata dan terbuka menyampaikan dukungan mereka atas kemerdekaan West Papua di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kalau kita masuk kelas-kelas Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, membaca syarat pendirian sebuah negara, maka kita harus terus-terang, sebagian besar syarat pendirian sebuah negara sudah didapatkan, sudah diraih, sudah ada di tangah.

    Yang belum diwujudkan saat ini ada dua: Negara West Papua tidak memiliki pemerintahan, dan kedua, untuk menjalankan pemerintahan itu, Negara West Papua belum memiliki Undang-Undang yang menunjukkan bangunan negara West Papua sebagai cara masyarakat modern mengorganisir diri dalam lembaga bernama “negara-bangsa”.

    Oleh karena itu, apa yang harus kita katakan bilamana ada oknum, ada lembaga, ada kelompok, ada pihak yang beranggapan, berusaha menghalang-halangi, dan menunda-nunda proses pembuatan Undang-Undang Negara West Papua dan pembentukan pemerintahan Pemerintahan Semantara Republik West Papua?

    Bukankah mereka itu mush aspirasi bangsa Papua?

    Bukankah mereka menjalankan tugas, fungsi dan misi NKRI?

    Ingat, Papua Merdeka tidak harus berarti marga Papua, kulit hitam, rambut keriting! Dia lebih dari itu! Karena politik Papua Merdeka, nasionalisme Papua BUKAN etno-nasionalisme, tetapi sebuah nasionalisme berdasarkan filsafat, teori dan prinsip demokrasi modern yang menyelamatkan planet Bumi dari kepunahan.

  • Lt. Gen TRWP A. Tabi: Publikasi Dokumen Rahasia A.S Itu Lagu Lama!

    Banyak tanggapan muncul dari Indonesia maupun dari Tanah Papua terhadap publikasi dokumen rahasia Amerika Serikat baru-baru ini. Di Indonesia sendiri ditanggapi beragam. Ada yang mengatakan publikasi ini bermaksud tertentu, yang akibatnya akan merugikan Indonesia. Yang lain mengatakan publikasi ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap keutuhan NKRI. Yang lain lagi tidak mau berpendapat, mereka menjalani hidup dengan prinsip “business as usual”.

    Media di Tanah Papua juga menyiarkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Tanah Papua, khususnya di era setelah NKRI menginvasi dan menduduki wilayah Negara West Papua.

    Apa maknanya bagi perjuangan Papua Merdeka?

    Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) mengatakan banyak pihak sudah tahu apa-apa yang terjadi pada waktu itu, oleh karena itu, publikasi dokumen ini tidak membantu siapa-siapa dalam usaha apa saja.Semuya orang Papua sudah tahu apa saja yang pernah terjadi waktu itu, dan sudah lama mengkampanyekannya.

    “Itu lagu lama”, katanya.

    Menurut Tabi, lagu yang perlu dinyanyikan oleh bangsa Papua saat ini ialah lagu-lagu terkait solusi atas pendudukan NKRI di Tanah Papua, bukan mencari-tahu siapa salah dan siapa benar.

    Bangsa Papua harus muncul di pentas politik regional dan global dan pentas politik domestik di dalam Tanah Papua sendiri, menunjukkan kepada berbagia pihak apa yang akan terjadi setelah Papua Merdeka dari berbagai aspek: sosial, budaya, pertahanan, keamanan, demokrasi, ekonomi, keamanan, perdamaian kawasan sehingga baik rakyat West Papua maupun seluruh masyarakat Melanesia dan dunia internasional melihat manfaat dari kemerdekaan West Papua, kontribusi yang diberikan oleh kemerdekaan West Papua kepada dunia internasional, kepada kawasan di Asia, Pasifik dan Pasifik Selatan.

    Gen. Tabi melanjutkan pesan dari Gen. TRWP Mathias Wenda bahwa tugas United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) harus jelas dan dengan tegas dijalankan, yaitu meneguhkan, mengamandemen dan menjalan Undang-Undang Sementara Republik West Papua, dan pemerintahan transisi West Papua.

    Amunggut Tabi menekankan

    Kalau tidak begitu, lebih bagus semua lembaga legislatif dan executive yang ada tidak usah menjanjikan kepada bangsa Papua bahwa mereka bekerja untuk Papua Merdeka karena itu akan kita sebut sebagia penipuan publik dan tidak jauh berbeda dengan penipuan-penipuan yang kini dipublikasi oleh Amerika Serikat. Jadi, jangan kita mampu mencaritahu kesalahan orang lain, tetapi menganggap kesalahan sendiri tidak apa-apa. Ini fatal.

    Gen. Tabi melanjutkan bahwa bilamana PNWP gagal mensahkan Undang-Undang, maka perjuangan Papua Merdeka akan tetap terus dipandangn sebagai tindakan “melanggar hukum NKRI’, karena perjuangan kita tidak punya dasar hukum, tidak memenuhi kewajiban hukum formal. Kita sudah lama berjuang tetapi berjuang masing-masing tanpa panduan dna tuntunan yang jelas.

    Gen. Tabi kembali menekankan

    Kita bangsa Papua harus mencatat, bahwa kalau PNWP tidak mengsahkan sebuah Undang-Undang sementara untuk perjuangan bangsa Papua mencapai kemerdekaannya dan ULMWP tidak mampu berfungsi sebagai sebuah pemerintahan transisi, maka kita hampir dengan pasti dapat berkesimpulan bahwa kedua lembaga ini telah dimasuki oleh lawan-lawan aspirasi bangsa Papua. Mereka hadir untuk melayani kemauan penjajah. Alasan apapun tidak dapat diterima, yang jelas berpura-pura berjuang tetapi sebenarnya menghalangi perjuangan adalah penghianatan terhadap aspirasi dan pengorbanan bangsa Papua.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?