Author: wpra

  • Aktivitas PDP Tidak Terganggu Dengan Sikap Politik Nick Messet

    JAYAPURA [Cepos] – Keinginan Nickholas ‘Nick’ Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagaimana yang disampaikan di hadapan Wapres Jusuf Kalla, tidak membuat Presidium Dewan Papua (PDP) kebakaran jenggot. Sebab, dalam tubuh PDP, Nick tak lebih dari seorang simpatisan.

    Sekjen PDP, Thaha Al Hamid, saat dimintai tanggapannya terkait dengan sikap politik Nick Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM tersebut, pertama-tama ingin mengklarifikasi tentang pengakuan Nick sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) OPM di massa Theys Hiyo Eluay. “Di masa Theys, kami (PDP) tidak membentuk kabinet apapun, sehingga tidak ada yang namanya menteri ini dan itu. Jadi tidak benar ada menteri luar negeri pada masa Theys seperti pengakuan Nick Messet. Ini yang perlu kami klarifikasi,” jelas Thaha.

    Dijelaskan oleh Thaha, pada masa Theys sebagai Ketua PDP, yang ada hanya organisasi perjuangan, dimana ada ketua, wakil ketua dan Sekjen. Sementara untuk urusan dalam luar negeri maupun dalam negeri, ditunjuk orang-orang yang disebut sebagai moderator.

    Dari sepengetahun Thaha, peran Nick Messet untuk membantu diplomasi luar negeri soal Papua Merdeka bahwa pada masa tokoh OPM seperti Zeth Rumkorem dan Nickolas Tanggahma ke Senegal membuka kantor kedutaan OPM di sana, Nick Messet adalah seorang anak muda yang ikut bersama-sama dengan mereka dalam kegiatan itu. Selanjutnya, yang dirinya tahu, aktivitas Nick adalah sekolah menjadi pilot.

    Thaha juga mengakui tahu persis bahwa Nick Messet adalah pilot yang sangat disegani negara-negara Pasifik. Ini didengar dan disaksikan langsung saat kunjungan ke beberapa negara di daerah Pasifik beberapa waktu lalu.

    Ditanya, apakah selama ini Nick juga dipakai oleh PDP untuk membantu diplomasi politik masalah Papua di luar negeri? Thaha tidak menyangkalnya, namun peran Nick itu bukan dalam jabatan struktural lembaga PDP. “Di PDP, posisi Nick sebagai simpatisan. Jika Nick disebut membantu diplomasi di masa lalu, saya akui iya! Walaupun tidak secara resmi dalam bentuk surat atau SK sebagai wakil PDP secara struktural,” jawabnya seraya mencontohkan, bahwa Nick ikut terlibat dalam pertemuan yang dilakukan PDP tahun 2000 lalu di Port Vila, Ibu Kota negara Vanuatu dan beberapa pertemuan lainnya di Pasifik.

    Sementara itu, tentang sikap politik Nickholas ‘Nick’ Messet, untuk minta kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), ditanggapi Thaha sesuatu yang biasa. Bahkan lembaga representasi perjuangan politik rakyat Papua itu mengaku, tidak kaget dengan keputusan Nick itu.

    Thaha Al Hamid menilai, sebenarnya yang terjadi adalah Nick Messet menghadap Wapres Yusuf Kalla adalah dalam rangka momohon atau minta kewarganegaraan atau Naturalisasi dan bukan repatriasi atau minta kembali menjadi WNI. “Yang saya pahami bahwa Nick belum pernah bergabung menjadi warga negara Indonesia, sebab dia keluar negeri sebelum massa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969,” jelasnya.

    Thaha mengaku tidak kaget dengan apa yang dilakukan Nick Messet, sebab satu tahun lalu (2006), niat untuk naturasi pernah disampaikan Nick kepada dirinya. “Jadi apa yang dilakukan Nick bukan sesuatu yang luar biasa. Itu hal yang wajar dan biasa saja,” jelasnya.

    Digambarkan, apa yang dilakukan Nick, sama seperti Ivana Lee, Liem Swie King, Tan Joe Hok, Hendrawan (Para Pemain Bulutangkis Andalan Indonesia di Tahun 1980-an) yang meskipun sudah membela nama Indonesia dan lahir di Indonesia, namun harus terus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan Warga Negara Indonesia. “Artinya, apa yang dilakukan Nick untuk minta naturalisasi adalah hal yang biasa saja, sama seperti mereka,” tegasnya lagi.

    Dijelaskan, sebenarnya 5 tahun lalu atau sekitar tahun 2000 -2002, Nick sudah pulang ke Papua. Hanya saja, karena ia warga negara Swedia, maka Nick terpaksa bolak-balik Papua dan luar negeri, terutama ke PNG. “Jadi yah… keinginan menjadi WNI sudah dia pikirkan jauh-jauh sebelumnya, apalagi dalam usianya saat ini, Nick ingin datang dan menetap di Papua, sehingga ia mewujudkan keiginannya itu melalui prosedur resmi ke pemerintah RI,” terang Sekjen PDP ini.

    Dengan demikian, keiginan Nick menjadi WNI sama sekali tidak mengurangi aktivitas PDP baik di dalam maupun di luar negeri dalam hal diplomasi. “Kami tetap menghormati keputusan yang diambil Nick Messet, hanya saja, yang saya sayangkan, apa yang dilakukan Nick ini di blow up seolah-olah sebagai suatu keberhasilan, padahal yang perlu dicari dan dijawab adalah mengapa orang Papua lari dan bermukim di luar negeri, itu yang seharusnya selesaikan akar masalahnya,” papar Thaha.

    Lalu bagaimana jika orang Papua lainnya yang lari ke luar negeri atau menjadi warga negara asing mengikuti jejak Nick Messet ingin kembali menjadi WNI? Thaha tetap saja menilai bahwa hal itu tak menjadi masalah. Malah, dirinya menilai bahwa sewajarnya orang Papua yang ada di luar negeri kembali ke tanah airnya di Papua. “Papua adalah tanah lahir mereka, jadi wajar jika mereka ingin kembali ke sini. Sebab kalau ingin berjuang untuk Papua, mari bersama-sama kita berjuang di sini, Kalau bisa berjuang di Papua, mengapa harus bermukim di sana (luar negeri),” ungkapnya.

    Yang dirinya tahu, lanjut Thaha, dari laporan Badan Intelijen Negara (BIN) saat dirinya bertemu dengan DPR RI di Jakarta beberapa waktu lalu, selain Nick, Frans Albeth Joku (Mantan Mederator Urusan Luar Negeri PDP) juga akan melakukan naturalisasi. “Yang pokok di sini, bahwa dengan dilakukan repatriasi satu atau seribu orang Papua di luar negeri kan tidak berarti persolan di Papua menjadi selesai, sebab bagi kami, proses naturalisasi dan repatriasi adalah proses yang wajar saja,” jelasnya lagi.

    Dikatakan juga bahwa sudah diketahui umum, baik dari internet mapun media massa bahwa orang-orang seperti Nick Messet, Frans Alberth Joku dan Febiola Ohei ini dipakai pemerintah untuk melakukan tour ke Eropa beberapa waktu lalu untuk diplomasi bagi pemerintah Indonesia terkait kampanye Otsus dan masalah Papua. Namun, hal itu dipandang sebagai sikap yang tidak mengganggu aktivitas PDP. “Perbedaan pandangan itu wajar, dan biarlah kita dalam perbedaan tetap membangun komunikasi yang baik, sehingga tidak menjadi pertentangan. Sebab sudah rahasia umum, bahwa dari dulu orang Papua memang selalu sengaja dibuat untuk saling bertentangan yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan,” jelas Thaha. (luc)

    ____________________________________
    Sumber: SKH Cenderawasih Pos

  • Kisah Mantan Aktivis Gerakan Papua Merdeka yang Kembali ke Pangkuan NKRI (bagian-1)

    40 Tahun Melobi Negara Luar, Tidak Ada yang Terealisasi. Nicholas Simion Messet dan Frans Albert J, Franzalbert F.A Joku adalah sebagain dari para pejuang gerakan Papua Merdeka atau OPM, tapi kini mereka berbalik arah ingin menjadi bangsa Indonesia yang hakiki. Apa yang membuat kedua orang radikal ini berbalik arah dan bagaimana perjuangan mereka untuk gerakan Papua merdeka. Simak juga keinginan pejuang OPM lainnya yang ingin kembali ke pangkuan NKRI tetapi belum terwujud.

    Laporan RAHMATIA

    Perjuangan itu begitu melelahkan tetapi tak jua terwujud, begitu kata Nick Messet tentang perjuangannya untuk gerakan Papua merdeka. Bagaimana tidak, puluhan tahun sejak tahun 1969, ia menanggalkan identitasnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan berjuang untuk mewujudkan Papua merdeka untuk lepas dari NKRI, namun toh hingga detik ini usaha itu tak kunjung berhasil. Padahal berbagai cara telah dilakukan untuk mewujudkan impian yang kian meredup itu.
    Messet lahir di Keder Sarmi 1946 silam dari keluarga yang cukup terhormat, ayahnya pernah menjadi Bupati Kabupaten Jayapura Thontje Messet (1975 – 1982). Awalnya Messet adalah seorang putra Papua yang cerdas pernah kuliah di ITB. Usai meraih gelar sarjana muda Arsitek, Messet pulang ke Papua dan dijanjikan untuk kuliah di Amerika Serikat, tetapi rencana itu kemudian batal tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah. “Saya lalu berpikir kalau kita tinggal dengan bangsa yang jahat (Republik Indonesia, red) akan sangat berbahaya,” kisahnya menerawang.

    Tahun 1966, Messet lalu meminta restu ayahnya untuk sekolah pilot di Sekolah Penerbangan Nasa (Nationwide aviation space academy) di Australia dan lolos hingga ia menjadi penerbang. Lulus dari sekolah itu dan melihat situasi politik Papua ketika itu yang labil khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA, ia berpikir untuk ikut berjuang bagi kemerdekaan Papua atau West Papua. Lalu bergabung dengan gerakan – gerakan separatis yang menentang pemerintah RI. Jabatan Messet ketika itu adalah sebagai Koordinator di wilayah Perbatasan yang memberikan kartu identitas bagi anggota GSP/OPM yang hendak menyeberang ke Papua New Guinea (PNG).

    Selain sebagai koordinator, Messet juga ketika itu bertugas memberikan saran dan usul dan ide kepada OPM sehingga ia diangkat menjadi pejabat penghubung. Ketika menjadi pejabat penghubung ini, Messet pernah tertangkap beberapa kali oleh aparat karena terbukti membantu kegiatan separatis khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA.
    Messet menjadi pejabat penghubung di perbatasan selama 10 tahun, 1979 ia dipindahkan ke Swedia setelah empat kali dideportasi oleh pemerintah RI kemudian terakhir PNG. Pemerintah PNG mendeportasi Messet karena tertangkap basah di Vanimo pada 27 September 1978 ketika menyelundupkan 2 orang tokoh utama OPM di perbatasan yakni Yacob Prai yang kemudian berjuang di Swedia dan John Otto O di Vanuatu. “Kedua tokoh ini saya selundupkan untuk bertemu dengan Perdana Menteri PNG Michael Somare, sebab ketika itu ada rapat penting di negara itu yang diagendakan akan membahas masalah Papua,” kenangnya. Hingga akhirnya Messet dideportasi oleh pemerintah PNG ke Swedia.

    Di Swedia, hanya berbekal semangat, Messet terus berjuang, untungnya pemerintah Swedia sangat demokratis dan mau membiayai hidupnya yang pengangguran ketika itu namun harus berusaha untuk mencai pekerjaan. “Di Swedia, pengangguran seperti kita di jamin hidupnya oleh pemerintah,” ujarnya.
    Messet terus melakukan kampanye dan melakukan lobi – lobi internasional untuk membantu kemerdekaan West Papua. Dalam lobi internasionalnya itu, Messet antara lain bertemu dengan Direktur KGB Rusia di Moskow Yuri Antropov pada September 1982. ketika itu, ia dijanjikan oleh Yuri akan membantu kemerdekaan West Papua dengan mengirimkan senjata melalui Vietnam Utara, namun rencana ini batal karena Tuhan punya rencana lain, Yuri keburu meninggal dunia. “Padahal waktu itu saya sudah senang karena Rusia mau membantu Papua untuk merdeka, Yuri meninggal dunia,” ujarnya pelan.
    Selain ke Rusia, Messet juga menemui tokoh – tokoh penting di negara Pasisfik baik di Vanuatu, Nauru, Jerman, Ukraina, Vietnam, Belanda, Cekoslovakia, Jepang sampai ke PBB.
    Messet kemudian menjadi pilot ditahun 1974, setelah tamat dari Sekolah Penerbang di Australia. Meski sekolah di Australia, Messet tidak pernah melobi pemerintah Australia untuk membantu Papua Merdeka, keinginannya di Australia hanya belajar meski sesekali melakukan kampanye. “Kenapa saya terus belajar menjadi pilot, karena niat saya sampai detik ini, saya mau buktikan bahwa kita orang Papua pintar – pintar,” tukasnya dengan semangat. Sejak itu ia menjadi bekerja pada Maskapi Air Nuigini namun tetap bekerja untuk OPM hingga akhirnya ia kembali di deportasi ke Swedia.
    Tahun 1985 ia diajak oleh pemerintah Vanuatu untuk menjadi pilot di Air Vanuatu hingga tahun 1988, tetapi karena terjadi konflik dalam negeri di negara itu, Messet juga menjadi korban, Messet kembali lagi ke Swedia hidup sebagai pengangguran.

    Selama di Swedia, Messet sempat bertemu dengan tokoh GAM Hasan Tiro dan Zainal “Saya pernah bawa Zaenal ke Rusia, tapi Yuri (direktur KGB Rusia) tidak mau ketemu dengan tokoh GAM,” ujarnya.
    Tahun1994, Messet menyempatkan diri kembali ke West Papua (RI) untuk bertemu kerabatnya di tanah air, ketika ia kembali ke PNG. Saat itu PNG telah dipimpin oleh Julius Chan dan situasi politik di negara itu sudah berubah. Ia menghubungi rekannya Franzalbert Joku untuk menfasilitasi dirinya kembali ke tanah Papua melalui PNG. “Saya kontak pak Franz minta difasilitasi kepulangan saya,” ujarnya.

    Perdana Menteri Julius Chan rupanya menyambut positif kepulangan Meset dan disambut positif, pada tahun 1994 ia meninggalkan Swedia dan sejak itu ia kembali berdomisli di Port Moresby. “Setelah di Poprt Moresby Chan perintahkan pencabutan surat deportasi saya,” katanya. Di Port Moresby ia bergabung dengan Nation Air dan kembali bekerja sebagai pilot di Maskapai itu.

    April 1994, untuk pertama kalinya Messet masuk ke Jayapura setelah melalui proses yang cukup rumit. “Saya sebenarnya ketika itu sudah ingin kembali menjadi WNI karena waktu itu Papua sudah jaya diera Orde baru, tapi keinginan saya itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah RI,” katanya. Akhirnya Messet tetap komit pada perjuangannya untuk mewujudkan Papua Merdeka.

    Tahun 1997, secara kebetulan Messet bertemu dengan Fredy Numberi yang ketika itu menjadi Gubernur Papua, ia lalu diperbantukan untuk urusan ke PNG, tetapi setelah Numberi diangkat menjadi menteri, ia berhenti. Ia lalu kembali ke Australia dan aktif kembali pada kegiatan politiknya.

    Tahun 2000, tepatnya bulan Februari, bersama Franz Joku, Theys Eluai, Tom Beanal dan tokoh – tokoh lainnya mereka menggelar Musyawarah Besar di Sentani yang disusul dengan Kongres Papua bulan Mei 2000 dan mambentuk Presidium Dewan Papua (PDP). Pada Kongres itu, Messet membawa 130 orang West Papua dari PNG (panel pasifik).

    Setelah kongres Messet bersama Frans Joku ditugaskan PDP sebagai moderator urusan internasional, hingga saat itu kampanye Papua Merdeka terus ditingkatkan di tingkat internasional.

    15 Juni 2000 Messet kembali ke Port Moresby, disponsori pemerintah Nauru salah satu negara di Pasifik Island, Messet boleh kemana saja untuk melakukan lobi internasional dan puncaknya adalah milleniun summit PBB di New York dan pada September 2000 pimpinan PDP They Hio Eluai, Tom Beanal dan 11 putra Papua lainnya salah satunya Yoris Raweyai menuju New York dan berikutnya pimpinan dan delegasi PDP menghadiri Pasifik Island Forum di Kiribati, disini dikeluarkan satu resolusi pasal 17 yang dalam komunikenya menyatakan keprihatinan bangsa – bangsa itu atas gejolak di Papua dan mendorong tokoh – tokoh politik Papua dan pemeirntah RI untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai. “Tapi sebagian orang menterjemahkan salah,” imbuhnya.

    Disitu juga komunike itu disambut baik. Dan selanjutnya Indonesia menjadi anggota Post Forum Dialogue Partner dan ditindaklanjuti dengan pertemuan negara – negara di Pasifik. Bersamaan dengan itu, Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua lahir. “Otsus adalah buah perjuangan aspirasi Papua Merdeka,” katanya.

    Hingga tahun 2001, Papua kembali bergolak menyusul terbunuhnya Pimpinan PDP Theys Hio Eluay. Kejadian ini membakar hati masyarakat Papua tak terkecualil Messet. Tahun 2003, ia ke Australia dan terus melakukan kampanye politiknya dan pada bulan Mei ia ke Cekoslovakia untuk misi Gereja dan kembali melalui Singapore dan kembali lagi ke Australia. Tetapi di jalan ada yang mengajaknya ke Jakarta, 11 Juli 2005 Messet kembali bertemu Fredy Numberi dan mengajaknya untuk bekerja di bidang perikanan hingga akhirnya tahun 2006 ia diajak Gubernur Barnabas Suebu.
    Messet mengatakan, dalam menyelesaikan masalah Papua tokoh – tokoh Papua memiliki dua pandangan. Kalangan OPM seperti Zet Rumkorem dan Yacob Prai menginginkan masalah Papua diselesaikan melalui jalur konfrontasi militer. “Tapi kami memilih cara dialog yang damai dan sepertinya itu berhasil,” ujarnya.

    Masalah Papua terus menggelinding hingga menjadi perhatian intenasional tetapi sejalan dengan itu, hati Messet juga terpanggil untuk kembali menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. “Hati saya untuk pulang sebenarnya sudah ada ketika bertemu dengan pak Fredy,” ujarnya. Dan puncaknya, ia meminta Fredy Numberi untuk menjaminkan kepulangannya itu. Namun Numberi tak bisa memberikan jaminan sebab apa yang akan dilakukannya itu adalah issu yang sangat sensitive. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur Suebu. “Tapi saya sadar, saya tidak ingin melibatkan pak Bas dan pak Numberi,” imbuhnya.

    Untungnya melalui pendekatan – pendekatan yang dilakukan melalui KBRI (kedutaan besar RI) di Port Moresby kepada pemerintah pusat di Jakarta, ia bertemu dengan pejabat penting di KBRI Pratito Soeharyo dan Frans Pampo yang didukung oleh Dubes RI di Port Moresby Brigjend TNI Bom Soeyanto. Mereka menjembatani Messet untuk berinteraksi dengan Jakarta.

    Jakarta menyambut positif tetapi tidak langsung mengiyakan, kembalinya Messet diuji dengan menemui Eny Faleomavega di Amerika Serikat dengan membawa misi Otsus untuk penyelesaian masalah Papua. Dan Kunjungan Eny ke Indonesia adalah bukti kesungguhan Messet dan Franz Joku untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
    Hingga suatu saat ia bertemu dengan Alwi Hamu dan mau mempertemukannya dengan Wapres Jusuf Kalla pada Juli 2007 lalu. Dan akhirnya keinginannya itu terwujud dan kemarin bukti identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia itu telah diberikan oleh utusan Wapres Jusuf Kalla.

    Namun begitu, satu hal yang ditekankan Messet adalah bahwa dirinya ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak lain karena melihat Indonesia saat ini telah berubah. “Saya melihat perubahan di Indonesia, demokrasi sudah berkembang meski belum sempurna, tapi saya yakin akan terus tumbuh,” katanya. Selain itu, dengan Otsus, ia melihat Papua semakin menunjukan kemajuan, tak heran kalau terbersit keinginannya untuk ikut membangun Papua melalui bidang lainnya. “Otsus adalah perjuangan Papua Merdeka, tanpa perjuangan Papua merdeka Otsus tidak akan lahir,” tandasnya.
    Tak hanya itu, satu yang dipetik dari perjuangannya selama 40 tahun untuk Papua merdeka, Messet telah kemana-mana melakukan lobi internasional di sejumlah negara demi terwujudnya Papua merdeka tetapi yang ditemuinya hanya janji yang tak jua terwujud hingga detik ini.(bersambung)
    Cepos

  • Ketua MPR Dukung Kemerdekaan Kosovo

    TEMPO Interaktif, Doha:
    Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta pemerintah segera mengakui kemerdekaan Kosovo. “Ini adalah hasil referendum yang demokratis jadi harus kita dukung,” kata Hidayat Nur Wahid di Doha, Qatar, Senin (18/2).

    Ia mengakui bahwa pihak Kosovo telah menghubungi dirinya meminta dukungan, dan hal itu telah disampaikannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

    Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini menolak pendapat yang menuding ia mendukung Kosovo karena penduduknya mayoritas Islam. “Bukan itu alasan saya,” katanya.

    Ia mengambil contoh tentang Timor Leste yang juga merdeka melalui jalan demokrasi, yaitu dengan referendum. Doktor lulusan Universitas Madinah ini juga tak khawatir pengakuan terhadap Kosovo akan membuka peluang Papua akan memerdekakan diri dari Republik Indonesia. “Papua kan dulu sudah mengadakan referendum dan hasilnya adalah ikut menjadi bagian Republik Indonesia, jadi tak ada alasan untuk memisahkan diri,” katanya.

    Hidayat diwawancara TEMPO di Doha, Qatar, saat ia mengikuti konferensi US_Islamic World Forum yang berakhir hari ini. Bambang Harymurti (Doha)

  • Kalla Tolak Pemekaran Papua Barat

    TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla akan memerintahkan Fraksi Partai Golkar untuk tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang pemekaran Papua Barat menjadi Undang-Undang.

    Pernyataan Kalla ini disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jimmy Demianus Ijie seusai diterima Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden Rabu (13/2). Dalam pembahasan DPR beberapa waktu lalu, Papua Barat diusulkan untuk dimekarkan menjadi Papua Barat Daya.

    “Kalau ini jadi, maka sama saja ini mendorong adanya Papua merdeka,” kata Jimmy. Pasalnya, Papua Barat Daya dalam usulannya menjadi provinsi baru memakan hampir sebagian besar wilayah Papua Barat yang juga merupakan provinsi Baru pecahan Provinsi Papua.

    “Kami tidak alergi terhadap pemekaran, namun bukan seperti ini melakukan terobosan untuk percepatan ekonomi Papua Barat,” kata dia. Seharusnya, ujar dia, DPR tidak melakukan upaya serampangan seperti ini dan menyalahkaprahkan undang-undang tentang pemerintah daerah.

    “Dalam UU itu kan jelas, kalau pemekaran itu terjadi minimal yang provinsi yang bersangkutan berumur 10 tahun, kami kan belum mencapai umur itu,” kata dia. Jimmy malah menilai Papua Barat dijadikan kelinci percobaan para dewan di Senayan yang sedang demam politik pemekaran.

    Sekretaris Daerah provinsi Papua Barat George C.A menambahkan saat ini Papua barat memang memiliki tingkat pendapatan asli daerah (PAD) hanya Rp 10 miliar pertahun. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam yang dimiliki masih dikuasai oleh Papua. “Gimana caranya, memekarkan daerah yang belum memiliki kemampuan, kan menyalahi UU juga,” kata dia.

    Kalau Papua Barat dimekarkan, sementara masyarakat masih kelaparan, hal ini, kata dia, justru akan memicu konflik baru di Papua Barat. “Tidak sulit untuk merdeka, karena kami sebenarnya mampu, namun permasalahannya itu belum kami kuasai sendiri,” kata dia.

    Anton Aprianto

  • Demo membawa bendera Bintang Kejora – Gerakan Papua Merdeka Ancam Ambil Tindakan Militer

    KOMPAS/Ichwan Susanto

    MANOKWARI, SABTU-Gerakan Papua Merdeka di Papua Barat mengancam akan mengambil tindakan militer jika langkah-langkah diplomasi dan politik mereka tidak mendapatkan tanggapan dari Pemerintah Indonesia.

    Mereka meminta pemerintah membuka diri bagi perundingan masa depan masyarakat Papua seperti yang pernah dilakukan Indonesia untuk mengatasi konflik di Nangroe Aceh Darus sallam (NAD).

    “Jika pemerintah Indonesia tidak membuka diri, itu menandakan negara ini memandang sara terhadap kami ras melanesia. Kami memang bukan orang melayu, tetapi kami manusia yang memiliki hak menentukan nasib sendiri,” ujar Jack Wanggai, juru bicara Otorita Nasional Papua Barat (ONPB), Sabtu (9/2) di Manokwari Provinsi Papua Barat.

    Ia beserta puluhan aktivitis pemuda mahasiswa, tokoh pemuda , dan tokoh adat berbicara kepada pers di sela-sela pertemuan gelar para-para adat di Sanggeng Manokwari. Turut hadir Ketua Pemuda Adat Papua Wilayah Yapen-Waropen W ilson Uruway dan Ketua DPP Front Nasional Mahasiswa Pemuda Papua Zakarias Harota.

    Jack Wanggai mengatakan perjuangan politik luar negeri telah dijalankan dengan langkah diplomasi. Dengan tegas, ia mendukung pendaftaran masalah Papua kepada Komisi Dekolonisasi PBB oleh Republik Vanuatu.

    Sedangkan perjuangan politik dalam negeri yaitu dengan mendesak pemerintah untuk berunding bersama membicarakan masalah dan nasib Papua atau referendum . “Otsus sudah enam tahun berjalan, tetapi ha sil belum dirasakan masyarakat. Jadi sudah saatnya kami menentukan nasib sendiri,” ujar Zakarias Harota.

    Bahkan Jack Wanggai mengancam jika langkah diplomasi dan politik ini tidak berhasil, pihaknya tidak segan mengambil jalur militer. Ia mengatakan saat ini telah menyusun struktur pemerintahan sementara.

    Ditanya batas waktu perjuangan non militer itu, ia hanya mengatakan, Selama mama-mama masih melahirkan orang-orang Papua. Perjuangan menuju Papua Merdeka tidak akan berakhir . Ia juga tidak khawatir masyarakat Papua bosan menunggu cita-cita Papua Merdeka itu tercapai. (ICH)

    Ichwan Susanto

  • Wacana Konspiratif Intelektual Papua

    Jaksa Agung RI melarang buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Yogyakarta, Galang Press, 2007) karya Sendius Wonda karena kejaksaan menganggapnya bisa ‘mengganggu ketertiban umum’. Kalau kita cermati substansinya, secara eksplisit dan berulang-ulang di dalam bukunya, Wonda berpendapat bahwa penyebaran pesat HIV/AIDS, kegemaran pada minuman keras di kalangan orang asli Papua, kekerasan aparat negara (TNI/Polri), kehadiran OPM, Keluarga Berencana, transmigrasi dan migrasi spontan serta ‘islamisasi’ di Papua adalah hasil program terencana pemerintah RI untuk memusnahkan orang asli Papua (ras Melanesia) yang juga beragama Kristen.

    Tren Wondaisme

    Tren Wondaisme—diambil dari nama penulisnya—bukanlah hal baru. Cara berpikir dan perspektif yang simplistis dan konspiratif ini bisa dibaca di banyak laman internet, didengar di berbagai diskusi, serta dibaca di beberapa buku yang ditulis oleh intelektual muda Papua. Bagi mereka, segala yang buruk di Papua adalah produk desain politik yang rapi dan sistemik dari Jakarta (bisa dibaca TNI, Pemerintah Pusat, BIN, dll). Jakarta diyakini memiliki kemampuan sistemik dan benar-benar ingin memusnahkan penduduk asli Papua (baca genocide). Dalam konteks wacana politik di Papua, perspektif Wondaisme cenderung klise dan tidak kritis. Bedanya dengan penulis yang lain, Wonda lebih emosional, tegas, dan hitam-putih.

    Wondaisme meneguhkan dan merepresentasi suatu budaya teror yang mendalam dan meluas di Papua. Budaya ini merupakan produk khas dari sejarah dan pengalaman kekerasan (intimidasi, teror dan pembunuhan), serta keterpinggiran politis dan ekonomis orang Papua. Meskipun kekerasan fisik oleh aparat negara sudah berkurang, hingga hari ini aktivis Papua atau pun pendatang yang membela hak-hak dasar orang Papua masih mengalami intimidasi dan teror. Dirasakan oleh banyak pihak adanya operasi intelijen besar-besaran di Papua. Sementara itu, kehadiran pendatang yang makin besar dalam kuantitas dan semakin dominan di segala sektor terutama ekonomi, menjadi tekanan sosial tersendiri. Secara budaya, orang asli Papua juga mengalami ketakutan akan terjadinya ketersingkiran dan dalam bentuk yang ekstrim: kepunahan.

    Ketakutan, ketakberdayaan dan upaya perlawanan yang dihasilkannya diberi ‘rumah’ dalam bahasa dan diinternalisasi serta dijustifikasi dalam dogma agama, revivalisasi adat, dan ideologi politik, sebagai strategi bertahan hidup. Sintesis ini mewujud dalam bentuk tradisi lisan seperti rumor, mob, doa-doa, cerita-cerita di rumah adat, dan tradisi baru tulisan seperti pesan pendek (sms), selebaran, dan buku seperti yang ditulis oleh Wonda. Dalam perspektif tradisional Papua, segala kejadian buruk, bahaya, dan krisis kehidupan bersumber dari disharmoni antara manusia dan swanggi (kekuatan supranatural). Kini, secara metaforis, swanggi itu bertransformasi menjadi pemerintah NKRI, BIN, TNI, dan sebagainya.

    Tradisi baru intelektual Papua

    Dari sudut pandang yang lain, kita seharusnya bergembira dengan tumbuhnya tradisi tulisan dan lapisan intelektual baru Papua. Di antara para intelektual itu, pertama, ada yang reflektif seperti Benny Giay dan Phil Erari. Kedua, ada yang menggebu dan berani seperti Socratez Yoman, Sem Karoba, Yafeth Kambai dan Jacobus Dumupa. Sendius Wonda termasuk di kelompok kedua. Di antara yang muda, karya Decki Pigay adalah salah satu yang terbaik: runtut, detil, dan relatif mampu menjaga jarak. Ada kemiripan wacana di antara para penulis ini. Terkecuali Erari, kebanyakan memiliki satu paradigma oposisi politik identitas dalam memahami konflik Papua, yakni: Indonesia, Melayu, Rambut Lurus, Pendatang dan Islam versus Papua, Melanesia, Keriting, pribumi dan Kristen.

    Sebagian dari mereka adalah produk pendidikan NKRI yang sering dituduh gagal. Sebagian lagi adalah produk pendidikan dari luar negeri. Semangat menulis dan perspektif politik yang makin berani adalah juga didorong oleh semangat reformasi dan transisi politik di Indonesia, yang dengan segala kekurangannya, semakin liberal dan demokratis. Dengan begitu orang terdorong dan berani menyatakan pikiran dan pendapatnya secara terbuka. Yang positif dari perkembangan ini adalah pemerintah terbantu memahami salah satu sisi kondisi psikologis dan kultural orang asli Papua. Fenomena ini seharusnya menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki kebijakan dan sikap pemerintah pusat di Papua.

    Anomali demokrasi

    Kejaksaan Agung menggunakan UU No 5/1969 sebagai dasar untuk melarang peredaran buku tersebut. Definisi tentang “mengganggu ketertiban umum” tentu cenderung sepihak dan subyektif serta terbuka untuk diperdebatkan. Kebijakan yang menggunakan ‘pasal karet’ ini, di mata para pendukung demokratisasi di Indonesia, bertentangan dengan semangat reformasi, keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia. Secara prinsip, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

    Sudah banyak buku yang isinya mirip karya Wonda, dan ternyata tidak dilarang dan ‘ketertiban umum’ tidak juga terganggu. Pihak kejaksaan melupakan kenyataan bahwa pembaca umum juga memiliki kecerdasan untuk menilai apakah isi buku tertentu berbobot atau tidak. Kalau isinya tidak berdasar tentu akan segera dilupakan orang. Seperti dalam pengalaman sejarah, pelarangan buku adalah iklan gratis. Publik menjadi penasaran dan memburu buku tersebut. Pasar gelap beroperasi dan buku menjadi laris, mahal dan terkenal. Dalam hal ini, Wonda boleh berterima kasih pada Jaksa Agung RI yang menjadi biro iklan sukarela untuk promosi bukunya.

    Pelarangan buku Wonda oleh Kejaksaan Agung adalah kebijakan defisit. Dalam perhitungan politik, kebijakan itu merugikan citra pemerintah RI. Pelarangan buku itu simbol represi dan sikap otoriter yang diwarisi dari Orde Baru. Kebijakan ini bisa menjadi senjata untuk terus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia yang sudah mulai demokratis, bertindak diskriminatif di Papua. (Foto: Cunding Levi, TSPP) (Versi panjang artikel ini dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua, awal Januari 2008)

  • Faleomavaega Tidak Bahas Papua Merdeka

    JAYAPURA – Kunjungan anggota Kongres AS Eny Faleomavaega ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari, Selasa kemarin, tidak membahas agenda Papua Merdeka. Dia hanya melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (otsus).

    Gubernur Papua Barnabas Suebu menegaskan hal itu kepada wartawan, Rabu (28/11/2007).

    Barnabas menegaskan, konsentrasi kunjungan Faleomavaega ke Papua melihat langsung pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 perihal otonomi khusus (otsus) di Papua, apakah telah dirasakan oleh masyarakat setempat.

    Namun, diakui Bas -sapaan akrab Barnabas Suebu, enam tahun pascadiberlakukan otsus di Papua, masyarakat asli Papua yang notabene sekitar 70 persen tinggal di pedalaman belum merasakan adanya otsus tersebut.

    “2007, Pemprov Papua komitmen menitikberatkan pembangunan di tingkat kampung. Pemprov Papua telah mengucurkan dana Rp100 juta ke seluruh kampung se-bumi cenderawasih, dan pada tahun mendatang akan terus ditingkatkan,” paparnya.

    Faleomavaega pun terkagum melihat perubahan yang sedang berlangsung di Papua. Politisi Amerika Samoa itu meminta masyarakat Papua bersabar dalam masa pelaksanaan otsus tersebut.

    Di tambah lagi, lanjut Barnabas, pemerintah pusat telah mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2007, perihal percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat. Sehingga, diharapkan ke depan rakyat Papua terutama yang berada di pedalaman dapat lebih sejahtera.
    (FM Toruan/Sindo/jri)

  • Anggota Kongres AS Kunjungi Papua

    TEMPO Interaktif, Timika:Sejak tiba di Timika Senin petang tidak diketahui pasti agenda dari anggota Kongres Amerika Serikat Eny Faleomavaega di Papua.

    Sejumlah pihak mengaitkan kunjungan Eny dengan peringatan HUT Kemerdekaan Papua pada 1 Desember nanti. Hingga Selasa pagi spekulasi soal kunjungan anggota Kongres dari Kaukus Papua ini tidak terjawab, apalagi wartawan tidak dapat mendekati rombongan.

    Staf Departemen Luar Negeri Indonesia Andri Hadi Senin petang di Timika Tidak merinci agenda kunjungan tamu dari Amerika ini. Andri hanya mengatakan rombongan Eny dijadwalkan akan bertemu dengan tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah di Provinsi Irian Jaya Barat.

    Pada Selasa pagi rombongan menggunakan pesawat khusus akan bertolak ke Biak. Dijadwalkan di Biak Eny akan menemui tokoh-tokoh masyarakat adat dan pejabat pemerintah.

    Sementara dari Biak dilaporkan pada Selasa pagi sejumlah tokoh adat menyatakan kekecewaan karena mereka dihalang-halangi untuk bertemu Eny.

    Dari Biak rombongan pada Selasa siang bertolak ke Irjabar. Setelah itu pada Selasa sore kembali ke Timika dan bertemu dengan tokoh adat Timika.

    Tjahjono Ep

  • Dewan Presidium Masyarakat Papua Indonesia Siapkan Kongres

    Jayapura (ANTARA News) – Dewan Presidium Masyarakat Papua Indonesia (DPMPI) mulai melakukan berbagai persiapan dalam rangka pelaksanaan kongres pertama yang menurut rencana digelar Agustus mendatang guna memperkuat visi perjuangan dalam mempertahankan tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Hal itu disampaikan salah seorang deklarator DPMPI, Heemskercke Bonay di Jayapura, Selasa sehubungan dengan dimulainya persiapan penyelenggaraan kongres pertama perkumpulan ini yang merupakan wadah berkumpulnya para mantan pejuang dan anak-anak mantan pejuang keutuhan NKRI di tanah Papua.

    “Dewan Presidium Masyarakat Papua Indonesia telah berencana menggelar kongres pertama setelah dibentuk setahun yang lalu bertempat di gedung Bank Papua, Jayapura. Berbagai persiapan mulai dilakukan, seperti pembentukan panitia kongres, persidangan, peserta kongres dan sebagainya,” katanya.

    Kongres pertama ini, lanjut putri sulung mantan gubernur pertama Irian Barat (kini Papua), Eliezer Yan Bonay itu, selain untuk memperteguh visi perjuangan DPMPI yakni mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI juga ingin menyatakan diri kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangir hingga Rote Ndao bahwa para mantan pejuang keutuhan NKRI masih ada di tanah Papua.

    Kongres ini pun merupakan momentum berharga bagi penerusan dan pelestarian semangat juang keutuhan Papua dalam bingkai NKRI kepada generasi muda khususnya para anak cucu mantan pejuang NKRI.

    Heems menjelaskan, semua anggota DPMPI, para kader dan simpatisan organisasi ini telah bertekad melestarikan semangat nasionalisme 1 Mei 1963 yakni kembalinya tanah Papua (ketika itu disebut Irian Barat) ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia.

    Penyerahan Irian Barat dari wakil UNTEA, Dr Djalal Abdoh kepada Pemerintah RI yang diwakili Sujarwo Condronegoro berlangsung pada 1 Mei 1963.

    “Hari ini tanggal 1 Mei 1963, kita menghadapi suatu peristiwa yang sangat penting. Ya, hari yang bersejarah bagi kita sekalian, khususnya bagi rakyat Irian Barat dan bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Betapa hebatnya perjuangan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang telah diberikan untuk mencapai saat yang penting ini,” kata Condronegoro ketika berpidato pada 1 Mei 1963.

    Saat yang penting ini, lanjutnya adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan atas daerah ini kepada pemerintah Republik Indonesia, yang berarti penyatuan kembali seluruh daerah yang dahulu merupakan daerah Hindia Belanda.

    Penyatuan kembali seluruh daerah Hindia Belanda dalam bingkai NKRI telah disampaikan oleh Wakil Belanda, Dr.Van Royen dalam sidang Dewan Keamanan PBB, 22 Desember 1948.

    “Seperti yang saya terangkan semula, pertikaian bukan mengenai soal apakah Indonesia akan menjadi merdeka atau tidak. Semua pihak bersetuju bahwa apa yang dulu dinamakan Hindia Belanda harus menjadi satu negara merdeka secepat mungkin,” kata Van Royen seperti dikutip Sujarwo Condronegoro,SH dalam pidatonya itu. (*)

  • OPM Rame-rame Kembali ke Ibu Pertiwi

    Anggota Organisasi Papua Merdeka (Dok. GATRA/Ida Palaloi)Otonomi khusus di Papua sedikit memperlihatkan tuah. Setidaknya, dua pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengakui hal itu. Mereka yakin, otonomi khusus yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia di Papua sudah memenuhi prinsip keadilan. Karena itu, dua tokoh bernama Nicholas M. Messet, yang disebut-sebut sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri OPM, menyatakan ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI).

    Medio pekan silam, seorang di antara mereka menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden. “Saya sudah kirim surat kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kembali sebagai WNI,” kata Nicholas, yang kini memegang kewarganegaraan Swedia.

    “Otonomi khusus adalah pilihan terbaik bagi Papua,” kata Nicholas di hadapan pers. Pada saat ini, menurut dia, banyak anggota OPM di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI. Setidaknya, ia menyebut angka 1.000 orang yang menetap di Papua Nugini dan 20-30 orang di Belanda yang punya keinginan sama dengannya. Termasuk mantan petinggi OPM lainnya bernama Frans Albert Joku.

    Pernyataan Nicholas itu segera saja menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh OPM di luar negeri. Setidaknya, dua pentolan organisasi itu buka suara. Menurut Moses Weror, tokoh OPM di Madang, Papua Nugini, setidaknya ada dua hal yang mesti diluruskan. Pertama, soal jabatan mantan wakil menteri luar negeri. “Dia hanya anggota di ring empat, yang status keanggotaannya masih diragukan. Dalam OPM juga tidak ada jabatan menteri luar negeri atau wakilnya. Yang ada hanya penghubung luar negeri di sejumlah negara,” katanya.

    Selain itu, Moses juga mengungkapkan, baik Nicholas maupun Frans semula memang anggota OPM murni. Mereka sempat diberi posisi: Frans sebagai penghubung di Papua Nugini dan Nicholas menjadi anak buahnya. “Tapi mereka dipecat sejak tahun 2005 dan sudah ada penggantinya,” ujar Moses lagi tanpa menyebutkan nama penggantinya karena memang dirahasiakan. Itu hal kedua yang mesti diluruskan tentang ketokohan Nicholas dan Frans.

    Menurut Moses, pemecatan itu dilakukan atas sejumlah pertimbangan. Para petinggi OPM menilai, sejak kematian Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001, sikap Nicholas dan Frans tampak berubah. Keduanya dinilai aktif mempengaruhi warga OPM kembali ke Papua dan mempromosikan keberhasilan konsep otonomi khusus untuk Papua. Sampai-sampai keduanya dicap sebagai susupan Pemerintah Indonesia. “Sebab, bagi kami, kemerdekaan Papua adalah harga mati,” kata Moses.

    Penilaian senada diungkapkan John Otto Ondowame, petinggi OPM untuk Vanuatu. Berbicara dari Port Villa, ia menilai langkah yang ditempuh Nicholas tidak akan mempengaruhi perjuangan OPM. Sebab posisi Nicholas tidak berarti apa-apa bagi anggota OPM. “Benar, pada organisasi kami tidak ada jabatan menteri luar negeri. Yang ada hanya liaison officer, pejabat penghubung, untuk negara tempat tinggal aktivis kami,” kata John, yang juga sudah menjadi warga negara Swedia.

    Nicholas yang akrab dengan nama sapaan Nick itu pun membantah semua tudingan. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan pengkhianat dan bukan pula orang susupan Pemerintah Indonesia. “Saya aktivis OPM murni, berjuang untuk Papua merdeka. Niat saya kembali menjadi WNI hanya karena sudah ada kemajuan serius setelah sekian lama saya tinggalkan Papua,” ujarnya.

    Nick yang kini berusia 61 tahun itu menyatakan, kesediaannya kembali menjadi WNI terutama setelah melihat program otonomi khusus. “Saya melihat ada perubahan besar, kemajuan besar, yang dicapai rakyat Papua setelah pemberlakuan program otonomi khusus. Program itu, menurut saya, cukup berhasil,” ia menegaskan.

    Nick yang kini berprofesi sebagai pilot di Papua Nugini itu lahir dan dibesarkan di kota kecil bernama Sarmi –kini sudah menjadi kabupaten sendiri. Ia berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Thontje Messet, tercatat enam tahun menjadi Bupati Jayapura (1976-1982). Tapi, sejak menginjak dewasa, ia memendam kekecewaan mendalam karena merasa diperlakukan tak adil.

    Cita-citanya menjadi orang Papua pertama yang jadi pilot Indonesia kandas. Walhasil, pada 1969, ia kabur ke Papua Nugini dan meminta suaka di sana. Nick pun langsung mendapat beasiswa untuk mengikuti pendidikan pilot di Australia. Setamat sekolah pilot, ia memilih kewarganegaraan Swedia sambil aktif berkampanye untuk kemerdekaan Papua di mancanegara.

    Kini, setelah mengutarakan niatnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Nick tentu masih harus melalui proses lagi. Menurut Menteri Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Andi Mattalatta, prosesnya tidak akan rumit karena dia bukanlah seorang terpidana. “Soal syaratnya, tentu tidak hanya proses administrasi, melainkan juga melihat semangat kejiwaannya terhadap negara kesatuan Republik Indonesia,” katanya kepada Anthony dari Gatra.

    Namun lembaga yang dipimpin Andi itu tampaknya bakal kebanjiran permohonan repatriasi. Sebab, menurut R. Sandjaya, staf media dan informasi Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, setidaknya ada 200 warga di Papua Nugini yang ingin menjadi WNI lagi. “Jumlah mereka yang ingin repatriasi makin bertambah karena mereka menilai situasi Papua sudah membaik,” ujarnya kepada John Kristian Pakage dari Gatra.

    Erwin Y. Salim dan Antonius Un Taolin
    [Nasional, Gatra Nomor 46 Beredar 30 September 2007]

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?