Gagasan Bangsa Indonesia dalam Politik Arsitektur dan Ruang Kota di Papua

Oleh: Yunus Emigita Yeimo*


Pemekaran Provinsi dan Kabupaten di tanah Papua yang sedang giat dilakukan saat ini adalah bukan merupakan jawaban atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua melainkan sebuah lahan subur untuk menanam, meninggalkan, membangun politik penguasa di bidang arsitektur dan ruang-ruang kota di Papua. Baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan.

Dan pemekaran adalah bukan politik jabatan semata. Tetapi persoalan mendasar adalah  politik arsitektur dan penataan ruang kota. Undang-undang otonomi khusus tidak mengatur tentang bangaimana kota-kota di Papua itu dirancang. Tetapi disana hanya mengatur bagaimana dana otonomi khusus triliunan rupiah itu digunakan.

Hal ini menandakan bahwa tanah dan manusia Papua, kehilangan dan krisis identitas (arsitektur dan ruang kota). Dimanapun dan kapanpun hal ini akan terjadi. Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan  citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancangan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus berawal dari gagasan bangsa? Bukankah setiap daerah memiliki kultur yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik.

Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merencakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolog, atau pun dengan konsep kearifan lokal.  Produk itu adalah  ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ciri dan bentuk arsitektur Kota itu akan berbicara dan sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan “kami” dari “kamu”.

Bangsa Indonesia sebagai penggagas dan penanggungjawab atas perkembangan (perencanaan kota dan bangunan) di Papua. Siapapun pemimpin bangsa ini (Presiden, Gubernur, Bupati, Camat)  semua itu adalah penggagas, penyalur, dan pewujud atas terjadinya politik arstektur dan kota. Baik putra daerah walau sering mengatakan  tuan diatas tanah sendiri maupun pendatang akan terbentuk karaternya karena semua itu telah memilki landasan hukum yang harus dipatahui oleh semua warga negara.

Salah satu darinya adalah undang-undang Republik Indonesia No. 18/1999 tentang jasa konstruksi, undang-undang Republik Indonesia No. 28/2002  tentang bangunan gedung, dan Peraturan pemerintah No. 15 / 2004 tentang perusahan Umum (perum) pembangunan nasional (perumnas). Dalam kehidupan (kenyataan bahwa) undang-undang ini tanpa perduli dengan keragaman bangsa (kesukuan), letak geografis, karakter dan perilaku manusia dengan lingkungan sekitar.  Kehidupan manusia (Papua) yang ruang geraknya yang telah dibingkai oleh negara (penguasa). Dengan demikian, slogan “demi bangsa” adalah gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang mudah diperdaya oleh penyusun strategis untuk mencapai tujuannya (tinggalkan pesan politik arsitektur).

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa gagasan bangsa Indonesia, arsitektur dan ruang kota di Papua tidak akan bermakna?  Apa itu arsitektur? Apa itu ruang kota? Mengapa arsitektur dan ruang kota sebagai gagasan bangsa dalam politik penguasa? Apakah manusia Papua tidak memiliki konsep penataan kota dan kampung? Ini adalah pertanyaan-pertanya an penting yang perlu kita jawab bersama***

Exit mobile version