Adriana Elisabeth: Dialog Nasional Papua Tidak Bisa Ditunda

Senin, 11 April 2016 | 06:57 WIB

Dr Adriana Elisabeth, Ketua tim kajian Papua LIPI. TEMPO/Maria Rita

TEMPO.CO, Jakarta – Sudah setengah abad konflik di Papua, selama itu pula belum ada penyelesaian yang komprehensif. Tim kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah lama mengusulkan sebuah dialog dengan melibatkan semua pihak untuk mengetahui akar masalah dan upaya penyelesaiannya. Tim juga merekomendasikan tentang perlunya memperbaiki koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah yang berbeda suara hingga ketiadaan grand strategy mengenai Papua.

“Kami mengusulkan dialog nasional untuk sebuah awareness kepada pemerintah bahwa dialog nasional ini sudah tidak bisa ditunda,” kata Adriana Elisabeth, Ketua tim kajian Papua LIPI dalam wawancara khusus dengan Tempo di gedung LIPI, Jakarta, Jumat, 8 April 2016.

Kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Adriana menagih konsistensi pernyataan Jokowi saat kunjungan kerja pertamanya ke Papua. Jokowi saat itu menegaskan siap berdialog dengan semua pihak. Namun, pernyataan siap itu belum ada realisasinya. Peneliti senior di LIPI ini mengkhawatirkan  dengan cara pemerintah merespons Papua seperti saat ini yang elitis, mengedepankan represif dan stigma separatis, justru akan jadi bumerang bagi Indonesia. “Kalau strategi pemerintah masih sama, menganggap Papua nga berkembang, tidak selevel, maka saya tidak punya harapan lagi Papua akan tetap bersama Indonesia,” Adriana menegaskan.

Sejatinya, seperti apa dialog nasional yang ditawarkan LIPI, apa yang membuat pemerintah tak kunjung merespons tawaran LIPI, dan apa saja perubahan besar yang terjadi di Papua terkait dengan tudingan separatis itu? Berikut petikan wawancara Maria Rita dari Tempo dengan Adriana yang berlangsung sekitar 1 jam 15 menit dengan beberapa permintaan off the record.

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap usulan LIPI agar diadakan dialog nasional di Papua?
Sejak media briefing terakhir (14 Maret 2016) belum ada follow up lagi dengan pemerintah. Dialog nasional merupakan sebuah pendekatan baru untuk Papua. Dalam
dialog nasional ada istilah special envoy. Inti sebetulnya adalah satu unit, badan, orang yang mengurus Papua secara konsisten. Probably 24 hours, anytime we
need to ask something, so someone is there. Kita tidak tahu siapa yang mengurus Papua. Ada ksp (kantor staf presiden), ada seskab (sekretaris Kabinet), ada sekneg (sekretaris negara), ada kemendagri (kementerian dalam negeri), ada kemenlu (kementerian luar negeri), and then kita mau tanya kepada siapa. Soal isu sektoral seperti kesehatan, pendidikan sudah ada lembaganya. Tapi isu politik keamanan  memang ada di Kemenkopolhukam yang membawahi beberapa kementerian. Walaupun ada desk Aceh dan Papua, tapi saya melihat tidak ada grand strategy sebenarnya mengurus Papua seperti apa? Makanya kemudian kementerian jalan sendiri, semua bikin policy sendiri, and then kita bingung. Kami mengusulkan dialog nasional untuk sebuah awareness kepada pemerintah bahwa dialog nasional ini sudah tidak bisa ditunda.

Reaksinya setelah media breifing seperti sekarang yang kita lihat, tiba-tiba pak Luhut (Menteri Koordinator Polhukam Luhut Panjaiatan) ke Fiji. Kenapa menlunya tidak? Semua pertanyaan soal Papua, pak Luhut yang jawab. Apakah ini orangnya (special envoy)?  Beliau pergi ke Fiji, tetapi katakan tidak mau dialog. Lalu sebenarnya maunya apa. Kita jadi bingung.

Apakah pak Luhut pernah bertanya kepada Anda tentang dialog nasional?
Saya duga dia bertanya lewat Kemlu (kementerian luar negeri). Makanya ketika kami diminta begini: sudahlah LIPI tidak usah bicara tentang special envoy dengan media, lalu Luhut pergi ke Fiji dan orang-orang bertanya apakah dia special envoy?

Kenapa dialog nasional tidak dilakukan. Lalu, Papua seperti apa?
Saya melihat pemerintah belum memahami dialog nasional. Memahami dulu itu yang penting, baru action. Kalau paham saja, susah. Persoalannya, tidak paham dialog nasional sebagai satu pendekatan. Bukan hal baru sebetulnya dialog nasional, banyak dilakukan negara-negara lain. Formatnya bisa macam-macam. Kedua, pemerintah selalu melihat dialog berhadapan dengan pihak yang tidak equal, which is menurut saya, salah karena dialog itu untuk menyelesaikan soal bukan soal struktur. Yang menilai seperti itu keliru karena bagaimana pun Papua itu kita, Indonesia. Punya hal yang harus dibicarakan, terus forumnya apa kalau bukan dialog. Ketiga, dialog ini dilihat sebagai pendekatan relatif damai. Tidak toleran sama sekali dengan kekerasan.

Kita mengajak kedua belah pihak duduk untuk bernegosiasi. Ternyata yang saya pahami dalam proses dialog, butuh moral consideration. Tak akan orang itu mau berdialog kalau dia tidak punya moral untuk mau berdamai. Ini esensinya sangat dalam, yang saya pahami menjadi sulit karena orang pada melihat keadaan ini sudah merasa insecure.

Kalau bicara Papua pasti larinya merdeka. Sudah tidak punya pikiran peaceful lagi. Bagaimana ini semua diblocked. Ini yang saya lihat pemerintah Indonesia belum paham tentang esensi dialog. Represif sudah tidak relevan, malah jadi bumerang, backfire buat Indonesia sendiri. Melihat perkembangan gerakan politik muda semakin terkoordinasi, mereka pakai cara-cara demokrasi yang hampir tidak mungkin dihadapi dengan cara represif. Itu yang menurut saya, strategi yang harus dibangun adalah bernegosiasi, berbicara. Jadi don’t think they are not equal. Dia bangsa sendiri. Dialog itu memang bukan dengan yang equal.

Bagaimana mempertemukan dua belah pihak yang satu klaim NKRI dan satunya klaim Papua merdeka?
Dialog nasional juga tidak bicara soal posisi, tapi interest kita yang beda. Kenapa berbeda? Kalau posisi itu jelas, ekstrim,  satu NKRI dan satunya merdeka, which is itu impossible dibicarakan dalam dialog. We are not talking about position.  Kita bicara soal interest, soal pemahaman yang berbeda, soal pandangan yang tidak sama misalnya mengenai akar masalah. Akar masalahnya ekonomi, ketidaksejahteraan ekonomi masyarakat Papua which is menjadi fokusnya Jokowi bicara ekonomi, infrastruktur. Tapi orang Papua bilang ini bukan soal kesejahteraan ekonomi saja tapi tidak sejahtera secara nonekonomi: kebebasan jurnalis dibatasi, kami distigma separatis. Ini soal nonekonomi yang tidak pernah di-addressed. Jadi bagaimana caranya? Ya, kita duduk bareng, kita bicara apa sih yang selama ini dikhawatirkan. Saya paham pemerintah Indonesia sangat insecure kalau bicara Papua apalagi ujung-ujungnya merdeka.

Pemerintah merasa tidak aman karena trauma Timor Timur atau ada penyebab lain?
Sebelum menjawabnya, saya mau jelaskan. Jokowi mundur (kebijakannya tentang Papua). Pada waktu sebelumnya, Jokowi bilang saya siap berdialog dengan semua
elemen. Kunjungan terakhir, Jokowi meresmikan proyek-proyek infrastruktur. Jangan dong direduced isu Papua seperti ini. Itu yang menjadi backward. Mereka sekarang bertanya loh, pemda juga bertanya yang dimaksud dengan dialog apa sih. Presiden bicara siap berdialog, dialognya seperti apa sih. Jika sesuatu sudah dilontarkan dan tidak ada action , mereka bertanya maksud Jokowi siap berdialog. Ketika kemudian Jokowi berkunjung ke Papua untuk meresmikan proyek infrastruktur, itu mereduce persoalan, menurut saya berlebihan. Proyek itu bisa menteri saja yang meresmikan, kenapa mesti presiden.

Jadi, menurut saya, kekhawatiran tentang Papua, insecurity feeling bisa dipahami. Tapi harus lihat dinamika hari ini. Yang merasa insecure itu pasti TNI, mungkin yang berlatar belakang Kopassus. Saya menduga tentara  melihat Indonesia itu teritori betul. Masyarakat Papua mau diapakan kalau hanya berdasarkan pandangan Indonesia harus bersatu. Stigma-stigma separatis kepada Papua justru bumerang bagi kita sekarang. Kalau kita bicara dialog , maka seolah nanti bertemunya dengan pro Papua merdeka. Siapa yang membuat?

Kalau melihat Papua sebagai musuh, sudah susah itu jadi  unequal. Menurut saya bukan itu, ini soal kita. Jadi melihat Papua seperti orang Indonesia yang punya permintaan-permintaan tertentu,  harus ditanya kenapa kamu minta itu. Jika memandang Papua dengan stigma separatis dan enemy, jadi cenderung paranoid,
khususnya tentara. Istilah dialog dikhawatirkan ini jalan Papua minta merdeka. Itu memang disuarakan oleh pro Papua merdeka. Tapi LIPI tidak melihat dalam kerangka itu, tapi berdialog untuk membangun Papua damai. Tentunya dalam konteks Indonesia dong. Nga  mungkin kita mau… Saya bilang kepada teman-teman otonomi khusus itu self determination. Lalu karena persoalan ini  minta merdeka, personally saya melihat itu masuk akal tapi sebagai bangsa Indonesia yang tahu Papua di dalamnya, saya nga rela loh Papua pisah. Jadi, pemerintah tidak bisa memahami bagaimana membuat Papua itu merasa homy di dalam Indonesia. Kalau selalu dianggap musuh, mohon maaf hari ini mereka sudah punya forum bersama, ULMWP (The United Liberation Movement for West Papua), yang semakin kuat dengan dukungan regional.

Pemerintah mendekati Fiji dan Papua Nugini untuk meminta dukungan, bagaimana tanggapan Anda?
Dalam konteks itu, mereka bilang kami sudah mendekati Fiji utk jadi full member di MSG (Melanesian Spearhead Group-organisasi negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan), itu pasti diikuti ULMWP untuk dapat status yang sama. Kalau sudah posisi yang sama, jadi repot lagi. Dalam isu HAM, seluruh negara Pasifik selatan sudah bersatu: Semua mendukung Papua dalam konteks pelanggaran ham berat. Indonesia harus bertanggung jawab dalam hal ini. Jadi, kalau ditimbang-timbang dari itu, posisi Indonesia lemah. Tidak mendapat dukungan sama sekali. Terus diambil strategi elitis dengan berkunjung ke Fiji, beri bantuan. Memang ada semacam perjanjian bahwa harus mendukung Indonesia. Uang itu dikasih ke Papua, mana kita tahu. Maksudnya strategi masih strategi yang tidak memahami di level akar rumput , gerakan kaum muda dan jaringan diaspora mereka sudah menyatu.

Kenapa pemerintah belum satu suara tentang Papua?
Pak Jokowi sudah betul dengan datang langsung ke Papua. Sosoknya jadi harapan bagi Papua. Saat tapol dibebaskan tapi pembebasan tapol tidak diikuti kementerian. Pak Jokowi sepertinya tidak punya kemampuan memaksa, mestinya kebijakannya harus diikuti. Kalau presidennya omong A, kok kenapa yang dijalankan B. Itu menunjukkan dari segi good governance, menurut saya itu buruk.Negara ini sistem presidensial, presiden sebagai penentunya. Policynya sudah tegas, akses jurnalis ke Papua terbuka, kemudian yang lain bergunjing sendiri kemudian dengan alasan masing-masing tidak melakukannya. Dalam aspek good governance itu buruk sekali. Papua  isu yang sudah lama tidak terselesaikan. Kalau pak Jokowi dianggap mau serius tapi tak bisa menghandle para menteri, maka orang akan berpikir masalah Papua tak selesai juga di masa Jokowi.

Saya khawatir betul, Pater John bilang (Wawancara Pater John Djonga dengan Tempo pada Desember 2015 tentang cepat atau lambat Papua akan merdeka dari Indonesia jika pendekatan dalam penyelesaian Papua tidak diubah).Kita sebenarnya worried. Tapi kok pemerintah cara bermainnya masih elitis, seolah Papua tidak berubah , seolah Papua seperti 20 tahun lalu. Lho gimana, suasana sudah beda sekali.

Suasana apa yang berbeda sekali yang membuat Anda khawatir?
Bicara Papua banyak elemen, fragmentasinya tinggi meski jumlah penduduknya sedikit. Yang membuat saya ngeri adalah gerakan kaum muda Papua yang sekarang ini cerdas, menguasai IT, mereka tahu cerita Papua dari dahulu sampai dengan sekarang, mereka sudah tidak lagi terlalu appreciate dengan orang-orang tua Papua yang tidak punya prestasi untuk Papua, mereka progresif. Orang-orang muda inilah yang bisa mengkonsolidasi diri, mereka tahu agenda-agenda demokrasi, mereka berorasi dengan baik, cantik, mereka belajar bagaimana mengkonsolidasi diri. Let say mereka sudah tiga tahun ini melakukan itu, dan kita tidak memperhatikan. Seolah-olah Papua masih seperti dulu, bodoh.

Kemudian, anak-anak muda itu pintar menggunakan media sosial untuk apapun. Bahkan mereka mengkritik berita tentang pernyataan Uskup Jayapura tentang TNI yang melakukan pendekatan kesejahteraan. Mereka sangat kritis. Mereka punya agenda yang solid. Isu merdeka mereka kuatkan. Dengan jaringan diaspora mereka minta dukungan yang ujungnya memang merdeka. Terus kita menganggap ini seperti 20 tahun lalu seolah tidak terjadi sesuatu, seolah dengan datang ke Fiji selesai, dengan hubungan bilateral selesai.

Menurut saya, harus ada strategi regional Indonesia khususnya di Pasifik selatan. Kemlu sudah buat Regional Policy for South Pacific. Sekarang Benny Wenda (Juru bicara ULMWP) sudah dapat dukungan dari keluarga Nelson Mandela. Dia baru pulang dari Ghana. Artinya itu sebuah cara memobilisasi  dukungan berdasarkan ras. Kalau seluruh ras kulit hitam sudah mendukung gerakan Papua, kita mau berdiplomasi dengan cara apa, mau pakai strategi represif? Reputasi kita tambah hancur. Prestasi kita sebagai negara demokrasi tidak bisa dipertahankan lagi. Justru untuk menyelamatkan Indonesia kita usulkan dialog nasional.

Menurut Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dialog sudah tak perlu lagi.
Kalau strategi pemerintah masih sama, menganggap Papua nga berkembang, tidak selevel, maka saya tidak punya harapan lagi. Papua  juga tidak ada salahnya. Masalahnya pemerintah tidak paham, insecuritynya luar biasa. Kalau bicara dengan TNI, selalu bilang jangan seperti Timor Leste.

Anda masih yakin warga Papua mau dialog?
Saya masih yakin. Merdeka is not easy. Kalau bicara skenario merdeka, banyak sekali yang harus diimprove oleh Papua. Teman-teman muda ini masih lebih banyak fokus ke polkam. Merdeka butuh yang lain, itu pasti tidak terpikir hari ini. Jadi bisa dibuat skenario dalam konteks Indonesia. Tapi menurut saya, ada atau tidak ada dialog, mereka pasti bicara merdeka. Dari pada bahas merdeka atau tidak, yuk duduk bersama untuk bahas kenapa minta merdeka.

Jika Jokowi bersedia duduk berdialog, apa yang pertama kali dilakukan?
Presiden Jokowi harus bicara langsung dengan semua kepala daerah di Papua untuk membenarkan semua kerja-kerja di Papua. Itu penting banget karena banyak kasus korupsi. Wah, itu parah. Itu juga yang membuat bumbu sehingga ada teriak: Papua di Indonesia tak lebih baik kok. Itu kesalahan pemda-pemda juga. Itu harus dibuka.  Presiden harus memberikan arahan khusus: saya mau ini, saya mau itu. Karena akhirnya uang itu tidak jelas kemana. Termasuk untuk anggaran perjalanan ULMWP, Presiden harus omong.  Tidak boleh selevel menteri lagi. Simbol politik tertinggi untuk Papua adalah presiden. Presiden harus datang. Saya dengar dari Komnas HAM, Presiden mau datang ke Papua bertemu pemda, gubernur dan semua bupati.

Pemerintah perlu evaluasi otonomi khusus?
Iya, karena selama ini evaluasinya parsial. Kemendagri pernah bikin, tapi belum utuh. Namanya evaluasi, ya pasal per pasal. Anggaran diaduk-aduk. Bagaimana mau buat assesment. Evaluasinya juga mestinya reguler. Melihat Papua itu tidak satu. Kalau merujuk pada otsus, posisi utama semua pada warga Papua. Tapi pertanyaannya, setelah mendapat posisi itu apa yang mereka lakukan untuk Papua? Itu yang harus dibicarakan presiden, harus ada assesment atas kinerja gubernur, wali kota dan bupati. Misalnya ada daerah yang sulit dijangkau, mereka tidak bisa buat renstra (perencanaan strategis), itu diberi bantuan. Australia sudah bantu pemerintah membuat assesment di daerah pegunungan.

Lalu kasus korupsi juga, misalnya beli rumah, pesawat. Harus ada punishment kalau ada temuan. Bilapun banyak bupati masuk penjara, ya itu resiko. termasuk dalam kaitannya dengan anggaran yang harus dikelola dengan baik. Nah saya tidak tahu apakah ada pemda mendanai gerakan kaum muda. Pertanggungjawabannya seperti apa. Sama juga dana untuk pos-pos keamanan, cost of conflict dari perspektif perusahaan.

Kenapa Anda bertahan menggeluti isu Papua bertahun-tahun? Apa yang memotivasi?
Wow, sebenarnya saya sudah ingin resign. Seperti berteriak di gurun pasir, menggarami air laut yang sudah asin. Kami punya prinsip dari dulu ketika masih riset sampai sekarang, beyond research: kita menawarkan satu pendekatan yang damai. Kita mau damai tidak cukup hanya karena kita tidak suka perang, tapi kita have to do something completely. Negosiasi itu sesuatu yang damai. Peace itu bukan hanya soal skill, tapi harus ada moral action. Peace harus dilakukan secara peaceful. Sebenarnya LIPI punya keterbatasan, kita hanya menyodorkan konsep-konsep yang assuming bisa diterapkan, kalau mau diterapkan.

Persoalannya adalah hal itu tidak pernah dicoba. Ini loh kami mereduce kesenjangan pemahaman tentang perlunya dialog sebagai bagian dari proses mediasi antara para pihak. Mungkin tanggung jawab kita ketika kita keluarkan konsep, terus kita tinggalkan, kok rasanya bagaimana ya. Lebih ke situ. Bagaimana ya membahasakannya saya tidak punya sesuatu yang konkrit untuk menjawab itu. Kita coba menyakinkan loh, caranya seperti ini. That’s it.

Exit mobile version