Author: wpra

  • Ini Hal KEDUA yang NKRI Mau Orang Papua Pikirkan dan Siarkan

    Ada tiga hal yang NKRI berdoa, berharap, upayakan dan bersyukur agar dipikirkan dan  disiarkan, dibesar-besarkan oleh orang Papua dalam rangka memperkuat posisi pendudukan dan penguasaannya atas tanah dan bangsa Papua. PMNews berdoa, dengan memahami hal-hal ini, orang Papua bisa mengatur strategi pemberitaan dan penulisan artikel secara bijaksana sehingga apa yang kita lakukan tidak memberi makan kepada doa dan harapan NKRI dan Malayo-Endos.

    Hal kedua yang NKRI mau orang Papua pikirkan dan siarkan ialah berita-berita tentang partai politik dan Pemilukada/ Pilada/ Pemilu NKRI. Masyarakat ke-suku-an di Tanah Papua, disobek-sobek lagi dengan partai politik, dipupuk lagi dengan janji-janji politik, diperkuat dengan harapan yang disuntikan untuk menjadi penguasa, berduit dan mendapatkan posisi secara sosial dan politik telah melahirkan banyak “small-kings” bermunculan.

     

  • Peter O’Neill: ULMWP proving that it is a united body that represents the collective views of the people of West Papua

    Dilaporkan oleh Perdana Menteri Solomon Islands, pendukung utama Papua Merdeka di kawasan Pasifik Selatan:

    …Prime Minister O’Neill expressed the ULMWP’s membership of the MSG is …rather the ULMWP proving that it is a united body that represents the collective views of the people of West Papua just as the FLNKS is evidently a united body representing the collective views of the Kanaks of New Caledonia.

    Ada enam kata dicabut keluar dari kutipan di atas “is not an issue to PNG“.

  • West Papua Promise: New Guinea is the Home to All Micronesians, Polynesians and Melanesians

    Yes, West Papua, and the Isle of New Guinea is our Big House, that we should strategically re-claim and declare as our home from Malay-Indo expansionist dream and colonial power.

    In celebrating the 1st Papua Awakening Day, 1 December 2016, Gen. WPRA Mathias Wenda, from his Central Headquarters of the West Papua Revolutionary Army (WPRA)

     

  • Government pledges assurance to investors to realize plans for petrochemica

    (26-8-2013)

    Industry Minister has pledged government help for investors in order to realize plans to build a massive petrochemical complex in West Papua.

    The Minister met with senior managers of German industrial giant Ferrostaal, which, together with Indonesia’s Chandra Asri, plans to build a US$2 bln petrochemical facility in Bintuni Bay, West Papua, but is waiting for assurances on natural gas supply, as per thejakartaglobe.com. Other companies, including South Korea’s LG International and state-owned fertilizer producer Pupuk Indonesia, plan to invest in Bintuni Bay, which could lead to the development of a US$7 billion petrochemical complex.

    The proposed development is situated near the BP-operated Tangguh liquefied natural gas plant, which is currently undergoing a US$12 bln expansion to boost capacity by 50% from the present 7.6 miln tons of LNG available through existing facilities. Tangguh serves several fields that are estimated to have combined reserves of 14.4 trillion cubic feet. As per the Minister, Ferrostaal has already concluded a feasibility study on the project, which found “it would not be valid unless there is an assurance of natural gas supply.”

  • TAMBANG : Salah satu lokasi tambang PT. Freeport Indonesia di Timika yang diduga menghasilkan uranium

    Freeport Produksi Uranium

    TAMBANG : Salah satu lokasi tambang PT. Freeport Indonesia di Timika yang diduga menghasilkan uranium
    JAYAPURA [PAPOS] – Freeport diduga menggali bahan baku uranium secara diam-diam sejak delapan bulan silam, kata Yan Permenas Mandenas S.Sos Ketua Fraksi Pikiran Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua di Jayapura, Selasa, di ruang kerjanya.

    “Kegiatan ini dilakukan secara tersembunyi dan telah berlangsung cukup lama,” ungkapnya yang juga anggota Komisi C DPRDP.

    Ia menambahkan, Freeport telah mencuri hasil kekayaan masyarakat Papua dan membohongi pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. “Selain emas, uranium juga diproduksi oleh Freeport,” tambahnya.

    Informasi ini menurutnya, didapatkan dari sejumlah masyarakat dan karyawan Freeport di Timika. “Selain karyawan dan masyarakat, saya juga mendapat laporan dari sumber yang dapat dipercaya,” tandasnya.

    Hal ini sangat disayangkan mengingat pajak yang didapatkan dari perusahaan emas terbesar didunia ini, hanya berjumlah Rp30 milyar pada tahun lalu.

    Mandenas juga mengeluhkan, bahwa dewan belum bisa bergerak karena terkendala masalah klasik, yaitu belum ada alokasi dana untuk turun ke lapangan.”Kami belum bisa ke lapangan karena terkendala dana,” katanya.

    DPRD Mimika Belum Tahu

    Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika belum mengetahui apakah betul PT. Freeport Indonesia juga menambang bahan baku Uranium dalam kegiatan eksplorasinya selain Emas dan Tembaga sesuai dengan Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia.

    Wakil Ketua I DPRD Mimika Yan Piet Magal dalam Jumpa Pers di ruang VIP DPRD Mimika, Rabu (14/7)mengatakan, hingga kini DPRD Mimika belum menerima laporan baik dari manajemen Freeport maupun karyawan terkait dengan betul tidaknya PT. Freeport Indonesia juga melakukan penambangan bahan baku uranium. “ Kami dewan belum tau soal ini, saya juga baru dengar,” ujarnya.

    Menurutnya, Dewan sendiri belum meyakini kebenaran informasi ini karena belum ada penelitian lebih dalam dari orang yang berkompeten dalam bidang ini.

    Namun dia menegaskan apabila informasi ini betul, maka harus ada penangan yang baik sehingga tidak berdampak pada lingkungan dan mahluk hidup yang ada disekitarnya termasuk manusia. “Kalau ini betul maka penduduk yang bermukim disekitar lokasi penambangan PT. Freeport Indonesia harus direlokasi karena sangat berbahaya dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah,” ungkapnya.

    Dikatanya, jikalau ada penambangan bahan baku Uranium oleh PT. Freeport Indonesia pasti Pemerintah Indonesia mengetahuinya karena keluar masuknya barang perusahaan dalam pengawasan pihak keamanan dan pemerintah dalam hal ini Bea Cukai Timika.

    “ Kami serahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat karena yang melakukan MoU adalah Pemerintah Pusat dan PT. Freeport Indonesia,” tuturnya.

    Ditempat terpisah Dosen Teknik Mineral Universitas Negeri Cenderawasih (Uncen), Endang Hartiningsih,MT di Jayapura, Rabu menanggapi keberadaan sumber daya uranium di wilayah Papua dan pendapat seorang anggota DPR Papua (DPRP) bahwa PTFI menambang uranium secara diam-diam.

    Menurut dia, secara geologi, Papua memiliki sumber daya uranium karena wilayah ini tersusun oleh batuan beku ultrabasa.

    “Bahan-bahan radioaktif seperti uranium terkandung dalam batuan beku ultrabasa dan ini banyak dijumpai di wilayah Papua, namun berdasarkan data yang ada, PTFI tidak menambang uranium. Jika hal itu dilakukan maka dibutuhkan penanganan khusus dan Freeport sendiri harus mengantoingi izin pemerintah,” ujar Endang.

    Berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap bahan tambang yang mengandung unsur radioaktif, dia mengatakan, perlu penanganan khusus yang berbeda dari kegiatan penambangan lainnya karena termasuk bahan galian vital bagi kepentingan negara dan masyarakat luas.

    Selain itu, lanjut Endang, bahan radioaktif tentu memiliki dampak yang cukup membahayakan bagi lingkungan hidup, termasuk manusia jika tidak ditangani secara benar. Oleh sebab itu, penelitian, pengembangan dan pemanfaatannya diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

    “Sejauh ini belum ada kegiatan eksplorasi lebih lanjut mengenai sumber daya radioaktif di Papua. Jika sudah ada penelitian dan pengembangannya pasti dilakukan lembaga pemerintah, misalnya oleh BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional),” ujarnya.

    Pengelolaan bahan galian radioaktif diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaga Nukliran.

    Dalam penjelasannya disebutkan, pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat agar selalu mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan tenaga nuklir sehingga pemanfaatan tenaga nuklir tersebut tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup.

    Sementara itu, Budiman Moerdijat selaku Manager Corporate Communications PTFI melalui siaran pers menyatakan, sehubungan dengan pemberitaan di Antara pada Selasa (13/7)berjudul “Freeport Produksi Uranium Secara Diam-diam,” pihaknya menyampaikan klarifikasi bahwa hal tersebut adalah tidak benar.

    “PT Freeport Indonesia adalah perusahaan pertambangan umum dengan produk akhir berupa konsentrat yang mengandung logam tembaga, emas dan perak,” katanya.

    Sedangkan mengenai pembayaran pajak perusahaan kepada Pemerintah Indonesia tahun 2009, PTFI memberikan klarifikasi isi berita yang menyebutkan pajak yang didapatkan dari perusahaan emas terbesar didunia ini, hanya berjumlah Rp30 milyar pada tahun lalu.

    PTFI dengan ini memberitahukan bahwa selama Januari sampai Desember 2009, Freeport Indonesia telah melakukan kewajiban pembayaran kepada Pemerintah Indonesia.

    Kewajiban pembayaran pajak itu sebesar 1,4 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 13 triliun dengan kurs saat ini, yang terdiri dari Pajak Penghasilan Badan, Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah serta pajak-pajak lainnya sebesar 1 miliar dolar AS.

    Selain itu royalti 128 juta dolar AS serta dividen sebesar 213 juta dolar AS.

    Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan pembayaran untuk periode bulan Januari sampai Desember 2008 yang mencapai 1,2 miliar dolar AS. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas dan tingkat produksi.

    Dengan demikian, total kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Kontrak Karya tahun 1991 yang telah dibayarkan Freeport Indonesia kepada Pemerintah Indonesia sejak tahun 1992 sampai 2009 adalah sebesar 9,5 miliar dolar AS.

    Jumlah tersebut terdiri dari pembayaran Pajak Penghasilan Badan, Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah, serta pajak-pajak lainnya sebesar 7,6 miliar dolar AS, royalti 1 miliar AS dan dividen sebesar 900 juta dolar AS. [bela/sped/ant]

    Ditulis oleh Bela/Sped/Ant
    Kamis, 15 Juli 2010 00:00

  • Surat Gembala Dewan Gereja Papua menyikapi situasi Papua Terkini

    05 / VI / DGP / 2021

    Pengantar

    Kami Dewan Gereja Papua menilai bahwa polemik Sekda dan surat Radiogram no.T.121.91/4124/OTDA tentang pengangkatan SEKDA Dance Flassy sebagai PLH Gubernur Provinsi Papua tidak terlepas dari sebuah skenario besar pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan politik pecah belah terhadap sesama orang Papua. Hal ini juga untuk melanggengkan kelanjutan pelaksanaan Otonomi Khusus dan rencana pemekaran wilayah Daerah Otonomi Baru, tanpa melibatkan rakyat Papua sebagai pihak yang menjadi subjek pembangunan negara. Polemik ini merupakan kelanjutan dari adanya dua versi pengangkatan dan pelantikan SEKDA Papua, yaitu versi Provinsi Papua dan versi Kementrian Dalam Negeri pada tanggal 1 Maret 2021. Kami menilai bahwa hal ini juga merupakan upaya Negara untuk mengelak dari tuntutan upaya penyelesaian empat akar masalah Papua yang telah disimpulkan oleh LIPI sebagai akar konflik di Papua. Empat akar masalah tersebut yaitu ;

    Diskriminasi Rasial dan Marginalisasi; Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kegagalan Pembangunan Status sejarah Politik Papua Menegaskan hasil temuan LIPI tentang akar konflik di Papua, kami para pemimpin gereja Papua menyimpulkan bahwa berdasarkan pengalaman penderitaan bersama rakyat Papua, maka akar persoalan konflik Papua dan Negara adalah Rasisme sebagai “jantung” dan “nada dasar “ yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh negara . Saat ini kami sedang menghadapi persoalan besar yang dialami oleh umat kami yaitu; Konflik di Nduga sejak Desember 2018 yang masih terus berlangsung sampai saat ini, dan telah mengakibatkan pengungsian internal besar-besaran (Internal Displaced Persons). Konflik di Intan Jaya sejak Desember 2019 sampai sekarang yang telah menelan korban para gembala dan petugas gereja sehingga juga mengakibatkan pengungsian besar-besaran (Internal Displaced Persons). Konflik di Puncak sejak 2021 yang menyebabkan korban rakyat sipil dan pengungsian besar-besaran (Internal Displaced Persons). Pengungsian (IDPs) dari Tembagapura pada Januari 2020 Dampak dari konfik ini menyebabkan ribuan manusia Papua terabaikan dan tidak diperhatikan meskipun mereka sedang mati terus-menerus. Konflik ini terjadi sebagai dampak dari dropping pasukan yang terus menerus dan berlebihan di wilayah tersebut dan wilayah lain di seluruh Tanah Papua. Hal ini menunjukkan pendekatan Jakarta dalam penyelesaian konflik di Papua dengan menggunakan pendekatan militeristik. KAMU MUNGKIN SUKA Jared Kushner & Ivanka Trump Dropped Off The Planet 6 Reasons To Worry About Meghan And Harry Marriage Barron Trump Is A Mystery: 7 Little-Known Facts About The Guy We Can’t Believe She’s Been Around This Long ; Kami menilai bahwa skenario polemik SEKDA, Perpanjangan Otsus dan Pemekaran Daerah merupakan upaya pengalihan isu terkait operasi militer yang telah diuraikan sebelumnya. Negara telah mengabaikan persoalan subtansial dan menganggap persoalan Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai persolan tidak penting dan sampingan. Perpanjangan OTSUS dan Pemekaran daerah bukan merupakan hal darurat untuk menyelesaikan persoalan dan konflik di Papua, melainkan justru menimbulkan konflik berlanjut.  Rakyat Papua telah melakukan penolakan terhadap perpanjangan Otonomi Khusus. Ada 700.000 orang Papua yang telah menyatakan OTSUS gagal melalui petisi Tolak OTSUS. Jika Perpanjangan OTSUS dipaksakan seperti langkah-langkah Jakarta beberapa tahun terakhir ini, apakah mereka akan dicap sebagai teroris? Persoalan Rasisme yang telah terjadi pada tahun 2019, adanya pelabelan gerakan rakyat sipil Papua yang, melawan ketidakadilan sebagai kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang kemudian diumumkan oleh menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, sebagai kelompok teroris pada tanggal 29 April 2021 telah memunculkan stigma baru terhadap orang Papua sebagai Teroris. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka kami Dewan Gereja Papua merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut Kepada Pemerintah Pusat: Pemerintah Pusat di Jakarta segera menghentikan politik adu domba sesama orang Papua lewat polemik antara Gubernur Provinsi Papua dan Sekertaris Daerah Provinsi Papua mengingat saat ini rakyat Papua sedang berada dalam situasi duka karena konflik dan pelanggaran HAM berkepanjangan. Pemerintah segera menghentikan stigmatisasi dan pembunuhan karakter para pejabat orang asli Papua sebagai “separatis”, yang polanya telah berulang sejak berdirinya provinsi Irian Barat pada tahun 1963. Kami menilai bahwa hal ini menunjukkan ketidakpercayaan Jakarta terhadap Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Hal ini justru semakin memperkeruh konflik yang sudah terjadi sangat lama antara Jakarta Papua. Pemerintah segera hentikan segala proses pengambilan keputusan yang bersifat sepihak memaksakan keberlangsungan Otonomi Khusus Papua tanpa melibatkan rakyat Papua dan mendengarkan aspirasi rakyat yang telah menolak perpanjangan Otonomi Khusus lewat Petisi Rakyat Papua yang saat ini sudah mencapai 700.000 tandatangan. Melihat kebijakan-kebijakan negara terkait Papua beberapa waktu ini yang sangat penuh dengan pendekatan militeristik, maka kami mempertanyakan sejauh mana kewenangan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara Republik Indonesia dalam mengambil keputusan kebijakan politik dan pembangunan di Papua. Pemerintah Indonesia lewat kepemimpinan Presiden Joko WIdodo segera membuka akses dan mengijinkan Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, berbagai Tim investigasi independen international dari Pacific Island Forum, negara-negara African Caribbean and Pacific (ACP)  serta media asing untuk masuk ke Papua , seperti yang sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai pernyataannya. Pemerintah Indonesia segera mengupayakan penyelesaian konflik Papua dan Jakarta dengan menindaklanjuti pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 September 2019 untuk bertemu dengan kelompok proreferendum.  Kepada Umat Allah di Papua; Situasi konflik dan polemik SEKDA Provinsi Papua ini harus dilihat sebagai satu bagian kecil dari seluruh bagian besar skenario konflik yang sedang dilaksanakan oleh Jakarta untuk Papua. Ini adalah upaya Indonesia memecah belah orang Papua, yang polanya sudah terjadi sejak tahun 1960an. Kita telah dipecah-belah dengan menggunakan sentimen relasi, yaitu Papua Gunung-Papua Pantai, Papua suku ini dan suku itu, Papua Islam dan Kristen. Ini semua berangkat dari adanya pandangan rasis terhadap orang Papua yang dianggap terbelakang dan primitif. Oleh karena itu kami menghimbau agar seluruh umat Papua tidak terjebak dalam skenario pecah belah tersebut sehingga orang Papua akan hidup terus dari generasi ke generasi. Kepada Dunia Internasional: Mengingat situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terus berlanjut dan situasi manusia Papua yang semakin terpuruk, maka kami meminta kepada pihak internasional : Kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk segera melakukan intervensi kemanusiaan ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung dampak dari konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Terkait polemik OTSUS Papua, kami melihat tidak adanya itikad baik negara untuk menyelenggarakan evaluasi Otonomi Khusus Papua secara komprehensif dengan melibatkan seluruh rakyat Papua, lewat mekanisme yang diatur didalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua itu sendiri. Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representatif kultural rakyat Papua telah berupaya untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di seluruh Wilayah Adat Papua, namun dalam prosesnya, telah digagalkan sendiri oleh negara. Bahkan Negara terus memaksakan perpanjangan pelaksanaan Otonomi Khusus secara sepihak. Oleh karena itu kami meminta negara-negara pendukung dana dan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, yaitu Anggota Uni Eropa, Amerika Serikat dan Australia untuk segera mengirimkan delegasi ke Papua dan melihat langsung keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Kepada Negara-negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk terus memasukkan persoalan West Papua melalui ULMWP sebagai  salah satu agenda di dalam pertemuan MSG Leader Summit yang akan segera dilaksanakan pada tahun ini. Kepada negara-negara Anggota Pacific Island Forum untuk terus memasukkan persoalan Hak Asasi Manusia di Papua sebagai  salah satu agenda di dalam pertemuan PIF Leaders Summit yang akan segera dilaksanakan pada tahun ini. Situasi konflik Papua jika terus menerus dibiarkan maka Papua akan terjadi seperti yang digambarkan oleh rekan kami hamba Tuhan Pastor Franz Magnis Suseno, SJ , “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia. Kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, 2015, hal 2055 dan 2057).  Hal ini juga ditegaskan oleh hamba Tuhan Pastor Frans Lishout, OFM bahwa “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri, amat sangat menyedihkan, Papua adalah luka bernanah di muka Indonesia”. (Buku Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020, hal 601). Sebagai penutup dari surat gembala ini, kami hendak menegaskan bahwa jika negara tidak segera menyelesaikan konflik di Papua maka Papua akan terus menjadi persoalan seperti duri di dalam daging yang akan terus menerus menusuk dan menyakitkan.   Jayapura, 27 Juni 2021 DEWAN GEREJA PAPUA    Pdt. Benny Giay (Moderator) Pdt. Andrikus Mofu       Pdt. Dorman Wandikbo       Pdt. Socrates S. Yoman

    Artikel ini telah tayang di jubi.co.id -LINK Sumber- https://jubi.co.id/surat-gembala-dewan-gereja-papua-menyikapi-situasi-papua-terkini/

    Artikel ini telah tayang di jubi.co.id -LINK Sumber- https://jubi.co.id/surat-gembala-dewan-gereja-papua-menyikapi-situasi-papua-terkini/

  • Amunggut Tabi: Ini Bukan Masalah Rasisme, tetapi Soal Hak Asasi Sebuah Ras untuk Hidup di Bumi

    Menanggapi berbagai komentar, yang menyudutkan surat tulisan tangan yang telah disampaian ke PMNews

  • Australia knew about Indonesia’s napalm plans in Timor Leste

    The Australian and United States governments knew Indonesia was prepared to use napalm against the people of Timor Leste but made no protest, according to secret documents unearthed by an Australian researcher.

    Associate Professor Clinton Fernandes from the Australian Defence Force Academy has found previously classified Australian diplomatic papers that call into question repeated Indonesian denials that incendiary weapons were used in Timor Leste during Jakarta’s 24-year occupation of the former Portuguese colony.

    One of the previously classified letters unearthed by Dr Fernandes.
    One of the previously classified letters unearthed by Dr Fernandes. Photo: Supplied

    The discovery is a breakthrough in Dr Fernandes’ long running research to establish the extent of the Australian Government’s knowledge of Indonesian war crimes in East Timor.

    One of the documents found by Dr Fernandes at the National Archives of Australia is a September 1983 letter from the Australian consul in Bali, Malcolm Mann, to Dennis Richardson, then counsellor in the Australian Embassy in Jakarta, to report a conversation with the United States consul in Surabaya, Jay McNaughton.

     

    Another previously classified document.
    Another previously classified document. Photo: Supplied

     

     

     

     

     

     

    The American had told Mr Mann that he had “seen intelligence reports that the Indonesians were fitting napalm tanks to their F5 aircraft for use in Indonesia”.

    The Indonesian Air Force had acquired from the United States a dozen Northrop F-5 ground attack aircraft three years earlier. Mr McNaughton explained that “American experts had been asked to help with the fitting of the napalm tanks as the Indonesians were having difficulty in trimming the aircraft”.

    Mr Richardson asked the US Embassy in Jakarta to confirm the Indonesians had approached the United States for assistance in fitting napalm tanks and was told that US contractors had been engaged “because the napalm tanks were made in Italy and modifications were needed in order to fit them to F5s”.

    In early November 1983 Richardson forwarded a report to the Department of Foreign Affairs in Canberra in which he added that “the United States assumed that, given the recent military build-up in East Timor, the approach had been made in connection with East Timor”.

    Following international outcries generated by the use of napalm in the Vietnam War, use of the incendiary weapon against civilians was effectively banned by a 1980 United Nations convention that prohibits conventional weapons which are “excessively injurious” or have “indiscriminate effects”.

    However Indonesia did not and has not signed the convention.

    The Department of Foreign Affairs files examined by Dr Fernandes show the Australian Embassy in Jakarta took no action to protest against Indonesia’s use of napalm and there was no reaction in Canberra, where then prime minister Bob Hawke’s Labor Government was eager to improve relations with Indonesia and open negotiations with Jakarta on the oil and gas resources of the Timor Sea.

    In 2006, following the publication of allegations of Indonesian napalm use against Timorese civilians in the report of Timor’s United Nations-sponsored Truth and Reconciliation Commission, then Indonesian defence minister Juwono Sudarsono declared that such attacks “never happened”.

    “How could we have used napalm against the East Timorese? Back then we didn’t even have the capacity to import, let alone make napalm,” Mr Sudarsono.

    One witness quoted by the Truth and Reconciliation Commission, Lucas da Costa Xavier, recalled:  “The trees and grass would burn when the bombs hit them … Many civilians died from drinking the water contaminated with shrapnel from bombs dropped from the planes, and many died of burns – it was the dry season, so the grass burned easily.”

    Dr Fernandes said the Foreign Affairs department documents were significant “because they are the first hard evidence of napalm from the official records, and not just the testimony of survivors.”

    “The documents show that the East Timorese and the small group of international activists who supported them were telling the truth,” Dr Fernandes said

    “The Labor government that came to office in 1983 knew that the Indonesian military were committing crimes against humanity, including burning people alive with napalm, but they said and did nothing.”

    Dr Fernandes has been engaged in a protracted legal battle in the Administrative Appeals Tribunal and the Federal Court to secure the declassification of Australian intelligence and diplomatic records relating to Indonesia’s occupation of East Timor.

    The Australian government claims declassification of the papers would reveal still sensitive intelligence and damage Australia’s relations with Indonesia.  Much of the government’s evidence has been suppressed following the issue of a “public interest certificate” by Attorney-General George Brandis.

    “The current government should declassify all relevant records so that the full truth can come out,” Dr Fernandes said.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?