Aktivis Kritik Jaksa Agung Australia Tak Diberi Akses Penuh di Papua

MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM – Advokat dan Pembela hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Cristian Warinussy, memandang kunjungan Jaksa Agung Australia, George Brandis, ke Tanah Papua bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada hari Kamis (11/8) merupakan kunjungan yang tidak proporsional.

Menurut Yan, kunjungan Brandis ke perbatasan Indonesia-PNG dan pasar tradisional tidak sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting kunjungannya tersebut.

“Menjadi pertanyaan saya sebagai sesama abdi hukum di dunia, apa yang sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting dari kunjungannya tersebut?” kata Yan dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, hari Jumat (12/8).

Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)
Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari itu, mempertanyakan kenapa seorang Jaksa Agung tidak diberi kesempatan untuk bertemu langsung dengan para abdi hukum di Tanah Papua, misalnya Ketua Pengadilan Negeri Jayapura atau Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura.

“Sehingga dia (Brandis) bisa memperoleh gambaran tentang bagimana situasi penegakan hukum dan juga soal perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua,” kata Yan.

Peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Kanada itu menilai dengan bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura dan juga Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Brandis bisa mendapat gambaran lengkap tentang sudah berapa banyak kasus-kasus pidana makar yang “menyeret” puluhan bahkan ratusan orang Papua yang menuntut kemerdekaan Papua Barat sebagai bagian dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dan eksepresi hingga dipidana di pengadilan.

Yan mengatakan seharusnya juga Jaksa Agung Brandis diberi akses yang seluas-luasnya untuk dapat bertemu dengan pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua, seperti Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil dan Gereja Baptis Papua.

“Sehingga dia (Brandis) dapat memperoleh gambaran utuh mengenali situasi perlindungan HAM di Tanah Papua yang senantiasa bersentuhan langsung dan memberi pengaruh pada aspek penegakan hukum di Bumi Cenderawasih ini senantiasa,” kata Yan.

“Mengapa juga Jaksa Agung Brandis tidak diberikan akses untuk bertemu dengan para advokat dan pembela HAM di Tanah Papua atau sekurang-kurangnya bertemu Ketua KOMNAS HAM di Jakarta atau Kepala Perwakilan KOMNAS HAM Papua?” tanya dia.

Menurut Yan, jika akses itu diberikan, Jaksa Agung di Australia bakal mendapatkan informasi yang up to date tentang situasi politik, hukum dan keamanan di Tanah Papua dari pihak lain, di luar Pemerintah Indonesia sebagai mitra kerjanya.

“Sehingga dia (Brandis) dapat merumuskan laporan yang valid dan kredibel kepada pimpinan negaranya mengenai apa yang sudah dilihatnya sendiri di Tanah Papua dalam kunjungannya yang sangat singkat tersebut,” katanya.

Yan menyayangkan kedatangan George Brandis dalam kapasitas sebagai Jaksa Agung Australia terjadi atas undangan mantan Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, yang disampaikan dalam kunjungannya ke Benua Kanguru belum lama ini.

Yan menduga kunjungan Jaksa Agung Australia – sekalipun memang jadwalnya serta agenda selama keberadaannya di Tanah Papua – telah diatur oleh Kemenkopolhukam di Jakarta.

“Berkenaan dengan itu, memang tidak lucu lagi, kalau seorang pejabat negara sahabat seperti Australia tidak bisa menjalankan tugas utamanya dalam mengamati bagaimana aspek penegakan hukum di Tanah Papua yang terkait erat dengan isu pelanggaran HAM yang sudah membumi di Benua Kanguru selama ini,” kata Yan.

“Hanya dalam hitungan detik dan menit bahkan jam dan hari “dihapus” dengan kunjungannya yang justru melihat aspek pengelolaan fasiltias perbatasan yang sangat teknis keamanan dan keimigrasian serta soal pasar tradisonal yang tidak jelas proporsionalitasnya dengan tugas-tugas pokok seorang Jaksa Agung dari sebuah Negara Merdeka seperti Australia,” kata Advokat itu.

Menkopolhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bersama Jaksa Agung Australia George Brandis dan Duta Besar Australia Paul Grigson untuk Indonesia kunjungi perbatasan Skouw-Wutung, RI-PNG, hari Kamis (11/8). Kunjungan ini sekaligus melihat pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Skouw, Kota Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG. (Foto: Antara/Indrayadi)

Jaksa Agung Australia, George Brandis, pada hari Kamis (11/8) ke Provinsi Papua bersama Menteri Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Pandjaitan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang baru Wiranto.

Dalam sebuah pernyataan, George Brandis mengatakan ini adalah kunjungan lanjutan setelah kunjungan yang ia nilai sangat berhasil ke Bali, di mana Brandis bertemu dengan para mitra utama Indonesia, dan ambil bagian dalam Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme untuk membicarakan ancaman global terorisme dengan para pakar dari 20 negara.

Sebelumnya pada Juni 2016, Brandis menerima kunjungan Menteri Luhut Pandjaitan, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan delegasinya di Sydney untuk menghadiri pertemuan kedua Dewan Menteri Hukum dan Keamanan Australia-Indonesia.

“Kami menyambut baik fokus Indonesia pada peningkatan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi Papua,” kata Brandis.

Australia tetap berkomitmen untuk bermitra dengan Indonesia guna menghadapi tantangan-tantangan sosial dan ekonomi di provinsi-provinsi Papua.

Bicarakan HAM Papua

Sementara itu, Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak Jaksa Agung Australia, George Brandis, membicarakan pelanggaran HAM di Papua dengan Menko Polhukam, Wiranto, dalam kunjungan mereka ke Papua hari Kamis (11/8).

Andreas juga mengharapkan Menko Polhukam, Wiranto, bertanya kepada Jaksa Agung Australia, bagaimana negara itu dapat membantu Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

“Saya kira mereka pasti membicarakan isu HAM. Australia pasti membicarakan hal itu. Jaksa Agung itu adalah pengacara tertinggi suatu negara. Dia tidak bisa datang ujug-ujug tanpa mendapat izin dari perdana menterinya. Jadi saya yakin dia akan membicarakan hal itu,” kata Andreas kepada satuharapan.com, hari Kamis (11/8).

Editor : Eben E. Siadari

Exit mobile version