‘Selesaikan Masalah HAM atau Papua Keluar dari NKRI’

Manokwari (SULPA) – Pemerintah RI dinilai mengalihkan perhatian dunia soal pelanggaran HAM dengan hanya mempertemukan delegasi MSG (Melanesian Spearhead Group) dengan gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH.

‘’Ini disebabkan karena sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Marty Natalegawa bahwa persoalan yang mengganggu posisi Indonesia dalam konteks Papua di dunia internasional adalah pelanggaran HAM, terbatasnya akses media asing dan soal lingkungan,’’

kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada SULUH PAPUA, Rabu (15/1/2014) di Manokwari, Papua Barat.

Jauh sebelumnya dalam Universal Periodic Revieuw (UPR) di Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) di Jenewa, Swiss secara tegas menunjukkan sekitar 176 negara di dunia mengemukakan pandangan dan pernyataan tegasnya yang menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, baik yang terjadi secara sistematis maupun struktural.

Disamping itu, laporan dari Komnas HAM Asia (Asian Human Rights Commission) tentang tindakan pemusnahan etnis (genosida) di kawasan Pegunungan Tenga Papua (1977-1978).

Ia menyebutkan, bahwa Universitas Yale, Amerika Serikat pernah mengeluarkan laporan risetnya yang mendalam tentang terjadinya Genosida di Tanah Papua yang dilakukan oleh TNI dan POLRI.

‘’Hal ini sempat terungkap dalam pengakuan dari Mayor Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam Bukunya,” katanya.

Dalam buku berjudul “Pejalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis oleh Hendro Subroto, disebutkan pengakuan sang jenderal menyangkut tindakan kekerasan yang dilakukan pasukannya, termasuk dalam upaya memenangkan Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) atau Pepera.

Secara factual, jika dilakukan secara benar, maka hasilnya adalah 2:3 untuk untuk kemenangan pihak yang menginginkan Irian Barat (Papua) berdiri sendiri.

Warinussy mengatakan, sorotan terhadap permasalahan Papua juga dikemukakan Prof.Piter J.Drooglever dalam bukunya : “Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingrecht atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Dalam buku yang telah diterbitkan edisi Bahasa Indonesian diungkapkan mengenai terjadinya berbagai bentuk pelanggaran secara sistematis dan struktural yang dilakukan atas peran dan prakarsa Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan mantan Presiden Ir.Soekarno waktu itu untuk mengintegrasikan Tanah Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menurut Warinussuy, di dalam hasil penelitian ilmuiahnya yang diberi judul Papua Road Map pada tahun 2009 telah menetapkan adanya 4 (empat) masalah utama di Tanah Papua, yaitu : pertama, marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap Orang Asli Papua. Kedua, kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia. Serta keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap Orang Asli Papua.

“Ujungnya LIPI menyarankan penyelesaian soal-soal tersebut diantaranya melalui Dialog Damai yang kini terus didorong bersama melalui Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah Pimpinan Pater Neles Tebay,’’ katanya.

Sebagai pembela HAM di Tanah Papua,Warinussy juga menilai kunjungan delegasi Menlu MSG yang hanya diwakili Menlu PNG, Solomon Island, Fiji dan Kelompok Perjuangan Etnis Kanaky di Jayapura itu justru terjadi bersamaan dengan terus terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan strukrural di Tanah Papua.

Hal itu antara lain dalam bentuk terjadinya penangkapan terhadap sekitar 46 orang aktivis pro Perjuangan Papua yang sedang berorasi dan berdemo damai di halaman Kantor DPR Papua yang langsung ditangkap oleh aparat keamanan dari Polda Papua.

Juga secara struktural menurut Warinussy,terjadi tindakan memangkas agenda pertemuan para Menlu MSG tersebut dengan perwakilan kelompok-kelompok perjuangan politik yang pro-Papua Merdeka diantaranya dengan perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) di Jayapura.

Kondisi ini jelas telah menciderai semangat para Pemimpin MSG dalam Komunikenya pada Juni 2013 lalu di Noumea yang menyatakan keprihatinan dan kekwatiran mereka terhadap situasi pelanggaran HAM sesama etnis Melanesia di Tanah Papua Barat.

“Berkenaan dengan itu, maka saya ingin mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara dewasa, arif dan bijaksana ke depan mau membuka diri untuk menerima kritikan dan memberi ruang demokrasi yang lebih luas bagi Orang Asli Papua untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan politiknya yang berbeda berdasarkan hukum dan prinsip-prinsi HAM yang berlaku universal,’’

tandasnya.

Pemerintah juga harus bisa menyelesaikan segenap kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sejak Tahun 1963 hingga hari ini dengan menggelar peradilan HAM yang jujur, terbuka dan fair untuk mengadilin dan menjatuhkan hukuman bagi mereka-mereka yang nyata-nyata terindikasi merupakan pelaku-pelaku lapangan maupun pemegang kendali operasi keamanan yang pernah berlangsung di Tanah Papua dahulu.

“Jika Pemerintah Indonesia tidak segera merubah cara pandangnya atas langkah penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua serta usulan penyelesaian melalui Dialog Damai, maka saya sangat yakin bahwa Papua akan keluar karena masalah hak asasi manusia sebagaimana halnya Timor Timur. Jangan lupa bahwa ada seorang penulis orang asli Indonesia sudah memprediksi dalam bukunya terbitan tahun 2011 bahwa jika soal HAM tidak diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, maka Negara ini akan “pecah” pada tahun 2015, atau satu tahun dari sekarang ini,’’

tambahnya.

(B/IDH/R3) Thursday, 16-01-2014, SupPa

Exit mobile version