SK MRP Tidak Jadi Keharusan

JAYAPURA [PAPOS]– Kontraversi seputar SK Majelis Rakyat Papua [MRP] tentang pimpinan daerah harus Orang Asli Papua di kabupaten dan kota masih hangat dibicarakan berbagai kalangan masyarakat di Papua. SK dinilai bertentangan dengan tata urutan pembentukan Undang-undang.

Seperti yang disampaikan anggota DPR-RI asal pemilihan Papua, Paskalis Kosay, MM melalui telepon selularnya, Kamis [18/3].

Menurut Paskalis SK MRP Nomor 14 tahun 2009 tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. SK itu sangat bertentangan dengan UU Nomor 10 tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan. Kecuali telah diatur dalam Perdasus, itu sah karena Perdasus termasuk bagian dari tata urut per UU, sedangkan SK bersifat mengikat kedalam.

“Yang namanya SK tidak termasuk dalam UU. Yang ada adalah UU, Perpu, Kepres, dan Perda. Jadi kalau MRP ingin mengatur pimpinan daerah kabupaten dan kota harus orang asli Papua, maka harus dibuat aturan melalui Perdasus. Ini baru masuk akal. Sedangkan SK sipatnya internal. Keputusan yang dibuat untuk kepentingan internal, bukan untuk kepentingan masyarakat luas,” ujar Paskalis.

Untuk itu, politisi Partai Golkar Papua ini menilai bahwa SK MRP tersebut tidak bisa dilaksanakan secara luas. Olehnya SK itu tidak perlu dihiraukan. Apalagi konsekwensi hukum juga tidak ada,. Artinya, kalau SK tersebut tidak dilaksanakan tidak ada konsekwensi hukumnya atau tidak ada sanksinya. Jadi SK tersebut tidak perlu dipatuhi.

Jadi siapapun dia yang ingin mencalonkan Bupati, waakil Bupati dan walikota dan wakil walikota silahkan saja karena SK itu tidak memiliki dasar hukum. ” Saya cukup prihatin ketika membaca media massa akhir-akhir ini yang menyoroti calon Bupati, wakil Bupati dan walikota dan wakil Bupati harus orang asli Papua. Ini harus diluruskan sehingga masyarakat tidak kebingungan dan masyarakat lebih memahami UU,” katanya.

MR.Kambu : Saya 50:50

Sementara itu Walikota Jayapura, Drs. MR Kambu, M.Si menanggapi SK MRP apa adanya saja, dimana dia mengatakan bahwa Keputusan MRP nomor 42 tahun 2009 tentang pencalonan Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah merupakan putra daerah, bisa saja ya dan bisa juga tidak.

Pasalnya menurut mantan asisten Setda Provinsi Papua ini sebagai orang Papua dirinya sangat merespon positif keputusan MRP itu namun secara jabatannya sebagai kepala pemerintahan keputusan tersebut harus didasarkan pada UU yang telah disetujui.

“Secara pribadi saya sangat merespon keputusan itu, tetapi kita harus melihat pada aturan yang berlaku, Papua tidak berdiri sendiri tetapi berdasarkan pada perintah pusat, itu yang harus dipedomani,” ujar Walikota saat ditemui wartawan usai membuka acara pelatihan pendidikan sebaya [Peer Education] kepada kaum muda Persipura Mania di hotel Relat Kamis [18/3] kemarin.

Dikatakan Kambu, jika dilihat berdasarkan kepentingan orang Papua dalam UU 21 nomor 21 tahun 2001 keputusan MRP itu sangat beralasan karena sebagai orang asli Papua yang mendiami tanahnya sendiri sudah sepantasnya keputusan atau peraturan yang berkaitan dengan kepentingan orang Papua menjadi kewenangan daerah dalam hal ini orang Papua sendiri. “Bukan keputusan yang datang dari pusat,” kata Kambu.

Tetapi, lanjut Kambu, keputusan tersebut tidak bisa dilaksanakan begitu saja, mengingat hingga saat ini Papua masih berada dalam keutuhan NKRI dan menjadi tanggung jawab pusat dalam pelaksanaan pembangunan di Papua. Sehingga keputusan MRP itu dikatakan perlu dicermati apakah hanya untuk kepentingan orang Papua saja atau untuk kepentingan yang menyeluruh dalam hal ini Papua dan NKRI.[bela/lina]

Ditulis oleh Bela/Lina/Papos
Jumat, 19 Maret 2010 00:00

Exit mobile version