Ribuan Mahasiswa Papua Unjuk Rasa, Protes New York Agreement

TEMPO.CO, Jayapura – Sekitar seribu warga dan mahasiswa yang menamakan diri Komite Nasional Papua Barat (KNPB), menggelar unjuk rasa di ruas jalan utama Sentani-Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin pagi, 15 Agustus 2016.

Dari pemantauan di lapangan, tampak para pendemo itu datang dari berbagai tempat di Jayapura, seperti dari Kelurahan Waena dan Yabansai, Distrik Heram; dan dari Kelurahan Awiyo, Kota Baru; serta Waimohrock, Distrik Abepura.

Mereka datang menggunakan kendaraan roda dua dan empat, bahkan ada yang berjalan kaki. Sebagian meneriakkan yel-yel merdeka. Beberapa demonstran memegang spanduk atau pamflet bertuliskan, “West Papua”.

Pada puncak aksi, para pengunjuk rasa berkumpul di Lingkaran Abepura, sekitar 5-10 meter dari Markas Polsek Abepura yang bersebelahan dengan kantor Distrik Abepura.

Aparat kepolisian dari Polsek Abepura dan Polres Jayapura Kota dibantu Sabhara dan Brimobda Polda Papua mengatur kelancaran arus lalu lintas yang mulai terlihat macet.

“Demo ini perlu pengawalan aparat, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diduga,” kata Jein, seorang warga Abepura pada kantor berita Antara.

Aksi unjuk rasa hari ini sudah direncanakan sepekan lalu. Aksi ini bertujuan untuk memperingati 54 Tahun New York Agreement. Perjanjian yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dilakukan antara Indonesia dan Belanda tentang masa depan Papua.

Perjanjian inilah yang memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Indonesia untuk mengontrol Papua Barat (sekarang Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—) setelah masa transisi singkat di bawah PBB lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) West Guinea.

Bazoka Logo, juru bicara KNPB, menegaskan bahwa New York Agreement adalah akar persoalan politik di Papua, yang juga menjadi salah satu landasan perjuangan pergerakan Papua Merdeka.

“Akar persoalan di Papua itu bukan pembangunan, juga bukan persoalan kesejahteraan dan kemiskinan, tetapi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang dilakukan tanpa menempatkan orang Papua sebagai subyek,” katanya.

Bazoka menuding Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, serta PBB ketika itu, membahas nasib dan masa depan orang Papua tanpa melibatkan mereka.

ANTARA | TABLOID JUBI

Exit mobile version