Mati di Atas Lumbung Emas Sendiri

SP/Roberth Isidorus Vanwi

Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua, Kamis (31/7), melakukan aksi turun jalan. Mereka berjalan sejauh 2 kilometer dari Abepura ke Kantor Majelis Rakyat Papua di Kotaraja, Jayapura. Sambil berjalan, mereka bernyanyi dan berorasi meneriakkan yel-yel otonomi khusus telah gagal di Papua.

Pindah di muka, pindah di muka, pindah di muka Papua mau lewat, Papua mau lewat, Papua mau lewat.

Syair lagu tersebut begitu menggema dan dinyanyikan berulang-ulang oleh 100 mahasiswa dan masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua (KMMPTP), Kamis (31/7) siang, sepanjang jalan yang mereka lalui.

Mereka berkumpul di Kantor Pos Abepura lalu berjalan sejauh 2 kilometer untuk sampai di Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Kotaraja, Jayapura, Papua. Sambil berjalan mereka bernyanyi dan berorasi meneriakkan yel-yel otonomi khusus (otsus) telah gagal di Papua.

Tak hanya itu, spanduk biru berukuran 5 x 8 meter berwana biru bertuliskan “Pemerintah RI Telah Gagalkan Otsus Selama 7 Tahun di Tanah Papua, MRP, DPRP, dan Pemerintah Provinsi Papua Segera Duduk Bersama Membuka Dialog Secara Menyeluruh Melibatkan Seluruh Masyarakat Papua”.

Ada spanduk merah dengan panjang 3 x 4 meter dengan tulisan berwarna putih “Otonomi, Pemekaran dan 100 Juta Bukan Solusi, Dialog Yes!”.

Sebelumnya KMMPTP, Senin (28/7), hendak melakukan aksi demo ke MRP, namun dibubarkan oleh anggota Polsekta Abepura. Tak diperbolehkan mereka demo, karena tidak memenuhi prosedur yang diamanatkan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum.

KMMPTP sudah sering melakukan demo turun jalan meneriakkan gagalnya Otsus di Papua. “Kami akan kembali demo meminta agar diadakan dialog publik, terkait Otsus yang selama 7 tahun telah gagal di Papua, bukti lain ratusan saudara kami mati di Dogiyai karena wabah kolera,” kata koordinator demo, Buktar Tabuni.

Dikatakan, demo harus dilakukan, karena hutan, gunung, dan isi perut bumi kami kaya. Namun, kami mati di atas lumbung emas sendiri,” katanya.

Pamlet kecil bertuliskan “1 Kata Lawan, Otsus Gagal Dialog Yes, Otsus Pemekaran N’100 Juta Epenk (Emang Pentingkah), Timika Berdarah 2003, Wamena Berdarah 2003, Abepura Berdarah 2005, Tidak Dialog Boikot Pemilu 2009, Otonomi No, Success for From Nation Papua People”.

Dalam perjalanan, pendemo dikawal aparat dari Kepolisian Sektor (Polsek) Abepura yang dipimpin langsung Kapolseknya AKP Dominggus Rumaropen. “Kami harus mengawal mereka agar terkontrol dan tidak mengganggu lalu lintas, ” ujar Kapolsek saat dibonceng SP untuk melewati barisan pendemo siang itu.

Korlap Simon Petrus Baru maju. Dia mengangkat tangan kanan ke atas sambil mengatupkan tangannya. Seperti seorang dirijen seketika itu para pendemo mulai diam.

Otsus Tumpul

Arkelius Bako dari Aliansi Mahasiswa Papua maju ke depan. Ia berdiri tepat dengan gedung ruang rapat MRP. “Otonomi Khusus Papua tumpul,” teriak dia keras melalui pengeras suara.

“Otonomi khusus hanya sibuk dengan pemekaran, otonomi khusus telah diobok-obok Jakarta. Evaluasi otsus harus dilakukan. Otsus telah gagal, gagal. Oleh karena itu, kembalikan tujuan pokok perjuangan pokok rakyat Papua, yaitu kemerdekaan,” kata dia dengan tegas.

Pelanggaran HAM di era otsus pembunuhan dan penculikan Theys Hiyo Eluay dan hilangnya sopirnya Aristoteles, peristiwa Wasior berdarah 13 Juni 2001, Timika berdarah atas Inpres No 1 Tahun 2003, Wamena Berdarah 4 April 2003, Abepura berdarah 10 Mei 2006.

“Lalu kita dikagetkan kematian ratusan saudara-saudara kita di Dogiyai. Kenyataan ini dirasakan oleh masyarakat di daerah pedesaan dan kampung-kampung terpencil akibat keterbatasan fasilitas kesehatan, obat-obatan, tenaga medis. Di mana otsus, mana, mana otsus, di mana uang triliunan rupiah itu,” kata Simon dengan nada tanya sambil berteriak keras.

Kekayaan alam Papua yang melimpah dikuras memberi makan kepada sebagian besar negara di dunia sementara manusianya mati bagaikan binatang.

Koordinator Demo, Buktar Tabuni dalam orasinya menegaskan, rakyat ini pemilik negeri.

Silakan orang Papua yang lain menonton. “Kami harus bikin kesepakatan hitam di atas putih dengan MRP, baru bisa pulang,” katanya.

Kepala Humas MRP, Anggenata Wally yang datang saat Buktar berorasi hanya bisa memperhatikan orasi yang sarat keprihatinan dan kepedihan yang disampaikan anak-anak Papua yang hadir siang itu. Angganeta tak mau berjanji, karena ia bukan pengambil kebijakan.

Seperti aturan-aturan pemerintahan, dia akan menyampaikan aspirasi ini kepada para anggota MRP. Ia berjanji, Senin nanti ada jawaban dari pimpinan MRP, kapan para pendemo akan bertemu pimpinannya.

Para pendemo tak mau tertipu. Mereka menunggu surat yang dibuat sekertariat MRP agar mereka dapat ketemu Ketua MRP Senin nanti. [SP/Roberth Isidorus Vanwi]

Last modified: 2/8/08

Exit mobile version