Pelaku Mengelak, TPN-OPM Dituding

JAYAPURA – Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay mengungkapkan, kekerasan dan perlakuan terhadap masyarakat Papua yang dilakukan Negara sejak tahun 1960-an dalam berbagai bentuk (terakhir di Paniai, 8 Desember 2014) sudah lama terjadi.

Kekerasan itu dalam berbagai wujud telah membentuk watak, filsafat dan orientasi hidup orang Papua. Seperti, watak orang Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920-an yang dibentuk oleh kebijakan Belanda dalam jaman penjajahan.

Dalam keterangan pers, Pdt. Benny Giay mengatakan, yang dilakukan di Tanah Papua sebagai Pimpinan Gereja beberapa tahun terakhir ini tidak lebih dari apa yang telah dilakukan para pimpinan agama di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920-an berhadapan dengan kolonialisme Belanda.

Terbukti, kata Pdt Benny, pihak TNI yang diduga merujuk mobil rush milik komandan Timsus TNI yang dipakai pada saat penganiayaan seorang anak di pondok natal pada subuh, 8 Desember 2014 sebagai pelaku terus mengelak dan menuding berbagai pihak lain, seperti TPN-OPM dan Pemda Kabupaten, sementara TPN-OPM telah mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam penembakan.

Dengan berbagai permasalahan yang terjadi itu, maka pihaknya menilai bahwa Presiden Jokowi sebagai Panglima tertinggi belum juga mengeluarkan pernyataan terkait penembakan terhadap para pelajar oleh TNI-POLRI di Paniai.

“Kami menilai Pak Presiden “cepat kaki ringan tangan” menyatakan kesetia-kawanannya terhadap para korban bencana di Banjarnegara, JawaTengah dua hari lalu, tetapi diam seribu bahasa ketika umat kami/anak sekolah yang sedang mengikuti lomba kandang natal ditembaki aparat TNI / POLRI,”

katanya di Kantor Sinode Kingmi di tanah Papua, Rabu (17/12).

Untuk itu, kepada seluruh masyarakat, mengajak untuk melihat masalah Papua, termasuk penyerangan Paniai 8 Desember 2014 secara utuh, karfena sejarah dan perkembangan pemikiran/jati diri Papua tidak lepas dari sepak-terjang negara dan rakyat Indonesia sejak awal tahun 1960-an.

“Kami menyesal bahwa selama ini pemerintah dan rakyat Indonesia lipat tangan dan menolak semua masalah ke pihak Papua. Karena itu melalui pernyataan pers ini, kami ajak semua pihak untuk mengambil tanggung jawab terhadap masalah Papua. Tidak hanya bermasa bodoh dan menilai penyebab konflik Papua secara sepihak seperti yang terja di selama ini,”

ajaknya.

Pada kesemaptan itu juga, pihaknya menghimbau supaya tidak hanyut dalam permainan elit yang sedang memancing di air keruh. Akan tetapi meminta untuk mengambil waktu dalam bulan suci ini untuk periksa diri dan perilaku yang sudah kita tunjukkan dalam satu tahun yang lewat.

“Tinggalkan perilaku dan bahasa yang merusak. Mari ambil waktu dalam bulan ini untuk berbaikan di dalam keluarga, kampong dan gereja, doakan anak-anak kita yang lahir dalam suasana kekerasan ini supaya mereka selamat. Mari wujudkan “papua damai sejahtera” dengan menebar benih-benih kebaikan,”

imbuhnya. (Loy/don)

Sabtu, 20 Desember 2014 07:21, BP

Exit mobile version