Blog

  • Penonton dan Komentator Ikut Main dalam Lapangan Papua Merdeka, Akibatnya?

    Akibatnya pertama-tama permainan menjadi kacau-balau, karena para komentator dan reporter mambawa masuk semua komentar dan laporan permainan sebelumnya dan mereka masuk di dalam justru berkomentar dan melaporkan, bukannya bermain.

    Demikian kata Gen. WPRA Amunggut Tabi dalam sambutan Upacara Perwira Tinggi TRWP menyambut pemberian hadiah “Freeom of Oxford” sebuah hadiah Kota Oxford kepada pembela Hak Asasli Manusia (HAM) di seluruh dunia. Kali ini akan diberikan kepada Sekretaris-Jenderal Dewam Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DEMMAK), sekaligus ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Gen. Tabi mengatakan bahwa persoalan yang dihadapi bangsa Papua saat ini, terutama pro-kontra dalam berbagai isu Papua Merdeka, terkait pembentukan West Papua Army (disingkat WPA) di bawah koordinasi atas hasil kerja Biro Pertahanan ULMWP terkait dengan dua hal. Yang pertama, dan terutama karena saat ini para pemain, para komentator dan para reporter sama-sama masuk lapangan dan bermain, sehingga para komentator tetap berkomentar sambil bermain, para reporter juga tetap melaporkan sambil bermain. Bahkan sebelum main juga sudah dikomentari dan dilaporkan.

    Persoalan kedua ialah karena bangsa Papua tidak memiliki sikap kriteria yang jelas tentang siapa yang mereka anggap sebagai pemimpin Papua Merdeka. Bahkan para penonton-pun bisa tiba-tiba mengkleim diri pemimpin dan tiba-tiba juga bangsa Papua bisa mengakuinya sebagai pemimpin Papua Merdeka. Sama saja dengan banyak Sinode Gereja Kristen yang sudah menjamur di Tanah Papua, banyak Sinode minta uang ke Lukas Enembe dan Klemen Tinal. Sekarang juga banyak Sinode yang dulunya satu sudah terbagi menjadi beberapa Ketua Sinode. Dan semuanya dianggap sah dan dianggap oleh orang Papua sebagai pemimpin gereja. Fenomena yang sama terjadi dalam kepemimpinan Papua Merdeka.

    Bayangkan saja, pemain Persipura Boas Solossa dan kawan-kawan bermain di lapangan, tetapi tiba-tiba menejer Benhur Tomy Mano, pelatih Jacson F. Tiago, supporter John Tabo dan Befa Jigibalom serta reporter Victor Mambor juga ikut masuk bermain menggunakan seragam Persipura, dengan nomor punggung yang mereka cetak masing-masing.

    Banyakan lagi saja kalua lebih parah lagi, penonton yang ada di luar juga ikut meramaikan, dan ikut berkomentar dan ikut memihak kepada Persipura, yang isinya pada menejer, pelatih, penonton dan reporter.

    Dalam semua hal, dalam banyak hal, permainan seperti ini tidak pernah terjadi. Guru Taman Kanak-Kanak Saja, majelis jemaat di kampung saja, harus-lah dipilih dan ditugaskan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yang kebanyakan tidak mudah dipenuhi oleh banyak orang.

    Apalagi para tokoh dan pemimpin Papua Merdeka? Tahukah Anda apa kriteria kita mengakui seseorang sebagai

    1. pejuang Papua Merdeka
    2. aktivis Papua Merdeka
    3. tokoh Papua Merdeka
    4. pemimpin Papua Merdeka
    5. pendukung Papua Merdeka?
    6. simpatisan Papua Merdeka?
    7. reporter Papua Merdeka?
    8. konseptor Papua Merdeka?
    9. mentor Papua Merdeka?

    Semua kelompok ini memiliki kriteria tertentu! Dan kriteria itu tentu saja didasari dengan latar-belakang pendidikan, pengalaman dan dedikasi yang telah terbukti dalam kehidupan ini.

    Sekarang, apa yang terjadi saat komentator dan reporter ikut bermain menggunakan nomor kesebelasan sendiri? Siapa yang bermain, siapa yang melaporkan, siapa yang mengomentari?

    Komentator dan reporter bukanlah pemain. Dan siapa saja yang menganggap komentator dan reporter sebagai pemain ialah manusia yang paling tersesat di dunia, yang hidupnya akan terkatung-katung, seperti air di daun talas. Dia akan muncul menyalahkan dan menggosip, akan keluar membela dan membenarkan, akan terlibat seperti pahlawan di siang bolong.

  • “Jeffry Pagawak” Sepatutnya, Tidak Mengunakan Nama Samaran OPM

    Jayapura West Papua 13/2019 08:36:00 Wpb.

    Jayapura Papua, Constantinopel – Adik Tuan Jackson Uble King yang terhormat.

    Pertama, saya sampaikan banyak terimakasih atas tanggapan anda terhadap ungkapan saya “Kapan semua claims ini akan berakhir?” Saya sarankan agar sebagai “Self Style OPM Leader”, sepatutnya tidak menggunakan nama samaran dalam setiap penampilan adik di Medsos yang tentu bertujuan agar tidak diketahui oleh public. Banyak orang yang menggunakan nama2 samaran (the ghost names) adalah orang2 yang ditugaskan atau bertugas menjalankan pekerjaan2 rahasia untuk mengadu-domba atau menggagalkan suatu proses yang sedang berkembang yang dianggap merugikan pihak lain yang berkepentingan.

    Di PNG, setelah Cyber Crime Act diadopsi, seseorang bias saja menggunakan nama samaran tetapi sangat sulit baginya untuk bersembunyi atau menyembunyikan identitasnya.

    Seorang pemimpin Papua Merdeka tidak boleh menggunakan nama samaran sebagai batu atau semak2 tempat bersembunyi dan membangun pandangan2 atau opini yang tidak menguntungkan perjuangan bangsa.

    Sebenarnya saya tidak merasa terbeban untuk menjawab beberapa pokok yang adik angkat sebagai tanggapan terhadap ungkapan saya “Kapan semua claims ini akan berakhir?” (5 Juli 2019) karena isi dari artikel saya itu merupakan suatu himbauan untuk mengakhiri pertentangan pendapat dan pandangan yang terjadi antara Tuan2: Jefferey Pagawak dan Sebby Sambon disatu pihak dengan Ketua (Terpilih) ULMWP Tuan Benny Wenda, serta Sam Karoba, sehingga pertentangan dan perbedaan pandangan ini tidak merambat dan membuahkan kerugian terhadap perjuangan bangsa Papua.

    Jawaban saya terhadap point2 yang ade kemukakan:

    1. Adik boleh memandang nasehat atau himbauan saya tersebut sebagai suatu argumentasi yang bernilai kontradiksi dan memotifasikan perpecahan dengan mengaitkan masalah Prai dan Rumkorem. Saya menghimbau agar ambisius atau egoisme jangan menjadi motifasi bagi sebuah perpecahan seperti yang terjadi pada tahun 1976 antara Prai dan Rumkorem. Dan luka perpecahan itu memakan waktu yang lama untuk sembuh (proses rekonsiliasi yang lama).

    OPM-PNG Chapter menjadi OPM-Pacific Chapter kemudian menjadi basis terbentuknya WPNCL adalah proses2 rekonciliasi yang terjadi sebagai response para pejuang Papua Merdeka di kedua kubuh (Prai dan Rumkorem) terhadap Port Vila Declaration yang ditanda-tangani oleh keduanya dari dua Pemerintahan yang berbeda yang terjadi setelah Perpecahan 1976. Ini adalah bagian dari sejarah perjuangan bangsa Papua yang telah terjadi karena berbagai alasan.

    Sebagai penerus perjuangan bangsa kita harus mengakui kejadian2 itu tapi tidak boleh mengulanginya lagi karena berbagai alasan dan pandangan yang berbeda yang lebih banyak dipengaruhi oleh soal2 pribadi, suku dan golongan. Pihak musuh sangat mengharapkan keadaan semacam ini terjadi sehingga mereka bisa menerobos masuk dan mengambil keuntungan dari pertentangan2 tajam yang terjadi antara kita. Sayang sekali jika kita secara tidak sadar dipakai oleh pihak lain untuk mewujudkan keinginan mereka.

    2. Apa yang beda antara Prai dan Rumkorem dengan masalah yang terjadi saat ini?

    Prai dan Rumkorem pecah karena masalah2 yang lebih banyak bersifat pribadi, dalam hal ini soal kode etik sebagai pemimpin, kejujuran dan transparansi.
    Content dari pertentangan anda dengan ULMWP, terutama dengan Ketua ULMWP Benny Wenda dan melibatkan Sam Karoba di dalamnya identic karena tidak hanya mempersoalkan hal2 yang umum tetapi juga mengangkat hal2 yang bersifat menjatuhkan dan pembunuhan karakter seseorang.

    Coba baca kembali semua komentar yang berasal dari pihak yang kontra dengan Benny Wenda dan ULMWP dalam soal WPA. Menjawab pertanyaan adik tentang posisi saya terhadap ULMWP, dapat saya nyatakan secara terang kepada adik, bahwa saya mendukung ULMWP dengan menggunakan akal sehat saya (my political conviction) bahwa ULMWP dibentuk atas kesadaran bersatu-bangsa dan eksekutipnya dipilih secara demokrasi, dan bukan mereka mengangkat diri sendiri.

    Saya juga mendukung ULMWP tanpa mengharapkan suatu jabatan karena jika harapan itu yang yang menjadi dasar dukungan dan apabila sebuah jabatan tidak diberikan, maka saya akan frustrasi dan mulai menyerang Ayamiseba dan Rumakiek atau Nussy dan Athaboe di Athene/Holland sebagai tidak pernah menghargai dukungan2 saya selama terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka ini. Egoisme dan Ambisi negative seperti ini tidak ada dalam kehidupan saya sebagai seorang pejuang Papua Merdeka.

    3. Adik tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mepertanyakan integritas dan hak2 politik saya dan posisi saya terhadap West Papua Army (WPA) yang akhir2 ini menjadi topik yang sangat panas antara group anda dengan ULMWP, khususnya dengan Benny Wenda.

    Saya secara pribadi, tidak mewakili golongan apapun, melihat West Papua Army yang difasilitasi oleh ULMWP berdasarkan rekomendasi KTT ULMWP-2017 di Port Vila, Vanuatu, atas permohonan 3-satuan militer dalam gerakan Papua Merdeka – Dewan Militer TPN-PB, TRWP, dan TNPB, maka menurut saya, WPA (West Papua Army) hanya merupakan sebuah organ-rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan oleh perjuangan Papua Merdeka di bawah satu garis komando.

    Saya melihat WPA bukan sebagai satu kesatuan militer/ tentara Papua yang baru, tetapi merupakan organ atau wadah kordinatif bagi semua satuan2 tentara Papua yang ada yang dibentuk oleh berbagai faksi OPM seperti: TPN-PB/TPN-OPM (Marvic), TEPENAL (PEMKA), TNPB (Federasi), TRWP (yang jelas berafiliasi dengan salah satu dari dua kubuh perpecahan). dan sebagainya, agar satuan2 ini dapat membangun suatu kordinasi kerja yang terarah dalam mengawal tujuan dan program2 revolusi bangsa secara nasional.

    Seperti halnya ULMWP yang dibentuk (2014) sebagai wadah kordinatif antara faksi2 Perjuangan Papua (NRFPB, KNPB/PNWP, WPNCL) untuk mewujudkan aspirasi bangsa secara nasional. Dengan demikian, rekonsiliasi antara faksi2 miiter dalam tubuh perjuangan pun dalam tujuan yang sama tanpa melebur faksi2 militer itu sebagaimana yang dipertengkarkan oleh adik tuan dan kawan2 dengan ULMWP.

    4. Dalam penulisan saya yang bersifat himbauan itu, saya hanya mengharapkan agar jangan sampai perpecahan yang terjadi antara Prai dan Rumkorem terulang lagi. Adik harus tahu bahwa perpecahan yang terjadi pada tanggal 23 Maret 1976, didorong oleh beberapa hal yang tidak bisa diterima oleh kedua orang Rumkorem dan Prai. Yang jelas, perpecahan itu terjadi karena masalah “masa kepemimpinan, tugas dan tanggung-jawab serta kejujuran/ transparansi”. BUKAN SOAL PEREMPUAN.

    Memang benar kata adik bahwa PENOLAKAN TERHADAP West Papua Army bukan merupakan lanjutan dari perpecahan antara Prai dan Rumkorem, tetapi jangan ade lupa bahwa penolakan adik dan kawan2 adik itu disertai dengan hal2 yang sangat negative yang tidak bersifat nasionalis dan sama sekali tidak menguntungkan perjuangan karena sudah ada ancaman bahwa Goliat Tabuni akan membunuh semua pejabat atau anggota eksekutif ULMWP. Apakah bisa dijelaskan bahwa ancaman semacam begini bukan pernah terjadi antara markas Pemka dan Victoria?

    5. Jika yang dipersoalkan oleh adik2 terutama (Jefferey) Pagawak dan (Sebby) Sambom dengan (Benny) Wenda dan (Sam) Karoba itu adalah soal tanah, maka adalah sangat salah kalau saya ikut campur atau memberikan nasehat karena saya dari daerah lain yang sama sekali tidak punya hubungan dengan apa yang dipermasalahkan. Itu adik2 punya urusan secara adat. Tapi yang dipertentangkan adalah soal perjuangan yang menyangkut status dari tentara pembebasan nasional, itu adalah soal nasional/ bangsa, dimana kita semua mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menjamin kesatuan dan persatuan nasional.

    Saya tidak bermaksud menyebut semua orang Pagawak, Sambom, atau Wenda, Karoba, sebagai pihak yang salah. Himbauan saya terbatas pada oknum Pagawak dalam hal ini Jefferey dan Sebby Sambom yang terus mempertentangkan soal WPA dengan Benny Wenda dan Sam Karoba, yang seharusnya pertentangan itu bisa dibicarakan bukan di media social tapi bisa di media lain yang lebih menjamin keamanan/ kerahasiaan dari sebuah pendapat atau perbincangan tentang perjuangan Papua Merdeka.

    6. Dapatkah adik secara details dan terang menjelaskan di pasal berapa, artikel dan ayat berapa dari Konstitusi 1 July 1971 yang dilanggar oleh ULMWP dalam Pembentukan West Papua Army (WPA)?

    Setahu saya, dan dari Undang2 Sementara Republik Papua Barat yang adik sebut sebagai Konstitusi 1 July 1971, adalah Undang2 Sementara Pemerintahan Revolusi Sementara (PRS) Republik Papua Barat yang didirikan oleh Rumkorem dan Prai pada tahun 1971 berhubungan dengan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat yang direncanakan pengumumannya pada 1 July 1971 di Waris. Proklamasi itu tidak terjadi pengumumannya tetapi akan diumumkan beberapa tahun kemudian (1973) bersamaan dengan pengumuman agenda2 revolusi.

    Sebelum perpecahan, Undang2 ini serta Proklamasi 1 Juli 1971 masih utuh dan bersifat nasional, tetapi setelah perpecahan terjadi pada tanggal 23 Maret 1976, dimana Prai keluar dari PRS/RPG dan mendirikan Pemerintahan DeFacto (beliau sendiri adalah Presidennya), maka Proklamasi dan Undang2 1971 itu merupakan DOCUMENT2 FAKSI milik PRS yang mungkin tidak diakui juga oleh Pemerintahan deFacto.

    Di dalam Undang2 Dasar Sementara Republik Papua Barat, Chapter V, tentang Pertahanan dan Kemanan Nasional (Nasional Defence and Security), Article 104 – 109, tidak secara specific menjelaskan tentang TPN-PB tetapi menyebutkan tentang Pembentukan Pasukan/Angkatan Bersenjata Republik Papua Barat (Article 105 (1) The formation of the Armed Forces of the Republic of West Papua, which will consist of volunteers and conscripts, is laid down by the law; (2) By the Armed Forces of the Republic of West Papua are meant: Army, Navy and Air Force.).

    7. Undang2 Sementara Republik Papua Barat (Konstitusi 1 July 1971) TIDAK PERNAH DIAMEND/DITINJAU KEMBALI sejak penulisannya hingga pengesahannya pada tahun 1973 bahkan setelah perpecahan. Dan ia telah menjadi Undang2 Sementara dari Faksi PRS. Apakah Undang2 ini diakui oleh Pemerintahan deFacto (Jacob Prai), Bintang-14 (Thom Wanggai), West Papua New Guinea National Congress (Michel Karet), dan Negara Republik Federasi Papua Barat/ NRFPB (Porkorus)?

    8. Naskah Proklamasi 1 July 1971 HANYA DITANDA-TANGANI oleh Rumkorem. Prai sebagai Ketua Senat pada waktu itu TIDAK IKUT menanda-tangani Naskah Proklamasi itu. Apakah hal ini juga merupakan salah satu factor perpecahan antara kedua pemimpin itu?

    9. Port Vila Declaration yang difasilitasi oleh Andy Ayamiseba dan Rex Rumakiek dibawah political supervision dari Pemerintah Vanuatu (1986) hanya merupakan rekonsiliasi nasional antara kedua pemimpin (Prai dan Rumkorem) dengan agenda pembagian tugas kerja dimana Prai (deFacto/ Pemka) menjalankan tugas2 politik/ diplomasi, sedangkan Rumkorem (PRS/ Marvic) menjalankan tugas2 logistic (kemiliteran). Tidak ada diskusi tentang peleburan kedua pemerintahan yang terbentuk. Rumkorem tetap dengan PRS dan TPN nya di Markas Victoria, sementara Jacob Prai tetap dengan deFacto dan TEPENAL nya di Markas PEMKA.

    PRS/ RPG dan de facto masih exist.

    Demikian jawaban saya, dan posisi saya saat ini dalam mendukung ULMWP adalah karena dibentuk secara demokratis sebagai wadah kordinatif untuk mendorong Agenda Revolusi dan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua secara nasional di forum2 Internasional. Jika ULMWP hanya dibentuk oleh satu dua orang untuk kepentingan kelompok atau golongan, jelas saya tidak akan mendukungnya.

    (Wapupi0275).

  • Berkompromi dengan Sesama Pejuang Pertanda Kematangan Jiwa

    Berkompromi, dalam politik Papua Merdeka artinya saling mengakui dan saling menerima sesama pejuang sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan, dengan segala kelebihan, dengan semua kesalahan, dengan sekalian kebenaran, seutuhnya dan semuanya, dan menjadikannya sebagai modal bersama untuk melangkah ke depan.

    Demikian dikatakan Gen. WPRA Amunggut Tabi menanggapi perkembangan terakhir antara pro-kontra dan membenarkan-menyalahkan diri antara sesama pejuang Papua Merdeka di hadapan para penonton dunia yang begitu berminat dan menghabiskan banyak waktu untuk menikmatinya.

    Salah dua wujud dari kompromi itu ialah terbentuknya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan West Papua Army (WPA). Kedua lembaga ini menyatukan keseluruhan pejuang dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua dari Sorong sampai Maroke, bahkan dari Raja Ampat sampai Samarai.

    Kedua hasil kompromi ini telah memberikan signal kepada Negara Kolonial Republik Indonesia (NKRI) dan para sponsornya bahwa bangsa Papua saat ini lebih siap daripada sebelumnya untuk mengambil-alih kepemerintahan dari tanah penjajah ke tangan pemimpin bangsa Papua dan pemerintah Negara Republik West Papua sendiri.

    Kedua hasil kompromi ini menunjukkan bahwa “politik” dan “berpolitik” itu ada dan beroperasi di dalam hidup bangsa Papua, khususnya di antara para pejuang kemerdekaan Negara Republik West Papua. Memang kompromi itu sudah lumrah di kalangan orang Papua atau Orang Asli Papua (OAP) yang sekarang berpolitik di dalam NKRI. Mereka berkompromi setelah kalah dalam Pilkada dan Pilpres. Mereka terbiasa menerima kekalahan dan mengkleim kemenangan. Kemudian, mereka lakukan kompromi untuk menjalankan kehidupan perpolitikan mereka di dalam negeri di bawah kekuasaan NKRI.

    Kompromi seperti itu belum dikenal di kalanngan OAP Papua Merdeka. Baru pertama kali kita alami setelah WPNCL gagal mendaftarkan diri ke Melanesian Spearhead Group (MSG), yang kemudian memaksa pemerintah Negara Republik Vanuatu untuk menngeluarkan dana yang begitu besar dan mendesak para pemimpin WPNCL dan NRFPB bersatu dan menghasilkan Saralana Declaration dan hasilnya terbentuklah ULMWP.

    Berkompromi bukan berarti menyerah

    Berkompromi di sini kita maksudkan untuk sikap dan perilaku politik kita di antara OAP sendiri, bukan dengan lawan politik NKRI. Terhadap kehadiran dan pendudukan NKRI, semua bangsa Papua harus melawan terus sampai titik darah penghabisan. Tidak ada kompromi dalam hal ini.

    Akan tetapi, untuk mencapai itu, supaya mencapai itu, untuk mempercepat dan untuk memperlancar pencapaian cita-cita itu, “berkompromi” di antara OAP atas nama bangsa Papua, atas nama senasib-sepenanggungan, melupakan masa lalu, dan menatap ke masa depan yang gemilang, West Papua di luar NKRI ialha cita-cita yang akan secara otomatis memaksa kita untuk harus “membuang ego” pribadi dan ego kelompok, dan mengakui serta menerima sesama pejuang bangsa Papua, sesama organisasi perjuangan bangsa Papua sebagai “One People – One Soul”, satu kaum, satu hati.

    Bersikeras artinya Kita Belum Dewasa

    Mempertahankan prinsip revolusi dan tujuan kemerdekaan itu merupakan sesuatu yang tidak boleh di-kompromi-kan dengan alasan apapun. Akan tetapi bersikeras mempertahankan kepentingan dan kehadiran diri dan kelompok sendiri menentang diri dan kelompok orang sesama OAP yang sama-sama berjuang untuk Papua Merdeka atas nama apa-pun menunjukkan kita benar-benar belum dewasa berpolitik, dan kita benar-benar belum dewasa berpikir.

    Apakah dengan bersikeras dan tidak berkompromi antar sesama kita bermaksud mempercepat proses kemerdekaan West Papua?

  • Why West Papua Army and NOT TPNPB OPM or TPN/OPM ?

    Gen. WPRA Amunggut Tabi (WPRA) from the Centreal Defence Headquarters of West Papua Revolutionary Army (WPRA) explains simple version of the resion “Why West Papua Army and NOT the West Papua National Liberation Army (TPN PB) of Organisasi Papua Merdeka (OPM) hereby called TPNPB – OPM?

    Papua Merdeka News (PMNews)  asked Gen. Tabi regarding the dispute between the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) with West Papua Army (WPA) and TPNPB-OPM under the leadership of Jefry Bomanak Pagaawak (OPM) and Sebby Sambom (TPNPB)l.

    TPN/OPM, TPN.PB, TPN-PB, TPNPB-OPM, TNPB and OPM

    General WPRA Tabi says, the first problem is to do with the name TPNPB. There have been so far three groups using the same name, TPNPB with three variations of TPN.PB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka), TPN-PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat), and DM-TPNPB (Dewan Militer Tentara Pembebasan Nasional).

    The first TPN-PB – OPM was set up by Komite Nasional Papua Barat (KNPB) in Biak in 2012. This TPNPB then formed affiliation with Jefry Bomanak Pagawak who has been based in Scotiau, Vanimo, Port Moresby, Kiunga and Mount Hagen.

    Another TPNPB is also called TNPB, short name for “Tentara Nasional Papua Barat“. This TNPB has been called TPN as well under the command of H. R. Joweni until the formation of WPNCL on 20 December 2005 when Joweni was elected as the Chair of the WPNCL.

    The Military Council of the West Papua National Liberation Army (DM-TPNPB) is chaired by Nikolas Ipo Hau and Gen. TPN Abumbakarak Omawi Wenda as the Supreme Commander.

    Among these, there is West Papua Revolutionary Army (WPRA), which is called Tentara Revolusi West Papua (TRWP) with Gen. WPRA Mathias Wenda as the Commander in Chief. The WPRA was formed as a result of TPN/OPM Summit that was held after being endorsed by all military commanders in the jungles in 2005-2006 and held in Vanimo, in which WPRA was officially separated from the political organisation called OPM (Organisasi Papua Merdeka).

    WPRA anticipated that a political grouping will be happening in the near future, most probably OPM with new leadership and organisation.

    WPRA separated itself from OPM in order to help OPM as a political organisation to function properly as modern political organisation for West Papua Independence. It took very long time to separate between military wing and political organisation of Free West Papua Movement. Indonesia has been using this unclear naming and concept to brand the movement as separatist, trouble makers, and finally terrorists.

    The name TPN/OPM (TPN slash OPM) has been very commonly used among West Papua independence fighters, making it complicated for Papuans ourselves to see who we are: “politicians” or “military fighters”. The rhetoric, the way of thinking, the concepts of the independence movement, as well as the naming of all have been mixed and misrepresented and misunderstood both by Papuans ourselves and more by the international community.

    WPRA separation from OPM gave path to all other groups within West Papua independence movement to call themselves NOT TPN/OPM anymore, but it became DM-TPNPB, TPNPB and TPN-PB, or TPN.PB.

    WPNA, NRFPB, TPN/OPM, WPRA, TPNPB, WPNCL

    The story of TPN/OPM, TPNPB and WPRA is one side of the coin. The other side is the story of West Papua National Authority (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) and the NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat – The Federal Republic of West Papua) under the leadership of Waromi – Yaboisembut.

    OPM and TPNPB belongs to the TPN/OPM group, commonly called the One-Star Group (Kelompok Bintang Satu). The other party is called the 14-Stars Group (Kelompok Bintang Empatbelas), who totally have nothing to do with the OPM, but have some things to do with TPN under the leadership of H.R. Joweni, who then became the chair of WPNCL.

    We all know when WPNCL applied for MSG membership, the MSG leaders asked West Papuan independence fighters to re-apply with all-inclusive organisations, primarily because the NRFPB was not inside the WPNCL.

    Why WPNCL was not regarded as fully representing West Papuans or West Papua?

    Only one possible answer: One-Star Group only applying for membership, the 14-Stars Group was not included.

    Now, why West Papua Army, and NOT TPNPB?

    West Papua Army (WPA) is the name as a result of political lobbies and calculations. It was formed as step to get out from the “One Star – Fourthen Star Groups Stigmatization“. We all want to be free from Indonesian colonialism, therefore we need to unite politicaly and militarily.

    Therefore, ULMWP is not undermining or forgeting the OPM, and WPA is not getting rid of the TPNPB, but we are progressing from one chapter to the next one, from one page to the next one, towards our goal: Free and Independent Republic of West Papua.

    So, all TPN/OPM, TPNPB, TPNPB-OPM, DM-TPNPB, WPRA, WPNCL, we are all from the “One -Star Group”. We are now joining with the “Fourteen Star Group”, called NRFPB and TNPB (Tentara Nasional Papua Barat – Wet Papua National Army).

    [to be continued…]

  • Pdt. Dr. Socratez S. Yoman: “Tuhan Kutuk Orang-orang yang Melawan ULMWP

    Kepada rakyat dan bangsa West Papua, kita berdoa supaya TUHAN turunkan kutuk, murka, malapetaka, tulah-tulah hukuman kepada orang-orang yang sedang melawan dan berusaha menghancurkan ULMWP “. 

    JAYAPURA | Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum Badan Pelayan Pusat, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP), Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman melalui status di Facebook, pada hari Jumaat (14/9/2018).
    Socratez mengatakan, mereka yang melawan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) adalah musuh terjahat yang sedang berkeliaran. Menurutnya, mereka itu sedang bekerja sama dengan Iblis dan kolonial Indonesia, kemudian sedang bersenang-senang diatas penderitaan yang sedang dialami oleh rakyat Papua.
    “Orang-orang yang sedang melawan ULMWP ialah musuh terjahat dan mereka kerja sama dengan Iblis. Mereka sedang menari-menari dan berdansa atas penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah dan tulang-belulang umat TUHAN yang dibantai bangsa kolonial Indonesia,”
    tulis Dr. Yoman.

    Gembala yang kini sedang memimpin di PGBP itu menyatakan, mereka yang melawan ULMWP itu sedang menyuburkan dan memperpanjang penderitaan umat Tuhan di Papua.

    (Baca: Agustinus Aud : KNPB akan Bubarkan ULMWP)

    Dr. Yoman meyakini bahwa, orang-orang yang melawan ULMWP itu, mereka telah menjadi perpanjangan tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menjalankan aktivitas kolonial Indonesia di Papua, sehingga dirinya mengajak kepada rakyat Papua untuk berdoa, agar Tuhan mengutuk mereka.

    “Orang-orang yang lawan ULMWP adalah sepertinya orang-orang yang sudah menjadi kaki tangan NKRI/bangsa kolonial. Sekali lagi, kami berdoa supaya orang-orang ini dikutuk dan dimurkai TUHAN,”
    tegas Gembala dalam tulisan singkatnya.

    Gembala Dr. Socratez S.Yoman mengajak kepada semua umat Tuhan, agar tetap mendukung ULMWP untuk kemerdekaan Papua

    “Mari, kita dukung 100% lahir dan batin ULMWP. ULMWP milik rakyat dan bangsa West Papua.” kata Yoman.

    (Baca: Warpo Wetipo, KNPB Bersama Rakyat Tolak Aksi ULMWP di Jayapura

  • Pidato 1 Juli 2019: Urusan Internal dan External Papua Merdeka

    Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik West Papua yang diproklamirkan di Waris Raya, Port Numbay, West Papua oleh para pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) masing-masing Seth Jafth Roemkorem dan Jacob Hendrick Prai, maka telah dilangsungkan sebuah Upacara Militer di Markas Pusat Pertahanan (MPP) West Papua Revolutionary Army (WPRA), Kampung Yako, Vanimo, Independent State of Papua New Guinea yang dilangsungkan tepat pukul 12.00 tanggal 1 Juli 2019.

    Kesempatan kali ini Chief. General WPRA Mathias Wenda memberikan kepercayaan penuh kepada Gen. WPRA Amunggut Tabi untuk menjadi Inspektur Upacara. Komandan Upacara dipimpin oleh Maj. WPRA Jilan Gombo.

    Pasukan MPP WPRA menghadiri upacara penuh khidmad ini mendengarkan pidato Inspektur Upacara diringkas sebagai berikut.

    Kemerdekaan West Papua ditentukan oleh dua belah pihak. Pihak pertama ialah orang Papua sendiri, yaitu urusan kesiapan dan perbuatan orang West Papua sendiri, lewat berbagai cara, baik orang Papua yang berjuang untuk Papua Merdeka mapun mereka yang tidak berjuang. Apa yang dilakukan Orang Asli Papua (OAP) secara internal menentukan Papua Merdeka.

    Berlangsung tanya-jawab di lapangan tentang syarat-syarat pendirian sebuah negara modern. Pertama ditanyakan syarat Wilayah Negara, Rakyat, Lambang dan Bendera Negara, Lagu kebangsaan, perjuangan yang nyata, militer yang siap. Kemudian ditanyakan, perlu juga pemerintahan yang jelas dan pemerintahan itu berdiri di atas Undang-Undang Negara.

    Laluu bagian eksternal dari sebuah perjuangan kemerdekaan ialah, terutama dukungan dari masyarakat internasional. Untuk mendapatkan dukungan itu sebuah perjuangan perlu melakukan lobi-lobi politik dan kampanye untuk kemedekaan, yang sejauh ini bangsa Papua telah melakukannya dengan sukses. Sebagai hasilnya West Papua telah menjadi anggota MSG, dan telah mendapatkan pengakuan dari satu negara merdeka dan berdaulat, yaitu Repbulik Vanuatu.

    Di atas pengakuan salah satu anggota MSG ini, maka perlu dilobi dan dilakukan kampanye untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara MSG yang lain. Dari semua anggota MSG dimaksud, “the big brother” di kawasan Melanesia ialah Papua New Guinea sendiri, yaitu bagian Timur Pulau New Guinea.

    West Papua tidak bisa mengabaikan kehadiran dan pentingnya PNG bagi kemerdekaannya, karena hanya PNG-lah satu-satunya negara memengang Kunci Inggris bagi kemerdekaan West Papua. Pengakuan Vanuatu, Solomon Islands, Fiji, dan Inggris boleh ada, tetapi pada akhirnya dan pada awalnya, pengakuan PNG memegang kunci utama.

    Di sini tergambar jelas, bangsa Papua saat ini belum memiliki Undang-Undang, dan belum memiliki pemerintahan yang jelas berdasarkan undang-undang. Kita hanya punya ULMWP, yaitu sebuah LSM yang berkampanye untuk Papua Merdeka. Sejauh ini, West Papua hanya mengantongi dukungan dari Vanuatu, sementara dukungan dari Papua New Guinea belumd igarap dengan baik.

    Bangsa Papua selalu melihat “orang barat”, orang putih sebagai juruselamat, sebagai sumber keselamatan. Padahal negara-negara barat-lah sumber masalah di seluruh dunia, termasuk masalah penjajahan yang dialami bangsa Papua hari ini ialah dampak langsung dari penjajahan negara-negara barat.

    Bangsa Papua terkenal tidak percaya diri, meragukan diri sendiri, dan menganggap surga ada di tempat lain, padahal dia sendiri jatuh-bangun, tidur-bangun di dalam surga kecil itu sendiri.

    Pidato Inspektur Upacara yang disambut dengan sejumlah tepuk-tangan dan teriakan militer dari peserta upacara itu diakhiri dengan mengulangi point-point syarat pembentukan negara secara internal dan eksternal, dan melihat apa saja yang harus dilakukan ke depan sejak penyatuan militer West Papua menjadi West Papua Army.

  • Selamat Merayakan HUT Organisasi Papua Merdeka yang ke-48 tahun (1971 – 2019)

    ULMWP, West Papua Army 7/01/2019 10:26:00 am

    ULMWP Media Release

    Saudara sebangsa dan se-Tanah Air West Papua, Pimpinan ULMWP serta seluruh stafnya bersama Tentara West Papua mengajak seluruh rakyat West Papua di dalam dan luar negeri kita bersama-sama mengucapkan Selamat Merayakan HUT Organisasi Papua Merdeka/ OPM yang ke 48 tahun.

    Marilah seluruh rakyat Papua dimana saja kita berada, ULMWP mengajak semuanya kita meluangkan waktu sejenak 10 menit mengheningkan cipta mengenang detik-detik bergemahnya proklamasi OPM 1 Juli 1971 di Markas Victoria, Tanah Waris, West Papua. Pimpinan Tuan Brigjen Zeth. J. Rumkorem dan Tuan Jacob Pray beserta seluruh jajarannya dan para pendukungnya, mereka yang telah tiada maupun yang masih ada bersama-sama kita berjuang hari ini.

    Pada momen penting bersejarah 1 Juli 2019 ini pula, ULMWP mengumumkan secara terbuka kepada semua pihak (lokal, regional dan internasional) untuk mengetahui dengan pasti bahwa terhitung 01 Mei 2019 bertempat di Yako, Vanimo Papua New Guinea, ke tiga sayap militer gerilya dari tiga faksi organisasi perjuangan Papua merdeka (TPN-PB, TRWP DAN TNPB) lewat Keputusan Tertinggi Kongres Luar Biasa (KLB), mereka telah resmi mendeklarikan penyatuannya sebagai Tentara Papua atau West Papua Army (WPA).

    Mengingat hal tersebut adalah syarat kunci, untuk itu kepada semua pihak dimohon dukung keputusan deklarasi tersebut.

    Kemerdekaan dapat diraih secepat mungkin bila seluruh rakyat Papua berada nyata dalam SATU KALIMAT KUNCI, yakni Bersatu Rakyatnya, Bersatu Pemimpinnya dan Bersatu Agenda-nya, artinya RAKYAT-PEMIMPIN dan AGENDA HANYA ADA DALAM SATU KOMANDO SAJA DAN NYATA maka kemerdekaan West Papua pun pasti hadir nyata.

    Teriring salam dan doa selalu.

    1 Juli 2019

     

    Jacob Rumbiak
    Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

    Sumber: Tabloid WANI | link ➡

  • Vanuatu backs West Papuan bid for full MSG membership

    Vanuatu’s Special Envoy for West Papua, Lora Lini, hands over the United Liberation Movement for West Papua's application for full membership in the Melanesian Spearhead group to the MSG Deputy Director General Peter Eafeare. ULMWP executive member Paula Makabory (middle) observes.

    The United Liberation Movement of West Papua has officially submitted an application for full membership in the Melanesian Spearhead Group

    The Liberation Movement already has observer status in the regional group whose full members are Papua New Guinea, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu and New Caledonia’s Kanaks.

    The application was presented to the MSG Secretariat in Port Vila on behalf of the ULMWP by Vanuatu’s Special Envoy for the Decolonisation of West Papua to the Pacific Islands States, Lora Lini.

    Ms Lini told Johnny Blades the application follows recent establishment of new membership criteria by a MSG sub-committee on regional and institutional issues.

  • Papua Merdeka Kandas di “Ego” Pribadi dan Ego Kelompok!

    Perjuangan Papua Merdeka  yang telah dimulai sejak tahun 1963 di Kepala Burung terus mengalami perkembangan, entah langkah maju maupun langkah mundur. Kita harus akui bahwa kemajuan perjuangan kemerdekaan West Papua telah terjadi dengan sangat berarti. Tanpa kemajuan tidak mungkin saat ini kita maish berbicara tentang Papua Merdka.

    Terlepas dari kemajuan-kemajuan itu, masih saja ada satu hal yang menjadi penghambat besar dan penghambat utama perjuangan Papua Merdeka. Penghambat itu bukan NKRI, bukan orang barat, bukan ideologi, bukan juga hal-hal teknis, strategi dan pendekatan perjuangan. Penghambat itu namanya “EGO”, atau dalam  bahasa sederhana disebut “ke-aku-an”. Yaitu Ego pribadi lepas pribadi individu pejuang dan aktivis dan tokoh Papua Merdeka dan Ego dari kelompok-kelompok yang berjuang untuk Papua Merdeka, entah itu kelompok sipil maupun kelompok militer, entah kelompok sosial maupun kelompok politik.

    Ego-lah penyebab utama perpecahan pertama yang terjadi antara Jacob Hendrik Prai dan Seth Jafeth Roemkorem. Ego-lah yang menyebabkan perpecahan dan pembunuhan Obeth (Bill) Tabuni. Ego-lah yang membuat perpecahan di Jayapura, antara E. Bemey, J. Nyaro, P. Yarisetow, L. Dloga, O. Ondawame, dan sampai saat ini tertinggal Gen. TRWP Mathias Wenda seorang diri.

    Bacalah semua perpecahan, semua rintangan perjuangan yang pernah terjadi. Di situ dapat dengan mudah kita temukan bahwa penghambat terbesar sebenarnya BUKAN NKRI hebat berdiplomasi dan mengoperasikan agen rahasianya. Bukan juga merupakah kegagalan taktik dan pendekatan perjuangan Papua Merdeka. Tetapi titik lemah terletak pada “Mental”, paradigma berpikir, dan cara melihat perjuangan Papua Merdeka dikaitkan dengan “pribadi” dan “kelompok” yang terlibat dalam Papua Merdeka.

    Saat ini kita kandas di penyatuan organ politik Papua Merdeka ke dalam satu organisasi bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan sekarang ini sedang diusahakan penyatuan organ militer. Akan tetapi penyatuan organi politik maish belum juga tuntas. Apalagi penyatuan organ sayap politik kelihatannya tidak akan menemui jalan mulus.

    Alasan pokok bukan karena perbedaan paham atau ideologi Papua Merdeka. Jelas semua mau Papua Merdeka. Dan jelas semua mau merdeka “SECEPATNYA”. Akan tetapi penghambat utama yang nampak saat ini ialah “Ego” dari pribadi, dan “Ego” dari kelompok yang berjuang di dalam pekerjaan Papua Merdeka.

    Ada banyak pertanyaan “ego”, yang diajukan oleh “Ego” kepada para pejuang/ tokoh Papua Merdeka secara pribadi dan organisasi mereka:

    1.  Apa yang “Saya” dapatkan dalam bentuk uang, dalam bentuk posisi, dan dalam bentuk nama baik dari kegiatan ini?
    2. Apa yang “Kami” dapatkan dari peleburan organisasi, penyatuan komando, kongres luarbiasa, dan sebagainya?
    3. Apa yang “Saya” dan “Kami” dapat dari proses penyatuan ini?
    4. Apakah nama “Saya” hilang dari garis komando? atau garis organisasi?
    5. Apakah nama “kami” atau kelompok kami hilang dalam proses ini>?

    dan seterusnya!

    Jadi pertanyannya bukanlah kepada “Apakah langkah ini menghambat atau memeprcepat Papua Merdeka?” Sama sekali tidak!

    Yang menjadi pertanyaan justru kepentingan pribadi dan kelompok.

    Secara kasar, para pejuang Papua Merdeka sebenarnya “CARI MAKAN” dengan isu ini. Para pejuang dan tokoh Papua Merdeka CARI MAKAN, CARI NAMA, CARI MUKA, tidak mau menyerah kepada kepentingan Papua Merdeka tetapi masih mau bertahan kepada kepentingan pribadi dan kelompok, sesuai perintah “EGO”.

    Kapan Papua Merdeka-nya?: sementara diri sendiri belum merdeka dari “Ego”?

     

  • Cara Menggugat Pepera 1969 dengan Memboikot Pemilu NKRI 5 Tahunan

    Secara hukum dan politik, Orang Asli Papua (OAP) masih memiliki hak untuk mementukan nasib sendiri dengan cara memberikan suara kepada pemerintah, entah itu pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pemerintah Belanda, Pemerintah Amerika Serikat maupun Pemerintah Indonesia. OAP masih memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Salah satu cara untuk menentukan nasib sendiri ialah lewat referendum, di mana diberikan pilihan apakah rakyat yang mengikuti referendum memilih untuk bergabung dengan sebuah negara merdeka yang sudah ada, atau memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Referendum seperti ini pernah terjadi tahun 1969 di Irian Barat, yang kemudian dianggap oleh OAP penuh cacat hukum dan pelanggaran HAM, dan diperjuangkan untuk diulang kembali lewat berbagai organisasi yang memperjuangkan Papua Merdeka, termasuk ULMWP belakangan ini. Cara ini juga ditempuh oleh teman-teman Melanesia di Kanaky beberapa saat lalu, dan mengalami kekalahan tipis, dan akan memilih lagi dalam jangka waktu beberapa tahun. Cara yang sama juga akan ditempuh teman-teman di Bougainville, di mana akan terjadi referendum dengan pilihan untuk tetap tinggal dengan Papua New Guinea atau merdeka di luar PNG. Cara lain untuk menentukan nasib sendiri sebebarnya masih tersedia, dan itu tidak melanggar hukum manapun di seluruh dunia ialah “memilih Golongan Putih” (Golput) dan memboikot Pemilu negara. Silahkan dicari di seluruh dunia, di manakah negara yang pernah membunuh rakyatnya yang tidak mau memilih? Apalagi, semua orang tahu di seluruh dunia, Demokrasi memberikan “HAK” kepada setiap manusia yang pernah lahir di Bumi ini, di manapun mereka berada untuk “MEMILIH” dan untuk “TIDAK MEMILIH”. Dengan demikian saat ini OAP masih memiliki HAK UNTUK TIDAK MEMILIH siapapun di Indonesia, termasuk orang Papua-pun, biarpun mereka mau menjadi anggota DPR atau pejabat di manapun, kami OAP masih punya hak, dan berhak penuh untuk TIDAK IKUT MEMILIH mereka. TIDAK IKUT MEMILIH artinya memilih untuk tidak ikut dalam proses Pemilu. Dan kalau siapapun OAP tidak ikut Pemilu di Indonesia, sebenarnya ada banyak keuntungan yang tersedia:
    1. Yang pertama, tidak akan ada OAP yang dibunuh karena tidak ikut memilih, jadi hidup ini tidak dapat diganggu hanya karena tidak memilih, justru kita dijamin hukum untuk tidak memilih. Semua negara di dunia tidak pernah menghukum rakyatnya yang memilih untuk TIDAK MEMILIH dalam Pemilu.
    2. Yang kedua, dunia akan melihat dengan jelas pesan OAP bahwa sebenarnya Indonesia ialah negara yang “Unwelcome!” tidak pernah diundang dan tidak pernah diterima oleh OAP. Sebeliknya dunia juga menjadi bingung, karena selama ini OAP tenang-tenang saja ikut Pemilu NKRI selama lebih dari 50 tahun, tetapi pada waktu yang sama terus bicara “Papua Merdeka!”. OAP sedang mengirim pesan yang membuat dunia menjadi bingung dan bertanya, “OAP sebanarnya mau apa: merdeka atau mau dengan NKRI asal porsi makan-minum diperbesar?”
    Dengan dua pesan ini, kita sudah dapat mengatakan dengan jelas bahwa sebenarnya OAP masih memiiki Hak untuk Menentukan Nasibnya sendiri, atau Hak Demokrasi, yaitu Hak untuk Tidak Ikut Memilih di dalam semua Pemilu yang diselenggarakan NKRI. Di satu sisi OAP terus-menerus ikut Pemilu NKRI dengan tenang-tenang saja, sementara itu mereka juga menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini membingungkan dunia. Oleh karena itu, OAP yang mengerti hak-haknya sebagai seorang manusia dan hak-haknya sebagai sebuah bangsa pasti akan bersikap TIDAK IKUT MEMILIH dalam SEMUA Pemilu yang diselenggarakan NKRI, yang mereka anggap sebagai penjajah, pencuri, perampok, penjarah dan pembunuh. Bukti selama ini adalah OAP rajin mengikuti Pemilu NKRI setiap 5 tahun. Memboikot Pemilu NKRI 2019
    • tidak melanggar hukum apapun
    • tidak dapat dihukum dengan alasan apapun
    • tidak dapat dipaksakan untuk tidak ikut atau untuk ikut
    Oleh karena itu, seruang United Liberatin Movement for West Papua (ULMWP) untuk memboikot Pemilu 2019 bukanlah sebuah gerakan menentang NKRI, tetapi lebih merupakan peringatan kepada OAP di manapun Anda berada untuk mengingat dan meneguhkan diri dengan sadar bahwa OAP masih punya kesempatan untuk menggungat kehadiran dan pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua, yaitu dengan MENOLAK ikut Pemilu setiap 5 tahunan.
    Ini cara menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di West Irian yang selama ini OAP terus perjuangkan untuk diulangi. Cara mengulanginya dimulai dari BOYCOTT Pemilu NKRI di Tanah Papua, oleh Bangsa Papua.
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?