Aktivis HAM: Penuntasan kasus HAM Papua, jalan penyelesaian Papua yang lebih besar

Jayapura, Jubi – Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Papua adalah kewajiban mendesak pemerintah RI, sebagai salah satu cara penyelesaian masalah Papua yang lebih besar.

Hal tersebut ditekankan Papang Hidayat, peneliti Amnesty Internasional, kepada Jubi Kamis (13/10/2016), menanggapi tawaran kemungkinan penyelesaian HAM nonyudisial oleh Menkopolhukam Wiranto terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Papua.

“Soal inisiatif membentuk suatu mekanisme nonyudisial untuk pelanggaran HAM berat masa lalu, kami mengganggap tidak cukup memadai jika investigasi HAM-nya menunjukan bukti-bukti yang cukup terkait kejahatan di bawah hukum international (crimes under international law) seperti extrajudicial execution (pembunuhan di luar hukum), torture (penyiksaan), dan enforced disappearance (penghilangan paksa),” ujarnya.

Opsi penyelesaian nonyudisial juga ditolak aktvis perempuan dan pengacara HAM, Nursyahbani Katjasungkana, kepada Jubi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

“Rancangan itu tidak berdasar dan bertentangan dengan Nawacita dan RJPMN yang sudah ditetapkan secara hukum dengan membentuk Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban,” ujarnya. “Lagian masalah penyelesaian kasus HAM masa lalu bukan semata keputusan Menkopolhukam,” tambah perempuan yang menjadi motor advokasi kasus pelanggaran HAM berat 1965 melalui International Pepople Tribunal (IPT) 65 tersebut.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM, menurut dia, harus memenuhi empat unsur agar memutus rantai impunitas (kekebalan hukum), yaitu pengungkapan kebenaran (truth), keadilan bagi korban melalui peradilan (justice), pemulihan hak korban (reparation) dan pengakuan untuk mencegah keberulangan (recognition dan memorialalisation).

Sementara Imdadun Rahmat, Ketua Komisioner KOMNAS HAM, dalam pembicaraan dengan Jubi minggu lalu, justru meragukan pemberitaan media terkait penyelesaian nonyudisial yang ditawarkan Menkopolkam.

“Kalau yang saya baca dari berita-berita itu kan konflik horizontal yang melibatkan masyarakat vs. masayarakat, itu yang beliau maksud diselesaikan dengan non yudisal, itu penangkapan saya, bisa benar bisa salah,” ujarnya.

Masalah pembuktian

Terkait klaim sulitnya mendapat bukti atas pelanggaran HAM masa lalu, Nursyahbani mengatakan tanggung jawab tersebut ada di penyidik Jaksa Agung.

“Nah disini letak persoalannya dalam memahami pernyataan Wiranto yang katanya tak ada bukti, padahal yang harus cari bukti adalah penyidik Jaksa Agung dan ini belum pernah dilakukan Jagung, sementara Komnas HAM kan hanya berfungsi penyelidikan yakni menemukan bahwa peristiwa pelanggaran HAM telah terjadi,” ujar Nursyahbani.

Imdadun Rahmat, terkait pelanggaran HAM berat Papua seperti kasus Wasior-Wamena dan Paniai, mengatakan akan tetap melalui proses hukum, dan sudah disetujui Menkopohukam.

“Jadi saya agak bingung kalau ada pemahaman bahwa semua persoalan HAM itu akan diselesaikan dengan nonyudisial, itu tidak begitu. Sebelas kasus yang disepakati diselesaikan pemerintah terkait, yang 9 kasus itu kan penegakan hukum, dan dalam rapat-rapat hingga rapat koordinasi dengan pemerintah dan KOMNAS HAM di kantor Polhukam itu masih tetap pendekatan yudisial,” tegas Imdadun.

Terkait kasus Wamena-Wasior, menurut Imdadun, KOMNAS HAM dan Kejagung sudah melakukan gelar perkara untuk mengidentifikasi mana bukti-bukti yang diperlukan untuk melengkapinya.

“Ini (Wamena-Wasior) masih turun lapangan lagi, karena pelanggaran HAM berat itu tidak sederhana. (Penyelidikan) yang kami lakukan sebelumnya belum mencukupi, harus dilengkapi lagi. Dan itu tidak apa-apa, karena sekarang Kejakgung kooperatif dengan KOMNAS HAM, kalau dulu kan tidak kooperatif,”

ujar Imdadun yang juga menyatakan keterbukaan Kejagung saat ini disebabkan oleh keputusan bersama di bawah Menkopolhukam untuk melakukan proses penegakan hukum.(*)

Exit mobile version