Fwd: EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT

EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PB)
Sekretariat: Dok V – Jayapura – Email: newva_ok@yahoo.co.id
===============================================================

SIKAP POLITIK
=====================================================
No: 023/Eknas F.Pepera PB/VIII/07

“Otonomi Khusus Sudah Gagal Total!”
“Hak Hidup Orang Papua Sungguh Terancam!”
“Segera Intervensi Kemanusiaan demi menyelamatkan etnis Papua!”

Perjalanan sejarah bangsa Papua mencaat, bahwa pemerintah Belanda telah mempersiapkan kemerdekaan
Bangsa Papua Barat dengan membentuk New Guinea Raad (semacam DPR Papua) yang telah dipilih
langsung oleh rakyat Papua. Selanjutnya New Guinea Raad merancang dan mengsahkan soimbol-simbol
kedaulatan bangsa Papua Barat. Kemudian daftarkan dalam peraturan “STAAT BLAT”, pemerintah
Belanda. Puncaknya dideklarasikan oleh New Guinea Raad di depan pemerintah Hindia Belanda di
Jayapura – Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961 dengan menandai pengibaran bendera Bintang
Fajar diiringi lagu kebangsaan Papua barat – “Hai Tanah-ku Papua”. Hal ini, dilakukan dan disambut
meriah di seluruh pelosok tanah Papua Barat sebagai hari kemerdekaan bangsa Barat. Kegiatan
dimaksud dihadiri oleh perwakilan dari Negara-negara kawasan Pasifik seperti Australia.
Berita tentang Papua merdeka telah sampai di telinga Presiden RI, Soeharto-Hatta. Presiden
Soeharto mengeluarkan “Maklumat TRIKORA” pada 19 Desember 1961 untuk mengagalkan kemerdekaan Papua
Barat. Untuk mewujudkan TRIKORA tersebut, Indonesia memanfaatkan persaingan global. Saat itu,
antara Blok Timur (Rusia) yang bersaing secara global dengan Blok Barat (Amerika Serikat).
Beberapa upaya dilakukan untuk mencaplok Bangsa Papua antara lain “Perjanjian New York Agreement”
pada 15 Agustus 1962, “Perjanjian Roma” pada 30 September 1962. Pada tanggal 1 Mei 1963 merupakan
penyerahan Administrasi Papua dari UNTEA ke Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan
MoU antara Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun 1967 dan diakhiri dengan pelaksanaan
“Penentuan Pendapat Rakyat Papua Barat” pada 1969 yang hanya diwakili oleh 1025 rakyat Papua
Berbagai upaya yang ditempuh dalam rangka mencaplokan Bangsa Papua ke dalam NKRI sudah terbukti
secara sah dan meyakinkan melalui penelitian ilmiah atas sejarah Papua oleh beberapa orang Papua ,
simpatisan dan lebih khusus karya ilmiah dari Prof. Dr. Drooglever yang dilucurkan pada 15
November 2005 di Belanda yang menyimpulkan, bahwa “berbagai upaya dan pelaksanaan tentang
Penentuan Pendapat Rakkyat (PEPERA) merupakan rekayasa belaka, cacat hokum dan moral Indonesia”.
Dengan demikian kami menyimpulkan bahwa dalam rangkah proses penganeksasian Bangsa Papua Barat
telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai luhur yang ditetapkan dalam Demokrasi
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvenan-Konvenan PBB lainnya.
Tindakan pencaplokkan Bangsa Papua yang diwarnai dengan penuh rekayasa, cacat hukum dan moral
dapat dikateorikan ke dalam pelanggaran HAM berat yang harus dipertanggung jawabkan. Karena,
akibat distorsi sejarah Papua yang cacat hukum-moral, telah melahirkan dua masalah yakni
pelanggaran HAM dan masalah pembangunan yang membawa orang Papua pada Genosaid serta marginalisasi
Etnis Papua sepanjang sejarah manusia Papua bersama Indonesia.
Kebanyakan pelanggaran HAM di Papua terjadi hanya karena kepentingan politik dan ekonomi semata
oleh negara-negara berwajah kapitalisme (Amerika + Indonesia). Manusia Papua di hadapan plunsintas
Indonesia (makluk yang tak berarti), maka harus diperkosa, diteror, diintimidasi, ditangkap,
dipenjarakan, disiksa dan dibunuh bagaikan binatang yang dibawah ke tempat pembantaian; Manusia
Papua harus dicincang, dikubur hidup-hidup, dimasukan besi panas melalui dubur dan disembeli pelan-
pelan dengan silet lalu dimasukan sambal, dibunuh secara tidak manusiawi dan pada akhirnya dibuang
kelaut, kali dan danau menjadi makanan ikan-ikan di sana. Menyebarkan berbagai jenis penyakit dan
virus yang mematikan termasuk virus HIV/AIDS melalui perempuan-perempuan Indonesia yang terinveksi
virus yang mematikan itu, makanan-minuman dan kesehatan dan lain-lain. Menurut penelitian beberapa
mahasiswa di Universitas Yale Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa “di Papua Barat telah dan
sedang terjadi GENOSAIDE (pemusnaan etnis Papua), actor utamanya adalah TNI/PORLI”.
Dalam bidang pembangunan juga, tengah terjadi diskriminasi rasial, ketidak-adilan dan
pemarginalisasi terhadap rakyat pribumi Papua. Kebijakan-kenijakan pemerintah RI yang diterapkan
di Papua bukan untuk memajukan rakyat pribumi Papua, melainkan mendepopulasikan, memarginalisasi
dan menyengsarakan rakyat Papua. Singkatnya, demi pembangunan “Rakyat Papua Menjadi Korban” dari
pembangunan Indonesia yang menyengsarakan, tidak bermanusiawi, diskriminatif dan ketidak-adilan
itu.
Semua bentuk penindasan, dari pencaplokan Bangsa Papua ke dalama NKRI sampai praktek-praktek
penindasan RI terhadap Rakyat Papua itu, telah membangkitkan nurani rakyat Papua semesta untuk
berjuang dan menyuarakan kebenaran. Memperjuangkan hak-hak, keadilan dan pengakuan akan kedaulatan
Bangsa Papua secara bermartabat dan demokratis telah dan sedang bergelora di sanubari anak negeri
bangsa Papua. Untuk rakyat Papua telah melahirkan elemen-elemen gerakan sipil bergerak di kota-
kota, di negara-negara di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak kemerdekaan secara politik dengan
jalan damai dan secara bermartabat.
Demi meredam aspirasi politik Papua merdeka yang semakin mengkristal dalam kehidupan rakyat Papua
antara tahun 1998 s/d 2000, maka pemerintah Indonesia memaksakan kehendaknya kepada Rakyat Papua
dengan jalan memberikan undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi propinsi Papua
sebagai solusi final untuk menyelesaikan semua masalah di Papua. Masalah pelanggaran HAM (seperti:
Obaya Adii, yang ditembak mati oleh salah satu anggota BIMOB Papua dengan 6 buah peluru pada 19
Agustus 2007 di Jln. Yoka Waena – Jayapura – Papua dan telah meninggal dunia 10 orang Papua pada
23 Agustus 2007 karena keracunan makanan yang dikonsumsinya di Jayapura), supremasi hukum,
demokrasi, menghargai hak-hak dasar orang asli Papua keadilan. Kalaupun secara nyata OTSUS ditolak
oleh rakyat Papua, pemerintah RI memaksakan rakyat Papua untuk menjalankannya. Demi meloloskan
kebijakan tersebut, RI memakai banyak cara yakni menghilangkan atau membunuh secara misterius
bagai tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri yang dengan vocal menolak kebijakan tersebut. Salah
satunya adalah pembunuhan secara misterius bagi Tokoh karismatik – pejuang kebenaran dengan jalan
damai, “Bapak Teys Hiyo Eluay” pada 10 November 2001 yang silam. Beliau pada saat itu, dengan
tegas menolak tawaran OTSUS itu.
OTSUS sudah ditolak dan dikembalikan kepada Indonesia sendiri oleh Rakyat Papua pada 12 Agustus
2005, namun ia berjalan terus di Papua dan sekarang sudah berumur ± 6 tahun. Di era OTSUS ini
telah melahirkan berbagai masalah kemanusiaan yang serius, biarpun OTSUS diberikan sebagai solusi
final untuk menyelesaikan semua masalah di semua dimensi hidup manusia di Papua. Seperti masalah
pelanggaran HAM yang semakin hari semakin meningkat, masalah kesehatan yang tidak ditangani
secara baik, masalah pendidikan dan masalah infrastruktur serta masalah kesejahtraan semakin hari
semakin memburuk. Empat indicator utama dalam OTSUS; pendidikan, kesahatan, kesejahteraan dan
infrastruktur, belum juga memperlihatkan perubahan yang signifikan; Di bidang pendidikan;
sementara yang terjadi adalah meningkatnya putus sekolah dan pengangguran bagi anak negeri Papua.
Statistik kesehatan di Papua menunjukkan bahwa setiap tahun meninggal dunia bagi balita dan ibu
hamil selalu meningkat grafiknya (khusus bagi mereka yang bermukin di pedalaman Papua). Di bidang
kesejahteraan; kehidupan ekonomi rakyat sangat memprihatinkan. Mereka selalu himpit oleh
perkembangan ekonomi global, sehingga dunia pasaran dari masyarakat selalu dikuasai oleh orang-
orang Indonesia dan akhirnya 80% masyarakat Papua menjadi miskin serta melarat di atas tanah dan
kekayaan mereka sendiri. Infrastruktur yang tidak memadai dan tidak menentu, maka masyarakat Papua
tidak merasakan hasil pembangunan yang sementara berjalan di era OTSUS Papua ini. Singkatnya,
bahwa Otonomi Khusus merupakan lambang kejahatan kemanusiaan di Papua. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa OTSUS yang dipandang RI dan Negara sponsor sebagai solusi final untuk menegahkan
HAM, supremasi hukum, menghargai hak-hak dasar orang asli Papua itu merupakan hanyalah mimpi siang
bolong. Secara sah dan meyakinkan bahwa OTSUS 100% telah gagal, maka pada tanggal 12 Agustus 2005
rakyat Papua telah mengembalikan kepada RI dan sponsornya. Solusis final menurut RI dan sponsor
untuk menyelesaikan semua permasalahan di Papua itu telah gagal, maka solusi final menurut “BANGSA
PAPUA BARAT” adalah “Rakyat Papua Barat Harus Merdeka” secara politik demi menegahkan dan
menyelamatkan etnis Papua yang sedang dalam bahaya genocide.
Ironisnya ialah: kalaupun Otonomi Khusus sudah gagal total, negara-negara sponsor OTSUS secara
tidak langsung ikut mendukung pembantaian etnis Papua; misalnya melalui skenario operasi militer
model terbaru secara besar-besaran, tertutup dan dikemas rapi melalui implementasi Inpres No. 05
tahun 2007 tentang percepatan pembangunan selama 2 tahun yang sepenuhnya mengunakan dana hasil
lobi Gubernur Papua dari sejumlah Negara pendonor Otsus sebesar Rp 17 Triliun dari total seratusan
triliun rupiah yang masuk di Jakarta. Implementasi intruksi Presiden yang baru ini, sungguh
menjadi ancaman serius bagi hak hidup orang Papua. Karena implementasi intruksi tersebut
diboncengi dengan model operasi militer baru yang sedang dan akan semaking mempercepat pembantaian
terhadap etnis Papua.
Pemerintah Indonesia menyadari betul, bahwa Otsus telah gagal, walaupun secara terbuka tidak
mengatakan/mengungkapkannya, maka akhir-akhir ini kaki-tangan RI, seperti BIN, BAIS, TNI/PORLI dan
intansi terkait lainnya melakukan berbagai upaya untuk menekan aspirasi Papua merdeka. Salah satu
pendekatan yang ditempuh pemerintah Indonesia adalah pada tanggal 18 Juli 2007 di Jakarta Badan
Intelejen Indonesia telah memutuskan bahwa menghadapi Papua dengan BIO-MILITERISME (Perang
Biologis) dengan jalan: menyebarkan virus/bakteri/racun lewat makanan-minuman, binatang, tanaman,
HIV/AIDS, racun dalam miras dan racun dalam rokok. Selain pendekatan Bio-militerisme, TNI/PORLI,
BIN dan MILISI bentukan RI meneror, mengintimidasi, menculik dan membunuh, menyiksa sampai mati,
pembunuhan misterius dan menembak mati dan lain-lain. Beberapa peristiwa pembunuhan dan peracunan
lewat makanan yang terjadi akhir-akhir ini anrara lain: 1). Penembakan terhadap saudara Obaya Adii
di jln. Yoka Waena – Jayapura – Papua oleh seorang anggota BIMOB Papua pada 19 Agustus 2007 dan
saudara Jerry Tekege yang telah meninggal dunia, karena dicekik lehernya oleh aparat Polisi di
depan jalan masuk pelabuhan Jayapura pada 19 Agustus 2007 dini hari. 2). Peracunan terhadap 10
orang Papua pada 23 Agustus 2007 di Jayapura dan 2 orang pada 26 Agustus 2007 di Jayapura. 3).
Penculikan tanpa sepengetahuan pihak keluarga terhadap bapak Stepanus Boma TU (Tata Usaha) SLTP
Negeri Moanemani – Nabire – Papua pada 17 Agustus 2007 oleh aparat kepolisisan setempat dan dibawa
turun ke Nabire pusat kabupaten pada siang hari tepat pukul 12.00 waktu Papua; dan penculikan
terhadap saudara Yohanes Keiya dan saudara Yan Yohanes Dogomo pada 07 Juli 2007 di Nabire oleh
aparat (TNI/PORLI), kedua orang ini sampai sekarang belum diketahui oleh pihak keluarga akan
keberadaannya.
Pengkondisian terhadap wilayah Papua sedang digalahkan dengan menempuh beberapa cara antara lain;
mendatangkan TNI/PORLI dari luar Papua yang dilengkapi dengan peralatan sarana (senjata, amunisi,
tank-tank dan lain-lain). Selain itu, Bin/Porli/TNI juga sedang mempersiapkan barisan merah-putih
(milisi) di Papua dan juga didatangkan dari luar Papua dilengkapi dengan senjata dan amunisi.
Upaya lain adalah memutuskan kabel-kabel warung telkom yang biasa dipakai rakyat (public) demi
memutuskan akses informasi tentang kondisi kehidupan rakyat Papua, pengontrolan dan pengawasan
ketat terhadap lembaga-lembaga yang sering menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan;
juga pengawasan ketat terhadap para aktivis mahasiswa, pemuda, perempuan, adapt dan agama serta
ELSM.
Dari kondisi umum di atas, maka kami menarik kesimpulan, bahwa pemerintah Indonesia telah
melakukan pengkondisian wilayah Papua dengan rapih, teratur dan sistematis dengan tujuan
menghabiskan manusia Papua dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini dapat dilihat dari bukti
bahwa hampir setiap hari – malam orang Papua korban ditembak, atau disiksa, diculik atau ditikam
aparat POLISI, BIN, atau oleh MILISI. Kami menilai bahwa di Papua menerapkan Darurat Sipil secara
terselubung. Akibatnya, rasa keamanan bagi orang Papua sungguh tidak ada, ruang demokrasi
dikekang. Hak hidup orang Papua sungguh terancam, maka demi menegakan kemanusiaan dan
menyelamatkan manusia Papua dari ancaman bahaya GENOCIDE, kami atas nama rakyat semesta bangsa
Papua Barat menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
1. Mendesak Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
segera mengirimkan Pasukan Perdamaian untuk mengamankan dan melindung rakyat pribui Papua Barat
yang sedang berada pada ancaman GENOSIDE yang sedang diterapkan dengan sistematis dan terpola oleh
pemerintah Indonesia melalui pendekatan BIO – MILITERISME (Perang Biologis), dan, berbagai
tindakan kejahatan lainnya terhadap rakyat Pribumi Papua.
2. Mendesak Sekjen PBB segera menentukan STATUS PAPUA BARAT melalui mekanisme yang
bermartabat dan demokratis dengan menempu dua opsi: a). pengakuan atas kemerdekaan Bangsa Papua
Barat secara de jure yang secara de fakto dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961; atau b).
mengadakan Refrendum ulang, karena pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat Papua PEPERA pada 1969)
penuh dengan rekayasa, cacat hukum dan moral.
3. Menyerukan kepada masyarakat Internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
HAM, DEMOKRASI, KEBENARAN dan KEADILAN segera mendesak Sekjen PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk
mengambil langkah-langkah konkret dalam mewujudkan tentang point satu dan dua di atas demi
menegahkan kemanusiaan manusia Papua di atas segala kepentingan.
4. Menyeruhkan kepada pimpinan Agama, terlebih khusus pimpinan Gereja-Gereja sedunia dan
Pimpinan Gereja Katolik sedunia segera mendesak Sekjen PBB dan Komisi-Komisinya untuk
menyelamatkan rakyat Pribumi Papua dari ancaman pembantaian etnis Papua dengan jalan pengakuan
kemerdekaan Bangsa Papua Barat pada 1 Desember 1961; atau mengadakan referendum ulang untuk
menentukan nasib hidup Bangsa Papua Barat.
5. Mendesak Presidan Susilo Bambang Yudouyono segera menghentikan pembantaian terhadap rakyat
Papua Barat melalui perang Biologis (BIO-MILITERISME) dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya; serta
segera menarik pasukan non-organik dan organik, dan juga bubarkan milisi bentukan RI dan BIN, BAIS
yang telah dan sedang memperkeruh situasi di Papua Barat.
6. Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudouyono segera mengakui kedaulatan Bangsa Papua Barat;
atau memberikan kesempatan kepada Rakyat Pribumi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri melalui
Refrendum yang demokratis dan bermartabat sebagai konsekwensi logis atas gagalnya penerapan Otsus
dan lebih dari itu sebagai wujud nyata Negara demokrasi dan pengimplementasian pembukaan UUD 1945
alinea pertama yang berbunyi, bahwa “kemerdekaan adalah Hak segala Bangsa, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusian dan pri-keadilan”.
7. Menyerukan kepada rakyat Papua jangan terpropokasi dengan berbagai isu atau tindakan
tertentu dari pihak tertentu yang mau menciptakan konflik di Papua, jangan masuk dalam milisi
bentukan RI, mari kita bersatu dan maju bersama memperjuangkan hak kemerdekaan Bangsa Papua secara
damai.
8. Menolak dengan tegas INPRES Nomor 05 tahun 2007 tentang percepatan pembangunan di Propinsi
Papua dan Propinsi Papua Barat, dan mendesak Pemerintah Pusat segera mencabut INPRES tersebut
karena kebijakan ini dibungkus dengan operasi militer di Tanah Papua model terbaru dan akan
mempercepat pemusnahan etnis Papua.

Demikian pernyataan dan seruan kami, kami buat dengan sesungguh-sungguhnya dari nurani yang
terdalam; dan harapan kami dapat diperhatikan dan dilaksanakan segera, demi menyegakkan keadilan,
kebenaran dan lebih dari itu menyelamatkan Rakyat Pribumi Papua Barat dari bahaya GENOCIDE adalah
tanggung jawab dari semua pihak yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, kebenaran dan
demokrasi.

Port Numbay, 31 Agustus 2007

“Kebenaran selalu disalahkan, tetapi tak dapat dikalahkan dengan cara/bentuk apapun”.

“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

Atas nama Bangsa Papua Barat

Selpius Bobii
(Ketua Umum Front Pepera Pusat)

Tembusan disampaikan kepada Yth:
1. Masyarakat Internasional, baik Legislatif dan Eksekutif di seluruh
negara di tempat.
2. Pimpinan Agama, lebih khusus pimpinan Gereja sedunia dan pimpinan
Gereja Katolik di tempat.
3. Lembaga-lembaga pengiat dan pejuang HAM lokal, nasional dan
iternasional.
4. Lembaga Legislatif, MPR, Pusat dan Daerah di tempat
5. Arsip

EKSEKUTIF NASIONAL
FRONT PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKSNAS FRONT PEPERA PB)
Sekretariat: Dok V – Jayapura – Papua
Hand phone: 085244675654 / 085244979620 / 085254182817

POLITICAL STATEMENT
No: / EKSNAS Front Pepera PB / XI / 07

“HUMAN RIGHT AND LAW UNHOLDDING AS WELL”
“HUMAN RIGHT TO BE SILENCED”
“INDIGENEOUS PEOPLE RIGHT WIIL BE THREATED”
“GENOCIDE PRACTICS WAS HAPPENED IN WEST PAPUA”
“MUST BE HAVE INTERNASIONAL INTERVETION ON HUMANITY”

BACKGROUND

The West Papua have strunggled for forty …. Years seek right of self determination from Indonesia
brutal military rule, yet we debilitating and gut – wereching rarely receive a not from U.S.
Government it’s former colonial ruler the Dutch, Australia, and New Zeland a part of east.
International community to know where West Papua situation were the Indonesian Military has
commeted human right abused and atrocities against the people of West Papua for Example are Bio –
Militersm, ………
The issue of West Papua is not internal matter for the Government of Indonesia to resolve given
the historical evidence that clesrly question Indonesia’s claim of sovereignty over West Papua.
In 1969, 1.025 West Papuan elders were coerced and manipulation in to voting unimously on behalf
of 800.000 Papuan for inclusion. This Act of Choice is generally regarded in the international
community as a fraundulent tactic that was used by Indonesia’s Military regime to claim control of
West Papua.
We hopeful that in the spirit of Nations great mission of diplomacy to end all shape tyranny in
the our peaceful country. We would like stand with international community and support the right
to self determination for great peaceful of world.

For The Human Right and Justice We announced to:

The General Secretary of United Nation must to ask any Nation to be housting for dialog
international among Indonesia and West Papua.
To Human Right defender and international community / institution must to request to General
Secretary for International dialog or re – Act of Choice and force to Indonesian Government.
To international community and institution force Indonesia Government to realize among 20 Activist
and West Papua Freedom activist in all Papua were in Prisons and all stimazing.
Must to Stoped Free Port Indonesia Inc. Were symbols of human Crime by Indonesia’s Military in
West Papua.
Reject and Stoped Territorial institution like (BIN, BAKIN, BAIS) and Indonesian Army from West
Papua.
Freesly and stoped on provocate among West Papua people, repressive, terrorism, intimidation,
murdering, militersm, and stoped Red and white Milition on West Papua.

Finally thanks that’s political statement and announced to whom respect with Human Right for
safefull 250 etnic group in West Papua.

Port Numbay, 25th November 2007

United unlimit, strunggled until Victory
Chairman of FRONT PEPERA

SELPIUS BOBII

Note:
International community in all region
International Human Right Defender
The World Church Board
To Honourrable POPE BENECDICT XVI in Roma – Vatican
International Pers

Exit mobile version