Blog

  • Malaita support for free West Papua intact

    MALAITA provincial government has maintained its support and stand for a free West Papua.
    MALAITA provincial government has maintained its support and stand for a free West Papua.

    MALAITA provincial government has maintained its support and stand for a free West Papua.

    This was highlighted during a dialogue held in Auki last month between representatives from the national government, civil society, Indonesian government and Malaita provincial government.

    The visiting team was led by Rence Sore of the Prime Minister’s office to discuss matters to revive Malaita province policy toward Indonesia for Malaita people to have right a perspective to Indonesia government and ways to create positive relationship with Malaita province government.

    This is an effort to clarify past rumours and negative publications against the Indonesian government’s treatment to original West Papua people.

    The Malaita provincial secretary Jackson Gege confirmed that they have met with the visiting team.

    He said their visit mainly was to talk on reviving a Malaita province policy towards the Indonesian government purposely to understand Indonesia’s intentions well.

    However, based on a conclusion passed by the Malaita provincial government, Mr Gege said Malaita will continue to support the free West Papua campaign.

    “Malaita provincial government will continue to put its support behind the free West Papua campaign,” Mr Gege said.

    It’s understood a similar dialogue has been conducted in other provinces.

    By SOLOMON LOFANA
    in Auki, http://www.solomonstarnews.com

  • Enam pemasok amunisi dibekuk Polisi

    Jayapura, Jubi – Kepolisian Daerah Papua berhasil menangkap enam orang tersangka pemasok amunisi bagi kelompok bersenjata. Kelimanya diketahui berinisial Ei, RH, WH, Pc, YD dan Tu.

    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua, Kombes Pol Tony Harsono, di Jayapura, Rabu (13/6/2018) mengatakan, keenam tersangka ditangkap di dua daerah berbeda, yakni di Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada 1 Juni 2018, dan Timika, Kabupaten Mimika pada Sabtu (9/6/2018).

    Ia menjelaskan, untuk penangkapan tersangka Ei di Wamena, barang bukti yang didapat sebanyak 50 butir amunisi dan WH selaku pemilik barang sebanyak 122 butir.

    “Ketiganya dikenai Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Api, Amunisi atau Bahan Peledak, dan sudah diamankan di Mapolda Papua,” ujarnya.

    “Kasus ini berujung di Wamena, yang mana mereka terbukti sebagai penyalur amunisi bagi kelompok bersenjata. Jadi kami potong mata rantainya,” sambungnya.

    Sementara untuk penangkapan di Kabupaten Mimika, Kepolisian mendapat barang bukti sebanyak 100 butir amunisi dari tersangka Pc, dan dari tangan YD sebanyak 57 butir.

    “Ketiganya masih ada di Timika karena masih berproses, dan mereka merupakan pemasok untuk kelompok bersenjata kali kopi, yang sering melakukan penembakan” ujarnya.

    Saat ditanya mengenai modus pelaku memasok peluru dan asal perluru tersebut, Tony menjelaskan, para tersangka belum terlalu terbuka untuk memberikan keterangan. Begitu juga soal jalur-jalur masuknya ratusan peluru itu.

    “Yang jelas ini peredaran gelap. Apalagi masing-masing tersangka mengaku tidak saling kenal, hanya kenal wajah saja. Sama halnya dengan yang di Timika, mereka tidak kenal dengan orang yang menjual, tetapi kenal karena suruhan dari kelompok bersenjata dan harganya untuk 50 butir dijual senilai Rp5 juta,” katanya.

    Dia menambahkan, keenam tersangka sudah sangat sering melakukan aksinya, bahkan dari beberapa tersangka mengaku sudah melakukannya sejak 2009 lalu.

    Ditempat yang sama, Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan HAM Papua, Matius Murib mengatakan, tindakan upaya hukum yang dilakukan Polda Papua merupakan kerinduan lama pihaknya. Sebab keberadaan kelompok bersenjata, harus ditindak tegas.

    “Polisi sudah melakukan satu langkah yang baik sehingga kami mendukung penuh tindakan ini. Kami dari tahun ke tahun selalu mendorong polisi untuk bekerja dan menyelesaikan seluruh peristiwa bersenjata di Papua,” kata Murib.

    Menanggapi itu, dirinya berharap tindakan hukum yang sudah dimulai harus diselesaikan dan semua pihak harus memberikan dukungan, karena sudah jelas dan terbukti keberadaan kelompok bersenjata sangat mengganggu rasa aman di Papua.

    “Selama ini tindakan melawan hukum terkesan dibiarkan, tapi kalau kali ini sudah diambil tindakan maka harus segera diselesaikan,” ujarnya. (*)

  • ULMWP : 5 warga sipil Timika ditangkap karena aspirasi Papua Merdeka

    Jayapura, Jubi – Lima warga sipil di Timika diduga telah ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia karena memiliki kaitan dengan aspirasi kemerdekaan West Papua.

    “Pukul sepuluh malam, hari Sabtu 9 Juni 2018 Orpa Wanjomal (40) dan anak tirinya Polce Sugumol (31) ditangkap di rumah mereka di SP 2  Timika. Lima jam kemudian, pada jam tiga pagi, hari Minggu 10 Juni, Titus Kwalik ditangkap di SP 10. Pada saat yang sama Julianus Dekme (31) dan Alosius Ogolmagai (49) juga ditangkap di rumah Julianus di SP 6. Lima warga sipil ini ditangkap karena aspirasi Papua Merdeka. “ ujar juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Jakob Rumbiak melalui sambungan telepon, Rabu (13/6/2018)

    Jakob menyebut unit Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) Terlibat dalam penangkapan lima warga sipil ini. Koopssusgab adalah unit penanganan terorisme gabungan militer yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Unit komando ini menurut Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari dibentuk untuk membantu penanganan terorisme dalam kondisi tertentu yang operasionalnya jika Polri meminta bantuan,

    Dalam UU Antiterorisme yang baru disetujui, kata dia, memuat adanya tambahan sejumlah aturan sehingga menjadi lebih komprehensif, termasuk dimungkinkannya pelibatan TNI dalam kondisi tertentu.

    “Namun, pembentukan Koopssusgab ini tampaknya belum bisa dilakukan, karena belum ada mata anggarannya,” kata Abdul Haris, Jumat pekan lalu.

    Meski demikian, ULMWP meyakini penangkapan dilakukan oleh Koopssusgab.

    “Menggunakan kekuatan militer Anti-Teroris khusus terhadap warga sipil West Papua adalah tidak bertanggung jawab dan salah secara moral,” kata Jakob Rumbiak.

    Lanjutnya, rakyat West Papua bukan teroris, dan tidak pernah berperilaku seperti teroris dan ekstremis Indonesia. Hak rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri dijamin dalam Konstitusi Indonesia, Piagam PBB Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB Res. 1514 (1960), Perjanjian PBB tentang Hak Sipil dan Politik (2007), Majelis Umum PBB 1752 XVII, dan UN Bab XII.

    Jubi telah menghubungi Kapolres Mimika, AKBP Agung Marlianto untuk meminta klarifikasi tentang dugaan penangkapan lima warga sipil ini. Namun hingga berita ini disiarkan, Kapolres belum menjawab permintaan klarifikasi yang dikirimkan Jubi melalui sambungan Whats App. (*)

  • There is No Democracy in a Revolution, and There is No Democracy in a Government Too

    West Papuans are still fighting for independence, and we are starting to grasp the feeling of living in a democratic world, both within Indonesia and within ULMWP organisation. There is a  misunderstanding among us West Papuans, because we think we know democracy than those Indonesians, but in reality, we are just “dreaming of it”, without actually being democratic, and we are miss-placing democracy or we think we can be democratic during the time of revolution and within the our independent movement. We do not know that in reality there is no democracy during revolution and there is no democracy within a government.

    The matter of fact is that we West Papuans are acting against the normal democratic principles and practices. We think we can run our TPN/OPM, TPN PB and WPRA democratically. We think we can run KNPB, PNWP, NRFPB, DAP and ULMWP based on democratic principles, and therefore, we should consider all aspirations from all parties and communities all over the world. We think that ULMWP should be democratic, and therefore it should listen to and involve all West Papuan peoples and organizations.

    It is good that we want democracy. There is nothing wrong about it. But we should also be aware that democracy requires its container to operate; and democracy is not a godly form of government that should be applied by everyone, everywhere in the world. There are various models of democracy that we should choose from in relation to our contexts; and democracy is not applicable in all aspects of life.

    Democracy is a form of government, not a form of military organisation. Democracy is a process by which politicians acquire support to run a government, a way of electing the representatives who will form and run the government of a country. Democracy is not a way of running an organization, and clearly not for an organization coordinating a liberation movement. There are laws within bureaucracy, structure and responsibility in running organization. Whether the power and responsibility devolved, distributed or centralized, there is no voting within a government bureaucracy in order to make decisions.

    West Papuans should also learn and understand that we need democracy only to a certain degree. The ULMWP should focus on how to free West Papua from colonialism and should not spend time and energy on listening to every aspiration of the people and organizations as an effort to try to be democratic.

    The ULMWP is not a government. The ULMWP does not exist within a free and democratic country. ULMWP is set up to carry coordinate the revolution to free West Papua from colonialism.

    The ULMWP should focus on how to free West Papua as quickly as possible, in any way as possible. It should not spend time with various domestic issues that do not support the campaigns to free West Papua.

    All democratic countries in the world know that there is no democracy within a government bureaucracy, and there is no democracy during a revolution time. Only West Papuans think and trying hard to engineer democracy within its independence movement, and within the ULMWP management. What a pity. Not time left to carry out the real work it should be actively involved in. How long will this learning process continue? Do we have time to wait for the ULMWP to learn democracy and then liberate West Papua from colonialism?

  • Focus on What You Can Do and What You Should Do

    Get distracted by side-events or non-elemental aspects of a game is always disastrous for a soccer team, particularly for a striker or a goal-keeper when facing the ball in the foot or in front of the goal-keeper. Stickers should forget anything and everything else, and focus only on the “ball”, when they are in the field, and particularly the ball is already in their foot. Goal-keepers also do that, they anticipate anything and everything that can happen with the ball, and focus on the ball itself rather than the striker himself.

    Concentration and focus become key elements in a soccer-player when it comes to the point where the player must decide at what second and with what move he should strike to score.

    Just imagine if a striker and goal-keeper start complaining about how one of his colleagues performed in the field and began demanding that fellow player to perform better or follow the way he wants him to play. Imagine when the ball is already on the strikers’ foot, but the goal keeper is still complaining about his friend who miss-kicked the ball a few minutes before.

    Many West Papuans are just doing the opposite of what we should be doing right now. We are now engaged in our own internal battles, unnecessary battles to do with who should lead our organisation, who should hold particular positions within the ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), not on what we should do with the “ball: in our feed right now.

    Many West Papuan political activists today need to learn what is the meaning of our lives and the meaning of West Papua Papua independence struggle, and set aside “egoism” both personal ego and group ego, as this life that we have is too short to deal with too many side-events and unsubstantiated issues. And more importantly, we do not have a second life for coming back to continue and complete the struggle. We only have one life, and this one life is very short one. So we have to do something meaningful for our beloved motherland in this short time.

    And more important of all, the ball is on our feet, it is now the time to strike, to watch so that Indonesia does not strike and score a goal in Melanesian countries, defeating Melanesian integrity as free people and undermining Melanesian sovereignty as a human race.

    If we always wander around and thinking about how to satisfy our personal and group ego within West Papuans ourselves, then we should not claim ourselves as fighting for West Papua.We should declare ourselves fighting for our own self-fulfillment and self-realization. There is nothing wrong with this choice, however, the problem arises when we declare ourselves fighting for a free and independent West Papua, but we spend our time and energy in doing the something else, and worse doing just the opposite: hindering the struggle for freedom and independence.

    From Central HQ of the West Papua Revolutionary Army (WPRA) we encourage all parties to humble ourselves, set aside our personal and group ego, and focus on how to fight against Indonesian occupation and colonialism. Let us forget talking about other fellow Melanesians. We are not enemies. We are just different, by the way we think, by the way we want to carry out our work to free our country. We are born into different territories and tribes, grew up with different surroundings and environments, but we should all agree upon one thing: We all experienced that the presence of Indonesia is deadly. We all agree that Indonesia should get out from West Papua. We all agree that we should fight them out, not by asking them, not by begging them, but by fighting, by demanding, by pushing them out.

    We can work from our one identity, one mission and one destiny. We still have the power of people behind us. Only when we forget about our personal and group egos, we will deliver what we are supposed to deliver: a free and independent West Papua, and today, to ensure West Papua become full member of the MSG, a member of PIF and West Papua is listed under the UN Decolonization List.

    That is the ball, and the ball is in our feet today. Let us focus on “the ball”, not the side-events, let us forget what is outside the field, let us humble ourselves and surrender to God, and let Him do His will though us.

  • Vanuatu BUKAN Tempat Wisata Politik Aktivis Papua Merdeka untuk Datang Lalu Bubar

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua mengingatkan kepada semua pejuang Papua Merdeka untuk mencamkan dengan baik apa yang sebenarnya kita lakukan selama ini. Berdasarkan perintah dari Panglima Tertingi Komando Revolusi Gen. TRWP Mathias Wenda, dari Kantor Sekretariat TRWP, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menyampaikan penyesalan atas kinerja para pengurus ULMWP yang menjadikan Port VIla dan Vanuatu sebagai tempat wisata politik sementara dan kemudian meninggalkan negara kepulauan itu tanpa bekas.

    Walaupun rakyat dan pemerintah Vanuatu, bersama dengan rakyat dan pemerintah Solomon Islands, bersama dengan pemerintah dan rakyat Papua New Guinea telah berbuat apa saja yang mereka bisa lakukan menurut kapasitas dan panggilan yang mereka miliki. Itu sudah cukup.

    Kami para gerilyawan Papua Merdeka juga mengambil posisi di hutan rimba dan setiap saat bersedia mengangkat senjata. Akan tetapi para pejabat ULMWP yang seharusnya tinggal di Port Vila Vanuatu, ternyata tidak.

    Situasi ini menunjukkan riwayat perjuangan bangsa Papua seperti yang dialami oleh para pendahulu kita kana terulang kembali.

    Para tokoh Papua Merdeka antara lain Nicolaas Jouwe, Otto Ondawame, Jacob Prai, Seth Roemkorem, dan sebagainya, telah dibawa ke negara-negara barat. Tujuan perjalanan mereka secara pribadi memang untuk memperjuangkan Papua Merdeka dari negara barat sana. Mereka menduga bahwa mereka akan lebih kuat membantu Papua Merdeka dari sana.

    Tetapi apa yang terjadi?

    Satu hal yang jelas buat kita semua adalah “tenaga mereka, waktu mereka dan kekayaan mereka secara intelektual dan secara kharisma” dikuras habis, dipermainkan, dihabiskan, sampai-sampai mereka duduk menganga di kursi sebagai orang Papua, presiden, pemimpin lanjut usia dan mulai mengeluarkan kata-kata, kalimat-kalimat yagn tidak teratur, tidak membantu dan tidak mendukung Papua Merdeka.

    Satu-satunya tokoh Papua Merdeka yang harus kita banggakan ialah Alm. Dr. OPM Otto Ondawame, sebagai tokoh intelektual OPM, beliau menyadari bahwa berkewarga-negaraan Swedia dan tinggal di Swedia sama sekali tidak membantu Papua Merdeka. Oleh karena itu, bersama Senior OPM Andy Ayamiseba, pada tahun 2001, mereka menginisiasi dan membentuk WPRRO (West Papuan Peoples’ Representative Office), yang kemudian pada tahun 2003 disahkan oleh Deputy Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri waktu itu, Serge Rialuth Voghor.

    Para pemimpin Papua Merdeka yang ada di dalam negeri memang harus pulang ke tanah air, karena persoalan Papua Merdeka ada di dalam Negeri. Akan tetapi mengapa para aktivis dan pemimpin Papua Merdeka meninggalkan Vanuatu? Apakah pemeirntah Vanuatu mengusir mereka? Tidak, rakyat dan pemerintah Vanuatu telah secara resmi memberikan Kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), mereka telah membantu ULMWP mendaftar menjadi anggota MSG (Melanesian Spearhead Group), mereka terus berusaha membantu sesuai degnan kemampuan mereka. Akan tetapi yang terjadi ialah para pemimpn Papua Merdeka TIDAK MENSYUKURI pemberian rakyat dan pemerintah Vanuatu.

    Pengorbanan nyawa yang berjatuhan di rimba New Guinea, pahlawan tanpa nama yang bersebaran di mana-mana, dan kematian para tokoh di luar negeri seharusnya kita dapat akhiri scara bermartabat dengan cara memfokuskan diri kepada perjuangan ini dengan “menanam lutut”  di nama kita harus tanam lutut, dan “duduk bertempat tinggal” di mana kita harus bertempat-tinggal demikian himbaian dari Gen. TRWP Mathias Wenda.

    Dari MPP TRWP, mengundang semua tokoh, pemimpin dan aktivis Papua Merdeka, untuk menghargai apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan Papua Merdeka, oleh saudara-saudara Melanesia, dan oleh Tuhan Yesus sebagai Panglima MahaTinggi Revolusi West Papua dengan cara

    • Datang dan duduk di Kantor ULMWP
    • Berpikir dan berbicara dari Kantor ULMWP
    • Selesaikan perjuangan Papua Merdeka dari Kantor ULMWP

    Kalau tidak demikian, kita sudah di-anggap remeh oleh analis politik dan inteligen di seluruh dunia, terutama dari Idnonesia, bahwa irama panas-panas tahi ayam Papua Merdeka itu sudah biasa, sudah lebih dari setengah abad orang Papua memang begitu. Sebentar lagi akan dingin, sebentar lagi para Wisatawan Politik (Political Tourists) yang berkunjung ke Vanuatu akan pulang dan masalah akan redah. Buktinya benar, bukan?

     

    Baca juga

     

  • WPRA Express Deep Condolences for Families and Friends of Churches Bombings in Surabaya

    WPRA Express Deep Condolences for Families and Friends of Churches Bombings in Surabaya

    Pemerintah Perlu Jelaskan Definisi TerorismeFrom the Central Headquarters of the West Papua Revolutionary Army (WPRA), Lt Gen. WPRA Amunggut Tabi, on behalf of Gen. TRWP Mathias Wenda

    Expresses Deep Condolences to Families, Friends and Relatives Killed by Inhuman Bombers in colonial town of Surabaya, Indonesia.

    Strongly Condemns Indonesian Terrorists as Barbaric and non-human, as being nurtured and kept grow in Indonesia by various state-agencies and majority Moslem populations of Indonesia. Using the name of God for kiling other human created by God when they are worshiping God is barbaric uncivilised act.

    Every human beings today in the world that watch this barbaric, inhuman, uncivilised acts of terror in the name of religion and God should understand that Indonesia is keeping terrorists, Indonesia is nurturing terrorists, Indonesia is allowing terrorists grow well.

    Only when foreign funds and guns are supplied then they will act as if they are against terrorists, but on many occasions they have been spotted running training together with the Indonesian Special Armed Forces, polices forces as well as with other militia groups that operate in all political parties in Indonesia that generally labelled as “Satgas” (Task Force).

    When there is no mor funds and training from abroad, then they allow the terrorists to bomb. This kind of behaviour is also inhuman, uncivilized because it costs lives of innocent civilians, mothers and children.

    The West Papua Revolutionary Army (WPRA), even though fighting against the might of Indonesia State-Terrorism, never carry out suicide bombings, bombings in churches, mosques or other worshiping places, and always avoid casualties on children and women. Indonesian terrorists are just like their State-Terrorists, they kill priests and evangelists, Christians in West Papua, bomb villages and burn churches. The world never know these stories are real. We know it from our daily experiences. And this week, the world knows it because of the bombing in churches.

    The world should not allow Indonesia to become powerful in South East Asia and South Pacific Region, across small countries in Melanesia, Micronesia and Polynesia, as they will spread the spirit and energy of terror, murder, killing in barbaric and uncivilized way across our Melanesian, Polynesian and Micronesian brothers and sisters.

    All Pacific Island countries should not expect Indonesia to end its violations of human rights in West Papua. It should not think of bringing a peace settlement. Islamic Jihadists, Islam Terrorists are strongly involved in fighting against Free West Papua Campaigns.

    ISIS training camps are situated in some areas across the border between West Papua and Papua New Guinea. Only blind people will not notice this.

    Issued in : WPRA Central HW

    On date: 14 May 2018

     

    signed

     

    Amunggut Tabi, Lt.Gen.WPRA
    BRN: A.DF 018676

     

  • Setelah Ego-isme Pribadi, Penyakit Terbesar Kedua ialah “Curiga-Mencurigai” antara Sesama Pejuang

    Telah berulang-ulang Papua Merdeka News (PMNews) menangangkat isu “egoisme” sebagai persoalan terbesar, pertama dan utama, yang menghambat perjuangan Papua Merdeka. Egoisme dimaksud ada pada tingkat individu para pemimpin dan aktivis Papua Merdeka dan juga ada di tingkatan suku, klen, agama, kelompok politik, pertahanan masing-masing di seluruh kalangan orang Papua.

    Setelah “egoisme” penyakit berikutnya ialah “curiga-mencurigai”, mencurigai sesama pejuang sebagai agen dan mata-mata NKRI. Irama “spy”, mata-mata dan saling mencurigai yang ada selama ini di Tanah Papua, di kalangan para pejuang Papua Merdeka kebanyakan didasari atas sentimen-sentimen pribadi, yang latar-belakang utamanya ialah egoisme pribadi dan kelompok, tidak ada alasan mendasar, bukti nyata yang menunjjukkan oknum yang dituduh benar-benar merupakan agen dari NKRI.

    TIdak hanya di antara kelompok, suku atau generasi, tetapi di dalam kelompok sendiri juga masih saja ada saling curiga-mencurigai. Ini penyakit  yang sulit kita lenyapkan, tetapi harus kita lenjyapkan.

    Cara mengecap diri sendiri sebagia pejuang dan pahlawan, dan mengecap sesama pejuang lain sebagai agen dan mata-mata adalah sebuah pemikiran dan perilaku bukan hanya tidak sopan, tetapi sekaligus tidak bermoral dan berbahaya bagi perjuangan Papua Merdeka.

    Dan kita harus tegas menyatakan bahwa para pembawa isu-isu curiga-mencurigai itu sendiri adalah mata-mata dari NKRI, karena kita sebagai sesama pejuang tidak-lah mungkin dengan tega saling mencurigai dan saling menceritakan. Para pejuang bangsa Papua telah mempertauhkan semuanya, telah mempertaruhkan nyawa, menghabiskan waktu dan biaya untuk tujuan perjuangan. Akan tetapi pada waktu yang sama telah gagal menyatu dan saling mengakui.

    Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, mulai dari Skotiau, Wutung, Jayapura, Waemna dan sekitarnya, dari tahun 1960-an dan terutama tahun 1977 di pegunungan tengah Papua sangat kental dengan warna saling mencurigai dan saling menuduh.

    Akibatnya yang pernah terjadi waktu itu ialah saling menghukum sampai saling membunuh. Peristiwa saling membunuh tidak hanya berakhir di Wamena, ia berlanjut sampai ke wilayah perbatasan NKRI – West Papua. Bahkan bibit-bibit itu masih bertumbuh dan berbuah di hati sejumlah pemuda hari ini, yang senang menyebarkan gosip dengan menuduh sesama pejuang sebagai mata-mata NKRI dan sebagai kaki-tangan merah putih.

    Kalau kita memang berjiwa nasionalis, kita berjuang benar-benar untuk Papua Merdeka, kita semua pejuang “bangs Papua”. maka pasti kita tanpa terkecuali merangkul semua orang Papua, itu merah-putih, itu putih-biru, itu bintang kejora, itu pejabat, anggota TNI dan Polri, ASN Indonesia, pejabat NKRI OAP, semuanya kami akan menganggap dan memperlakukan mereka sebagai sesama sebangsa dan setanah air. Para pejabat Barisan Merah Putih seperti Ramses Ohe, para tokoh OPM yang sudah kembali seperti Fransalbert Joku dan NIck Messet, semuanya akan kita pandang sama-sama sebagai bangsa Papua, dan sama-sama mengambil andil dalam rangka mempertahankan identitas bangsa Papua. Kita akan memperlakukan semua pihak tanpa curiga, apalagi menceritakan yang tidak-tidak dan tidak sesuai proporsi.

    Memang perjuangan Papua Merdeka sejauh ini sangat lemah dengan PIS (Papua Intelligence Service). Strukturnya tidak ada, organisasinya tidak ada, apalagi pejabatnya tidak ada. Akibatnya semua informasi, semua kecurigaan, semua sentimen dia melayang secara liar tak terkendali. Semua orang dapat bersuara membela, menyalahkan, mencurigai, atas nama Papua Merdeka, padahal banyak dari kita sebenarnya menggunakan sentimen pribadi dan egoisme individu dan kelompok yang tidak ada manfaat apapun dan malahan sangat merugikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

    [Semoga Tunan membaca artikel ini]

  • Tolak dialog, ULMWP anggap Pjs Gubernur tak paham soal Papua

    Tolak dialog, ULMWP anggap Pjs Gubernur tak paham soal Papua

    Benny Wenda - Dok. Jubi
    Benny Wenda – Dok. Jubi

    Jayapura, Jubi – United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan tegas menolak ajakan dialog yang disampaikan oleh Penjabat Sementara (Pjs) Gubernur Papua, Soedarmo.

    “Justru penjabat gubernur (Papua) itu dan pemerintah Indonesia yang mengganggu stabilitas bangsa dan rakyat Papua. Bangsa Papua tidak pernah meminta Indonesia dan militernya datang ke Papua. Indonesia tidak menyadari telah merampas kenyamanan rakyat dan bangsa Papua,” ujar Benny Wenda, menolak klaim Pjs Gubernur yang menyebutkan ULMWP sebagai kelompok yang mengganggu stabilitas politik, ekonomi dan keamanan di Tanah Papua.

    Wenda melalui sambungan telepon, Jumat (Sabtu, 5/5/2018) menegaskan, ULMWP bukan berjuang untuk berdialog dengan petinggi pemerintah sekelas penjabat sementar gubernur. Seorang Pjs bisa berdialog dengan tokoh gereja, Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

    “Gereja, MRP, DPRP dan LSM bisa berdialog dan menyampaikan persoalan yang terjadi di Papua. Kami ULMWP berjuang untuk referendum bangsa Papua, itu tujuan kami,” lanjut Wenda.

    Lanjut Wenda, orang Papua bukan menuntut pembangunan namun menuntut pembebasan secara politik dari Indonesia.

    “Pjs gubernur ini, tidak paham akar masalah Papua, sangat disayangkan,” ungkap Wenda.

    Sebelumnya, Pjs Gubernur Papua mengaku siap membuka diri berdialog dengan ULMWP dan Komite Nasional Papua Barat maupun kelompok lain yang masih menyuarakan perjuangan Papua merdeka.

    “Saya selaku penjabat gubernur siap berdialog. Tapi dialog atas dasar di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bagaimana kita membangunan Papua ke depan,” kata Soedarmo dalam siaran persnya.

    Soedarmo menyatakan dialog yang ditawarkan tak harus dilakukan secara formal.  “Itu saya apresiasi. Dialog di cafe pun saya siap tidak perlu di kantor,” kata Soedarmo menambahkan. (*)

  • Pdt. Dr. S.S. Yoman tentang Ajakan Pj. Gubernur Papua untuk Berdialog di Warung-Warung

    Dengan adanya pernyataan Gubernur Papua akan laksanakan dialog bersama ULMWP rakyat tidak perlu menanggapi atau terprovokasi dengan isu dialog, sebab :

    1. ULMWP adalah wadah organisasi perjuangan nasional West Papua yang levelnya sama dengan negara sebab, ULMWP adalah Wakil bangsa Papua dan tidak sekelas provinsi. Dengan demikian sangat tidak pantas sekali seorang gubernur berdialog dengan ULMWP.

    2. Dialog atas permintaan siapa?

    Rakyat tidak meminta dialog dan yang rakyat Papua tuntut hari ini adalah berikan hak politik bangsa Papua dengan melakukan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua.

    3. Apa yang mau di bicarakan dlm dialog?

    1. Dalam tuntutan rakyat Papua jelas bahwa, rakyat menuntuk hak politiknya yang di caplok oleh Indonesia (Kolonial) dan Amerika (Imperialisme/Kapitalisme). Apakah soal pembangunan? Jika, ia. Pembangunan untuk siapa? Permintaan siapa?

    Rakyat tidak meminta atau menuntut pembangunan dan meminta makan atau mengemis di Indonesia rakyat hanya menuntut hak politiknya.

    Pembangunan sesungguhnya sebagai wujud pencitraan Indonesia sebagai negara yang menjajah dan mengeksploitasi segalah potensi kekayaan alam. Selain pembangunan di lakukan sebagai upaya untuk menghubungkan titik-titik potensi yang dapat di eksploitasi sehingga negara dengan mudah dan cepat melakukan eksploitasi dengan kekuatan militer Indonesia bukan untuk orang Papua. Faktanya Indonesia mengatakan membangun tapi orang Papuanya di bunuh oleh negara?

    Atau isu HAM? Sudah barapa lamah isu HAM menjadi isu yang dijadikan sebagai upaya menjaga citra dan nilai tawar demi kepentian politik kolonial (nyawa manusia Papua jadi, nilai tawar menawar demi kepentingan kaum burjois kolonial) nyatanya sampai hari ini beribu kasus belum perna di selesaikan dan pelanggaran HAM terus terjadi dan malahan menurut data pelanggaran HAM di rezim Jokowi di Papua meningkat. Dengan demikian omong kosong jika, negara mengatakan mau menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Bagaimana mungkin pelaku mau mengadili diri sendiri? Namun, ini murni praktek kolonialisme/penjajahan terhadap negara jajahannya.

    Dengan demikian tuntuan dan solusi dari penyelesaiaan persoalan Papua hanya satu yaitu berikan hak penentuan nasib sendiri.

    Sumber: faceboo.com

    #IndonesiaKolonial
    #Penjajah
    #PapuaMerdekaSolusi

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?