Atasi Deforestasi demi Mencegah Perubahan Iklim

Emisi karbon akibat deforestasi telah mencapai hampir 20 persen. Jumlah tersebut merupakan faktor terbesar pemicu pemanasan global. Hal itulah yang dikhawatirkan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. “Deforestasi penyumbang 20 persen emisi karbon harus segera diatasi,” tegas Ban menjawab pertanyaan wartawan SP di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-63 di New York, AS, beberapa waktu lalu.

Deforestasi, sebagai penyumbang terbesar emisi karbon, diharapkan bisa diatasi dengan UN Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) Programme yang diluncurkan secara resmi, Rabu. “PBB beserta tiga badan resminya dan sejumlah negara donor berkoordinasi erat untuk mengatasi isu-isu deforestasi,” ungkap Ban.

Selain Sekjen PBB, hadir pula Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Presiden Polandia Lech Aleksander Kaczynski, serta Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen. Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali, 2007. Konferensi berikutnya di Poznan (Polandia) dan Kopenhagen (Denmark).

Ban dan tiga negara yang mengetuai rangkaian konferensi UN Framework Convention on Climate Change Conference (UNFCCC), yakni Indonesia, Polandia, dan Denmark, telah menyepakati upaya bersama untuk meningkatkan momentum politik guna mendukung proses negosiasi. Proses ini perlu dilakukan intensif agar tercapai kesepakatan pasca-2012. Kerangka kerja baru pascaberakhirnya periode pertama Protokol Kyoto 2012 disepakati dicapai di Kopenhagen, Desember 2009.

Peluncuran UN-REDD Programme, yang akan dilaksanakan oleh tiga badan PBB, disampaikan oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon dan PM Norwegia Jens Stoltenberg. Dana sebesar US$ 35 juta diberikan oleh Norwegia untuk membiayai fase awal program tersebut.

Sembilan negara telah menyampaikan ketertarikan mereka untuk menerima bantuan melalui UN-REDD Programme, antara lain Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam, dan Zambia. Beberapa dari sembilan negara itu, yakni Indonesia, Papua Nugini, Republik Demokratik Kongo, dan Tanzania akan memulai upaya-upaya itu melalui pengembangan strategi nasional, sistem monitoring, pengkajian, pelaporan, hingga verifikasi tentang luas hutan dan cadangan karbon yang ada di dalamnya.

Sejumlah proyek percontohan segera digulirkan sebagai uji coba pengaturan hutan yang berguna mempertahankan ekosistem serta memaksimalkan cadangan karbonnya, sementara di saat yang sama mengupayakan berbagai manfaat yang bisa dirasakan masyarakat.

Kerja Sama Nyata

Di tempat yang sama, Hassan menambahkan bahwa ada kerja sama nyata yang bisa dilakukan untuk memulai penanganan masalah perubahan iklim sebelum proses di Poznan (Polandia) dan Kopenhagen (Denmark) menyepakati suatu kerangka baru yang akan menggantikan periode pertama Protokol Kyoto pada akhir 2009 serta mulai diberlakukan setelah 2012.

Initiatives F-11 (Forest Eleven) Initiatives atau Inisiatif Sebelas Negara Pemilik Hutan Tropis yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diluncurkan di PBB pada 2007 diharapkan dapat menjadi kerja sama nyata untuk mulai menangani masalah perubahan iklim.

Keanggotaan Kelompok F-11 berkembang menjadi 34 negara. Dalam kaitan itulah, Indonesia akan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri di Jakarta pada 16-17 Oktober.

Sementara itu, konsultasi yang diprakarsai oleh PM Papua Nugini dan Presiden Kosta Rika telah dilakukan oleh negara-negara pemilik hutan tropis di New York, Selasa (23/9) malam. “Konsultasi membahas bagaimana kita menyiapkan posisi bersama dan tindakan nyata guna mencegah deforestasi dan memajukan reforestasi,” ungkap Hassan.

Dalam konsultasi itu, hadir negara-negara maju dan donor potensial yang menjanjikan miliaran dolar. Norwegia, Inggris, dan Jepang termasuk yang sudah melontarkan janji tersebut.

“Dalam pertemuan di Jakarta, kita akan merumuskan usulan-usulan negara-negara pemilik hutan tropis untuk memanfaatkan dana yang tersedia,” ungkap Hassan.

Inilah langkah nyata yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim tanpa harus menunggu Poznan (Polandia) dan Kopenhagen (Denmark). [SP/Elly Burhaini Faizal]
——————————————————————————-
Last modified: 13/10/08, Suara Pembaruan Daily

Exit mobile version