Blog

  • Komnas HAM sampaikan temuannya di Kabupaten Puncak ke Pemprov Papua

    Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey (tengah) bersama pengungsi di Puncak – Dok Komnas HAM perwakilan Papua

    Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM perwakilan Papua telah menyampaikan temuannya mengenai kondisi pengungsi di Kabupaten Puncak, kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

    Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan pihaknya melihat langsung kondisi pengungsi dari sejumlah kampung di Puncak pada awal pekan ini.

    Sebanyak 3.019 pengungsi dari 23 kampung, kini berada di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak dan ibu kota Distrik Gome. Pengungsi ini berasal dari sembilan kampung di Ilaga Utara, empat kampung di pinggiran Ilaga, lima kampung di Distrik Gome, dan lima kampung dari Gome Utara.

    Ribuan warga kampung itu mengungsi lantaran memanasnya konflik antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata di sejumlah wilayah Puncak, beberapa waktu lalu.

    “Saya sudah bertemu Pemprov Papua dan Kapolda, menyampaikan gagasan ini dan direspons baik oleh Kapolda dan Pak Sekda, untuk mengambil langkah langkah. Terutama terhadap para pengungsi,” kata Frits Ramandey kepada Jubi, Kamis (3/6/2021).

    Ramandey mengatakan, kondisi keamanan di Puncak sudah berangsur pulih. Aktivitas ekonomi sudah berlajan baik.

    Akan tetapi, Komnas HAM perwakilan Papua menemukan dua masalah utama pengungsi, yakni kebutuhan air bersih dan terbatasnya tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

    “Mesti ada tambahan tenaga medis, sehingga bisa melayani pengungsi di dua titik pengungsian besar, yakni di Distrik Ilaga dan Gome,” ucapnya.

    Ia berharap Pemprov Papua membantu Pemkab Puncak menyelesaikan masalah pengungsi. Memulangkan warga ke kampung asalnya. Sebab kondisi keamanan di sana sudah mulai pulih.

    “Ketika mereka tingga di pengungsian, itu menimbulkan masalah kemanusiaan. Baik dari aspek kesehatan, beraktivitas, makan dan lain sebagainya. Sekarang yang mesti dilakukan adalah memulangkan pengungsi ke kampung mereka, agar mereka bisa kembali beraktivitas,” ujarnya.

    Ramandey mengatakan, Pemprov Papua mesti membantu Pemkab Puncak menangani pengungsi, sebab di wilayah itu sedang ada konflik. Selain itu, pemkab memiliki keterbatasan fasilitas dan anggaran.

    “Terpenting, pemkab dan pemprov berkolaborasi. Konfliknya sudah mereda, apalagi ada jaminan dari TPN-OPM. Mereka juga tidak ingin melanjutkan kekerasan yang terjadi selama ini di Puncak,” kata Ramandey.

    Sementara itu, satu di antara advokat Papua, Oktavianus Tabuni berharap pemerintah memberikan perhatian khusus bagi para warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Puncak.

    “Karena pengungsi semakin bertambah, dan mereka tidak mendapatkan perhatian khusus,” kata Tabuni.

    Ia menegaskan negara memiliki kewajiban untuk mengurus para pengungsi di Kabupaten Puncak, termasuk dalam memenuhi hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

    “Banyak anak-anak kecil yang tidak mendapatkan haknya, termasuk hak hidup dan hak atas kesehatan,” kata Tabuni. (*)

    Editor: Edho Sinaga

  • Presiden Sementara: Akses internet diblokir saat penangkapan para pemimpin pembebasan dimulai

    Presiden Sementara: Akses internet diblokir saat penangkapan para pemimpin pembebasan dimulai

    Press Release, 2 Juni 2021

    Indonesia telah memutuskan akses internet di West Papua untuk menyembunyikan tindakan kerasnya terhadap gerakan pembebasan damai. Erik Walela, sekretaris Departemen Politik ULMWP, bersembunyi, dan dua kerabatnya Abi (32) dan Anno (31) ditangkap oleh polisi kolonial Indonesia pada 1 Juni.

    Victor Yeimo, juru bicara KNPB, sudah ditangkap . Saya prihatin bahwa semua pemimpin dan departemen ULMWP di West Papua sekarang dalam bahaya setelah Indonesia mencoba menstigmatisasi kami sebagai ‘teroris’ . Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menyatakan bahwa mereka menganggap seluruh gerakan pembebasan , termasuk siapa pun yang terkait dengan saya, sebagai teroris.

    Siapa pun yang menentang ketidakadilan di West Papua sekarang dalam bahaya. Indonesia memutuskan internet untuk menyembunyikan tindakan keras dan operasi militernya, melanjutkan tradisi lama menyembunyikan informasi dari dunia dengan melarang jurnalis internasional dan menyebarkan propaganda. Satu-satunya cara siapa pun saat ini dapat mengakses internet di dalam adalah dengan berdiri [join] di dekat markas militer, polisi, atau pemerintah .

    Mereka mencoba melabeli kami ‘separatis’, ‘kelompok kriminal bersenjata’, dan pada 2019 menyebut kami ‘monyet’. Sekarang mereka mencap kami ‘teroris’. Ini tidak lain adalah diskriminasi terhadap seluruh rakyat West Papua dan perjuangan kami untuk menegakkan hak dasar kami untuk menentukan nasib sendiri. Saya ingin mengingatkan para pemimpin PBB, Pasifik dan Melanesia bahwa Indonesia menyalahgunakan isu terorisme untuk menghancurkan perjuangan fundamental kami untuk pembebasan tanah kami dari pendudukan dan penjajahan ilegal.

    Lebih dari 21.000 tentara telah dikerahkan dalam waktu kurang dari tiga tahun, termasuk bulan lalu ‘pasukan setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Timur. Densus 88, dilatih oleh Barat , juga menggunakan keterampilan mereka melawan rakyat saya. Operasi ini dilakukan atas perintah langsung Presiden dan ketua MPR . Rakyat saya trauma, takut pergi ke kebun, berburu atau memancing. Ke mana pun mereka berbelok, ada pos dan pangkalan militer. Berapa lama dunia akan mengabaikan seruan saya? Berapa lama dunia bisa melihat apa yang terjadi pada orang-orang saya dan berdiri?

    Benny Wenda
    Interim Presiden
    Pemerintah Sementara ULMWP
    (https://www.ulmwp.org/interim-president-internet-access…)

    ULMWP #WestPapua #FreeWestPapua #Referendum #TNIPolri #IndonesiaMilitary #Militerism #InternetAccess
  • Papua: arrests over alleged plot to attack archbishop and police

    Twelve people have been arrested over an alleged terrorist plot to attack an archbishop and police stations in the Indonesian province of Papua, local police officials said.

    Indonesia’s Detachment 88 counter-terrorism unit carrying out a raid in Banten province, in 2018. Photo: AFP

    The suspected terrorists were believed to be Muslim extremists and were arrested in the largely Christian Merauke Regency of Papua, for planning an attack on police stations and Petrus Canisius Mandagi, the Archbishop of Merauke.

    Merauke police chief Untung Sangaji said a series of arrests were made, starting from Friday 28 May, by the Indonesian Detachment 88 (or Densus 88) counter-terrorism team of the police.

    “Yes, bishops have been targeted, including the Resort Police and … Merauke Police,” Untung told Benar News.

    “It is true that they had entered the church carrying backpacks to target the Archbishop of Merauke. Since no one was targeted, they left.”

    Untung said police learned about the attempt from a priest and a nun.

    The 12 people involved in the plot were affiliated with the Islamic State-inspired Jamaah Ansharut Daulah (JAD) group, which carried out a suicide bombing at a Catholic Church in the Indonesian city of Makassar at the end of March, said Detachment 88 head of operations Aswin Azhar Siregar.

    At least 20 worshippers were injured in the Makassar church attack, and two suspected suicide bombers were killed.

    However, Aswin said the Merauke plot appeared to be more focused on attacking security forces.

    “The attack plan that stands out is not the church, but the police stations,” he said, adding that Detachment 88 was still tracing JAD networks in Papua.

    The first 10 suspects were arrested on Friday 28 May, and were listed by police using their initials: AK, SB, ZR, UAT, DS, SD, WS, YK, and husband and wife AP and IK. An eleventh person was arrested on Sunday, said police inspector Argo Yuwono.

    Those eleven were migrants from Java and Sulawesi who had lived in Papua for a long time, and had sworn allegiance to the Islamic State group in Merauke, Argo said. A twelfth person was arrested later.

    “Air rifles, sharp weapons and arrows” had been found during the arrests, as well as chemicals that were confiscated, but were still being investigated to find out what was in them, Argo said.

    At least 83 terrorist suspects connected with the Makassar JAD network had been arrested by Detachment 88 earlier this year, in at least six cities, the minister for security affairs Mohammad Mahfud said in April.

    Potential new conflicts as extremists seek hiding places

    The establishment of Islamic militant networks in Papua began in 2018, when the pro-ISIS group was looking for an alternative training location it felt was safe from the reach of security forces, said Muh Taufiqurrohman, a senior researcher at the Center for the Study of Radicalism and Deradicalization, King’s College, London.

    “It’s not a native tribe. Even if there are genuine Muslims who are radical, they usually lean more towards movements such as Hizbut Tahrir Indonesia, not JAD… [they are] ideologically different and less supportive of JAD’s actions,” he said.

    “They have been active in Papua, in Timika [city], since March 2018… At that time there were 14 people who moved to Papua,” he said. “Their affiliation is with JAD in Bekasi, led by Koswara – and JAD in Lampung, led by Rudi (alias Abu Azzam).”

    Koswara (alias Abu Ahmad) was sentenced to four years in prison in 2016, for helping militants travelling to join ISIS in Syria.

    The shift of the Papua JAD group from Timika to the Merauke area was caused by security forces pursuing separatist groups, Taufiqurrohman said.

    He believed security forces should respond quickly to the latest discovery of the Merauke plans to attack police targets and the archbishop, in order to avoid potential inflammatory incidents and conflict designed to fan wider social divisions.

    “If this bombing is successful, there is a possibility of provoking the anger of the Catholic-Christian people.”

    Benar News

  • The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution

    The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution

    By Rohan Radheya *

    In 1975 when Tan Sen Thay fled his native land Indonesia he arrived in the Netherlands with just two gulden and a traditionally woven West Papuan noken bag.

    Traditional accessories from West Papua alongside the outlawed West Papuan independence flag, the Morning Star. Photo: Rohan Radheya

    The Chinese Indonesian claimed to Dutch immigration authorities that he was a senior representative of The West Papuan government, a predominantly black elite from a Melanesian province in Indonesiaʼs most Eastern federation.

    Their government was on a critical stage waging a poorly equipped rebellion for independence.

    “If we do not get Dutch assistance immediately, we will be wiped out,” he warned.

    Tan Sen insisted that the Dutch had a moral obligation to help West Papua. After the infamous Trikora incident between the Netherlands and Indonesia in 1961, the Dutch were forced to relinquish Papua under international pressure.

    In 1969, West Papua was annexed by Indonesia in a highly criticised referendum known as the Act of Free Choice.

    Some 1025 tribal leaders were rounded up to vote for the political status of a population of nearly one million native Papuans while Indonesian soldiers allegedly held entire villages at gunpoint. The participants voted unanimously for Indonesian control.

    Serious allegations of human rights violations would follow, including claims of war crimes and genocide committed against indigenous Papuans. Tan Sen and his comrades swore they would not accept the result of the referendum, but would continue battling Indonesia for the fate of the resource-rich island.

    The Dutch government realised that by deporting Tan Sen, he would almost certainly be persecuted at return. He was granted political asylum in The Netherlands.

    After first setting foot in The Netherlands, Tan Sen started working in an old garage in the Hague, just a few miles away from the Dutch Parliament.

    “I then picked the Hague, the seat of the Dutch parliament because the Dutch government had a moral obligation to free my country,” he said.

    The garage was a famous hotspot for producing golf cars that were nationally renowned in those days.

    As a mechanic Tan Sen earned a minimum wage of 1000 gulden a month (about US$500 at the time) for working 80 hours a week. He would send the majority of his pay back to his comrades in West Papua who were launching sporadic hit and run attacks on Indonesian soldiers from the rugged forests of West Papua.

    The remaining money he would wrap in a loin cloth and hide under his pillow while just surviving on simple instant noodles.

    “A penny saved is a penny earned, that was my motto,” he said. After toiling for 12 years Tan Sen decided he had saved enough money to open his own gift-shop.

    He named it after West Papuaʼs capital Hollandia (now named Jayapura).

    His antique gift shop sold everything from imported porcelain statues and rare astrological gem stones to Confucian art paintings and cheap Chinese jewellery.

    Money started to flow in and Tan Senʼs hard work began to pay off. He intensified his contributions to the Organisasi Papua Merdeka or OPM ( Free Papua Movement).

    A rare photo of Tan Sen Thay (right) with Louis Nussy (left), an former high ranking Commander of the OPM, taken in the Hague, The Netherlands 2016. Photo: NGRWP

    Tan Sen is still living in the Hague today, two blocks away from my home. In spring 2016 when I visited Tan Sen in the Hague he had closed his shop and converted it into his home.

    Aged 92 and in perfect health, he had by then already made enough savings to secure his retirement. A wise Confucian who holds some of the best kept secrets to a lost history, Tan is still hoping one day to return to his beloved fatherland.

    Warning me not to take photos and to leave my phone in the hall with my shoes, he shows me old documents that ”no one has ever seen”: old black and white photos of West Papuan guerrillas in the 1970’s, transaction data from high profile West Papuan sympathisers around the globe and testimonials from freshly joined recruits worldwide.

    “Did you know that during the fall of Soeharto, one of his relatives came to us and offered us $500,000 to purchase arms?” Tan Sen asks.

    I’m a little bit sceptical until he shows me records with numbers, dates, and figures relating to a foreign bank account.

    He tells me that before he will die, he will send all documents to Leiden University in the Netherlands and sell them for a million euros. The profit will go to his West Papuan wife.

    For years Tan Sen designed and weaved handmade uniforms, then smuggled them back to the OPM via refugee camps in areas near the border with PNG.

    He would also arrange asylum for West Papuan refugees and finance their trips overseas to help them resettle in countries such as Sweden and Greece.

    West Papuans who later took asylum in all corners of Europe had heard about him. In admiration at what he did for West Papua, they would address him as ‘Meneer Tan’ (Lord Tan) or ‘Bapak Tan’ (Father Tan) and send him homemade sago cakes with flowers and gifts.

    If anyone wanted to join the independence movement abroad, Tan Sen was the only one mandated by the leadership of the OPM to take their oath of loyalty.

    Recruits had to put their right hand on the bible, and smell the outlawed West Papuan morning star flag. If Tan Sen deemed them fit, they could join.

    Seth Jafeth Rumkorem, the proclamator of the Republic of West Papua on 1 July,1971. Photo: NGRWP

    The Quest for Nationhood

    Tan Sen Thay was born in Surabaya, Indonesia in a wealthy Chinese family. Growing up as a Chinese Indonesian during the 1965 communist purge by Soeharto, his family fled to West Papua in fear of persecution. His parents were Hokkien transmigrants who migrated to Indonesia from China in search of a better life.

    After making generous contributions to Papuan communities, his family soon started to build a respected reputation around The Abepura neighbourhood in West Papuaʼs capital Jayapura. When young Tan Sen saw mass human rights violations committed against West Papuans at the hands of the Indonesian Army, it angered him.

    He made a drastic decision. The next day he would depart to the jungles to join the Papuan movement led by a former Papuan-Indonesian Sergeant named Seth Jafeth Rumkorem.

    Rumkorem was a young charismatic Papuan officer trained in the Indonesian military academy in Bandung. His father Lukas Rumkorem had been part of a nationalistic Indonesian militia called Barisan Merah Putih. Initially both father and son opened their arms for the Indonesians after Dutch departure.

    But after seeing Indonesian cruelty committed against his fellow countrymen, Seth Rumkorem would soon defect and go on to orchestrate a decades-long rebel insurgency from the Papuan jungles against the Indonesian army over the fate of the Western half of New Guinea island.

    On 1 July 1971 Rumkorem and his followers gathered in the border areas with PNG. The intention was to boycott Papuan-Indonesian elections. In consultation with Tan Sen and other prominent Papuans, Rumkorem proclaimed a constitution, senate, army, national flag, and anthem.

    The proclamation read as follows:

    ”To all the people of Papua, from Numbai to Merauke, from Sorong to Baliem(Star Mountains) and from Biak to Adi Island. With the help and blessing of God Almighty, we take this opportunity to declare to you all that today, 1 July 1971, the land and people of Papua have been proclaimed to be free and independent (de facto and de jure) May God be with us, and may the world be advised, that the true will of the people of Papua to be free and independent in their own homeland has been met.”

    Sink or Swim

    Tan Sen was a pious, gentle-mannered introvert with no real experience in war but with his steadfast loyalty and ethnic background he was considered the ultimate propaganda tool by his senior black commanders. Rumkorem appointed him as Minister of Finance in his cabinet.

    Tan was asked to travel abroad to lobby for West Papuan independence. With a small delegation Tan Sen set off to London, Senegal and Solomon Islands to muster international support. His fellow comrades under the leadership of Rumkorem would stay fighting from the dense Papuan bush until Tan Sen and co managed to find diplomatic support.

    “But without outside help it was impossible,” claimed Louis Nussy, one of Rumkoremʼs most trusted associates, who explained that their small force couldn’t match the Indonesian Army for equipment.

    “The Indonesians were supplied by allies such as Russia and the United States. We were just depending on old rusty mouser rifles that we occasionally managed to snatch away from Indonesian soldiers,” he explained.

    “There was no ammunition. We would just melt iron in the midst of the jungle,” he said.

    Rumkorem and his comrades continued to suffer heavy casualties, and were losing huge terrain on a daily basis. After being pushed out of cities such as Jayapura, Biak and Manokwari, Rumkorem started to realise that it was a ‘sink or swim’ situation. He and his supporters retreated back to the forests while Tan Sen ended up taking asylum in the Netherlands.

    Tan ran out of funds to continue his lobby abroad. “Returning would be suicide,” he later testified.

    “A chain is only as strong as its weakest link. This was certainly the case in our context,” said Louis Nussy, who is now exiled in Greece.

    “We were very efficient in guerrilla tactics but without proper hardware we were facing tough sledding.

    “We realised it was just a matter of time before we would be captured or killed,” he explained.

    In the meantime with Tan abroad, Rumkorem gained valuable intelligence from fellow independence fighters who had fled to Australia. A cell of West Papuan sympathisers at the highest political level in Vanuatu, were secretly willing to lend weapons and ammunition.

    In 1982, Rumkorem decided to leave for the PNG border town of Vanimo to sail to Vanuatu. He was accompanied by eight of his most trusty men.

    The plan was straightforward. Rumkorem would leave for arms and return back in a month.

    He summoned his intelligence branch PIS (Papua Intelligence Service) and ordered them to obtain accurate weather schedules in PNG waters.

    “What Rumkorem did not know was that the head of his intelligence unit had been detained and tortured by the notorious Indonesian special forces Kopassanda,’ʼ said Sonny Saba, one of Rumkoremʼs eight companions.

    “In jail he was bribed and given the task to become an informant we would later found out.

    “The enemies strategy was clear. Lure away the shepherd and there will just be sheep,” explained Saba, who now lives in exile in PNG.

    “Rumkorem knew Indonesian Army tactics inside out, since he was a former Indonesian sergeant.”

    “When he was away, the rebels would be a body without a brain,” he said.

    Sonny Saba at his home in the border town of Vanimo, Papua New Guinea. Photo: Rohan Radheya

    The head of Rumkoremʼs intelligence unit then came up with a date just before a devastating storm would strike PNG waters.

    Rumkorem left full leadership on the shoulders of his defence minister, Richard Joweni and departed to Vanuatu.

    Facing the storm, their prao (traditional Melanesian boat) broke down in the Pacific Ocean and they ended up stranded in Rabaul without food and supplies.

    A Dutch map of Rabaul Photo: Supplied

    Fearing Indonesian pressure, PNG officials told Rumkorem they could not stay, but they also did not want to extradite them.

    In Rabaul, the Papuans met NY Times journalist Colin Campbell. Rumkorem declared to him that his movement sought a revolution, universal human rights, freedom, democracy and social justice.

    When asked if it included any Marxist factions, he replied, ”No, our country is a Christian country.”

    Betrayal

    When Rumkorem eventually realised that there were no weapons in Vanuatu, he called Tan Sen in the Hague.

    “Rumkorem was crying, and understood he was tricked,” said Tan Sen. “He told me he wanted to return to West Papua.”

    “I told him that I gained valuable intelligence that the Indonesians had sealed the border and were waiting for his return… returning would be suicide.”

    “Don’t bite off more than you can chew,” I told him.

    “Discredition is the better part of valour and you are no use to us death, I warned him.”

    Tan Sen then arranged asylum for Rumkorem in Greece.

    From Greece, Rumkorem migrated to the Netherlands from where he continued to lobby for West Papuan independence till his death in 2010, in Wageningen.

    Rumkoremʼs departure would be a devastating blow for the remaining West Papuan fighters in the forest who had few or no military experience nor weapons.

    Rumkoremʼs successor in West Papua Richard Joweni continued to wage a three-decades long guerrilla insurgency after Rumkoremʼs departure, but he was also no match against the modern weapons of the Indonesian army.

    Fearing the death of more of his men, Joweni finally signed a ceasefire with Jakartaʼs special envoy Dr Farid Hussein in 2011, known as the 11-11-11-11 agreement.

    The deal was brokered on 11 November 2011, at 11 o’clock at OPM headquarters in the West Papuan jungle.

    Dr Hussein earlier also brokered a ceasefire with the independence movement in Aceh in what led to the Helsinki agreement which provided a basis for peace in the restive Indonesian region.

    Joweni would later sneak out of West Papua using a fake passport and travel to Vanuatu to meet with Prime Minister Moana Carcasses Kalosil in 2013.

    There he would discuss a proposal to lobby for West Papuan membership in the Melanesian Spearhead Group.

    After the death of Joweni in 2015, the quest was carried onwards by the United Liberation Movement for West Papua under the stewardship of Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek, Octo Mote and others, then eventually taken over by Oxford-based Benny Wenda.

    Having attained observer status in the MSG the ULMWP has gained a measure of international recognition that worries Jakarta.

    West Papuan Author and Journalist Aprila Wayar grieving at the grave of Seth Jafeth Rumkorem in the Hague. Photo: Rohan Radheya

    Duct-taped windows

    In Tan Sen’s living room hangs several old photos of ancient Confucian war-gods, a religion that was strictly forbidden during Soeharto’s rule.

    The living room is decorated with several book closets full of rusty files and old documents. He has pasted all windows with duck tape and builded a fence around the glass in fear of Indonesian spies.

    Tan Sen claims the military attache of the Indonesian consulate in the Hague recently paid him a visit.

    “He asked for a list of West Papuan independence fighters who lived in exile in The Netherlands,” Tan reveals.

    “I would be royally rewarded.”

    “What did you do?” I ask curiously.

    “What else? I slammed the door at his nose,” he laughs viciously.

    Tan Sen doesn’t trust the internet and doesn’t own a smart phone. He doesn’t speak English but is fluent in Dutch.

    He reads the full Dutch newspaper in the morning, take notes and then puts the newspaper in his archive. Tan has a full closet of newspapers dating back to 1980.

    This pioneering figure in the Papuan independence movement uses an old landline number to occasionally remain in contact with his old comrades in the jungle.

    He enquires about the latest developments in the MSG where the ULMWP continued to appeal for full membership.

    It is as if the world has passed him by. Most West Papuans do not even know he is alive today.

    Even Papuan intellectuals, activists, international journalists, and the young generation of Papuan fighters I met during my trips in West Papua did not know who Tan Sen was.

    It has become clear that when the first generation of West Papuan independence fighters fled Papua, they took a huge chunk of Papuan history alongside with them.

    The result was that the younger Papuan generation lost a huge part of their own history.

    When I ask whether he remains optimistic for West Papuan Independence, Tan Sen says he feels disappointed by the new generation of Papuan independence fighters who don’t deem him fit to lead them any longer.

    They would not visit him or include him in the decision making because they felt he was not a native Papuan and not eligible.

    “How would you define a Papuan today?” he asks.

    “There are tens of thousands of Papuans serving in Indonesian armed forces today.

    “They consider themselves Indonesians. Why canʼt I consider myself Papuan Melanesian?

    “If race would define your identity or nationality, there wouldn’t be white Africans or black Europeans today,” he explains, citing the plight of white Afrikaners in post independent Zimbabwe.

    “What will happen to the millions of Indonesian transmigrants that are born in Papua after 1962 and consider themselves Papuan? ” he stresses.

    I remain silent. He pauses before concluding.

    “I am still optimistic that I can return to a free and independent West Papua one day,” he shrugs.

    *Rohan Radheya is an award-winning filmmaker, documentary photographer and journalist from the Netherlands.

    Source: RNZ

  • Daftar Tokoh Orang Asli Papua yang neninggal dalam 4 tahun terakhir 2018-2021

    Daftar Tokoh Orang Asli Papua yang neninggal dalam 4 tahun terakhir 2018-2021

    Dari Tahun Ke Tahun Orang Asli Papua (OAP) Meninggal Dunia Tanpa Gejala Bahkan Meninggal Di Hotel Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua Dan Tokoh-Tokoh Gereja Serta Tokoh Masyarakat Di 7 (Tujuh Wilayah Adat) Perlu Evaluasi Bersama Dalam Rangka Keselamatan Orang Asli Papua Di Masa Mendatang. Penelitian Ini Dibuktikan Dengan Beberapa Peristiwa Kematian Para Pemimpin Papua Di Tahun 2018 antara Tahun 2021. Kematian Semakin meningkat, Nama-Nama Para Pemimpin Tersebut Sebagai Berikut;

    1. Benediktus Tombonop Bupati Boven Digul (3/1/2020), Meninggal Di Hotel Jakarta Secara Tiba-tiba.
    2. Paulus Demas Mandacan Bupati Manokwari (20/4/2020).
    3. Paskalis Kocu Wakil Bupati Maybrat (25/8/2020).
    4. Habel Melkias Suwae Mantan Bupati Jayapura (03/9/2020).
    5. Bertus Kogoya Mantan Wakil Bupati Lani Jaya (11/9/2020).
    6. Demas Tokoro Ketua Pokja Adat MRP (19/9/2020).
    7. Arkelaus Asso Mantan Wakil Bupati Yalimo (15/10/2020).
    8. Yairus Gwijangge Bupati Ndugama (14/11/2020).
    9. Wakasad LetJend TNI Herman Asaribab 14/12/2020
    10. Dr. Hengki Kayame, Mantan Bupati Kabupaten Paniai, Meninggal Bulan Maret 2021.
    11. Robby Omaleng, Ketua DPRD Kabupaten Mimika Meninggal Setelah Divaksinasi Pada Bulan April 2021.
    12. Repinus Telenggen, Mantan Bupati Kabupaten Puncak Meninggal Secara Tiba-tiba Pada Awal Bulan Mei 2021.
    13. Klemen Tinal, Wakil Gubernur Provinsi Papua Meninggal 21 Mei 2021 Meninggal Serangan Jantung…
    14. Drs. Alimuddin Sabe, Mantan Wakil Bupati Sarmi (meninggal dgn serangan jantung).
    15. Sendius Wonda, SH, M.Si. Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Papua.
    16. Obaja Waker, Asisten I Kabupaten Puncak Papua.
    17. Celsius Watae, Bupati Keerom Meninggal di Hotel Secara Tiba-tiba.
    18. Wemban Kogoya, Kepala Dinas Kesehatan Kabipaten Tolikara.
    19. Abraham Oktavianus Aturure, Mantan Gubernur Provinsi Papua Barat.
    20. Rowani Wanimbo, Mantan Ketua DPRD Kabupaten Tolikara.
    21. Thomas Tigi, Bupati Dogiyai Meninggal Dalam Tahanan di Jayapura Secara Tiba-tiba.
    22. Herman Auwe Mantan Wakil Bupati Kabupaten Dogiyai.

    Dalam Tiga Tahun Terakhir Ini, Hitung-hitung Puluhan Pemimpin Papua Telah Meninggal Dunia. Tidak Terhitung Kematian Bangsa Papua Yang Meninggal Karena Ditembak Oleh TNI/POLRI Diseluruh Pelosok Papua. Sampai Kapan Air Mata Akan Berakhir❓

    Maka Satu Hal Yang Kami Sarankan Kepada Para Pemimpin Papua Yang Ada di 44 Kabupaten Kota Yang Berasal Dari Kedua Provinsi “Perlu Evaluasi” Bersama MRP, DPRP Serta Libatkan Pihak Gereja Dari Berbagai Denominasi Yang Ada Di Tanah Papua. Demi Keselamatan Bangsa Papua Di Tahun Mendatang. Karena Peristiwa Kematian Ini Terjadi Dengan Cara Misterius.

    Selanjutnya, Kami Juga Sarankan Bahwa Para Pemimpin Atau “Orang Papua Yang Sakit” Janganlah Dibawah Ke Jakarta, Kalau Bisa Bawah saja Berobat Di Luar Negeri Seperti “Singapur atau di Negara Tetangga Lainnya” Karena Percuma Orang Papua Berobat Di Jakarta Malah Dibawah Jenazah Terus Pulangkan Di setiap Tahun. Merupakan Peristiwa Yang Sesungguhnya Terjadi Di Papua. Maka Sekali Lagi Kami Sampaikan Ini Sebagai Suatu Sarang Kami Bagi Para Pemimpin Papua Yang Kami Sayangi. Semoga Saran Dan Pesan Ini Bermanfaat Bagi Kita Semua.

    Kiranya TUHAN Yesus Memberkati Kita Sekalian..

    Sumber: WestPapuaNews

  • Pengamat Militer: Dialog Tak Akan Berhasil Tanpa Propaganda Kuat Dari Pemerintah

    Pasukan gabungan TNI dan Polri tiba di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Sabtu pagi, 1 Mei 2021. (Foto: ANTARA/HO-Humas Satgas Nemangkawi)

    JurnalPatroliNews – Jakarta, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengaku pesimistis bahwa pendekatan dialog dapat menyelesaikan masalah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.

    Apalagi, tidak ada tenggat waktu dalam penanganan gangguan keamanan tersebut. Sebab, pendekatan itu dinilai tidak akan berhasil tanpa ada propaganda yang kuat. Menurut Fahmi, perlu dipertanyakan pendekatan dialog seperti apa yang dilakukan pemerintah.

    Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengatakan pendekatan dialog dilakukan untuk penanganan persoalan KKB di Papua sekaligus menawarkan pendekatan kesejahteraan.

    “Apakah pendekatan kesejahteran itu sudah dilakukan memang mengacu pada kepentingan masyarakat Papua itu sendiri? Atau lebih mengedepankan kepentingan Jakarta (Ibu kota)?” kata Khairul Fahmi kepada Beritasatu.com, Jumat (21/5/2021).

    Sudah sejak lama, lanjut Fahmi, pemerintah Indonesia berbicara soal pendekatan dialog dan kesejahteraan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Namun di sisi lain, operasi keamanan dengan kekuatan bersenjata terus dilakukan TNI dan Polri.

    Seharusnya, dilakukan moratorium sementara terhadap operasi keamanan dengan kekuatan bersenjata TNI dan Polri selama dialog tersebut akan atau sedang dilaksanakan.
    “Kemarin statement Pak Mahfud menyampaikan TNI, Polri, pemerintah daerah dan pusat harus melakukan tindakan cepat. Artinya, penindakan yang dilakukan TNI-Polri ini menunjukkan ketidaksungguhan pemerintah dalam urusan dialog. Apalagi kita tidak tahu formula dialog itu seperti apa,” ujar Khairul Fahmi.

    Fahmi menerangkan, formula pendekatan dialog yang ditawarkan pemerintah belum jelas dan masyarakat belum mendapatkan gambarannya. Operasi keamanan yang melibatkan TNI-Polri, dinilainya dapat menggagalkan rencana pendekatan dialog tersebut.

    “Karena persoalan ini terjadi ada aksi dan reaksi. Kegiatan operasi TNI-Polri direspon dengan kekerasan ekstrem oleh KKB. Sementara dialog mau kapan dilakukan juga belum jelas. Diinisiasi kapan, juga tidak jelas,” terang Khairul Fahmi.

    Karena itu, Fahmi menegaskan pemerintah harus mempunyai target yang jelas dalam penyelesaian persoalan KKB di Papua. Target yang diberikan bukan asal target, karena selama ini masyarakat selalu diberikan janji atau harapan setiap pergantian pejabat militer atau kepolisian terkait penuntasan kasus kekerasan baik di Papua, maupun di Poso.

    “Namun berpuluh-puluh tahun, tidak selesai. Bahkan semakin berlarut-larut, dan uang negara banyak dihabiskan untuk urusan ini,” tutur Khairul Fahmi.

    Menurutnya, ada dua langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan KKB di Papua.

    Pertama, kalau memang melakukan pendekatan dialog, maka TNI dan Polri harus bisa menahan diri. Dalam artian, jangan sampai terjadi praktik kekerasan yang tidak patut di Papua. Bila itu terjadi, maka akan menjadi propaganda yang buruk dan berpotensi menggagalkan upaya dialog yang akan dibangun.

    Kedua, Fahmi melihat selama ini propaganda pemerintah tidak cukup kuat untuk mengantisipasi propaganda yang dilakukan pihak KKB. Karena itu, pemerintah perlu punya kemampuan melakukan propaganda yang kuat dan efektif untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat.

    Dengan begitu, akan lebih jelas mana warga termasuk KKB atau warga sipil.

    “Propaganda pemerintah harus kuat agar simpati dan dukungan masyarakat semakin besar. Propaganda yang didukung dengan fakta yang kuat, yang mampu menunjukkan harapan dan lebih dekat dengan realita. Nah ini tantangan buat TNI, Polri dan pemerintah. Saya kira ini prioritas yang harus dilakukan kalau pemerintah serius dengan rencana dialog untuk menyelesaikan KKB di Papua,” terang Khairul Fahmi.

    Lihat artikel asli

  • Questions raised over bodies found in West Papua

    Five bodies have been found in the highlands of Indonesia’s West Papua, with residents alleging them to be victims of a military attack.

    Five bodies have been found in the highlands of West Papua, with residents alleging them to be victims of a military attack. Photo: Supplied.

    Papuan news outlet Tabloid Jubi reports the bodies were found on Thursday in a village in Nduga regency, where violence has flared since last year.

    A youth leader from the regency, Samuel Tabuni, is quoted as saying the victims, two of whom were teenagers, were shot by Indonesia’s military.

    Military spokesperson, Eko Daryanto, told Tabloid Jubi he had not received a report of the shooting.

    Meanwhile, Indonesia’s President Joko Widodo said the government would review Papua’s special autonomy laws to improve conditions for Papuans, the state-news agency Antara reported.

    That comes after a request from Papuan leaders who met with the president in Jakarta last month.

    Source: RNZ

  • Presiden Sementara: Pemungutan suara di PBB Indonesia memperlihatkan kemunafikannya atas West Papua

    Statement | 25 Mei 2021

    Pemerintah Indonesia berbicara tentang Myanmar dan Palestina sambil memberikan suara untuk mengabaikan genosida dan pembersihan etnis di PBB. Kami bersyukur para pemimpin Indonesia menunjukkan solidaritasPenderitaan rakyat Palestina dan Myanmar, tetapi Indonesia berusaha mati-matian untuk menutupi kejahatannya sendiri terhadap kemanusiaan di West Papua.

    Pada Sidang Umum PBB minggu lalu, Indonesia menentang mayoritas komunitas internasional dan bergabung dengan Korea Utara, Rusia dan China dalam menolak resolusi tentang ‘pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan’. Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia mengklaim ‘berjuang untuk kemanusiaan’, kenyataannya sebaliknya: mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di West Papua dan mencoba untuk memastikan impunitas abadi mereka diPBB.

    Para pemimpin Indonesia sering berbicara tentang hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, dan pembukaan konstitusi Indonesia menyerukan ‘segala bentuk pendudukan asing’ ‘harus dihapus dari muka bumi’. Tapi di West Papua, pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran yang diklaim ditentangnya. Penolakan mereka untuk menerima resolusi PBB jelas merupakan konsekuensi dari ‘pertanyaan Papua’, seperti yang dikatakan oleh Jakarta Post.

    Bukti sekarang berlimpah bahwa Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kolonialisme, pembersihan etnis dan genosida di West Papua. Pada minggu yang sama dengan pemungutan suara PBB, militer Indonesia – termasuk ‘pasukan Setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Leste – menyerang desa-desa di Papua, membunuh perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata dan menambah lebih dari 50.000 orang terlantar sejak Desember 2018. Tujuan yang disebutkan dari operasinya adalah untuk ‘menghapus’ semua perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia. Saat Anda menggusur penduduk desa, mereka kehilangan tempat berburu, rumah, dan milik mereka

    Seluruh cara hidup. Ini adalah pembersihan etnis sistematis, bagian dari strategi jangka panjang pendudukan Jakarta untuk mengambil alih tanah kami dan mengisinya dengan pemukim Indonesia dan perusahaan multi-nasional. Inilah maksudnya, dan kita membutuhkan tindakan sebelum terlambat.

    Setelah mendeklarasikan perlawanan terhadap ‘terorisme’ pendudukan ilegal, Indonesia meluncurkan celah besar-besaranTurun. Victor Yeimo, salah satu pemimpin perlawanan damai kami yang paling populer, telah ditangkap. Frans Wasini, anggota Departemen Politik ULMWP, juga ditangkap pekan lalu. Di kota, mahasiswa Universitas Cenderawasih diseret keluar dari asramanya [Rusunawa Uncen] oleh polisi dan militer dan dijadikan tuna wisma. Siapapun yang berbicara tentang West Papua, pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, sekarang berisiko ditangkap, disiksa atau dibunuh. Victor Yeimo, Frans Wasini, dan semua yang ditangkap oleh rezim kolonial Indonesia harus segera dibebaskan.

    Mengirim lebih dari 21.000 tentara, membunuh para pemimpin agama, menduduki sekolah, menembak mati anak-anak – iniAdalah terorisme negara, kejahatan terhadap rakyat West Papua. Pemimpin Indonesia tahu apa yang mereka lakukan. Mereka telah mengirim TNI, polisi, unit ‘kontra-terorisme’, ‘pasukan Setan’, dan dinas intelijen ke West Papua. Unit-unit ini bersaing satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat membunuh rakyat saya dengan lebih efisien, siapa yang dapat mencuri tanah kami dengan lebih aktif. Mereka yang paling mampu memusnahkan populasi kita akan mendapat keuntunganDalam peringkat. Orang-orang saya telah diubah menjadi objek permainan kerajaan Jakarta.

    Perkembangan ini menunjukkan dengan lebih jelas perlunya Indonesia berhenti menghalangi kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Delapan puluh empat negara telah menyerukan kunjungan tersebut. Tidak ada lagi penundaan.

    Pasukan harus ditarik, dan PBB diizinkan masuk sebelum bencana melanda.

    Benny Wenda
    Interim Presiden
    Pemerintahan Sementara ULMWP
    (https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesias-un…)

    ULMWP #WestPapua #UNGA #HumanRight #UNHCR #FreeWestPapua #Referendum #FreeVictorYeimo #FreeFransWasini #ReferendumYes

  • MAS IWAN – “HOMRATKU UNTUK TPNPB-OPM”

    MAS IWAN – “HOMRATKU UNTUK TPNPB-OPM”

    Hormat untuk kalian yang bertahan dihutan (TPNPB-OPM), digunung yang terus berjuang, aku menundukkan kepala dengan takjub. Kalian adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran tertinggi dalam berjuang..level sebuah kesadaran yang tidak kami daptkan disini.

    Perjuangan kalian dalam membebaskan diri dari bentuk kolonialisasi yang di kemas lewat jargon kosong nasionalisme-NKRI, tak lebih dari kedzoliman kapitalisme/ imperialisme yang tengah dijalankan oleh rezim bonekanya di indonesia. Perjuangan yang membutuhkan militansi yang sangat tinggi, kesadaran yang melampaui intelektual di negri kami. Mengapa?. Karena disini kami masi dalam takaran memperdebatkan sebuah platform, sebuah isu anti imperialis/kapitalis & borjuasi reformis gadungan boneka dari imperialis. Tapi kau!, sudah melampaui kesadaran kami, sebuah tindakan nyata, kongkrit hasil dari kesimpulan dari literatur lusinan buku-buku progresif. meninggalkan semua akan subyektifisme.. Cita-cita yang cukup mulia dari takdir sejarah yang memang harus kau lakukan untuk mendapatkan tanah air merdeka Papua.

    Disini hanya segelintir manusia sadar..sisanya gerakan sampah & kami masih terus belajar memahami literatur-literatur yang ada di buku untuk sebuah pembebasan.

    Sedangkan sisa manusianya disini tidak pernah terbongkar kesadarannya dalam berjuang, asik dengan kemiskinannya kerja cari duit…kerja cari duit, itulah cerminan dari manusia disini yg Ahli dalam Menderita, keburu tunduk pada penindasan selama faedahnya belum dirampas. Karna itu rasa takjubku pada kalian yang mengangkat senjata dalam berjuang, menjadi catatan terpenting dalam sejarah yang terus bergerak maju.

    Mereka yang bilang kalian frustasi, sebetulnya adalah mereka yang disini yang frustasi karna tak melakukan apa-apa dalam sistem penindasan selama ini, selain hanya berkonsultasi pada rumah akademiknya yang tak memberikan solusi apapun juga.

    Hormatku sekali lagi buat kalian cukup dalam. Hidup Sosialisme, Hidup Perjuangan bagi rakyat tertindas. Salam Pembebasan!

    Hidup Perjuangan Rimba Hutan, yakni Perang TPNPB-OPM yang selalu eksis melawan kekuasaan yang menindas. 😇🌻✊✊✊

    Hormat

    Camerad Iwan Penthol

  • Pernyataan Bucthar Tabuni atas penangkapan Victor Yeimo, tangkap dan adili semua oknum pejabat yang terlibat dalam demo anti rasisme

    Pernyataan Bucthar Tabuni atas penangkapan Victor Yeimo, tangkap dan adili semua oknum pejabat yang terlibat dalam demo anti rasisme

    JAYAPURA, KABARMAPEGAA•com – Deklarator ULMWP, Bucthar Tabuni mengeluarkan pernyataan keras atas penangkapan Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada Minggu 09 Mei 2021 di Tanah Hitam, Abepura, Jayapura. Buchtar Tabuni mengatakan, segera tangkap dan adili semua Oknum pejabat yang terlibat dalam demo anti rasisme pada 2019 lalu.

    Berikut pernyataan Deklator ULMWP, Bucthar Tabuni pada 12 Mei 2021 di Jayapura, Papua :
    Pada Minggu, 09 Mei 2021, Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Jayapura menangkap Tuan Viktor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), tepatnya di tanah Hitam, Abepura-Jayapura. Alasan penangkapan dari pihak Kepolisian Kolonial Indonesia adalah status Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus protes Rasisme bersama rakyat Papua. Berdasarkan laporan polisi No: LP/31 7/X/RES. 1. 24/2019/SKPT Polda Papua, tanggal 5 September 2019, dikeluarkan tanggal 09 September 2019, tuan Viktor Yeimo ditetapkan sebagai DPO.

    Kami Parlemen Nasional West Papua, sebagai salah satu deklarator United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyayangkan tindakan Kepolisian Indonesia yang menangkap tuan Viktor Yeimo, sebagaimana tidak sesuai dengan prosedur ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981, yang mana telah disampaikan oleh Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam siaran pers pada 11 Mei 2021.

    Terkait Demo Anti Rasisme di Papua, perlu kami sampaikan bahwa;
    Dalam Aksi Demonstrasi Anti Rasisme di Papua (2019), Pemerintah Kolonial Indonesia melalui Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Irjen Pol. Tito Karnavian telah menuduh ULMWP dan KNPB sebagai dalang dari Aksi-Aksi Demonstrasi Anti Rasisme di Papua. Berdasarkan tuduhan tersebut, Pimpinan KNPB tuan Agus Kossay selaku Ketua KNPB Pusat, Steven Itlay selaku Ketua KNPB Timika dan Pimpinan ULMWP, Tuan Buchtar Tabuni selaku Ketua II Komite Legislatif ULMWP ditangkap bersama dengan 4 orang Mahasiswa lainnya: Alexander Gobay (Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura-USTJ), Ferry Kombo (Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih-UNCEN), Hengky Hilapok (Mahasiswa USTJ) dan Irwanus Uropmabin (Mahasiswa USTJ).

    Sama seperti yang terjadi pada tuan Viktor Yeimo, tanpa prosedur yang jelas, ke 7 orang tersebut ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangkah dalam Demontrasi Anti Rasisme di Papua.

    Sebagaimana yang dialami ke 7 tersangkah tersebut di atas, setelah pemeriksaan di POLDA Papua, dipindahkan ke tahanan BRIMOB Papua selama 1 bulan.

    Kolonial Indonesia memakai alasan keamanan di kota Jayapura sehingga tanpa prosedur memindahkan 7 tersangkah ke Balik Papan, Kalimantan Timur. Di Balik Papan, Kalimantan Timur, disidangkan. Dalam persidangan, dituntut masing-masing 10 – 17 tahun penjara. Namun dalam proses persidangan, tidak ditemukan bukti kuat atas dugaan makar dan kriminal, sehingga Hakim memutuskan hukuman masing-masing 10 – 11 bulan penjara, dipotong masa penahanan.

    Setelah menjalani masa tahanan 1 – 2 bulan, 7 tersangkah Demo Anti Rasisme di Papua dibebaskan.

    Sedangkan tahanan Rasisme yang lainnya juga menjalani proses pemeriksaan, persidangan dan menjalani masa tahanan, seperti di kota Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong dan di Jakarta (2019 – 2020).

    Dengan menyimak penangkapan, penahanan, persidangan dan menjalani masa penahanan atas tuduhan makar serta kriminal terkait Demo Anti Rasisme (2019 – 2020), kami hendak menyampaikan:
    Kasus Demo Anti Rasisme di Papua telah dipertanggungjawabkan melalui Persidangan dan Penahanan 7 tersangkah di Balik Papan, Kalimantan Timur, sebagaimana yang telah kami sampaikan pada poin (a) di atas.

    Penangkapan dan Penahanan Tuan Viktor Yeimo dengan alasan Demo Anti Rasisme di Papua (2019) adalah tidak sesuai dengan ketentuan prosedur, sebagaimana telah disampaikan oleh Koaliasi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam Siaran Pers pada 11 Mei 2021.

    Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) harus professional dalam melihat kasus demontrasi anti rasisme. Bukan hanya Viktor Yeimo yang ditetapkan sebagai DPO dan ditangkap. Semua pihak yang terlihat dalam demonstrasi anti rasisme harus ditangkap.

    Penegakan Hukum tidak boleh “Pilih Kasih”, Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) harus tegakan Hukum, tangkap semua yang terlibat dalam demontrasi anti Rasisme, seperti: Gubernur Papua, anggota DPRP, beberapa SKPD, Ketua MRP, Ketua KNPI Provinsi Papua, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Tokoh Pemuda Papua.

    Jika pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) tidak menangkap oknum-oknum pejabat yang terlibat, maka demi keadilan Viktor Yeimo, juru bicara Internasional KNPB harus dan segera dibebaskan tanpa syarat.

    Jayapura, 12 Mei 2021
    NIEUW GUINEA RAAD
    Parlemen Nasional West Papua
    BUCHTAR TABUNI
    KETUA
    https://kabarmapegaa.com/…/pernyataan_bucthar_tabuni…

    Parlemen #VictorYeimo #FreeVictorYeimo

    WestPapua #FreeWestPapua #Referendum

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?