Di Merauke, Milisi Piaraan Polri-TNI Bikin Resah Warga Papua

Oleh : MaroNet

Merauke, MaroNet – Warga Papua yang hidup di pinggiran kota Merauke (Mangga Dua, Kelapa Lima, Kuda Mati, Kampung Baru, Kampung Domba, Mopah Lama dan Sayap 1 & 2) saat ini tidak bebas beraktifitas seperti biasanya karena hidup mereka terancam setiap hari. Ancaman tersebut datang dari sebuah kelompok milisi piaraan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (Polri-TNI). Mereka tidak segan-segan membacok siapa saja tanpa alasan yang jelas.

Kelompok ini bergerak dengan leluasa, diberi makan, dilindungi dan diberi fasilitas komunikasi berupa telepon seluler (HP) dan sarana serta jalur transportasi oleh Polri-TNI. Sejak meningkatkan aksi-aksi kriminal mereka pada pertengahan tahun 2007 lalu sampai saat ini, kelompok ini tidak pernah tertangkap. Belum jelas apa motif sesungguhnya dibalik kejahatan ini.

Dari data yang berhasil dihimpun MaroNet, setidaknya sudah 10 orang yang menjadi korban kebuasan mereka. Beberapa perempuan diperkosa dan dibunuh, ada juga yang dianiaya sampai cacat permanen karena berusaha meloloskan diri dari upaya pemerkosaan. Ada juga laki-laki yang dibacok sehingga mengalami cacat permanen. Mereka yang kena bacok biasanya menjalani perawatan di RSUD Merauke dengan tebusan biaya yang tidak sedikit.

Tindakan milisi ini, yang boleh dibilang cukup sadis jika dilihat dari kerusakan tubuh dan gangguan mental yang dialami para korban, telah membuat warga Papua lainnya tidak bebas beraktifitas. Mereka setiap hari dihantui rasa takut yang luar biasa.

Anehnya, yang menjadi sasaran kejahatan dan teror permanen hanyalah orang-orang Papua, berasal dari kelas terhisap, menjalani hidup di pinggiran kota Merauke karena disingkirkan secara sistematis dan tidak manusiawi oleh kelas penghisap-rasis yang menguasai seluruh pusat kota yang dibangun selama lebih dari satu abad diatas kehancuran kaum pribumi.

Warga non Papua yang mayoritas, kelompok elit dan segelintir orang Papua yang berasal dari kelas penghisap tidak pernah dibacok kelompok ini. Keamanan mereka terjamin, hidup mereka diwarnai seribu satu macam kemudahan tanpa berpikir sedikitpun tentang nasib orang Papua di pinggiran kota yang rawan kena bacok kapan saja, tanpa dugaan dan persiapan untuk menyelamatkan diri atau sekedar membela diri.

Adalah Wilibrodus Tikuk yang disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok ini. Pemuda kerempeng asal suku Muyu yang akrab dipanggil Willy ini selalu lolos bersama kelompoknya setelah melakukan aksi-aksi kriminal mereka. Sebenarnya aksi-aksi kriminal kelompok ini sudah dijalankan sejak tahun 2005, tetapi volumenya baru ditingkatkan sejak pertengahan tahun 2007 lalu.

“Sejak pertengahan 2007 lalu kelompok mereka mulai pegang HP dan beberapa anggota kelompok tersebut biasa terlihat akrab dengan Tim Buser (Buru Sergap) dari Polres Merauke,” tutur sumber terpercaya kepada MaroNet.

Kepada MaroNet, banyak saksi mata menyebutkan, beberapa anggota Buser sempat terlihat beberapa kali menikmati Miras Lokal, Sopi, bersama tiga anggota kelompok Willy di Mopah Lama dan Mbuti Laut. Mereka terlihat sangat akrab. Suasana kekeluargaan dan pertemanan mereka begitu sempurna sehingga tidak ada kesan bahwa sebenarnya yang duduk bersama-sama menikmati Miras menggunakan satu gelas takaran saat itu adalah Polisi dan anggota sebuah kelompok milisi yang terkenal sadis dan sudah banyak menelan korban.

Saksi mata lain yang tinggal di SP 2 Tanah Miring (pemukiman para transmigran) mengatakan, kelompok Willy biasa diberi makan oleh beberapa orang Intelijen TNI yang bersarang di Markas Korem 174/Anim Ti Waninggap. “Terus terang saja, semua orang disini sudah tahu, dorang (mereka-red) diberi makan oleh Intel Korem yang suka menyamar dan berkeliaran siang-malam di Tanah Miring sini,” jelas seorang saksi mata yang meminta dengan sangat agar namanya tidak ditulis di Weblog MaroNet.

Aksi kelompok Willy yang terakhir terjadi berturut-turut pada hari Minggu (1/6) sekitar pukul 07.00 WPB dan hari Senin (2/6) malam sekitar pukul 21.00 WPB di tempat terpisah dengan korban yang berbeda. Korban bacok pada hari Minggu adalah seorang pemuda warga Kampung Domba bernama Amandus Nenggereng asal suku Muyu. Ia dibacok kelompok Willy di pasar Mangga, sebuah pasar tradisonal Papua di kawasan Kuda Mati, saat sedang tidur dalam keadaan mabuk.

“Setelah membacok Amandus dengan parang, Willy dan kelompoknya kabur sambil baku telepon dengan HP,” ungkap seorang saksi mata yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat kejadian. Akibat bacokan itu, Amandus mengalami luka yang cukup parah. Daun telinga kirinya putus, telapak tangan kanan robek, tulang kering kaki kanan retak, bagian dahi dan tengkorak belakang juga robek akibat bacokan parang. Saat ini, Amandus Nenggereng masih dirawat secara intensif di RSUD Merauke.

Korban lainnya adalah seorang warga Kelapa Lima bernama Julius Lindep. Pria kekar asal suku Muyu yang akrab disapa Juli Di ini dibacok kelompok Willy pada hari Senin malam, dengan luka yang tidak terlalu serius. Beberapa orang saksi mata menyebutkan, Willy dan kelompoknya langsung kabur sambil berkomunikasi via HP setelah membacok Juli Di.

Seperti korban-korban lainnya, Amandus dan Juli Di sama sekali tidak mempunyai masalah dengan kelompok Willy maupun kelompok-kelompok lain. “Amandus bilang dia tidak punya masalah dengan siapa-siapa dan dia kaget ketika dibacok kelompok Willy,” tutur seorang kerabat Amandus kepada MaroNet. Pernyataan bernada serupa juga disampaikan oleh beberapa kerabat Juli Di kepada MaroNet ketika dikonfirmasi via HP.

Warga di sekitar tempat kejadian menyebutkan bahwa sepertinya ada kelompok tertentu yang mengatur semua operasi kriminal kelompok Willy dengan fasilitas komunikasi dan transportasi untuk memudahkan mereka meloloskan diri dari kejaran warga di sekitar tempat kejadian. Menurut warga, kelompok yang mengatur kebutuhan milisi pimpinan Willy jelas berasal dari pihak Polri-TNI karena banyak bukti keakraban satuan-satuan Polri-TNI dengan kelompok milisi ini.

“Jelas sekali, pemangsa orang Papua itu (maksudnya Polri-TNI-red) ada di belakang kelompok milisi Willy karena dari dulu mereka selalu lolos walaupun kota Merauke ini kecil, orang Papua sedikit, sementara jumlah anggota militer (Polri-TNI) sudah menembus angka ribuan, sistem intelijen mereka bagus dan sarana transportasi untuk mengejar penjahat sangat lengkap,” ujar seorang warga Kuda Mati sambil berteriak ketika MaroNet meminta pendapatnya.

Warga lainnya dengan nada sangat menyesal mengatakan, “Kelihatan sekali Tim Buser dari Polres Merauke selalu datang terlambat karena memang mereka sengaja memberikan kesempatan kepada pelaku untuk kabur dari tempat kejadian. Cara seperti ini sudah basi karena berulang kali dilakukan oleh Polisi dalam hampir setiap kasus kriminal yang dilakukan milisi piaraan mereka.”

Keluarga korban yang ingin membalas dendam tidak pernah menemukan kelompok Willy. “Kami selalu cari mereka untuk bunuh-mentah tapi tidak pernah ketemu, kami kira mereka pakai ilmu gaib untuk menghilang secara tiba-tiba, tetapi setelah kami lacak, mereka sebenarnya dibeking Polisi dan Tentara. Polisi dan Tentara menyiapkan segala sesuatu yang mereka perlukan, mulai dari makan-minum, tempat sembunyi, sampai saat ini mereka dikasih HP sehingga koordinasi kelompok mereka semakin mudah,” jelas seorang pria yang mengaku kerabat dekat Gervin Wonopka.

Gervin Wonopka, pemuda asal suku Muyu, adalah salah satu korban yang pernah dibacok langsung oleh Willy beberapa waktu lalu dan mengalami cacat permanen setelah menjalani proses perawatan yang cukup lama dan banyak menelan biaya.

Dari keluhan warga, tampaknya mereka sudah muak dengan berbagai propaganda Polri-TNI. Polri yang selalu mengaku sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat sementara TNI yang selalu mengaku sebagai Ksatria Pelindung Rakyat ternyata di mata rakyat Papua tidak lebih dari kelompok penjahat yang sedang menjalankan fungsinya sebagai mesin pembasmi rakyat Papua.

“Omong kosong, tidak pernah ada pelindung rakyat yang jahat, bernaluri kanibal, suka minum darah kaum lemah, lihai menipu dan pandai membenarkan diri seperti mereka ini,” kata seorang Mahasiswa Unimer.

Terhadap aksi bacok yang menimpa Amandus Nenggereng, seperti biasanya, pihak Kepolisian Resort Merauke berlagak tidak tahu dan berpura-pura serius menyelidiki kasus ini sambil bersiap-siap mengejar pelaku. Sebagaimana dilansir SKH Cenderawasih Pos Edisi Selasa, 03 Juni 2008, Kapolres Merauke AKBP Drs. I Made Djuliadi, SH mengatakan pihaknya masih mnyelidiki siapa pelaku dan apa latar belakang penganiayaan ini.

“Kita masih lakukan penyelidikan karena pelakunya belum diketahui,” ujarnya kepada Yulius Sulo dari Cenderawasih Pos. Penipuan publik melalui saluran media dan jasa para wartawan ini langsung diamini Kasat Reskrim Polres Merauke Iptu Fahrurozi yang saat itu mendampingi sang Kapolres ketika memberikan keterangan pers.

Kalau pihak Kepolisian Resort Merauke berlagak tidak tahu sebagaimana terungkap dari pernyataan Kepala Suku Perang di jajaran ini, para Kepala Suku Perang di jajaran TNI lebih memilih diam karena memang alasan mereka pasti masuk akal dan sejalan dengan logika kejahatan yang mereka bangun selama ini: Kamtibmas menjadi urusan Polisi, Tentara menjaga kedaulatan Negara. Demikianlah, skenario busuk “si kembar siam” ini dipastikan akan terus berlanjut dari hari ke hari.***

Exit mobile version