Wakil Dubes Inggeris dan MRP Bahas Kasus HAM di Papua

Wakil Duta Besar dan Konsul Jenderal Kedutaan Besar Inggris Rebecca Razavi menerima cinderamata dari Wakil Ketua II MRP Enggel Bertha Kotorok, ketika audiensi di Kantor MRP di Kantor MRP, Kota Jayapura, Papua, Rabu (3/12).JAYAPURA — Wakil Dubes Inggris dan Konsul Jenderal Kedubes Inggris Rebecca Razavi didampingi Feye Belnis selaku penterjemah bersama pimpinan dan anggota MRP, masing-masing Wakil Ketua I MRP Pdt. Hofni Simbiak, S.Th, Wakil Ketua II Enggel Bertha Kotorok, Anggota Pokja Adat Joram Wambrauw, SH., dan anggota Pokja Perempuan Debora Mote, S.Sos, membahas kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya terhadap ibu dan anak asli Papua di wilayah Pegunungan Tengah. Pertemuan itu berlangsung di Kantor MRP, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (3/12).

Terkait kasus pelanggaran HAM di Papua, cetus Hofni Simbiak, pihaknya menyampaikan kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya pelanggaran terhadap ibu dan anak asli Papua yang terjadi di Pegunungan Tengah, diantaranya, kasus perang suku disejumlah wilayah di Papua, yang telah mengalami pergeseran nilai dari nilai adat ke nilai komersial atau mengkomersialkan Orang Asli Papua (OAP) mengatasnamakan adat. Padahal sebagaimana aturan hukum, tak ada seorangpun berhak menghilangkan nyawa orang lain.

Pasalnya, perang suku bisa pecah kapan dan dimanapun di wilayah Papua, hanya untuk mendapatkan pembayaran kepala, yang jumlahnya mencapai puluhan miliar.

“Kita harapkan keadaan seperti ini tak boleh terjadi lagi, yakni menyelesaikan kasus perang suku dengan ganti rugi uang,” tandasnya.

Hofni Simbiak menjelaskan, pihak Kedubes Inggris juga ingin melihat pembangunan hukum berhubungan dengan keamanan, terutama situasi yang terjadi akhir-akhir ini di Tanah Papua.

Dikatakan Hofni Simbiak, ada kejadian di Papua yang sebenarnya paradox. Di satu sisi disampaikan situasi keamanan di Papua aman dan terkendali, sebagaimana seruan para tokoh agama Papua tanah damai. Tapi di sisi lain terjadi gejolak seperti aksi penembakan dan pembunuhan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Semua aksi-aksi yang terjadi modus operandinya sama, karena tak pernah diketahui siapa pelaku.

Kesulitannya tak ada investigasi yang jelas menyangkut aksi penembakan dan pembunuhan tersebut,” katanya.

Hofni menerangkan, pihaknya bekerjasama dengan Komnas Perempuan tengah mengumpulkan dokumen kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap ibu dan anak asli Papua, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah Papua sejak 1962 hingga 2010 bekerjasama dengan Komnas Perempuan.

Diutarakan Hofni, pihaknya tengah mempersiapkan Buku berjudul Anyaman Noken Kehidupan, direncanakan dilaunching 15 Desember mendatang di Kampus Universitas Indonesia Jakarta, diinisiasi ibu-ibu dari wilayah Pegunungan Tengah Papua. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 06 Desember 2014 12:34, BP

Exit mobile version